83.

Malam sebelumnya tak pernah sedingin ini karena peluk Jerry selalu menemani tidur sang istri. Angel yang sudah terbiasa bangun di tengah pergantian hari pun berusaha membuka matanya yang masih terlalu berat.

Tangan kirinya meraba space di samping. Seperti biasa, ia akan membangunkan Jerry dan meminta tolong untuk membawa anaknya ke kamar mereka untuk diberi ASI.

Ajen memang sudah dibiasakan tidur terpisah dari orang tuanya sejak bayi. Angel dan Jerry hanya memasang monitor di samping kasur bocah mungil itu.

Saat tangannya tak menemukan apa pun di sana, mata Angel langsung terbelalak. Tubuhnya terduduk meski jiwa gadis itu belum terkumpul sepenuhnya. Ia kembali memejamkan kelopaknya erat-erat agar dapat lebih fokus melihat jarum jam dinding.

Pukul satu dini hari. Ia sudah terlelap sejak pukul sepuluh, berarti tiga jam yang lalu. Angel ingat dirinya memutuskan untuk tidur sebentar sembari menunggu suaminya pulang. Namun, seperti biasa, gadis itu berkamuflase menjadi beruang yang tidak akan terganggu apa pun jika sudah memasuki tidur REM.

Angel menatap selimut yang menutupi tubuhnya. Ia yakin itu adalah kerjaan Jerry. Pasalnya, selimut itu masih terlipat rapi sebelum dirinya memutuskan untuk tidur. Segera tangannya menyingkap selimut abu-abu itu dan menjulurkan kakinya ke lantai.

Dinginnya ubin kamar langsung menyergap tubuh Angel hingga kepala. Sandal rumah yang tadinya tergeletak asal pun sudah tertata rapi di samping ranjang. Pun sebuah kantung plastik berlogo mini market tergeletak di nakas. Angel yakin itu popok Ajen yang ia titip tadi.

“Loh? Kok Mas Jerry beli yang satuan?” tanyanya pada udara. Namun, ia kembali menyimpan bungkusan itu dan memakai sandal rumahnya.

“Pasti Mas Jerry begadang lagi,” monolognya.

Akhir-akhir ini Jerry memang disibukkan dengan urusan pekerjaan. Ehm, calon pekerjaan lebih tepatnya. Mas Aryo banyak mengirim materi yang harus dipelajari oleh lelaki itu sebelum terjun ke perusahaannya.

Tak jarang Angel menemani suaminya ketika membaca tumpukan HVS di ruang makan. Meski, pada akhirnya ia akan ketiduran dan Jerry menggendongnya ke kamar.

Nggak apa-apa, kamu nemenin aku aja udah bikin aku semangat. Begitu kata Jerry.

Gadis bersurai panjang itu berjalan menuju ruang makan. Kedua tangannya sibuk menggulung rambut agar nanti tidak mengganggu kegiatan menyusui. Kala langkahnya semakin mendekati tujuan, Angel menangkap suara asing dari balik pintu kamar Ajen.

Dadanya tiba-tiba bergemuruh, pikiran negatif kini memenuhi otaknya. Angel sudah tidak peduli dengan suaminya, ia hanya ingin memastikan bahwa anaknya baik-baik saja.

Anjing! Di kamar anak gue nggak ada apa-apa, kan? batinnya takut.

Dengan sisa keberaniannya, gadis itu mendekat ke arah pintu kamar Ajen. Kemoceng yang tergantung di dinding sudah berpindah ke tangannya sebagai alat perang jika di dalam sana benar-benar ada monster.

Beruntung daun pintu tak sepenuhnya tertutup. Angel melepas sandal rumah yang ia gunakan dan berjalan jinjit ke arah kamar sang anak. Ketika tubuhnya berjarak kurang dari satu meter, Angel terdiam di tempat.

Gadis itu menelan salivanya dan melipir ke tembok samping kamar Ajen. Kemoceng dan sandal rumah kini sudah berada dalam pelukannya. Telinganya menajam seiring suara dari kamar Ajen terdengar.

“Nggak apa-apa kan, Sayang? Sekarang mimik susunya dari botol dulu, ya. Mama biar istirahat dulu.”

Kedua sudut bibir gadis itu terangkat kala suara Jerry terdengar dari dalam sana. Gadis itu melihat suaminya duduk di samping box Ajen dengan botol kecil di tangannya. Ia sudah siap menghampiri anak dan suaminya. Namun, kalimat Jerry selanjutnya menghentikan niat Angel.

