guanhengai

Aroma tanah basah sehabis hujan menyeruak. Genangan air masih terlihat di beberapa titik jalanan ibu kota. Sebenarnya, ini adalah waktu yang tepat untuk bermalas-malasan. Namun, tidak untuk sepasang suami istri yang akan kedatangan keluarganya.

Angel dan Jerry sibuk menurunkan belanjaan yang baru saja mereka beli di sebuah toko grosir. Mobil Marcell memang selalu menjadi penyelamat keduanya. Lelaki itu tidak pernah keberatan untuk meminjamkan kendaraannya pada Angel, Jerry, maupun Hergi. Marcell memang sahabat terbaik.

Jerry melirik ke samping, memperhatikan ice cream Angel yang mulai mencair. Ditepuknya pelan bahu sang istri. “Itu ice creamnya dimakan matahari,” celetuk Jerry.

Angel sedikit terkesiap. Segera ia sapu ice cream yang hampir mengenai ibu jarinya dengan lidah. Suaminya yang melihat itu hanya terkekeh pelan.

“Lunasin uang sewanya kapan, Jer?” tanya Angel sembari mengambil salah satu bungkusan plastik di bagasi.

“Nanti, sehari sebelum kita ninggalin apartemen,” ujar Jerry yang diangguki Angel.

Hari ini suasana hati mereka sudah membaik. Dua hari berdebat masalah bayar sewa ternyata cukup melelahkan, terlebih kondisi tubuh Jerry yang baru saja pulih. Angel bersikeras untuk membayar semua biaya sewa apartemen, namun Jerry dengan segala gengsinya menolak permintaan sang istri.

Dua kepala yang teramat keras dipaksa berkompromi. Akhirnya, Jerry mengalah dan membiarkan Angel membayar sewanya. Ia sudah menawarkan 50:50, tetapi Angel tetap pada pendiriannya. Katanya, anggap saja ia sedang memberi hadiah pada keluarganya.

Belanjaan hari ini tidak terlalu banyak. Mereka hanya membeli beberapa barang yang SEHARUSNYA ada di apartemen sepasang suami istri. Beruntung keduanya memiliki otak cerdas, sehingga memikirkan beberapa hal untuk menyempurnakan peran mereka.

“Ck, apaan sih!” gerutu Angel sembari melempar sisa ice creamnya ke tempat sampah.

“Loh? Kok dibuang?” tanya Jerry heran.

Tadi Jerry sudah melarangnya membeli ice cream karena Angel mengeluh tak enak badan tadi pagi. Lelaki itu takut istrinya tertular flu. Namun, Angel tetap mengambil dan membayarnya terlebih dahulu. Anehnya, gadis itu baru saja membuang ice cream yang masih tersisa setengah.

“Males! Lengket semua nih tangan gue,” tutur Angel seraya memamerkan beberapa bekas lelehan ice cream di jarinya.

Mulut Jerry membulat. Mengapa gadis di hadapannya seperti bunglon yang dapat berubah sewaktu-waktu? Lelaki itu segera menarik pelan tas Angel dan mengambil selembar tissue basah di sana.

“Kan bisa dilap, Angel. Kasihan tuh ice creamnya dibuang,” tutur sang suami lembut sembari membersihkan sela-sela jari Angel.

Sejujurnya, sikap Jerry yang seperti ini selalu mengundang letupan aneh di dada Angel. Ia masih seorang gadis normal yang tak mampu menepis rasa suka terhadap lawan jenis. Namun, benteng yang pernah ia bangun rasanya belum rela dihancurkan begitu saja.

Gadis itu menarik paksa tangannya dari genggaman Jerry. Jari lentiknya yang sudah tak memegang ice cream segera mengambil kantung plastik lainnya.

“Lo ke atas aja, biar gue yang bawa.” Jerry mencoba merampas bawaan Angel.

“Nggak usah, gue juga bisa bawa ginian doang,” tepis Angel sembari pergi meninggalkan suaminya.

Lelaki yang masih sibuk mengikat plastik hanya penggeleng pelan. Seperti yang ia katakan tadi, Angel bagaikan bunglon yang dapat berubah sewaktu-waktu. Terkadang gadis itu berperan sebagai ibu yang terlampau perhatian, terkadang manja seperti adik, terkadang bijak seperti seorang sahabat, dan terkadang marah-marah seperti seorang kekasih.

Kedua sudut bibir Jerry melengkung membentuk senyum manis. Ingin rasanya memeluk Angel dan mencubit pipinya karena terlalu gemas. Namun, ia sadar akan posisinya.

Jerry memeriksa ponselnya sebelum menutup pintu bagasi. Ia berharap ada panggilan pekerjaan seperti yang Angel terima beberapa hari silam. Nihil. Tidak ada notifikasi yang bertengger di layarnya.

Alih-alih terpuruk, lelaki itu justru mengerutkan keningnya. Hari dan tanggal yang tertera di layar ponsel membuatnya berpikir.

“Astaga! Pantesan kelakuannya kayak gitu, lagi ada di zona merah ternyata.” Ia menepuk keningnya kala mengingat tanggal tamu bulanan Angel. Sepertinya alarm bulanannya terlewat saat dirinya dalam kondisi tak baik kemarin.

Setelah menyadari hal itu, Jerry memeriksa semua belanjaan mereka. Bahan makanan dan buah sudah dibawa oleh istrinya, berarti barang wajib gadis itu masih di sini. Beberapa detik kemudian, keningnya kembali berkerut.

Tidak ada. Apakah Angel melupakan pembalutnya?

Jerry memutarkan pandangannya hingga menemukan sebuah apotek di ruko apartemen. Ia segera menjinjing semua plastik belanja dan menutup pintu bagasi. Setelah memastikan mobil terkunci, lelaki itu langsung membawa raganya menuju apotek dan membeli sebungkus pembalut yang biasa Angel gunakan.

Menit-menit selanjutnya diisi dengan suara berisik dari dapur karena Jerry sedang menata semua barang di tempatnya, termasuk buah dan bahan makanan yang tadi Angel bawa.

Anehnya, sedari tadi Angel belum keluar dari kamar mandi. Sudah hampir limat belas menit gadis itu mengurung diri di sana. Hal ini sudah biasa terjadi. Perut Angel selalu kram di hari pertama tamunya datang. Namun, ini sudah terlalu lama.

Jerry mengambil satu buah pembalut dan melangkah cemas menuju kamar mandi. Mungkin Angel melupakan barangnya dan menunggu Jerry. Jemarinya berkali-kali mengetuk pintu kayu sembari memanggil nama istrinya. Namun, hanya suara waterflush yang merespon panggilannya.

“Angel, keluar dulu!” panggil Jerry untuk kesekian kalinya.

