77.

Berkas cahaya menembus jendela kamar lantai dua, mencetak bayang semu di atas lantai. Hangatnya mentari pukul 10 pagi ditambah samar-samar langkah kaki berhasil membuat sang gadis menggeliat kecil di dalam selimut.

Sepersekian detik kemudian, kasurnya bergerak pertanda ada orang lain di sana. Ia tahu betul siapa yang baru saja duduk dan membebankan tangannya di puncak surainya. Tanpa membuka mata, Angel mendesah dan menepis tangan yang ia yakini milik sang kakak.

“Mas, masih ngantuk!” Gadis itu semakin menarik selimutnya.

Aryo memang selalu ditugaskan sang ibu untuk membangunkan adik-adiknya, terlebih Angel yang memiliki jam tidur ekstra. Biasanya lelaki itu akan menghimpit hidung Angel hingga sang empunya terbangun. Gadis itu yakin sebentar lagi kakaknya akan melakukan hal yang sama, namun ia tetap enggan untuk membuka matanya. Angel akan bangun ketika kakaknya pergi, karena ada hal yang harus ia selesaikan.

1...

2...

3...

Sadar tak mendapat respon, Angel membuka matanya perlahan. Ribuan partikel cahaya dari jendela yang sudah sepenuhnya terbuka berebut merasuki netranya. Butuh beberapa detik untuk menjernihkan pandangannya. Saat kepalanya menoleh, mata yang tadinya masih sayu seketika membulat sempurna.

Gadis itu terduduk, membuat selimutnya terlepas dari tubuhnya. Kini netranya mengungkung sosok tampan bertubuh atletis berbalut kaos putih yang tengah duduk manis di hadapannya. Bukan Aryo, tetapi Jerry.

Semangkuk bubur ayam dan segelas air putih di nakas memberi petunjuk tentang kehadiran Jerry di kamarnya pagi ini. Ah, rasanya Angel begitu malu karena Jerry melihatnya tertidur. Sadar sedang diperhatikan, tangan kanan Angel langsung bergerak mengusap wajah dan area mulutnya.

“Kenapa sih ngeliatin gue kayak gitu?” tanya Angel.

Jerry menggeleng pelan. “Makan dulu biar ada tenaga,” katanya sembari meraih mangkuk bergambar ayam jago.

Gadis yang diajak bicara hanya menggigit bibir bawahnya. “Ehm, gue ....”

Salah satu alis Jerry terangkat, menunggu kelanjutan dari kalimat Angel.

“Gue?” tanya lelaki itu karena tak kunjung mendapat balasan.

“Gue bisa makan sendiri. Taruh di sana aja aja buburnya!” Angel menunjuk nakas yang tadi digunakan Jerry untuk meletakkan mangkuk dan gelas. Ia ingin Jerry cepat-cepat pergi dari kamarnya.

“Ya udah, nanti habis makan langsung mandi. Masih ada yang harus kita urus di bawah,” ujar Jerry sebelum beranjak dari kasur calon istrinya.

“Oh ya, kalo perut lo nggak enak bilang aja, biar gue yang urus sisanya,” lanjut lelaki itu sembari menjatuhkan tatap ke noda di selimut yang Angel gunakan.

Blushhh

Pipi sang gadis merona seketika. Ternyata Jerry mengetahui masalahnya pagi ini. Gadis itu segera menenggelamkan wajahnya pada bantal sesaat setelah Jerry menutup pintu. Kakinya sibuk menendang-nendang udara dan mulutnya menjerit dramatis.

“Ah, sialan! Kenapa harus bocor segala, sih? Malu banget anjirrrr!” gerutu Angel.

Ingin rasanya menenggelamkan diri di Samudra Pasifik. Namun, sepertinya itu bukanlah ide bagus. Dengan segala rasa kesalnya, gadis itu menarik selimut kotor dan melemparnya ke keranjang baju. Ia harus segera membersihkan diri dan menemui orang-orang yang terlibat dalam acara pernikahannya.


Setelah menghabiskan waktu selama satu setengah jam, Angel pun menuruni anak tangga dengan terburu-buru. Ia baru saja menerima pesan bahwa orang yang ditugaskan untuk menyebar undangan telah kembali.

