Extra part; hati-hati

Rintik hujan masih mengguyur ibu kota sejak pukul tiga sore. Kegiatan bersantai di teras yang biasa keluarga Jerry lakukan pun terpaksa berpindah ke ruang keluarga.

Jerry baru saja kembali dari dapur dengan piring di tangan kanan dan garpu di tangan kiri. Melihat Angel duduk seorang diri di sofa, pria itu segera mendaratkan bokongnya di samping sang istri.

“Mau?” tanyanya sembari menyodorkan satu potongan buah.

“Nggak suka apel,” jawab Angel tanpa memalingkan pandangan dari si bungsu yang sibuk bermain dengan Ponco di karpet.

“Ini pear, Sayang.”

Wanita itu pun membuka mulutnya, lalu mengunyah potongan buah yang Jerry berikan. Matanya seketika membelalak seraya wajahnya berpaling ke arah sang suami. Senyum manis pria di sampingnya merekah sempurna.

“Manis?”

Angel menjawab pertanyaan Jerry dengan angguk cepat. Kedua sudut bibirnya terangkat hingga pipinya mengembung. “MANIS BANGEETT!” pekiknya senang.

Jery buru-buru memasukkan potongan buah ke dalam mulutnya untuk membuktikan pernyataan Angel. Kepalanya ikut mengangguk. Garpu yang sudah kosong kembali menusuk potongan lainnya untuk diberikan kepada sang istri.

“Papa!”

Putri kecil berusia dua tahun berjalan cepat dan merentangkan kedua tangannya. Jerry pun meletakkan piring yang masih berisi potongan pear di samping paha, lalu ikut mengulurkan tangan untuk menyambut Gege.

“Adek mau pear?” tanya Jerry setelah balita itu duduk di pangkuannya.

“Syem!” jawab Gege sembari menutup mata dan menjulurkan lidah kecilnya. (Translate: asem!)

“Enggak, Sayang. Ini manis kok, tanya Mama tuh.”

Mata bulatnya beralih pada sang ibu, lalu menatapnya polos. “Mama, nis?”

“Iya, Dek. Manis, enak.”

Mulutnya kemudian terbuka lebar, membuat Jerry dan Angel terkekeh pelan. Pria itu segera memotong pear tersebut menjadi lebih kecil, lalu memasukannya ke mulut Gege dengan jari.

“Enak, kan?” tanya Jerry setelah melihat putrinya mengunyah.

“Enyak! Au yagi!” (Translate: Enak! Mau lagi!)

Ekspresi gemas Gege mengundang tawa Angel dan Jerry. Mereka pun menghabiskan sisa potongan buah dingin itu.

Pear manis di atas piring tersisa dua buah ketika Ajen dan Jiji berlari menuruni anak tangga. Si bungsu dalam pangkuan Jerry langsung bersorak ketika melihat mainan di tangan Ajen. Tubuh kecilnya merosot perlahan, lalu berlari kecil menuju kedua kakaknya.

“Adek, jalannya pelan-pelan aja,” ucap Ajen saat Gege menubruk betisnya.

Tubuh mungil berbalut dress dan cardigan itu langsung diangkat oleh Jiji, kemudian berjalan di belakang Ajen menuju ruang keluarga.

“Mainan baloknya nggak ada, Ma.” Pemuda itu meletakkan mainan Gege dan duduk di atas karpet.

“Ya udah, main itu aja. Makasih udah ambilin mainannya Adek, Bang,” jawab Angel yang direspon angguk dan senyum.

“Abang mau pear, nggak?” tawar Jerry seraya menyodorkan garpunya.

Putra bungu mereka pun merangkak ke arah sofa, lalu melahap potongan buah yang Jerry berikan. Responnya sama persis seperti Angel, netranya menggaris berbentuk bulan.

“Mau juga!” pekik Jiji setelah menurunkan Gege dari gendongannya. Remaja itu ikut merangkak dan berlutut di samping Ajen.

“Wah! Manis banget!” pekiknya setelah potongan pear terakhir masuk ke dalam mulutnya.

“Papa! Adek!” Si kecil ikut merangkak dan membuka mulutnya.

“Yah? Udah habis, Dek. Maaf, ya. Besok kita beli lagi, okay?” tanya Jerry sembari mengusap pipi gembul putrinya.

Bibir mungil Gege melengkung ke bawah, mata bulatnya mulai berair. Jerry yang melihat hal tersebut pun langsung mengangkat tubuh anaknya. Telapaknya masih terlihat besar kala bersanding dengan punggung Gege.