Ceklek

Senyum lelaki itu terbit kala suara pintu kamar mandi terdengar. Dengan cepat ia mengangkat tangannya, membuat sebungkus pembalut itu berada tepat di depan wajahnya. Ia ingin Angel mengingatnya sebagai suami siaga.

Naas, respon istrinya tidak seindah ekspektasi. Tatapan mematikan Angel kini beradu dengan tatapan bingungnya.

Mulut Jerry terbuka kala istrinya merampas pembalut di tangannya dan digantikan oleh sebuah benda pipih. Gadis itu berlalu tanpa sepatah kata pun, meninggalkan suaminya dengan beribu tanda tanya.

Suara gebrakan pintu menggema, membuat Jerry tersadar bahwa Angel memasuki kamar yang mereka siapkan untuk ibu dan Anne.

Sepersekon kemudian, netranya kembali menelisik benda yang baru saja Angel berikan padanya. Jantungnya berdebar seketika melihat apa yang ada di sana.

“Dua garis?”


@guanhengai, 2021

Aroma tanah basah sehabis hujan menyeruak. Genangan air masih terlihat di beberapa titik jalanan ibu kota. Sebenarnya, ini adalah waktu yang tepat untuk bermalas-malasan. Namun, tidak untuk sepasang suami istri yang akan kedatangan keluarganya.

Angel dan Jerry sibuk menurunkan belanjaan yang baru saja mereka beli di sebuah toko grosir. Mobil Marcell memang selalu menjadi penyelamat keduanya. Lelaki itu tidak pernah keberatan untuk meminjamkan kendaraannya pada Angel, Jerry, maupun Hergi. Marcell memang sahabat terbaik.

Jerry melirik ke samping, memperhatikan ice cream Angel yang mulai mencair. Ditepuknya pelan bahu sang istri. “Itu ice creamnya dimakan matahari,” celetuk Jerry.

Angel sedikit terkesiap. Segera ia sapu ice cream yang hampir mengenai ibu jarinya dengan lidah. Suaminya yang melihat itu hanya terkekeh pelan.

“Lunasin uang sewanya kapan, Jer?” tanya Angel sembari mengambil salah satu bungkusan plastik di bagasi.

“Nanti, sehari sebelum kita ninggalin apartemen,” ujar Jerry yang diangguki Angel.

Hari ini suasana hati mereka sudah membaik. Dua hari berdebat masalah bayar sewa ternyata cukup melelahkan, terlebih kondisi tubuh Jerry yang baru saja pulih. Angel bersikeras untuk membayar semua biaya sewa apartemen, namun Jerry dengan segala gengsinya menolak permintaan sang istri.

Dua kepala yang teramat keras dipaksa berkompromi. Akhirnya, Jerry mengalah dan membiarkan Angel membayar sewanya. Ia sudah menawarkan 50:50, tetapi Angel tetap pada pendiriannya. Katanya, anggap saja ia sedang memberi hadiah pada keluarganya.

Belanjaan hari ini tidak terlalu banyak. Mereka hanya membeli beberapa barang yang SEHARUSNYA ada di apartemen sepasang suami istri. Beruntung keduanya memiliki otak cerdas, sehingga memikirkan beberapa hal untuk menyempurnakan peran mereka.

“Ck, apaan sih!” gerutu Angel sembari melempar sisa ice creamnya ke tempat sampah.

“Loh? Kok dibuang?” tanya Jerry heran.

Tadi Jerry sudah melarangnya membeli ice cream karena Angel mengeluh tak enak badan tadi pagi. Lelaki itu takut istrinya tertular flu. Namun, Angel tetap mengambil dan membayarnya terlebih dahulu. Anehnya, gadis itu baru saja membuang ice cream yang masih tersisa setengah.

“Males! Lengket semua nih tangan gue,” tutur Angel seraya memamerkan beberapa bekas lelehan ice cream di jarinya.

Mulut Jerry membulat. Mengapa gadis di hadapannya seperti bunglon yang dapat berubah sewaktu-waktu? Lelaki itu segera menarik pelan tas Angel dan mengambil selembar tissue basah di sana.

“Kan bisa dilap, Angel. Kasihan tuh ice creamnya dibuang,” tutur sang suami lembut sembari membersihkan sela-sela jari Angel.

Sejujurnya, sikap Jerry yang seperti ini selalu mengundang letupan aneh di dada Angel. Ia masih seorang gadis normal yang tak mampu menepis rasa suka terhadap lawan jenis. Namun, benteng yang pernah ia bangun rasanya belum rela dihancurkan begitu saja.

Gadis itu menarik paksa tangannya dari genggaman Jerry. Jari lentiknya yang sudah tak memegang ice cream segera mengambil kantung plastik lainnya.

“Lo ke atas aja, biar gue yang bawa.” Jerry mencoba merampas bawaan Angel.

“Nggak usah, gue juga bisa bawa ginian doang,” tepis Angel sembari pergi meninggalkan suaminya.

Lelaki yang masih sibuk mengikat plastik hanya penggeleng pelan. Seperti yang ia katakan tadi, Angel bagaikan bunglon yang dapat berubah sewaktu-waktu. Terkadang gadis itu berperan sebagai ibu yang terlampau perhatian, terkadang manja seperti adik, terkadang bijak seperti seorang sahabat, dan terkadang marah-marah seperti seorang kekasih.

Kedua sudut bibir Jerry melengkung membentuk senyum manis. Ingin rasanya memeluk Angel dan mencubit pipinya karena terlalu gemas. Namun, ia sadar akan posisinya.

Jerry memeriksa ponselnya sebelum menutup pintu bagasi. Ia berharap ada panggilan pekerjaan seperti yang Angel terima beberapa hari silam. Nihil. Tidak ada notifikasi yang bertengger di layarnya.

Alih-alih terpuruk, lelaki itu justru mengerutkan keningnya. Hari dan tanggal yang tertera di layar ponsel membuatnya berpikir.

“Astaga! Pantesan kelakuannya kayak gitu, lagi ada di zona merah ternyata.” Ia menepuk keningnya kala mengingat tanggal tamu bulanan Angel. Sepertinya alarm bulanannya terlewat saat dirinya dalam kondisi tak baik kemarin.

Setelah menyadari hal itu, Jerry memeriksa semua belanjaan mereka. Bahan makanan dan buah sudah dibawa oleh istrinya, berarti barang wajib gadis itu masih di sini. Beberapa detik kemudian, keningnya kembali berkerut.

Tidak ada. Apakah Angel melupakan pembalutnya?

Jerry memutarkan pandangannya hingga menemukan sebuah apotek di ruko apartemen. Ia segera menjinjing semua plastik belanja dan menutup pintu bagasi. Setelah memastikan mobil terkunci, lelaki itu langsung membawa raganya menuju apotek dan membeli sebungkus pembalut yang biasa Angel gunakan.