“Maaf ya, Sayang. Maaf karena Ajen harus ngerasain hidup susah. Maaf karena Papa nggak punya apa-apa pas Ajen lahir. Maafin Papa ya, Jagoan.”

image

Angel melihat suaminya mengecup kening anak mereka. Lengan kekar Jerry bertumpu pada pinggiran box bayi Ajen yang beberapa minggu lalu diberi oleh Mas Aryo. Jika dilihat keseluruhan isi kamar Ajen, hanya ada beberapa barang yang mereka beli dengan uang sendiri. Sisanya? Kado dari teman-teman Angel dan keluarganya.

“Mas Jerry,” gumam gadis itu sembari menatap suaminya dari balik pintu.

Terakhir kali Angel melihat suaminya menangis seperti ini adalah malam setelah Ibu panti meninggal. Entah Jerry yang tidak pernah menangis atau ia terlalu malu menunjukkan sisi lemahnya pada Angel.

“Ajen nggak malu kan punya orang tua kayak Papa? Tapi wajar kok kalo Ajen malu, asal Ajen harus bangga punya orang tua kayak Mama. Ajen harus tau kalo Mama itu hebat. Ajen harus sayang Mama, harus jagain Mama, harus selalu bikin Mama senyum.”

Tidak ada istri yang tidak akan menangis jika mendengar suaminya berkata demikian, apalagi Angel. Bibir bawahnya sudah menjadi sasaran gigit gadis itu untuk meredam tangisnya.

Di balik dinding itu, Jerry juga menangis di depan anaknya. Air matanya penuh oleh rasa bersalah yang selama ini selalu menghantui dirinya. Rasa bersalah karena tidak dapat memenuhi kebutuhan Ajen. Rasa bersalah karena sering mengeluh mengenai biaya anaknya.

“Maafin Papa, Sayang. Maafin Papa.” Suaranya sudah bergetar dan teredam bantal kecil milik Ajen.

Angel yang mendengarnya pun segera menghapus air mata di pipinya dan kembali memakai sandal rumah. Kemoceng di tangannya juga sudah dibiarkan tergeletak di atas ubin.

Gadis itu memasuki kamar Ajen. Tentu Jerry tidak menyadari hadirnya karena lelaki itu masih sibuk dengan isaknya.

Tubuh Jerry menegang kala sang istri memeluknya dari belakang. Usapan di lengan kekarnya justru membuat isak Jerry terdengar semakin pilu.

Lelaki itu berbalik dan menyembunyikan wajahnya di perut sang istri. Angel dapat merasakan jemari Jerry yang meremat dater bagian belakangnya.

Gadis itu meniru apa yang biasa Jerry lakukan pada dirinya ketika ia menangis. Angel membiarkan suaminya menangis di pelukannya. Tangannya menyisir surai Jerry tanpa berkata apa pun.

Kedua sudut bibir Angel terangkat kala mendapati bayi mungil di dalam box sedang menatap punggung Jerry. Tatapan Ajen seakan mengisyaratkan 'Papa, you're the greatest dad!'.

“Maaf, Sayang,” kata Jerry terbata-bata.

“Nggak perlu minta maaf, Mas. Kamu selalu ngasih yang terbaik. We're so proud of you. Kamu itu papa dan suami terbaik buat aku sama Ajen.”

Pelukan Jerry semakin erat. Lalu, ia mengajak istrinya untuk duduk di pangkuannya. Kini wajah Jerry berada di ceruk leher Angel.

Lelaki itu sempat menyesap aroma vanilla dari leher Angel, kemudian berjanji, “I'll do my best, Angel.”

“You did, Mas,” jawab Angel.

Gadis itu tersenyum dalam pelukan Jerry. Tangannya menggenggam dan menggoyang-goyangkan lengan mungil Ajen agar si kecil tidak memakan jarinya. Bocah tampan itu pun tertawa kecil, mengira sang ibu sedang mengajaknya bermain.

image

“Eh, Ajen bangun lagi?” tanya Jerry saat mendengar tawa imut anaknya.

“Dari tadi dia liatin kamu nangis, Mas.”

Wajah lelaki itu langsung merah padam saat menyadari ada makhluk kecil yang menatapnya. Ah, rasanya malu sekali.


@guanhengai, 2022.