“Pearnya udah habis, Sayang. Besok lagi, ya? Besok Papa ajak Adek beli buah deh,” tutur pria itu.

Gege yang mendapat janji menggiurkan itu pun langsung tersenyum. Tubuhnya lagi-lagi merosot dari pangkuan Jerry dan berjalan cepat ke arah mainan yang sudah dibawa oleh Ajen. Kedua kakaknya juga ikut berpindah untuk menemani si bungsu bermain.

“Anakmu tuh, pinter banget actingnya,” tutur Jerry pada sang istri.

“Loh? Kan kayak kamu, Mas. Banyak drama!” sembur Angel. Pria itu langsung terkekeh, kemudian menarik tubuh wanitanya ke dalam rangkulan.

image


Hujan sudah berhenti sempurna, Jerry dan Angel memutuskan untuk mengepel teras dan balkon. Mereka membiarkan ketiga anaknya bermain di ruang keluarga agar tidak berkeringat.

Gadis kecil berpipi gembul di atas karpet terlihat sibuk menyusun stacking toys, sedangkan Ajen dan Jiji mengawasinya dari samping. Mainan berbentuk seperti donat itu harus disusun mulai dari yang terbesar hingga terkecil.

Awalnya, Gege terlihat senang dan menikmati permainannya. Namun, sepertinya si bungsu mulai kesulitan menyusun donat-donat itu sesuai urutan yang benar.

“Mau Kakak bantu?” tanya Jiji sembari mencolek menggenggam gemas lengan Gege.

Alih-alih mengangguk, adiknya justru menarik tangan hingga genggaman sang kakak terlepas. “Eung!” geramnya seraya menatap tajam Jiji.

“Dih? Judes banget,” tutur sang kakak.

Salah satu sudut bibir remaja itu terangkat. Ia mencolek lengan adiknya yang sedang fokus menyusun mainan. Lagi-lagi Gege hanya menepis dan menatapnya kesal.

“Kak, jangan!” tegur Ajen.

“Dek, Kakak ikut main dong.” Kini telunjuknya menjawil pipi si bungsu.

“MAMAU! Hush hush!” Tangan kecil Gege melambai di depan wajah Jiji. (Translate: Gak mau! Hush hush!)

“Loh? Malah diusir.” Sepertinya ia belum puas mengganggu sang adik. “Adek, Kakak juga mau main,” katanya lagi.

“Eung! Mamau!” Kaki kecilnya menendang tangan Jiji yang berusaha meraih mainannya.

“Kak, jangan diganggu ah! Nanti nangis,” ucap Ajen.

“Adek pelit!” seru Jiji sembari melipat tangannya di depan dada.

Gege yang awalnya tidak peduli pun menengok, lalu menatap datar sang kakak.

“Zion! Kok ngomongnya gitu, sih?” Jika Ajen sudah memanggilnya dengan nama asli, berarti sesuatu yang tidak beres baru saja terjadi.

“Apa?” tanya Jiji bingung.

“Kenapa bilang Adek pelit? Itu kan mainannya Adek, hak dia lah kalo mau main sendiri. Kalo dia nggak ngizinin lo pinjem, harusnya lo tunggu sampe dia izinin, bukan malah ngatain pelit!”

Yang ditegur hanya menatap datar abangnya. Ia pikir Ajen marah karena sesuatu hal yang serius. “Ya udah sih, kan cuma bercanda,” jawab Jiji.

image

“Terus? Menurut lo itu lucu?”

“Apaan sih, Bang? Lebay deh.”

“Minta maaf!” perintah Ajen.

Tak mau memperpanjang masalah, remaja bertubuh jenjang itu pun mengulurkan tangan ke arah Gege. “Maaf ya, Dek,” tuturnya.

Si kecil tidak menatap Jiji sama sekali. Tubuhnya justru bergeser mendekati Ajen hingga kepalanya bersender di lengan abangnya.

“Adek, Kakak mau minta maaf tuh sama Adek,” ucap Ajen pelan.

Gege menatap abangnya, lalu mengerutkan bibir. Tetes demi tetes air mata mengalir dari netranya. Ajen yang menyadari hal tersebut pun langsung memeluk tubuh mungil adiknya. Tangis Gege pecah di dada sang abang.

Tatapan Ajen menusuk dada Jiji dan membuat remaja itu langsung menunduk. Kuku ibu jarinya menggaruk telunjuk, menandakan remaja itu merasa tidak nyaman.

