Extra part; adek cemburu
⚠️ 2k words, bacanya pelan-pelan aja⚠️
Gadis kecil berbalut dress hitam bersandar nyaman di bahu Jerry. Kakinya bergoyang seraya mulutnya mengunyah cookie red velvet. Tangan kirinya yang tidak pernah diam itu memainkan telinga Jerry yang memerah karena panas mentari siang ini.
Seperti biasa, Minggu pagi selalu diawali dengan ibadah di gereja. Setelahnya, mereka sarapan di salah satu kedai nasi uduk dekat perumahan. Si bungsu yang belum terlalu lapar memutuskan untuk mengganjal perutnya dengan cookies yang sengaja Angel bawa dari rumah.
“Adek, sepatunya mau dilepas sendiri atau dilepasin Papa?” tanya Jerry setelah meletakkan sepatunya di rak.
“Minta tolong Papa,” jawabnya tanpa mengalihkan perhatian dari cookie yang tersisa setengah.
“Jiji aja yang lepasin, Pa.” Si jangkung yang kini memasuki semester empat itu melepas sepatu kecil Gege. Jemarinya tak lupa menggelitik telapak sang adik hingga si bungsu terkikik geli. Mata kecilnya menghilang tertimpa pipi gembul, membuat Jiji dan Jerry tertawa gemas.
“Makasih, Kakak!” sorak Gege girang.
“Sama-sama, Cantik,” jawab Jiji setelah menghadiahkan kecupan singkat di pipi adiknya.
Ketiga manusia itu menyusul Angel yang sudah lebih dulu masuk ke dalam rumah. Gege yang tidak ingin lepas dari gendongan Jerry pun ikut ke kamar orang tuanya dan berganti pakaian di sana. Sedangkan, Jiji memilih untuk istirahat di kamarnya sendiri.
Putra sulung Jerry belum sampai di rumah karena harus mengantar temannya terlebih dahulu. Hal tersebut membuat Gege merajuk dan terlihat lebih manja dari biasanya. Gadis kecil itu sama tak ingin lepas dari sang ayah karena takut Jerry meninggalkannya seperti Ajen.
Beberapa minggu terakhir, lelaki itu memang terlihat sibuk di kampus. Pelatih teaternya saat menempuh pendidikan S1 meminta Ajen untuk membantunya dalam mempersiapkan pentas seni yang akan digelar di akhir semester. Maka dari itu, waktu bermainnya dengan si bungsu pun berkurang. Bahkan, Ajen yang biasanya menjemput Gege pulang sekolah pun harus beberapa kali digantikan oleh Jiji.
“Adek mau bobok siang di kamar Papa?” tanya Jerry yang langsung diangguki oleh Gege.
“Ini susunya, Dek,” ucap Angel sembari mengulurkan botol pada si kecil.
“Makasih, Mama,” jawab Gege setelah merebut botol susunya.
Tubuh mungil Gege langsung bersanding dengan guling yang tak kalah besar. Netra indahnya menatap pergerakan Angel yang sedang menutup tirai agar sinar matahari tak lagi masuk ke dalam kamar. Jemari kecilnya terus menggenggam telunjuk Jerry agar sang ayah tidak ke mana-mana.
“Masa jari Papa dipegang gini, Dek? Kalo nanti Papa kebelet pipis, gimana?” tanya Jerry sembari mencolek pipi gembul putrinya.
“Eung!” Gege menggeleng cepat, pertanda Jerry tidak boleh ke mana-mana, ke toilet sekali pun.
“Sini, Adek sama Mama aja,” bujuk Angel.
“Sama Papa!” rengek si bungsu.
Lengan kecil yang semula memeluk guling pun berpindah ke lengan kekar Jerry. Ayahnya langsung menyingkirkan guling yang membatasi mereka dan membalas peluk Gege. Ibu jarinya mengusap dahi sang putri untuk membantunya tertidur.
“Ajen baru bawa cewek sekali aja cemburunya kayak gini, gimana kalo dia nikah?” bisik Jerry pada sang istri.
“Ck! Masih lama, nggak usah ngomongin itu dulu!” balas Angel dengan raut kesal.
Jerry terkekeh pelan, lalu menarik lengan Angel agar mendekat ke tubuhnya dan Gege. Ternyata, bukan hanya si bungsu yang tidak siap dengan moment tersebut. Angel pun belum sanggup membayangkan Ajen menggandeng gadis lain selain dirinya dan Gege.
