28.
Kedua tungkai Jerry membawa raganya memasuki cafe bernuansa klasik. Arloji kuno pemberian sang ibu menunjukkan pukul dua belas lewat sepuluh, masih ada lima menit untuk menenangkan debar jantungnya. Di balik wajah datar, jemarinya meremat kuat tas selempang berisi seragam kerja. Tak pernah terbayang jika ajakan seorang wanita berhasil melenyapkan kewarasannya.
“Jerry?” Ia hampir terhuyung dan menabrak sebuah pot bunga. Kedua tangannya direntangkan guna menjaga keseimbangan, sedang netranya sibuk menatap gadis cantik dengan tatapan tajam yang beberapa detik lalu memanggil namanya. Gaya duduk bersandar dengan kaki kanan bertumpu kiri dilengkapi secangkir minuman yang tersisa setengah pertanda ia sedang menunggu seseorang.
Setelah menegakkan tubuhnya, Jerry membalas sapa itu dengan anggukan dan senyum tipis. “Apakah anda mengenal saya?”
Salah satu alis sang gadis terangkat, ia membalas, “Gue Angel.”
Raut terkejut sangat jelas tercetak di wajah tampan Jerry. Kulit putihnya perlahan memperlihatkan semburat merah, terlebih di kedua telinganya. Dengan sedikit mengalihkan wajah, lelaki itu merutuki kebodohannya.
“Astaga, ternyata masih muda. Gue udah terlanjur manggil tante, gimana dong?” Batin Jerry.
“Mau berdiri terus?” Sekali lagi, Jerry berusaha mati-matian untuk memenangkan kembali kewarasannya. Ia berdeham sembari memasukkan tangannya ke saku celana. Ia gugup, sangat gugup.
Angel memperhatikan detail tingkah Jerry. Benaknya terus mengagungkan sosok yang kini duduk di hadapannya. Bagaimana mungkin kaos putih sederhana dan kemeja kotak-kotak yang dibiarkannya tak terkancing terlihat mahal di tubuhnya? Bahkan, celana jeans dengan sobekan di bagian lutut yang biasa membuat Angel ilfeel wraps him perfectly.
Jerry benar-benar beyond her expectation, at least he got very pretty face.
Otaknya memutar kembali pesan Hargi kemarin, 'Yakin manusia tuh?' Ah, sepertinya Angel juga mulai meragukan.
Sudah, cukup. Gadis bersurai hitam itu mengulurkan map merah berisi kertas perjanjian yang sudah dibuatnya serta pulpen bertinta empat.
Jantung si tampan lagi-lagi berdegup lebih kencang. Lelaki itu perlahan mengambil map dengan jemari yang masih membeku. Tatapan intens Angel menciptakan debaran yang semakin tak beraturan.
“Ini kontrak yang udah gue bikin, lo bisa ubah atau tambahin.” Suara Angel mengalun lembut, mencoba menjelaskan apa yang tertulis di sana. Jerry mengangguk cepat tanpa membalas tatapan sang gadis. Ia harus terlihat biasa saja.
Untuk beberapa saat, keheningan menyelimuti mereka. Banyaknya karyawan yang berkunjung ke cafe ini membuat Jerry dan Angel terlihat seperti rekan kerja pada umumnya. Jerry sibuk menyelami aturan dan batasan yang tercetak di kertas HVS, sedang Angel —tanpa Jerry ketahui— sibuk mengalihkan perhatian demi menetralkan irama jantungnya.
“Kontraknya sudah jelas dan cukup untuk saya. Hanya ada satu yang ingin saya ubah.” Jerry menekan salah satu gundukan kecil di ujung pulpen, membuat pipa berisi tinta hitam muncul di bagian bawahnya.
Lelaki itu menatap Angel sebelum bersuara, “Saya hanya butuh bayaran per bulan, jadi tidak perlu apartemen dan motor.” Guratan tinta hitam menutupi sebagian kalimat pada perjanjian di nomor satu.
“What?!” Angel tak mampu menyembunyikan kagetnya.
Keduanya sama-sama terdiam saat netra mereka bertubrukan. Darah dalam tubuh masing-masing berdesir lebih cepat dari sebelumnya, bahkan mampu mengundang bulu kuduk berdiri.
“Ekhem, maksud gue, itu kan udah perjanjian dari awal. Jadi lo terima aja,” lanjut Angel.
Jerry menghela napas, tangan kanannya mengangkat map berisi perjanjian itu, “Kan di sini belum ada tanda tangan kita. Apartemen, motor, dan bayaran bulanan hanya bagian dari promosi anda beberapa hari lalu.”
Satu senyum manis menggiring lesung pipit Jerry yang sedari tadi bersembunyi. Suara berat bak pangeran Disney mampu menghunus relung hati Angel. Sepertinya ia tidak akan menyesali keputusannya untuk menikah kontrak dengan Jerry, meski hanya satu tahun.
“O-okay. Nanti gue ubah perjanjiannya,” tutur Angel yang dibalas anggukkan oleh lawan bicaranya.
“By the way ....” Jerry kembali merampas atensi gadis cantik di depannya.
“Boleh saya minta bayaran sekarang? Untuk satu bulan pertama saja.” Itu pertanyaannya.
“Kalau tidak bisa it's okay, saya tunggu sampai tanggal yang sudah ditentukan.” Tetap saja, Jerry adalah Jerry yang tidak ingin merepotkan orang lain meski dirinya benar-benar membutuhkan uang itu sekarang.
Sempat terpercik raut bingung Angel. Namun, setelahnya ia mengangguk dan mengeluarkan ponsel berlogo apel tergigit. Jarinya menari di atas layar menuju aplikasi tujuannya.
“Nih, tulis nomor rekening lo,” ucap gadis itu sembari memberi ponselnya pada Jerry.
Logo salah satu bank tertera jelas di pojok kiri layar dan kolom kosong di bawahnya haus akan digit. Jerry langsung mengeluarkan ponsel yang berlogo sama dengan Angel, bedanya masih ada homebutton di sana dan terlihat sangat kecil di telapaknya. Lelaki itu nampak mengetik sesuatu dan memastikannya lagi sebelum dikembalikan pada sang pemilik.
“Oke, udah gue transfer.”
“Terima kasih.”
Jerry kembali menyimpan ponselnya di dalam tas. Seragam berwarna biru yang terlipat rapi membuat matanya membulat. Rasa cemas pun singgah kala mata sang lelaki melirik arloji yang melingkar di pergelangan kirinya.
“Sorry, saya harus kembali ke kantor. Waktu istirahat sudah mau selesai,” pamitnya pada Angel yang hanya berbalas tatapan datar.
“Jangan pernah berpikir buat kabur dari gue,” tegas Angel.
Jerry mengangguk pada gadis itu dan mengulurkan tangan kanannya. “Saya duluan, see you.” Lelaki itu kembali memamerkan senyum manis pada gadis yang jiwanya sudah melayang entah ke mana.
Pandangan Angel tak lepas dari punggung kekar Jerry yang semakin menjauh. Awalnya ia ragu untuk mengambil tindakan berdosa ini, namun sepertinya dosa kali ini adalah dosa terindah dalam hidupnya.
Angel masih fokus pada Jerry hingga suara nyaring yang sudah bosan ia dengan menyapa telinganya.
“Udah ilang kali orangnya, masih aja diliatin!”
@guanhengai_2021