Telapak hangat Ajen tak henti mengusap punggung kecil adiknya. “Shhh shhh shhh.”

Butuh waktu cukup lama hingga si kecil berhenti menangis. Hidung dan telinganya memerah, pun netranya membengkak karena tangis. Ajen mengusap bercak air mata di pipi Gege, kemudian mengecup keningnya.

“Adek udah tenang?” tanya Ajen yang langsung direspon angguk pelan.

“Udah mau ngomong sama Kakak atau belum?” tanyanya lagi, tetapi kali ini mendapat gelengan dari adiknya. Ajen pun menatap Jiji, mengisyaratkan untuk menunggu sebentar lagi.

Sembari menunggu si bungsu menenangkan diri, Jiji mencoba untuk meraih telapak kaki Gege. Senyumnya mengembang saat tidak ada penolakan dari sang adik.

Beberapa saat kemudian, jemari Jiji menari di telapak Gege dan membuat sang empunya terkikik geli. Kepala yang tadinya bersandar di dada Ajen pun mulai menjauh dari tubuh abangnya, lalu berusaha menyingkirkan tangan Jiji.

“Kakak! Giyi!” protes Gege seraya tertawa lucu. (Translate: Kakak! Geli!)

Alih-alih berhenti, Jiji justru semakin menggelitik adiknya. Kini pinggang dan ketiak Gege yang menjadi sasaran sang kakak. Tawa kecilnya menggelegar hingga wajahnya merona padam.

Tangan yang tadinya memeluk erat Ajen pun mulai terlepas perlahan. Tubuh mungilnya kini berpindah ke pangkuan Jiji tanpa ia sadari.

“Kak, udah. Nanti dia cegukan lagi,” tutur Ajen.

Jiji mengangguk dan memeluk Gege yang masih mencoba menghentikan tawanya. Ketika gadis kecil itu sudah tenang, Jiji memberi gelas berisi air mineral. Beberapa mili meluncur sempurna melewati tenggorokan Gege.

image

“Maafin Kakak ya, Dek,” ucap remaja itu.

Si bungsu menatap polos kakaknya, lalu memeluk leher Jiji. “Kakak,” gumamnya.

Jiji mengusap punggung kecil Gege, lalu mengecup pipi gembulnya. “Adek maafin Kakak atau enggak?” tanyanya yang langsung diangguki oleh Gege.

“Makasih,” jawabnya seraya mempererat pelukan di tubuh sang adik.

Ajen tersenyum melihat kedua adiknya dalam posisi seperti itu. Jiji terlalu sering menggoda Gege hingga si bungsu menangis. Namun, setelah mereka saling meminta maaf, so sweetnya melebihi Angel dan Jerry ketika menampilkan adegan romantis.

“Akh! Adek! Masa telinganya Kakak dimakan? Ih, basah!” geram Jiji sembari mendorong sedikit tubuh adiknya agar pelukan di lehernya terlepas.

Gege tertawa geli melihat ekspresi frustrasi kakaknya. Telapak mungil si bungsu memainkan telinga Jiji yang sudah berlumur salivanya. Ajen hanya menggelengkan kepala. Ternyata, kedua adiknya sama-sama jahil.

“ABANGG!!! TOLONG AMBILIN EMBER DI KAMAR MANDI!!!” Suara Jerry tiba-tiba terdengar dari teras depan.

“Ish! Papa kalo teriak satu kampung bisa denger,” cibir Jiji.

“Ya udah, gue ke depan sebentar,” ujar Ajen sembari bangkit dari duduk.

“Babang!” panggil Gege seraya mengulurkan tangannya.

Pemuda itu membungkuk, lalu menyisir surai sang adik. “Sebentar ya, Dek. Abang mau bawain ember buat Papa. Adek main sama Kakak dulu, ya?”

Si kecil pun mengangguk, lalu kembali memeluk leher Jiji. Kepalanya bersandar di bahu lebar sang kakak dan bergumam kecil.

“Thank you,” ucap Jiji sebelum abangnya benar-benar beranjak.

Ajen mengangguk. “Lain kali lebih hati-hati kalo ngomong. Apa yang lo pikir nggak penting bisa aja nyakitin orang lain, termasuk anak kecil. Mereka bakal inget sama kata-kata lo sampe gede,” tutur pemuda itu sebelum pergi meninggalkan kedua adiknya.

image


@guanhengai, 2022.