Menit-menit selanjutnya diisi dengan suara berisik dari dapur karena Jerry sedang menata semua barang di tempatnya, termasuk buah dan bahan makanan yang tadi Angel bawa.

Anehnya, sedari tadi Angel belum keluar dari kamar mandi. Sudah hampir limat belas menit gadis itu mengurung diri di sana. Hal ini sudah biasa terjadi. Perut Angel selalu kram di hari pertama tamunya datang. Namun, ini sudah terlalu lama.

Jerry mengambil satu buah pembalut dan melangkah cemas menuju kamar mandi. Mungkin Angel melupakan barangnya dan menunggu Jerry. Jemarinya berkali-kali mengetuk pintu kayu sembari memanggil nama istrinya. Namun, hanya suara waterflush yang merespon panggilannya.

“Angel, keluar dulu!” panggil Jerry untuk kesekian kalinya.

Ceklek

Senyum lelaki itu terbit kala suara pintu kamar mandi terdengar. Dengan cepat ia mengangkat tangannya, membuat sebungkus pembalut itu berada tepat di depan wajahnya. Ia ingin Angel mengingatnya sebagai suami siaga.

Naas, respon istrinya tidak seindah ekspektasi. Tatapan mematikan Angel kini beradu dengan tatapan bingungnya.

Mulut Jerry terbuka kala istrinya merampas pembalut di tangannya dan digantikan oleh sebuah benda pipih. Gadis itu berlalu tanpa sepatah kata pun, meninggalkan suaminya dengan beribu tanda tanya.

Suara gebrakan pintu menggema, membuat Jerry tersadar bahwa Angel memasuki kamar yang mereka siapkan untuk ibu dan Anne.

Sepersekon kemudian, netranya kembali menelisik benda yang baru saja Angel berikan padanya. Jantungnya berdebar seketika melihat apa yang ada di sana.

“Dua garis?”


@guanhengai, 2021

Lalu lalang kendaraan bermotor dan gerobak penjual makanan menjadi pemandangan Angel pagi ini. Gadis berparas cantik yang biasanya masih terkapar bergelung selimut kini tengah menyapu lorong depan kamar kosnya. Bukan tanpa alasan Angel melakukan hal tersebut, melainkan karena manusia yang biasa mengerjakan itu tidak dapat bangkit dari kasur sejak dua hari lalu.

Jerry hanya bangun untuk makan, minum, dan ke kamar mandi ━itu pun tak luput dari bantuan Angel━. Entahlah, mungkin fisik lelaki itu sedang ada dalam masa ringkihnya.

Hari itu ━saat Angel melakukan interview kerja━, langit menggelap seketika dan menumpahkan airnya ke muka bumi. Sudah berkali-kali Angel memaksa Jerry untuk memakai jas hujan, namun lelaki itu tetap memberikannya pada sang istri. Jaket yang menjadi penutup tubuhnya pun dihibahkan ke Angel.

“Gue kuat, tenang aja,” katanya saat itu.

Angel meringis kala mengingat perkataan Jerry.

“Cih! Kuat apanya?” nyinyir sang gadis sembari melirik tubuh suaminya yang masih terlelap di balik selimut.

“Good morning, Sayang ....”

No, itu bukan Jerry.

“Atuy! Jangan manggil gue kayak gitu!” ketus Angel sembari melayangkan sapunya.

“Eh buset, santai aja kali. Sama aja kayak suami lo, barbar!” jawab Atuy disertai candaan.

Lelaki berambut gondrong itu melongok ke dalam kamar Jerry. Salah satu alisnya terangkat kala melihat sang sahabat lemah tak berdaya. “Itu beneran sakit nggak sih?” tanya Atuy masih fokus pada tubuh Jerry yang tidak bergerak.

“Iya. Badannya udah nggak terlalu panas sih, tapi masih nggak mau makan.” Angel mengutarakan keluhannya. Jerry hanya makan di pagi dan malam hari, itu pun hanya beberapa sendok. Huft, padahal biasanya lelaki itu yang akan membantu Angel menghabiskan makanannya.

“Gila! Bisa sakit juga tu bocah,” tutur Atuy yang langsung mendapat lirikan maut dari Angel.

“Namanya manusia, pasti bisa sakit lah.”

“Terakhir kali Jerry sakit tuh lima tahun lalu, pas panti pindahan.” Kalimat Atuy memancing atensi gadis di sampingnya.

Cerita mengenai panti asuhan mereka yang terbakar dan harus pindah ke tempat baru mengalir begitu saja dari mulut Atuy. Sebagai 'tetua' di panti tersebut, mereka bertiga ━Jerry, Atuy, dan Ojon━ bekerja ekstra untuk mengungsikan adik-adiknya.

Jerry yang mereka juluki si gila kerja adalah orang yang paling sibuk ke sana ke mari. Selain membantu pindahan, lelaki itu juga menyelesaikan administrasi rumah yang mereka jadikan hunian. Ah, ternyata Jerry memang selalu melibatkan diri.

“Jadi aneh aja kalo gue liat Jerry sakit gitu, bukan Jerry banget.” Angel mengangguk setuju setelah mendengar cerita Atuy.

“Ya udah, gue kerja dulu ya. Semoga hasil interview lo kemarin bagus!” Atuy melambaikan tangan sembari beranjak meninggalkan gadis itu dengan pel dan embernya.

“Thank you!” balas Angel sebelum Atuy hilang ditelan lorong kos.

Setelahnya, ia segera menyelesaikan kegiatan paginya. Meski terlahir di keluarga berkecukupan, bukan berarti Angel tak pernah menyentuh alat bebersih. Posisinya sebagai anak tengah membuat gadis itu menguasai hampir semua pekerjaan rumah. Hanya saja, jangan pernah percayakan dapur pada Angel. Berperang dengan kompor dan spatula adalah salah satu kelemahannya.

Selang beberapa menit, ia kembali ke kamar kos dan duduk di samping Jerry. Suaminya masih saja tampan meski bibirnya tak semerah biasanya. Lelaki itu mengerutkan dahi kala Angel membasuh beberapa bulir peluh di sana.

“Engh ....” Perlahan tapi pasti, kedua mata indah itu terbuka.

Jerry melirik ke samping, memperhatikan istrinya yang sedang menatap dirinya. Angel terlihat cantik dengan daster rumahan dan rambut yang digulung ke atas, menampakkan leher putih jenjangnya.

“Masih pusing?” Gadis itu pun bersuara.

Jerry memijat keningnya dengan gerakan sangat pelan, “udah nggak terlalu,” jawabnya dengan suara serak khas bangun tidur.

