86.

Rhei butuh waktu 24 jam untuk mempersiapkan diri di agenda makan bakso bersama Gerald. Selepas pulang dari rumah sakit kemarin, gadis itu langsung berdiam diri di kamar dan membongkar seluruh isi lemarinya. Namun, pilihan Rhei tetap jatuh kepada boyfriend jeans dan crop top yang sering dia kenakan. Beruntung ada Bang Raden yang bersedia memperbaiki penampilan Rhei.

“Nggak perlu heboh, yang penting lo jangan malu-maluin,” ucap Bang Raden lima jam sebelum mereka bertemu.

Kini Rhei sedang membawa tubuhnya menuju gerobak es krim Pak Gus. Senyum lebar bersemi di wajah manisnya sejak turun dari motor besar Gerald. Pujian sang tuan mengenai makan siang pertama mereka akan terpatri permanen di dalam benak dan hatinya. Terlebih, Gerald berjanji untuk mengajak Rhei berburu makanan lain di Daerah Istimewa ini.

“Woy! Ngelamun mulu! Kesambet wewe gombel baru tau rasa.”

Ekspresi riang Rhei berubah menjadi kesal. Lengan Dylan yang bertengger di bahunya pun langsung ditepis. Entah sudah berapa ribu kali Rhei berharap Tuhan memberi kesempatannya untuk memutar waktu. Sungguh, Rhei akan mencoret Dylan dari daftar pertemanannya.

Hampir lima belas tahun mereka bersama. Dua bocah SMP yang dulu sibuk berebut gorengan di depan sekolah sudah bertumbuh menjadi dua Psikolog hebat di rumah sakit besar di Yogyakarta. Rhei tidak pernah menyangka jika rekan OSISnya semasa SMP akan menjadi temannya hingga dewasa.

“Gimana first date sama Gerald? Lo bikin malu apa?” tanya Dylan setelah lengannya berhasil melingkari bahu temannya.

“It was sooooo good. Sumpah, ternyata dia nggak sekaku itu, Dyl! Ya, walaupun cara ngomongnya nggak berubah. Tapiiiiii, gue nggak kapok jalan sama dia. Malah candu,” jelas Rhei.

Tangan Dylan menoyor kepala temannya hingga sang gadis mengaduh kesal. “Jangan berlebihan, biar dia nggak ilfeel,” ucap lelaki itu.

“Ya, ya, ya,” jawab Rhei malas.

“By the way, ngapain lo ngikutin gue?” tanya gadis itu lagi, kali ini disertai tatap sinis.

“Idih! Siapa yang ngikutin lo? Gue ke sini mau beli es krim cokelat!” pekik Dylan seraya berlari mendahului temannya.

“ENAK AJA! JATAH GUEEE!” balas Rhei sembari ikut berlari.

Pak Gus yang melihat tingkah kedua manusia dewasa itu hanya menggeleng. Beliau menunduk dan memastikan bahwa masih ada es krim cokelat untuk pelanggan setianya. Senyumnya mengembang saat melihat balok es yang terbungkus kertas kado berwarna biru.

“Yesss! Itu punya saya kan, Pak?” tanya Rhei antusias.

“Lho? Tadi yang nyampe duluan kan Mas Dylan,” jawab Pak Gus.

Rhei menurunkan bahunya, mengubah ekspresi menjadi amat lesu. “Oh, jadi sekarang Pak Gus lebih sayang sama Dylan?”

“Emang Pak Gus pernah sayang sama lo?” goda lelaki berkaos hitam di samping Rhei.

Plak!

“ANJIR! Sakitttttttt!” pekik Dylan sembari mengusap lengan yang baru saja dipukul oleh temannya.

“Pak, buat saya aja, ya?” Gadis itu masih berusaha membujuk sang penjual.

“Buat dia aja, Pak. Takutnya kos saya rubuh kalo dia ngamuk!” celetuk Dylan.

“Hahaha! Iya, iya. Ini memang buat Mbak Rhei. Mas Dylan kan sukanya rasa kacang hijau,” ucap Pak Gus disertai tawa pelan.

“Gak ada rasa cabe ya, Pak? Biar mulutnya Dylan bisa diem sebentar,” tutur Rhei setelah menatap tajam lelaki yang sedang menjulurkan lidahnya.

“Nggak ada rasa yang tak terbalas, Pak? Biar Rhei sadar diri sedik-”

PLAKKK!!

“KIMBERHEI ASSHHHYU!”

PLAKKKK!!!

“DYLAN! SAKIT!” pekik Rhei setelah telapak lebar Dylan mendarat di lengannya.

