80.
Taman kanak-kanak tak seramai ingatan Praha. Nyaring teriakan bocah yang biasa menggelegar hingga sudut terkecil kini tersisa perosotan dan ayunan tanpa pemain.
Praha melangkah mendekati jajaran wanita yang duduk di tepi pagar. Lelaki berbalut kaos putih dan jaket kulit hitam berjalan dengan kantung plastik di tangan, berayun selaras dengan melodi yang terlontar dari mulutnya.
Meski Praha menjadi sasaran tatap ibu-ibu di sana seperti papa muda kebayangan, matanya tetap tertuju pada gadis berkaos putih dan celana jeans.
“Ini mamanya siapa sih? Cantik banget,” ujar Praha sembari tangannya hinggap di puncak surai Aira.
Istrinya buru-buru menepis tangan asing yang belum ia kenali sebagai suaminya. “Kok ditepis?” Alis tebal si tampan saling bertaut, bibirnya mengerucut kecewa.
“Mas! Kok tiba-tiba di sini?” tanya Aira seraya bergeser untuk memberi tempat untuk suaminya.
“Makasih, Sayang. Hari ini udah selesai, jadi bisa pulang bareng deh.” Praha melingkarkan lengannya ke bahu Aira, sedang istrinya memutar bola mata malas. Ternyata ini tujuan Praha berangkat kerja kemarin, agar ia bisa menjemput anaknya.
“Raga masih lama?”
Aira mengangguk sambil curi-curi pandang pada kantung merah di tangan sang suami. “Itu apa, Mas?”
Kini bungkusan yang Aira tidak ketahui isinya itu sudah terangkat tepat di depan wajahnya. “Coba tebak,” tutur Praha disertai cengiran menggoda.
Gadis itu berusaha mencari jawaban di mata suaminya., namun sepertinya Praha tak berniat memberi clue. Gelengan Aira membuat Praha tersenyum menang. Terlebih, ekspresi istrinya saat ia mengatakan bahwa itu adalah sebungkus babi panggang dari resto langganan mereka.
“Mas? Serius?”
Praha mengangkat bahu. “Liat aja nanti di kos.”
Sepersekon kemudian, lelaki itu merasakan hangat menggelayari tubuhnya. Kedua tangan Aira memeluknya dari samping, persis seperti seorang adik yang baru saja diberi permen oleh kakanya. Lelaki itu tersenyum malu saat ini. Ah, padahal biasanya Praha yang selalu membuat Aira salah tingkah.
Gadis itu menatap Praha dari samping bahunya. “Makasih, Mas.”
Sang lelaki mengangguk sembari menundukkan kepalanya demi membalas tatap Aira. “Sama-sama, Sayang.”
Seporsi babi panggang sangat berharga bagi mereka yang selalu makan tempe dan telur setiap hari.
Menit demi menit berjalan, semakin berat netra Aira bertahan untuk tetap terbuka. Gosip ibu-ibu, cuaca panas, dan usapan lembut di lengannya semakin menarik paksa kesadarannya.
Merasa tubuh Aira semakin bertumpu pada dadanya, Praha pun melirik sebentar gadis itu. “Ngantuk, ya?”
Anggukan Aira membuat Praha memperlembut usapannya. Untung istrinya memilih tempat yang sedikit tersembunyi, jadi ia tidak perlu khawatir oleh tatapan orang-orang.
“Aku nggak mau tidur, Mas. Cuma merem bentar,” tutur Aira dengan mata yang masih memejam.
“Oh, kupikir mau tidur sebentar.”
Aneh. Mana bisa tidur di tempat ramai seperti ini? Lagi pula, Aira harus memperhatikan satu per satu anak yang keluar dari ruang kelas agar anaknya tidak kabur dari lingkungan sekolah.
Pasalnya, beberapa hari lalu Raga keluar gerbang TK dan berdiri di samping penjual ice cream. Aira tidak melarang anaknya untuk mengonsumsi makanan itu, tapi harus di bawah pengawasannya.
“Sayang, itu Raga udah keluar.”
Kalimat dari mulut suaminya membuat Aira sedikit tersentak. Ternyata, bahu Praha terlalu nyaman untuk sekadar berbaring. Pantas saja Raga selalu terlelap saat sang ayah menggendongnya.
“Ayo, Mas.” Aira mengulurkan tangannya dan mengajak Praha berdiri.
Setelahnya, senyum kedua manusia dewasa itu menyambut sang anak. Bocah keriwil dengan tas merah kecil di punggungnya langsung berlari ke arah Praha. Tubuh mungilnya tampak begitu kecil saat bersanding dengan kaki panjang sang ayah. Praha segera menggendong anaknya, sedangkan Aira mengambil alih kantung yang sedari tadi dibawa lelaki itu.
“Anak Papa pinter banget sih,” tuturnya sembari berjalan menuju parkiran.
Tak ada jawaban dari Raga.
“Loh? Raga kenapa?”
Suara Aira menyita perhatian suaminya. Ia baru merasakan ada air menetes di lehernya. Segera Praha jauhkan kepala sang anak dari ceruknya. Wajah mungil itu sudah memerah dan dipenuhi air mata.
“Raga kenapa, Sayang? Hm? Coba cerita sama Papa,” ucap lelaki itu lembut.
Alih-alih menjawab, anaknya justru menunjuk salah satu bocah berseragam sama dengannya. Bedanya hanya sebungkus jajan di tangan anak itu.
“Raga mau jajan? Iya?” tanya Praha lagi.
Aira yang mengelahui alasan Raga menangis pun menepuk bahu Praha pelan. Sang lelaki menengok ke arah istrinya dan menaikkan satu alis.
“Ada temennya yang ulang tahun, tapi dia nggak dapet jajan.”
Kening lelaki itu langsung berkerut dalam. “Kenapa?”
“Karena Raga nggak bawa kado.”
Jleb!
Kalimat dari mulut Aira langsung menghujam jantung Praha. Konsep macam apa itu? Jahat sekali.
“Udah sering kayak gini?”
Aira tahu Praha sedang menahan emosinya. “Nggak apa-apa, nanti Raga lupa kok,” tuturnya berharap Praha sedikit tenang.
“Udah sering kayak gini?”
Fix. Praha marah.
“Iya,” jawab Aira seraya netranya tertutup.
Telapak lebar lelaki itu langsung mengusap surai anaknya. Raga masih menangis di pelukan Praha. Sungguh, hatinya benar-benar terkoyak akan fakta barusan.
“Nggak apa-apa, besok ulang tahun Raga dirayain, ya?”
Bukan anaknya yang terkejut, justru gadis cantik di sampingnya yang menahan lengan Praha. Netranya menyiratkan keterkejutan yang teramat.
“Serius, Mas?”
Kelopak Praha berkedip berkali-kali. Mengapa respon Aira sangat tak wajar? Padahal, normal-normal saja jika merayakan ulang tahun anak, meski kondisi ekonomi mereka sedikit tidak memungkinkan.
Tidak apa-apa, tawaran dari mertua Praha menyelamatkan idenya tadi.
“Emang kenapa? Serius lah,” tuturnya.
@guanhengai, 2021.