Angel mengangguk, kemudian beranjak dan mengambil segelas air mineral untuk sang suami. Setelah membantu Jerry minum, gadis itu mengambil dompet di laci meja. “Ya udah, gue beli bubur dulu.”

Gerakannya terhenti kala Jerry melingkarkan telapaknya di pergelangan Angel. Bibir lelaki itu mengerucut, lengkap dengan tatapan memohon bak anak anjing mengharap segelas susu.

“Kenapa?” tanya Angel bingung.

“Bosen makan bubur,” jawab Jerry tak enak. Ia tahu ini bukan saatnya mengeluh dan meminta banyak hal. Namun, ia juga tak ingin berakhir memuntahkan makanannya lagi.

“Ya udah, mau apa?”

“Mau soto.”

“Oke, tapi makan yang banyak ya?” Anggukan lucu Jerry membalas pertanyaan sang istri. Kini Angel sudah persis seperti ibu panti yang memaksanya makan agar dapat minum obat.


@guanhengai, 2021

Lelah. Satu kata yang menggambarkan air wajah Jerry saat memasuki kamar kosnya. Tumpukan pakaian kotor dan bungkus makanan ringan membuat lelaki berusia 27 tahun itu menghela napas kasar. Diambilnya satu per satu plastik yang tercecer di lantai sembari menyingkirkan remahan snack yang tertinggal.

Berbeda dengan seorang gadis berbalut piyama merah muda yang sudah terkapar dengan posisi tengkurap. Laptop di hadapannya masih menayangkan sebuah serial drama Korea yang ia tonton tadi. Bantal guling yang diapit pipi dan lengannya mulai basah karena air liur. Perlahan tapi pasti, kedua sudut bibir Jerry terangkat.

Entah sudah berapa kali Jerry merasa kesal pada Angel karena malas membuang bungkus makanannya. Namun, lelaki itu tetap luluh ketika menatap wajah damai istrinya. Bokongnya mendarat pelan di samping Angel agar tidak membangunkan gadis itu.

Merasakan pergerakan di dekatnya, kening sang gadis mulai mengerut. Otaknya kembali bekerja dan memaksa kedua netranya terbuka. Angel menatap sayu suaminya. Rasa laparnya tadi sudah dikalahkan oleh kantuk yang tiba-tiba menyerang.

“Eunghhh ....” Angel mulai meregangkan tubuhnya dan berusaha untuk duduk.

“Kalo ngantuk tidur lagi aja,” tutur Jerry sembari mengusap lengan istrinya.

Gadis itu menggeleng saat melihat bungkusan di tangan Jerry. “Laper,” ucapnya lirih.

“Nih, tapi udah nggak terlalu panas.” Suara Jerry terdengar khawatir.

Angel segera merampas sebungkus sate ayam pesanannya dari tangan sang suami. Aroma saus kacang bercampur kecap sudah menggelitik indera penciumannya.

“Ugh!” Angel tiba-tiba menjepit hidungnya.

“Eh? Kenapa?” tanya Jerry spontan.

“Lo bau asap!” pekik gadis itu sembari menjauhkan diri dari Jerry.

Bukannya merasa tersinggung, lelaki itu malah tertawa keras. Matanya menghilang jadi segaris selaras dengan lesung pipit yang semakin terlihat jelas. Tawa renyah sekidit husky itu sangat memanjakan telinga Angel.

“Sorry sorry, gue kan belum mandi.” Jerry bangkit dan menjauhkan diri dari sang istri.

“Ya udah, lo makan dulu, gue mandi sebentar,” lanjutnya sembari mengusap rambut Angel.

“Ish!! Tangan lo juga bau, Jer!” tepis gadis itu yang mengundang gelak tawa Jerry.


Setelah menghabiskan waktu selama 10 menit di kamar mandi, lelaki itu keluar dengan handuk putih melingkar di pinggangnya. Kegiatan makan Angel sempat terhenti karena ekor matanya menangkap pemandangan menakjubkan. Rambut basah dan perut seksi Jerry sengaja diumbar begitu saja.

“Nggak bisa pake baju di kamar mandi, ya?” protes Angel tanpa mengalihkan perhatiannya dari sate ayam yang tersisa dua tusuk.

“Kenapa? Takut kepancing?” goda Jerry dengan senyum jahilnya.

Lelaki itu berjalan melewati Angel, menarik asal kaos serta boxer dari lemari pakaiannya.

“Dih? Nggak nafsu!” tampik sang gadis.

“Ah, masa? Padahal waktu itu yang nyerang dulu-”

“STOP! Nggak usah dibahas!” Teriakan Angel menghentikan ucapan Jerry. Sepersekon kemudian, tawa keras kembali memenuhi kamar kos mereka.

Setelah selesai dengan tubuhnya, ia bergabung dengan Angel yang sedang duduk beralas karpet.

“Kayaknya gue nggak pesen sate pedes deh, tapi kok mukanya merah gitu?” Jerry masih berusaha menggoda istrinya.

“Jer, udah ah.”

“Hahaha! Lo lucu kalo lagi salting gini.” Kali ini bukan gombal, tapi fakta.

“Nggak lucu!” ketus Angel sembari melepas daging terakhir dari tusuknya.

Gadis itu segera merapikan alat makannya dan membuang bungkus sate ke tempat sampah, sebelum jerry melontarkan omelan. Ia kemudian beranjak untuk mencuci tangan, kaki, dan gosok gigi. Sedangkan, Jerry merapikan laptop beserta kabel sudah tidak diperlukan.

Suasana setelahnya sedikit berbeda dari malam sebelumnya. Angel yang biasanya membuka salah satu e-commerce untuk menghabiskan energi, kini malah bergabung dengan Jerry menatap plafon kamar mereka. Hal itu tentu mengundang perhatian sang suami.

Jerry memiringkan tubuhnya, berusaha membaca raut wajah Angel. “Lagi mikirin apa?” tanya lelaki itu.

“Hari ini gue ngelakuin dosa besar,” tutur Angel pelan, hingga teredam oleh suara decakan cicak di atas mereka.

“Dosa apa?”

Gadis itu menghela napas panjang, lalu menatap suaminya serius. “Gue tadi jalan-jalan ke mall, terus makan sama main di sana.”

Jerry tak mengerti maksud perkataan Angel. Apakah itu yang disebut dosa besar? Apakah kini makan dan main sudah tergolong dosa? Jika iya, dosa seperti apa?

“Makan sama main kan nggak dosa, Angel.”

Angel terdiam sejenak, lalu menatap wajah Jerry. “Dosa, Jer. Soalnya gue habisin hampir dua juta.”

Kedua netra Jerry yang tadinya menatap lembut Angel seketika membelalak. “What?! Lo beli apa aja? Banyak banget.”