Sinar matahari kembali memasuki kamar Jerry dan Angel, mengganggu tidur siang gadis kecil di atas kasur. Tubuhnya bergerak gelisah, disusul kelopak yang terbuka perlahan.
“Adek udah bangun?”
Suara yang sangat dikenalnya menyapa telinga, membuat Gege menggeser kepala untuk melihat sosok tampan yang berbaring miring di sampingnya. Ajen dengan kaos putih dan celana kotak-kotak sedang tersenyum menyambut si bungsu. Namun, bibir Gege perlahan menekuk ke bawah.
“PAPAAAA!!!” pekiknya sebelum disusul tangis.
“Eh? Kok nangis, Dek? Papa lagi pergi beli makan sebentar,” tutur Ajen panik.
Ia bangkit dari tidurnya untuk memangku dan menenangkan adiknya. Alih-alih tenang, gadis kecil itu justru menangis lebih kencang dan memanggil Jiji. Perut bidang Ajen sempat terkena pukulan dan tendangan Gege saat berusaha memeluk tubuh mungilnya.
“Adek kenapa nangis?” tanya Jiji yang baru saja keluar dari toilet.
“KAKAKKK!” Uluran tangan Gege langsung disambut baik oleh sang kakak.
Kini tangannya melingkari leher Jiji dan tak berniat melepas barang sedetik. Wajah sembabnya bersembunyi di ceruk leher kakaknya karena enggan menatap Ajen. Di balik punggung Gege, Jiji dan Ajen sama-sama mengangkat bahu.
Hampir 15 menit Gege duduk di pangkuan Jiji. Lengannya mulai kram karena si bungsu tidak mau melepas pelukannya meski ia berjanji tidak ke mana-mana. Kepala Gege pun masih setia bersandar di bahu Jiji untuk menghindari abangnya.
“Adek, tangannya Kakak pegel. Bobok di kasur aja, ya? Kakak nemenin Adek kok, janji,” ucap Jiji sembari membelai lembut kepala Gege.
“Nggak mau,” gumam si bungsu.
Hela napas Jiji terdengar sebelum tangannya kembali memperbaiki posisi Gege. Ajen yang masih duduk di sampingnya pun ikut menghela napas dan menggelengkan kepalanya. Sangat janggal karena Gege yang selalu menempelinya justru menjauh seperti ini.
Beberapa menit kemudian, bel rumah mereka berdering. Suara Jerry yang menggelegar pun menyapa pendengaran anak-anaknya. Kepala Gege yang sedari tadi bersandar langsung terangkat dan menatap sang kakak.
“Adek, turun sebentar, ya? Kakak mau bukain pintu buat Mama sama Papa,” ucapnya pada Gege.
“Ikut!” rengek adiknya.
“Gue aja yang buka,” sahut Ajen yang sudah berdiri dan siap beranjak dari kamar Jerry.
Setelah punggung si sulung tak lagi terlihat, Gege baru melepas pelukannya dari leher Jiji. Ia pun turun dan kembali berbaring di kasur. Namun, tangannya tetap meremas ujung kaos Jiji agar sang kakak tidak meninggalkannya. Jiji yang merasa lengannya kebas pun langsung melakukan peregangan.
“Adek kenapa nggak mau ngomong sama Abang?” tanya Jiji setelah ikut berbaring di samping Gege.
“Nggak mau,” jawab Gege pelan.
“Iya, nggak mau kenapa, Dek? Masa Abang didiemin gitu? Kasian loh,” ucap kakaknya.
“Adek nggak mau,” lirih si kecil.
“Oke, oke, oke. Ayok smile dulu.” Gege menggeleng, lalu memeluk lengan Jiji.
Beberapa saat kemudian, langkah kaki terdengar mendekati mereka saat Gege sedang asik memainkan jakun Jiji. Gadis kecil itu langsung menyembunyikan wajahnya di dada sang kakak karena ia sangat hapal suara langkah Ajen. Benar saja, tubuh kekar abangnya menempati kasur kosong di belakang Gege dan telapak hangatnya mengusap kepala si bungsu.
“Adek belum mau liat Abang?” tanyanya yang tak mendapat jawaban dari Gege.
“Kayaknya dia marah karna lo nganterin Kak Marsya pulang,” celetuk Jiji setengah berbisik.
“Kan gue udah izin?” tanya Ajen bingung. Jiji mengangkat bahunya, lalu menepuk-nepuk punggung Gege.
Ajen lagi-lagi menghela napas kasar. Lelaki yang kini sedang menempuh pendidikan S2 itu pun mengusap kasar wajahnya. Punggungnya bersandar di kepala kasur sembari netranya menatap sendu sang adik.
