84.
Satu fakta umum yang seharusnya sudah kalian ketahui, bahwa manusia pandai bersandiwara. Terkadang, apa yang terlihat hanya sebagian kecil dari hidup manusia.
Anak kecil selalu jujur, kata siapa? Raga yang belum genap berusia empat tahun ternyata begitu pandai menyembunyikan luka.
Mereka memang akan berkata jujur jika si dewasa memberi pertanyaan, namun lebih banyak mengurung rahasia yang akan membuatnya terlihat lemah jika terungkap.
Maka, jangan heran jika mereka banyak ditemukan tergeletak dengan banyak goresan di tangan. Ada juga yang selalu mengumbar tawa guna menutupi kesedihan. Sekali lagi, manusia pintar bersandiwara.
Praha selalu melihat anaknya sebagai bocah kecil imut yang pintar dan supel. Beberapa kali lelaki itu mengikuti pertemuan keluarga, Raga selalu menjadi pusat perhatian saudara-saudaranya. Meski hanya melihat dari jauh, ia yakin duplikat dirinya selalu menikmati waktu bersama anak-anak lain.
Praha masih tidak habis pikir dengan apa yang ia lihat hari ini. Ketidakadilan yang dialami Raga sungguh menyesakkan dirinya. Waktu seakan kembali menarik dirinya ke masa lalu, di mana Praha kecil diejek oleh teman-teman karena tidak memiliki ayah.
Tapi, kali ini apa? Apa alasan mereka mendiskriminasi anaknya? Raga memiliki orang tua lengkap.
Tangan kecil yang sedang menahan botol susu kini dibelai lembut oleh sang ayah. Berbaring di samping Raga adalah kebiasaan yang tidak pernah terlewat setiap harinya.
“Raga, anak Papa yang paling pinter,” ucapnya masih dengan meneliti setiap pori wajah sang anak.
“Papa, Papanya Laga yang paling kelen!” jawab anaknya sedikit tak jelas karena mulut masih dipenuhi dot. (Translate: Papa, Papa Raga yang paling keren!)
Aira baru saja memasuki kamar mereka dan langsung melewati anak-ayah yang sedang bermesraan di atas kasur. Gadis itu memasuki kamar mandi dan mulai menyalakan keran.
Tiap kali melihat senyum Raga, Praha justru semakin merasa bersalah. Ia langsung merengkuh anaknya, melantunkan lagu pujian sekolah minggu yang selalu Raga nyanyikan.
“Papa, lagi!” sorak anak itu ketika lagunya selesai.
Praha tertawa kecil, lalu kembali mengulang lagu itu dari awal. Dari terbit matahari, sampai pada masuknya Biarlah nama Tuhan dipuji Dari terbit matahari, sampai pada masuknya Biarlah nama Tuhan dip ...
Suaranya berhenti saat menangkap Raga menatap dalam dirinya. Manusia memang jago bersandiwara, tetapi mata selalu menyiratkan banyak kejujuran. Sayangnya, tidak semua orang mampu kelihat jujur di balik tatap.
“Raga kenapa liatin Papa kayak gitu, Nak?” tanyanya.
Raga kecil tersenyum, kemudian merentangkan tangan mungilnya. “Peyuk!”
Kedua alis Praha sempat terangkat, namun segera ia normalkan ekspresinya saat air wajah sang anak mulai berubah.
“Sini sini ... Raga kalo mau peluk Papa kan tinggal peluk,” tuturnya seraya mengangkat tubuh kecil itu ke atas dadanya.
Wajah kecil berpipi gembul itu langsung bersembunyi di balik ceruk leher Praha. Sedangkan, tangan ayahnya setia menepuk pantat yang dilapisi pampers itu.
“Tadi bekal yang dibawain Mama enak nggak, Sayang?”
Anggukan cepat Raga adalah jawaban atas pertanyaan papanya.
“Emang tadi Mama bawain apa?”
Kepala anak kecil itu mendongak, menatap wajah Papa yang sedari tadi memberinya pertanyaan.
“Tadi Laga bawa telung pake cocis, enaaakkk!” Salah satu jempol mungilnya terangkat, membuat Praha tertawa gemas. (Translate: Tadi Raga bawa telur pakai sosis, enaaakkk!)
Setelah meletakkan botol susu yang sudah kosong di nakas, Praha kembali menepuk pantat anaknya. Sebenarnya, pertanyaan tadi bukan hanya basa basi untuk membuat anak kecil di dadanya ini berbicara.
“Kalo temen-temen Raga bawa makan apa ke sekolah?”
Ya, itu hanya 'gerbang' menuju pertanyaan inti.
Persis seperti dugaan Praha, anaknya terdiam seketika. Netra bulat itu langsung memancarkan kesedihan. Jika boleh jujur, Praha pun tidak tega melihat Raga yang seperti ini.
“Raga?” panggil lelaki itu lagi.
Anaknya hanya menggeleng sembari melengkungkan bibirnya ke bawah. Ia tahu Raga sedang menahan tangisnya, sesuatu yang seharusnya tidak perlu dilakukan. Baik anak kecil maupun dewasa, menangis adalah hak.
“Kenapa Raga nggak pernah bilang ke Papa kalau di sekolah nggak pernah makan bareng temen-temen? Hm?”
Runtuh. Runtuh sudah benteng anak kecil itu. Tangisnya pecah dipelukan sang ayah. Praha yang biasa hanya berusaha menenangkan anaknya kini ikut terluka mendengar isak Raga.
“K-kata Eca, Laga nggak punya tas ama cepatu bagus. L-laga juga nggak pelnah b-beyi esklim di sekoyah, dadi temen-temen nggak mau temenin Laga.” ucap bocah itu dengan napas tersendat karena menangis. (Translate: Kata Echa, Raga nggak punya tas sama sepatu bagus. Raga juga nggak pernah beli es krim di sekolah, jadi temen-temen nggak mau nemenin Raga.)
Speechless.
Echa adalah salah satu anak dari kerabat Aira. Gadis kecil berusia lima tahun itu adalah salah satu sepupu yang dekat dengan Raga. Bahkan, Echa beberapa kali mengajak Raga bermain ke rumahnya.
Bagaimana mungkin anak sekecil itu dapat berucap demikian?
“Kamu lupa sama mamanya Echa? Sepupuku yang punya anak karna 'kecelakaan' juga?”
Ternyata, Aira sudah keluar kamar mandi sejak Raga menangis di pelukan Praha. Fakta tentang gadis kecil bermulut pedas sudah tidak mengejutkan Aira. Sama seperti mamanya, Echa pun senang mengganggu orang lain.
“Ya terus? Kenapa anaknya ngomong gitu ke anakku?” tanya Praha sembari menenangkan Raga.
“Karna Raga lebih beruntung dari Echa. Raga masih punya kamu, tapi papanya Echa pergi gitu aja. Dia cari kekurangan Raga buat bikin anak-anak lain ngejauhin Raga. Satu-satunya ya itu.”
“Gila ya? Masa anak kecil udah diajarin kayak gitu? Nggak mendidik banget. Kalo belum siap ngurus anak nggak usah bikin anak!”
Omelan Praha membuat Aira terkekeh pelan, “emang dulu kita siap, Mas?”
Pertanyaan yang keluar dari mulut Aira terasa menusuk dada Praha. Tak ada kebohongan sedikit pun di sana, tetapi mengapa terlalu menyesakkan?
Praha ingat. Itu adalah alasan yang ia gunakan untuk melenyapkan Raga.
@guanhengai, 2021.