“Iya kan, makanya gue bilang dosa besar. Gue juga bingung, kenapa gue beli makanan banyak banget ya?”

“Itu makanannya lo habisin semua?” tanya Jerry kaget. Namun, lebih mengagetkan karena Angel meresponnya dengan anggukan.

Lelaki itu kembali menutup mulutnya yang sempat terbuka lebar. Ia bahkan tidak sanggup membayangkan berapa jumlah kalori yang sudah masuk ke tubuh Angel hari ini.

“Kalo lo dari mana aja? Beberapa hari ini selalu pulang malem.” Angel akhirnya menyuarakan pertanyaan yang bersarang di kepalanya. Sebenarnya gengsi untuk menanyakan hal ini, tetapi waktunya sangat tepat.

“Udah dapet kerja ya?” tebak Angel.

Suaminya menggeleng pasrah. Lelaki itu menunduk sembari memainkan tali pengikat sarung bantal di hadapannya. Bibirnya mengerucut lucu. Jika Angel dalam mode tidak waras, ia pasti sudah memangsanya. Ah, tapi kali ini Angel masih sadar.

“Gue ngojek. Lumayan, hasilnya bisa buat beli bahan makanan sama sate tiap hari,” jawab Jerry pelan disertai candaan.

Beberapa detik tak mendapat jawaban, Jerry kembali menegakkan kepalanya. Kini netra cokelatnya menangkap ekspresi datar Angel.

“Kenapa? Lo malu?” tanya Jerry yang langsung mendapat gelengan dari Angel.

Gadis itu sersenyum kecil. “Lo keren, bisa kerja jadi apa pun.”

Kekehan Jerry terdengar setelah Angel menyelesaikan pujiannya. Tidak peduli pekerjaan apa yang harus lelaki itu lakukan, yang penting keringatnya menghasilkan pundi-pundi rupiah. Bahkan, ia rela menjadi suami kontrak hanya untuk mengisi saldo di rekeningnya.

“Gue pengen kerja lagi,” lirih Angel.

“Kemarin udah masukin beberapa lamaran, kan?” tanya Jerry memastikan.

Angel mengangguk. Ia juga bercerita mengenai lowongan sekretaris manajer di sebuah perusahaan besar yang tadi ditemukannya di salah satu web. Rasa tidak percaya diri menyerang sang gadis kala melihat posisi tersebut. Meski memiliki pengalaman menjadi sekretaris, rasanya tidak pantas menduduki posisi tersebut detelah ditendang dari perusahaan sebelumnya.

“Coba aja, Angel. Siapa tau Tuhan emang taruh lo di sana,” ujar sang suami.

“Tapi gue takut. Ini sekretaris manajer, Jer,” gerutu Angel dengan memberi penekanan pada kata manajer di kalimatnya.

Tangan Jerry meraih bahu istrinya, netranya mencoba untuk menyelami pikiran Angel. “Nggak ada salahnya nyoba, kan?” tanya lelaki itu dengan nada terlampau lembut.

Angel mengangguk samar. “Besok gue pikir-pikir lagi deh,” ucapnya sembari membalas tatap Jerry.

Keheningan kini menyelimuti keduanya, masih dengan netra yang saling beradu. Lampu kamar menyala terang, memudahkan Jerry dan Angel menyapa setiap pori wajah masing-masing. Senyum manis sang lelaki menarik Angel kembali pada titik sadarnya.

“Ekhem, gue mau tidur,” deham Angel sembari memiringkan tubuhnya membelakangi Jerry.

Jangan tanyakan bagaimana bentuk wajah gadis itu saat ini. Tentu semburat merah padam menguasai segala penjuru rupanya. Jerry terkekeh pelan melihat tingkah Angel. Ia kemudian beranjak dan mematikan sumber penerangan kamar itu.

Doa malam pengantar tidur adalah hal terakhir yang selalu mereka lakukan. Setidaknya, at the end of the day, mereka akan berakhir di amin yang sama.


@guanhengai, 2021

Angel tidak pernah membayangkan dirinya tidur di kamar berukuran 3x4 tanpa pendingin ruangan sama sekali. Beberapa hari tinggal di kos petak Jerry membuat gadis bersurai panjang itu kehilangan waktu istirahatnya. Bukan karena sibuk berkegiatan, tapi suhu yang terlampau panas membuat tubuhnya cepat berkeringat.

Kejadian belakangan ini juga menguras banyak pikiran. Lagi pula, apa yang dapat Angel harapkan? Rekaman di kamar malam itu sudah sampai pada atasannya, tentu surat pemutusan hubungan kerja balasannya.

Semua caci maki masih terekam jelas di benak gadis itu. Terlebih, beberapa karyawan nakal masih mengirimnya pesan tidak senonoh. Jerry sudah menyarankan istrinya untuk tidak membuka handphone selama beberapa hari, namun Angel tetaplah Angel.

“Udah, jangan dibuka lagi.” Jerry mulai bergabung dengan Angel di atas kasur. Mereka memutuskan untuk tidur di kasur yang sama dengan berbatas guling. Angel masih punya otak untuk tidak membiarkan Jerry tidur di karpet.

Gadis itu baru selesai menghapus pesan-pesan dari nomor tak dikenal. “Lagi dihapusin, ganggu.”

Jerry terkekeh, tangannya meraih bantal untuk membatasi dirinya dengan sang istri. Lampu kamar sudah dimatikan, tersisa cahaya dari luar yang masuk melalui ventilasi.

Lelaki itu memeluk bantal guling, menyampingkan tubuhnya dan menatap Angel yang sedang menyelesaikan acara hapus-hapus pesan. Setiap inci wajah istrinya adalah candu bagi Jerry, mungkin juga bagi beberapa lelaki lain. Angel bukan hanya cantik, tapi juga manis, elegan, imut, dan tidak membosankan.

“Awas mata lo keluar,” celetuk gadis itu tanpa melirik suaminya.

Jerry mengubah posisinya menjadi telentang, menatap datar langit-langit kamar yang dihiasi bercak kecokelatan. Alih-alih memilih tidur, lelaki itu malah memikirkan kantor mana saja yang belum ia kunjungi. Kantor tempatnya mengabdi selama tujuh tahun kini sudah menjadi tempat yang paling menyeramkan.

“Mikirin kerjaan lagi?” tanya Angel yang sudah ikut berbaring.

“Hmm. Udah hampir seminggu, tapi belum ada panggilan.”

“Gue pengen ngelamar kerja juga,” timpal Angel.

Kedua sudut bibir Jerry terangkat. Tangannya terulur untuk mengambil koran tadi pagi di atas meja. Seolah tak peduli dengan rasa lelahnya, lelaki itu mengibas surat kabar yang sudah dilipat dua kali di atas wajah Angel. Hal ini sudah ia lakukan sejak lima hari lalu, tepatnya saat mereka pindah ke kos Jerry.

