70.

Kos sempit yang biasa dipenuhi tawa dan teriak Raga kini hening tanpa suara. Dua anak manusia terbaring lemah di kasur dengan kain basah menempel di masing-masing dahi.

Pipi lelaki yang jauh lebih kecil itu sudah memerah akibat suhu tubuh yang terlampau tinggi. Bocah itu sudah melupakan mainan-mainan yang menunggunya di kamar mandi. Biasanya, bebek dan ikan plastik di bak selalu menjadi temannya membasuh diri sebelum sekolah.

Hanya ada satu gadis yang dari tadi bolak-balik ke dapur untuk mengisi ulang air di baskom. Jam lima pagi, dirinya dikejutkan dengan suhu tubuh Praha yang melonjak. Suaminya yang biasa tidur tanpa selimut pun merengek untuk berbagi kain tebal itu dengan anaknya.

Sudah Aira katakan, Praha pasti jatuh sakit jika hujan-hujanan. Lalu, jantungnya kembali dikejutkan saat sang gadis mengangkat tubuh anaknya. Tidak berbeda jauh dengan sang ayah, bocah kecil itu pun terlihat menggigil.

Hampir satu jam Aira gunakan untuk mengurus dua lelaki tampan itu agar terbebas dari sensasi dingin. Semua jaket dan baju berbahan tebal sudah ia keluarkan agar anak dan suaminya merasa hangat. Saat mentari muncul, barulah Praha dan Raga tidur nyenyak.

Kini Aira berada di samping suaminya, baru saja selesai mengganti kain di dahi Praha. Telapak kasarnya membelai lembut rahang sang tuan. Helaan napas kasar lolos begitu saja.

“Udah dibilangin jangan hujan-hujanan, malah ngeyel ….” gumam gadis itu.

Lalu, netranya berpindah pada si mungil yang sudah terlelap bersama botol susu di mulutnya dan guling kecil di pelukannya. Lagi-lagi ia menghela napas. Tidak ada perasaan yang lebih buruk dari pada melihat anak dan suaminya jatuh sakit di waktu bersamaan seperti ini. Terlebih, ia tidak memiliki kekuatan dan dana untuk membawa mereka ke rumah sakit.

Hanya obat tablet dan sirup di lemari yang dapat ia berikan untuk dua manusia ini. Setelah bubur di kompor matang, ia akan membangunkan Praha dan Raga.

Baru saja Aira akan beranjak, pergelangannya sudah ditahan. Tubuhnya sedikit berbalik untuk menatap sang suami. “Kenapa, Mas? Pusing lagi?” tanya gadis itu seraya telapaknya memijat lengan Praha.

Sang lelaki menggeleng pelan. Salah satu tangannya merogoh kantung celana dan mengeluarkan isinya. “Nanti belanja daging aja,” tuturnya lemah.

Aira menatap bingung suaminya. Lembaran uang berwarna biru masih belum berpindah ke tangannya. Tidak biasanya Praha memberi uang belanja tambahan, apa lagi hanya untuk membeli daging merah.

“Buat apa, Mas? Kamu lagi mau makan daging?”

Lagi-lagi Praha menggeleng. “Buat Raga,” jawabnya.

Rasanya Aira ingin membanjiri Praha dengan pertanyaan. Sejak kapan lelaki itu memintanya belanja khusus untuk anaknya? Bahkan, ia jarang memperhatikan makanan sehari-hari Raga.

Tangan Aira diraih oleh Praha. Selembar uang lima puluh ribuan terpaksa digenggam jemarinya.

“O-okay, nanti aku belanja.”

Anggukan kecil Praha disusul netranya yang kembali tertutup. Kening sang gadis masih setia mengerut kala langkahnya menuntun ia keluar dari kamar.


@guanhengai, 2021.