Dada gadis itu terasa sedang berdisko. Rasa penasaran yang begitu memuncak membuat dirinya tak sadar melewati satu anak tangga terakhir. Tubuhnya hampir saja mendarat secara tidak manusiawi jika tidak ada lengan kekar yang menopangnya saat ini.

“Jangan lari-lari, kalo jatuh nggak ada yang mau gendong lo.” Suara serak yang sudah tak asing bagi Angel menyapa telinganya.

Ia sudah tahu pemilik tangan berhias gelang rantai di pergelangan kirinya. Sungguh! Hari ini Angel merasa bodoh di depan Jerry. Belum genap dua jam dirinya terbangun dari tidur, namun wajahnya sudah memerah sebanyak dua kali.

Angel berdeham sembari melepaskan diri dari rengkuhan Jerry. Gadis itu segera merapikan kembali kaosnya yang sempat tersingkap. Pergelangan kakinya bergerak memutar, memastikan kelalaian tadi tidak membuatnya terkilir.

“Makasih,” ujar Angel pada lelaki yang masih menatapnya heran.

“Emangnya ngejar siapa sampe lari-lari gitu?” tanya Jerry tak mampu menyembunyikan rasa penasarannya.

Mendengar hal itu, Angel justru mengedarkan pandangannya dan bergegas meninggalkan Jerry. Lagi-lagi perkataan calon suaminya tak didengar. Punggung sang gadis sudah hilang dalam sekejap ditelan pintu yang mengarah pada halaman tempat resepsinya digelar.

Jerry hanya bisa menggeleng pelan melihat kelakuan Angel. Gadis itu akan bertingkah seperti anak kecil jika kembali ke rumah ibunya. Atau memang semua anak akan seperti itu jika berada di kediaman orang tuanya? Entahlah, Jerry tak pernah merasakan itu.

Lelaki itu mengikuti langkah Angel meski tak yakin berhasil mengejarnya. Dengan senyum tulus, Jerry menyapa satu per satu pekerja yang sedang memasang dekorasi di sepanjang ruang tengah hingga halaman belakang rumah calon mertuanya.

Jangan lupakan tatapan memuja dari para wanita yang duduk mengelilingi tungku. Wajan jumbo berisi aneka masakan yang aromanya mengudara tak membuat pemasak-pemasak itu melewatkan pesona Jerry. Bahkan, beberapa dari mereka terang-terangan menyayangkan pernikahan Angel dengan Jerry. Dunia kehilangan satu lelaki tampan, katanya.

Setelah melewati pintu belakang, Jerry menemukan sosok Angel sedang berbicara dengan seseorang berpakaian serba hitam. Nampaknya gadis itu sedang memarahi pria yang Jerry perkirakan berusia 45 tahun. Beberapa kali dahinya mengerut seraya urat lehernya menyembul.

“Hei, ada apa?” tanya Jerry setelah berhasil berdiri di samping calon istrinya.

Pria yang tadinya menunduk pun menegakkan kepalanya dan menyapa Jerry dengan anggukan. Lelaki itu membalasnya dengan senyum manis sebelum kembali memusatkan perhatian pada Angel.

“Kenapa, Angel? Ada yang kurang?” tanya lelaki itu lagi.

Angel menepis tangan Jerry di bahunya, “Tau ah! Gue mau balik ke kamar!”

Sang gadis langsung pergi meninggalkan dua pria berbeda generasi itu tanpa menunggu balasan dari calon suaminya. Jerry menggaruk tengkuknya yang tidak gatal karena merasa tak enak pada pria di hadapannya.

“Err, maaf ya, Pak. Hari ini moodnya memang sedang tidak baik,” tutur Jerry.

Pria yang kemudian Jerry ketahui bernama Tarjo itu mengangguk sopan. “Tidak apa-apa, Den. Saya yang kurang maksimal dalam menjalankan tugas,” jawabnya tanpa menatap mata Jerry.

“Ya sudah, saya kembali bekerja, Den. Tolong sampaikan maaf saya pada Non Angel,” ujar Pak Tarjo sebelum membungkuk dan meninggalkan Jerry.

Lelaki berkulit cerah itu menghela napas sembari menyibak rambutnya ke belakang. Raut bersalah Pak Tarjo terus menghantui pikirannya. Kesalahan apa yang Pak Tarjo lakukan sehingga memancing emosi Angel?


@guanhengai, 2021.