“Nanti aja. Lo tenangin diri dulu, baru bersosialisasi lagi,” kata Jerry.

“Pasti susah ya cari kerja lagi?”

“Lumayan, soalnya kita bukan mengundurkan diri, tapi dipecat.”

Sadar tak mendapat jawaban, Jerry memiringkan kepalanya dan menangkap air mata Angel menetes ke arah telinga. Gelapnya kamar ternyata tidak cukup menyembunyikan hal tersebut. Tubrukan berkas cahaya membuat air mata sang gadis mengkilap.

Jerry memindahkan guling ke belakang tubuh Angel, lalu menarik gadis itu masuk ke dalam pelukan. Bahunya mulai bergetar, pertanda ia sudah tak mampu menahan isaknya. Jerry selalu membiarkan Angel menangis dalam rengkuhannya. Tak banyak kata keluar dari mulut Jerry, karena ia tahu Angel tidak membutuhkannya. At least gadis itu tahu bahwa suaminya selalu ada untuk dia.

Usapan lembut di puncak surainya menambah kesan hangat di sana. Perlahan rintik hujan terdengar menyerbu atap kos. Sepertinya semesta tahu bahwa malam ini Angel ingin berbaring di pelukan Jerry tanpa merasa kepanasan.

Untuk saat ini, Angel ingin melupakan bahwa hubungannya dengan Jerry hanyalah status palsu.


@guanhengai, 2021.

Dentuman keras menyapa, manusia bergerak liar mengikuti irama musik yang sudah dikombinasi dengan berbagai efek suara. Angel dan Hargi pun ikut serta menari liar dari tempat duduknya. Mereka tidak bergabung dengan orang-orang di depan sana karena Marcell melarangnya.

“Ngel! Nanti balik sama Jerry?” Hargi sedikit berteriak karena suaranya teredam bunyi jedag-jedug.

“Iya! Udah di luar kantor, harusnya aman.” Sang gadis pun ikut meninggikan volume suaranya.

“Ck, jangan maju-maju! Di sini aja,” tutur Marcell sembari menarik kuping kedua sahabatnya. Lelaki itu tidak menyentuh minumannya sama sekali. Padahal, Marcell yang paling suka minuman beralkohol di antara ketiganya.

“Kalian kalo mabok kayak orang kesetanan, setidaknya gue tetep sadar.” Begitu katanya tadi.

Hargi mendengus kesal. “Ah, sebentar doang, Cell! Masa partynya stay di kursi?”

“Oke, tapi kalo mabok gue nggak mau bantu.” Sepertinya Marcell benar-benar berperan sebagai orang tua di sini. Ah, dia memang selalu seperti itu.

Jadilah Hargi bergerak liar di tempat dengan wajah kesal. Berbeda dengan Angel, gadis itu hanya menikmati musik tanpa peduli di mana kakinya berpijak. Tiga sloki alkohol ternyata sangat berpengaruh bagi kesadarannya.

Niat awalnya hanya ingin melupakan permintaan sang ibu, tapi ternyata minuman itu lebih enak dari perkiraannya. Marcell sudah berkali-kali memintanya untuk berhenti minum, tetapi tak dihiraukan.

“Angel, udah! Nanti lo mabok!” Lelaki bermata bulat itu merampas sloki yang sudah menempel di bibir sang gadis.

Tak terima minumannya diambil, Angel langsung merebut kembali miliknya. “Eungh! Gue masih haus, Cell!!”

Lelaki itu menggeleng pelan. Ia menoleh dan meminta sang bartender untuk tidak memberi minuman lagi pada Angel. Entah bagaimana nanti Jerry membawa Angel pulang, keadaan gadis itu sudah tak dapat didefinisikan.

Berbicara soal Jerry, lelaki tampan bak pangeran negeri dongeng itu masih setia memperhatikan istrinya dari kejauhan. Ia tidak bergabung dengan Ojon dan Atuy yang sibuk mendekati Kirana. Lagi pula, rasanya tidak sopan jika berkumpul bersama karyawan lain. Perlu diingat, ia hanya seorang cleaning service.

Kursi tinggi di samping tangga adalah spot terbaik untuk memperhatikan gerak-gerik Angel. Semua usaha Marcell untuk mencegah Hargi pergi dan menghentikan Angel minum terekam jelas olehnya. Namun, Jerry tak berbuat apa pun. Selama gadisnya aman bersama sahabat-sahabatnya, ia tak perlu turun tangan.

Terlalu lama duduk di tempat nyatanya membuat cairan dalam tubuh lelaki itu menumpuk. Marcell dan Angel sedang beradu mulut di sana, mungkin Angel marah karena sahabatnya tak mengizinkan dirinya untuk minum lebih banyak lagi. Setelah memastikan Angel aman, Jerry beranjak ke kamar mandi untuk menyelesaikan urusannya.

“Ih! Satu gelas lagi, pleaseeee ....” Angel masih berusaha membujuk Marcell agar memberinya asupan alkohol.

“No! Lo udah minum banyak, Ngel. Kasihan Jerry kalo bawa orang mabok naik motor,” tutur Marcell.

“Ish, gue masih sadar kok.” Angel berniat bangkit untuk membuktikan ucapannya. Naas, kakinya tidak mendukung hal tersebut. Belum sempurna tubuhnya berdiri, gadis itu sudah limpung. Beruntung Marcell sempat menangkapnya.

“Tuh kan, nggak usah banyak tingkah deh.” Bibir Angel mengerucut mendengar ucapan Marcell. Ia menghempas kepalanya ke atas meja, tak ada lagi alkohol untuk malam ini.

“Loh? Si Hargi kemana?” Terlalu sibuk dengan Angel membuat Marcell melupakan sahabatnya itu.

Angel mengangkat telunjuk dengan malas. Marcell yang melihat hal itu pun mengikuti arah jari sang gadis. Benar saja, di sana ia menemukan sosok Hargi yang sedang menari eksotis di antara beberapa wanita.

Lelaki itu mengusap kasar wajahnya, “Jesus!! Punya dua sahabat kelakuannya sama aja, bikin pusing.”

“Ngel, lo di sini aja. Gue mau narik Hargi ke sini,” ujar Marcell pada Angel yang masih meletakkan kepalanya di atas meja. Sepertinya kesadaran gadis itu sudah mulai terenggut.

“Hm,” jawabnya singkat.

Setelah Marcell beranjak, Angel memiringkan kepalanya sedikit guna mengintip keadaan di sana. Punggung sahabatnya sudah mulai tenggelam dalam lautan manusia dan lampu club.

Salah satu sudut bibirnya terangkat, mata elangnya mulai menelisik keberadaan bartender terdekat. Tangan kanan sang gadis terangkat saat seseorang berseragam hitam putih mendekati mejanya.