“KAKAK!! TOLONG BANTU MAMA DI DAPUR!!”
“Ya Tuhan! Papa tuh kalo teriak bikin telinga budeg!” cibir Jiji kesal.
Saat dirinya berniat menghampiri sang ayah, Gege menahan lengannya. Jiji menatap adiknya dan tersenyum, lalu mengusap kepala Gege. “Tadi Adek denger Papa panggil Kakak, kan?” tanyanya lembut.
“Ikut,” pinta Gege disertai tatap memohon.
“Adek di sini aja, ya? Sama Abang tuh.”
“Ikuuttt!” Kini Gege sudah mulai memaksa.
“Udah, tinggalin aja,” tutur Ajen sembari menahan tubuh adik bungsunya.
“KAKAAKK!! IKUUUTTT!!” Tangisnya kembali pecah saat punggung Jiji sudah menghilang sempurna.
Ajen memeluk Gege meski harus terkena pukulan dari adiknya. Setelah beberapa menit meronta, akhirnya tenaga Gege kalah oleh lengan kekar abangnya. Tubuh mungilnya didekap sempurna oleh si sulung dan kepalanya bersandar di bahu Ajen. Meski begitu, ia belum mau berbicara dengan abangnya.
“Adek kenapa marah sama Abang? Hm?” tanya Ajen saat adiknya sudah tak lagi menangis.
“Adek marah kalo Abang main sama Kak Marsya?” Setelah menyelesaikan pertanyaannya, Ajen mendengar gumam kecil Gege.
“Emangnya Adek nggak suka sama Kak Marsya?” tanyanya lagi, kali ini direspon gelengan oleh Gege.
“Kenapa Adek nggak suka sama Kak Marsya?”
“Suka,” jawab Gege hampir tak terdengar.
“Oh, suka. Terus? Kenapa Adek marah pas Abang nganterin Kak Marsya? Masa Kak Marsya disuruh pulang sendiri, Dek?”
Gege menggeleng pelan. “Abang nggak jemput Adek,” ucapnya.
Ajen merasakan air mata Gege menembus kaos bagian bahunya. Lelaki itu menghela napas panjang. Ternyata, adiknya marah karena ia absen menjemput dirinya seusai pulang sekolah. Bukan hanya sekali, tetapi hampir tiga kali dalam seminggu.
Ajen mendorong pelan tubuh kecil Gege, lalu menangkup pipi gembulnya yang penuh air mata. “Maafin Abang ya, Dek.”
“Abang nggak temenin Adek main di taman,” tuturnya lagi.
“Iya. Abang minta maaf karena akhir-akhir ini nggak sering jemput Adek, nggak nemenin Adek main, nggak ajak Adek jalan-jalan.”
Gege tidak merespon dengan angguk maupun gelengan. Ia hanya menatap abangnya sembari air mata terus mengalir. Ibu jari Ajen terus mengusap air mata yang membasahi pipi Gege, tetapi tetesan lain langsung membasahinya lagi.
“Abang nggak bisa janji buat jemput Adek setiap hari, nemenin Adek main setiap sore, atau ajak Adek jalan-jalan setiap hari Sabtu. Abang lagi siapin pentas seni, Dek. Kayak pas Adek nonton Abang di panggung, inget kan?” tanyanya yang langsung diangguki oleh Gege.
Siapa yang dapat melupakan tampannya seorang Radjennar Noah Juanda Suharjo berbalut kostum pangeran dan berdialog di atas panggung? Bahkan, petugas yang mengatur lighting panggung pun tak mampu menghapus bayangan mengenai sempurnanya Ajen malam itu.
“Abang nggak bisa main sama Adek bukan karena Abang main sama Kak Marsya, tapi karena Abang harus latihan buat pentas. Nanti Adek bisa nonton, kalo Adek mau.”
“Abang jadi prince?” tanya Gege antusias.
“Enggak, Sayang. Abang nggak tampil, tapi Abang jadi pelatihnya.”
“Pelatih apa?”
“Ya yang ngelatih orang-orang buat pentas, Dek. Jadi, Abang harus nungguin pas mereka latihan, harus ngarahin mereka biar pertunjukannya bagus, harus negur kalau ada yang salah, harus support kalau mereka capek.”
Gege langsung menubruk dada Ajen dan memeluk leher abangnya. “Abang keren,” gumam si kecil.
Ajen yang mendengar pujian dari adiknya pun terkekeh pelan. “Makasih, emang Abang keren. Jadi? Sekarang Adek udah nggak marah sama Abang, kan?”