“Sakit, kan? Emang lo pikir gue gak berani bales karna lo cewek? Lo pikir gue bakal diem aja kalo lo siksa kayak gin-”

“Permisi.”

Omelan Dylan terputus oleh suara dari samping mereka. Ketiganya pun langsung menatap ke arah sumber suara. Pria kecil yang tak pernah Rhei lihat muncul di depan gerobak Pak Gus, terlihat membaca tulisan berisi beberapa menu es krim yang beliau jajakan.

Pakaian rapi dari ujung kepala hingga kaki membalut sempurna rupa eloknya. Rambut tebal tersisir rapi, kulit bersih terawat, dan aroma tubuh memikat. Bahkan, Dylan sempat ternganga ketika menyadari style bocah tampan itu lebih keren dibanding dirinya.

“Mau rasa apa, Dek?” tanya Pak Gus ramah meski tangannya masih sibuk memotong es kado rasa cokelat milik Rhei.

“Rasa cokelat ada, Pak?”

Rhei dan Dylan saling menatap, lalu menunggu respon Pak Gus.

“Waduh, baru saja habis, Dek. Ini tinggal satu, sudah dibeli Kakak yang ini,” jawab beliau sembari menunjuk Rhei dengan kelima jarinya.

Netra bocah itu perlahan berpindah. Sepersekon kemudian, Rhei merasa dadanya tertubruk beban. Dia merasa kenal dengan sinar mata anak laki-laki di depannya. Namun, terlalu gila untuk berpikir bahwa sosok di depannya adalah anak Gerald. Lebih baik Rhei berpikir bahwa dirinya terlalu mengagumi Gerald hingga bayangnya menghantui ke mana-mana.

“Ya sudah, saya beli rasa vanila aja, Pak. Ada, kan?” tanyanya lagi.

“Hah? Mirip,” batin Rhei setelah mendengar kalimat tanya yang lebih panjang dari mulut pria kecil itu.

“Eh, nggak usah ganti. Es krimku buat kamu aja,” ucap Rhei diiringi senyum manis.

“Terima kasih, saya rasa vanila aja.”

Kedua mata Rhei membulat sempurna. Ekspresi Dylan dan Pak Bun pun tidak berbeda jauh darinya. Mendengar kalimat tersebut dari seorang anak kecil yang berusia sekitar enam tahun adalah hal yang langka. Bahkan, Rhei sudah siap-siap jika harus berebut es krim dengannya seperti anak-anak lain.

“Nggak apa-apa, nanti aku yang pilih rasa lain.” Rhei masih mencoba untuk menawarkan es krimnya.

“Terima kasih, es krim itu sudah terjual sebelum saya ke sini. Biar saya yang pilih rasa lain,” jawabnya dengan wajah datar.

“Cara ngomongnya mirip seseorang nggak, sih?” bisik Dylan di telinga kiri Rhei.

“Hmmm,” respon gadis itu.

“Mbak Rhei, ini es krimnya.” Pak Gus mengulurkan es berbentuk balok yang sudah dilengkapi tusuk sate untuk pegangan.

“Makasih, Pak,” ucap Rhei setelah memberi satu lembar uang dua ribuan.

“Mas Dylan sebentar ya, saya potongin buat adeknya dulu,” kata Pak Gus yang langsung diangguki oleh lelaki itu.

Rhei menatap sosok kecil yang sedang memperhatikan lincahnya tangan Pak Gus beraksi dengan pisau. Beliau sudah tidak memerlukan penggaris untuk menghasilkan potongan rapi dan simetris.

Dua tusuk sate ditancapkan di salah satu ujung es, lalu kertas kado yang membalutnya di buka. Es krim rasa vanila ditukar dengan selembar uang lima ribu, yang kemudian dikembalikan tiga ribu oleh Pak Gus.

“Terima kasih, Pak. Semoga laris terus ya,” ucap anak lelaki itu sebelum kakinya beranjak dari hadapan mereka.

Mulut Rhei membulat sempurna, hingga Dylan menegurnya. Gadis itu menggeleng cepat, lalu menggigit ujung es krimnya yang mulai meleleh.

“Masih kecil, Rhei. Jangan lo embat!” ledek Dylan.

“Tadi Gerald juga ngomong kayak gitu pas gue habis bayar bakso,” tutur Rhei hampir tak terdengar.

“Hah?”

“Terima kasih, Pak. Semoga laris terus ya,” jawab Rhei mengikuti ucapan anak kecil itu dan juga Gerald.


@guanhengai, 2022.