“Mas, satu dong!” panggilnya.

Pekerja yang bertugas mengantar minuman itu pun mendekat dan menyerahkan satu sloki kecil pada Angel. Walaupun dalam keadaan mabuk, Angel tak lupa mengucapkan terima kasih pada orang tersebut.

Tess, tess, tess

“Yah, cepet banget habisnya!” Belum sepuluh detik berlalu, gelas kecil di tangannya sudah kosong. Gadis itu kembali cemberut menatap minumannya yang sudah ludes. Ah, ternyata minuman beralkohol memang secandu itu.

“Aduh, udah mulai pusing.” Angel memijat pelipisnya. Setelah itu, ia mengedarkan pandangannya untuk mencari keberadaan Jerry. Ia menatap ke arah tangga, namun tidak ada siapa pun di sana.

Dengan susah payah, tangannya merogoh tas dan mencari ponsel. Beruntung smartphone itu sudah memiliki fitur face ID, jadi ia tak kesulitan untuk membuka layarnya. Namun, gadis itu harus berusaha ekstra untuk menemukan ruang obrolannya dengan Jerry karena matanya sudah mulai kehilangan fokus.

Saat jemarinya sibuk menggeser layar, sebuah suara menghampiri telinganya. Suara yang mampu membuat tubuhnya membeku seketika,

“Angel?”


@guanhengai, 2021

Bekerja di kantor pusat tidak berbeda jauh dengan kantor cabang. Bahkan, Angel lebih memilih mengabdi di kantor kecilnya dulu. Seiring bertambahnya gaji yang ia peroleh di Jakarta, tugas dan tanggung jawabnya pun ikut bertambah.

Hari sabtu yang biasa ia habiskan di atas ranjang king sizenya, kini dilewati bersama laptop dan segelas kopi susu. Kirana, Natasha, dan Syifa adalah rekan satu divisi Angel. Mereka bertugas merancang program serta modul training yang nantinya diberikan pada karwayan.

Waktu mereka hanya tersisa beberapa minggu, namun sampai saat ini modul belum selesai dirancang.

Seperti kepala divisi pada umumnya, Kirana telah memberi tugas pada masing-masing anggota divisi. Sebenarnya tidak terlalu banyak yang harus mereka kerjakan, jadwal mereka hari ini adalah melakukan review pada modul mentah yang sudah disusun. Setelah itu, mereka hanya perlu memperbaiki beberapa hal dan menambahkan detail kegiatan.

“Sha, lo tau OB lantai direksi nggak?” tanya Syifa tiba-tiba.

Natasha berdeham sembari menatap Syifa yang sibuk merapikan tabel di lembar Excel. “Yang ganteng?” tanya gadis itu memastikan.

“Iya, yang kalo lewat wangi banget! Anjir, kalo bukan OB udah gue gebet dari dulu,” tutur Syifa tanpa beban.

Angel mendengar percakapan mereka tanpa menunjukkan respon apa pun. Meski mata dan tangannya sibuk bermain di atas laptop, telinga dan otaknya terfokus pada Syifa dan Natasha. Gadis itu tahu kedua temannya sedang membicarakan suaminya.

Ya, suaminya.

“Ah, tapi cowok kayak dia pasti tipenya yang modelan Mba Kirana.” Syifa lagi-lagi berucap tanpa beban.

Tak ada yang salah dari opini Syifa, namun hal itu mampu membuat ketikan Angel terjeda sejenak. Ekor matanya melirik Kirana yang sedang melipat kedua tangannya di depan dada. Tubuh tinggi langsing, kulit cerah, hidung mancung, rambut panjang, serta otak cemerlang memang spek idaman para pria.

Sang topik utama pun terkekeh. “Tipe cowok kan beda-beda, Syif. Bisa aja Jerry sukanya yang modelan Angel?”

Merasa namanya dipanggil, gadis itu segera menegakkan kepala dan menatap ketiga rekan kerjanya. Otaknya bekerja sangat keras untuk mencari respon paling tepat yang harus ia ekspresikan.

“Hehehe, nggak mungkin lah.” Hanya itu yang terlintas dalam benak Angel.

Setelahnya, tak ada lagi percakapan mengenai dirinya dan Jerry. Syifa tetap pada pendiriannya bahwa Kirana adalah tipe Jerry. Jika kalian berpikir Kirana adalah gadis cantik yang Atuy maksud, tebakan kalian benar.

Bukan hanya Atuy yang terang-terangan mengekspresikan rasa kagumnya pada Kirana, bahkan beberapa atasan mereka di kantor melakukan hal yang sama. Sayangnya, peraturan kantor yang tidak memperbolehkan karyawannya memiliki hubungan spesial membuat para pria itu mundur tanpa diperintah.

“Lho? Itu Jerry, kan?”

“Astaga! Pucuk dicinta ulam pun tiba. Jangan-jangan jodoh nih sama Mba Kirana,” bisik Syifa pada kepala divisinya.

Wajah Kirana yang memerah dan pergerakan tangannya yang tak teratur menandai gadis itu sedang salah tingkah. Hal tersebut tak lepas dari pengelihatan Angel yang duduk berseberangan dengan Kirana.

Kirana suka Jerry. Itu tebakan Angel yang ia yakini benar adanya.

Sosok lelaki berbalut seragam pramusaji berjalan menuju salah satu meja di ujung ruang. Angel tidak tahu bahwa suaminya bekerja di cafe ini. Pasalnya, Jerry hanya berkata bahwa dirinya memiliki pekerjaan tambahan tanpa menyebut nama tempatnya.

Angel seketika tersadar, ia segera mengambil ponselnya. “Guys, gue ke toilet sebentar ya.” Gadis itu bergegas pergi setelah mendapat anggukan dari teman-temannya.

Di sudut resto, Jerry masih sibuk menulis pesanan tambahan yang diminta oleh tamunya. Lelaki itu tersenyum dan mengangguk sebelum pergi ke dapur untuk menyampaikan pesanan.

Saat dirinya kembali, lengan kekarnya ditarik oleh seseorang di balik pintu toilet. Beruntung cafe ini memiliki wilayah universal untuk mencuci tangan, jadi Angel tak perlu mengendap-endap memasuki toilet pria.

“Angel? Kok lo di sini?” tanya Jerry sembari menetralkan rasa terkejutnya.

“Meeting,” jawab Angel singkat.

“Gue mau ngomong sesuatu sama lo!” Gadis itu segera membuka layar ponselnya dan menunjukkan ruang obrolan onlinenya pada Jerry.

“Ini apa, Jer?” tanya Angel to the point.