“Marah,” jawab Gege.
“Loh? Kok masih marah?”
“Kenapa Kakak Marsya ikut ke gereja?” tanya Gege.
Minggu-minggu sebelumnya, Ajen selalu memangku dirinya di kursi tengah mobil mereka. Namun, tadi pagi abangnya memilih berangkat dengan motor besarnya dan muncul bersama seorang gadis cantik. Tentu Gege merasa terkhianati.
“Hahaha! Adek, Kak Marsya emang gerjanya di situ, sama kayak kita.”
“Adek nggak pernah liat.”
“Iya, karena Kak Marsya biasanya gereja sore. Lagian, Adek kan di sekolah minggu, pasti nggak ketemu dong.”
“Kenapa tadi Kakak Marsya gereja pagi?”
Otak Ajen mulai tersendat seiring pertanyaan adiknya menjalar ke mana-mana. Tidak mungkin ia menjelaskan bahwa dirinya sedang dalam misi pendekatan. Tidak mungkin juga ia berbohong bahwa itu hanya sebuah kebetulan.
“Oh, soalnya Kak Marsya udah terlanjur mandi pagi.”
Itu adalah jawaban terbodoh yang pernah Ajen lontarkan pada si bungsu. Kening Gege terlihat mengerut dalam setelah abangnya menyelesaikan kalimat barusan. Namun, ia tak ingin pusing-pusing memikirkan kakak cantik yang 'merebut' abangnya.
“Gini deh. Gimana kalo Abang jemput Adek setiap hari Rabu sama Jumat? Soalnya Abang latihan agak sore di hari itu. Terus, Abang nemenin Adek main setiap hari Minggu, habis pulang gereja. Deal?”
“Tapi nggak mau ada Kakak Marsya,” gumam Gege.
“Iya, Abang nggak ajak Kak Marsya. Cuma Abang sama Adek.”
“DEALLL!!!” pekik Gege girang. Ajen mencubit hidung adik kecilnya, lalu mengecup pipi gembul Gege.
“Adek, Abang mau bilang sesuatu sama Adek,” kata Ajen serius.
Netra bulat Gege mantap abangnya penuh antusias. Senyum manis sudah terpatri di wajah cantiknya, pun jemari kecil Gege menjelajahi setiap inci rupa tampan Ajen.
“Walaupun nanti Abang jarang main sama Adek, Abang nggak bisa jemput Adek sekolah, Abang nggak ke gereja sama Adek, atau Abang pergi ke luar kota gantiin Papa, Adek tetep adeknya Abang. One day, Abang bakal tinggal di rumah Abang sendiri, entah itu jauh atau deket dari Adek. Tapi, di mana pun Abang berada, Abang tetep abangnya Adek. Adek nggak perlu takut kalo Abang diambil orang lain. Sayangnya Abang ke Adek nggak akan pernah berubah. Abang selalu sayang sama Adek.”
Ia sadar waktu bermainnya dengan Gege tersita begitu banyak karena kegiatannya di kampus dan kantor. Jika memungkinkan, Ajen ingin meminta waktu tambahan pada Tuhan. Namun, semua manusia hanya diberi 24 jam dalam sehari. Meski waktunya tak lagi penuh untuk Gege, Ajen ingin adiknya tahu bahwa rasa sayangnya akan selalu penuh sampai kapan pun.
Air mata Gege mengalir saat netranya mengedip. Gadis kecil itu memeluk abang kesayangannya dan mengucapkan bahwa ia juga menyayangi Ajen. Punggung kecilnya diusap oleh Ajen. Hangat. Gege berharap kehangatan ini tak kunjung berakhir. Ia ingin abangnya selalu ada di sampingnya untuk waktu yang panjang.
“So? Sekarang masih marah sama Abang atau enggak?” tanya Ajen memastikan.
Gege menggeleng cepat. “Tapi Adek mau es krim,” jawabnya.
“Yahhhh, masa ada syaratnya? Adek lebih sayang sama Abang atau es krim?”
“ES KRIMM!!!”
“Ya udah deh, nanti Abang main sama Kak Marsya aja.”
Lengan Gege langsung melingkari leher Ajen. “Sayang Abang! Tapi Adek mau es krim.”
Ajen tertawa puas, lalu menggendong tubuh kecil adiknya menuju lantai bawah. Ia berharap papanya memberi izin pada Gege untuk memakan ice cream Jiji yang masih tersisa di kulkas. Jika tidak, mungkin akan ada drama lagi setelah ini.
@guanhengai, 2022.