Lelaki tampan itu hanya menatap istrinya datar. Ia tahu apa yang ada di dalam ponsel Angel. Dari nada bicaranya, Jerry sudah tahu gadis itu sedang menahan kesal saat ini.

“Apa?” Bukannya menjawab, Jerry malah melontarkan pertanyaan pada Angel.

Dahi gadis itu berkerut dalam. Rahangnya sudah mengeras dan tatapannya semakin tajam. Tangannya yang tak terlalu panjang berusaha keras mengungkung tubuh kekar Jerry. Hanya ada tersisa celah beberapa centi di antara tubuh keduanya.

“Kenapa lo batalin pembelian apartemen? Gue capek ngurus surat-suratnya!” gerutu Angel.

“Gue bukan cowok yang suka ngelanggar janji. Simpen aja uangnya,” jawab Jerry.

Situasi dalam toilet itu sudah menegang sempurna. Pagi tadi Angel mendapat pesan dari pemilik apartemen yang menyatakan bahwa transaksinya dibatalkan oleh Jerry. Padahal, gadis itu sudah susah payah mengurus surat yang dibutuhkan.

“Apartemen yang sekarang kita tempatin itu punya kantor, Jer. Setidaknya kita punya satu tempat tinggal cadangan,” ucap gadis itu.

Jerry menunduk dan menatap netra istrinya lembut, “Buat apa, Angel? Sayang kalo nggak ada yang tempatin.”

Angel mendecak kesal. Percuma berbicara dengan lelaki keras kepala seperti Jerry. Gadis itu bersumpah Jerry adalah manusia paling keras kepala dan pembangkang di muka bumi ini.

Jerry menaikkan salah satu alisnya, menggiring hentakan kaki Angel yang membawa gadisnya pergi. Sebenarnya Angel pun tak tahu mengapa dirinya berpikir untuk membeli apartemen. Ia hanya takut tempat tinggalnya hangus terbakar dan berakhir tidur di pinggir jalan.

Dramatis sekali pemikiran gadis itu.


@guanhengai, 2021.

16.15 WIB

Resepsi pernikahan mereka tak terlalu meriah. Alunan musik klasik dan hamparan lampu warm white menghiasi halaman belakang rumah keluarga Suharjo. Bincang seru keluarga besar serta mantan kolega ayah Angel menggema di setiap sudut. Ada juga beberapa teman masa kecil sang gadis di sana.

Angel terlihat duduk manis di kursi pelaminannya. Gaun panjang menjuntai yang membalut tubuhnya nampak tak mengganggu gadis cantik itu. Ia menyapa setiap tamu undangan yang menghadiri pestanya.

“Capek?” tanya Jerry cemas saat Angel menaik-turunkan bahunya. Setelah pemberkatan di gereja, mereka langsung berganti pakaian dan menggelar resepsi. Sungguh hari yang melelahkan. Bukan hanya fisik, tetapi juga batin.

Angel menoleh dan memaksakan senyumnya. “Capek, tapi bisa apa? Tamunya masih banyak banget.” Keluhan itu meluncur bebas dari mulutnya.

Jerry segera mendorong pelan bahu Angel agar gadis yang kini sudah berstatus menjadi istrinya memunggungi dirinya. Angel tak sempat menolak, telapak hangat Jerry sudah terlebih dahulu memijat bahunya. Tidak ada kata yang keluar dari mulut mereka karena keduanya belum sedekat itu. Mereka hanya dua orang asing yang terikat oleh perjanjian mutualisme yang akan berakhir dalam kurun waktu satu tahun.

Cukup lama Jerry memanjakan bahu Angel, hingga gadis itu menarik maju tubuhnya dan membuat telapak suaminya terhempas. Ia berbalik dan menatap Jerry, “makasih, udah enakan.”

Belum sempat Jerry membalas ucapan Angel, keempat sahabat mereka menaiki pijakan kayu dengan hentakan yang mampu menggetarkan pelaminan.

“Woi, kancut! Udah nikah aja!” seru pria berambut gondrong yang kini terlihat rapi dengan jas merah mudanya.

Jerry mendengus kasar. Dua manusia dengan predikat terberisik menjadi pemandu jalan bagi dua teman di belakangnya. Kombinasi Atuy dan Hargi adalah yang terburuk sepanjang segala abad, tolong catat itu.

“Angell!! Gue beneran ditinggal nikah, nih?” Benar saja, Hargi langsung bertingkah dramatis sembari mengusap pipi yang tak basah sama sekali.

Angel memutar bola matanya. Dosa apa yang ia lakukan di masa lalu hingga memiliki sahabat seperti Hargi? Ah, tapi Angel tidak bisa melupakan jasa besar sahabatnya itu.

“Berisik!” Angel mendorong dahi Hargi kala lelaki itu merentangkan tangan dan bersiap memeluknya. Rautnya terlihat jijik dan malas. “Jauh-jauh dari gue, nggak usah drama,” ucap Angel ketus.

Tangan Hargi mendadak gatal setelah mendapat penolakan dari Angel. Ia tak mendengar peringatan sahabatnya itu dan langsung saja menerjang gadis yang sedang berusaha berdiri.

Sebelum Angel terhuyung, sebuah lengan besar sudah terlebih dahulu menahannya. “Hati-hati, Har,” tutur Jerry sembari membantu Angel melepaskan diri.

Ojon dan Marcell hanya menggelengkan kepala melihat kelakuan teman mereka. Sedangkan, Atuy tersenyum penuh arti karena memiliki teman sefrekuensi.

“Congrats, bro.” Lelaki bertubuh tinggi menepuk punggung Jerry dua kali. Salah satu teman perjuangannya sudah menemukan tempat pulang. Entah berapa lama akan bertahan, namun Ojon berharap 'rumah' Jerry kali ini dapat memberi kehangatan yang tak pernah temannya itu rasakan.

“Man, nitip si ceroboh galak ini ya.” Kini giliran Marcell menjabat tangan Jerry. Lelaki yang diberi mandat itu hanya mengangguk dan tersenyum. Tatapan mereka saling beradu, berkomunikasi tanpa kata.


22.55 WIB

Tubuh gadis itu terhempas bebas ke atas kasur miliknya. Salah satu sudut bibirnya terangkat kala matanya mengelilingi kamar yang sudah dipenuhi bunga dan riasan pengantin. Ada sedikit rasa bersalah berbesit dalam benaknya. Ia tidak mampu membayangkan reaksi ibunya kala mengetahui bahwa pernikahan yang baru saja digelar hanya bertahan sebentar.

Angel memejamkan matanya sejenak, menghirup sebanyak-banyaknya oksigen dalam ruangan ini. Setelah dirasa cukup, netranya kembali terbuka dan melirik jam berbentuk lingkaran yang terpajang di dinding kamarnya. Sudah hampir jam sebelas malam, namun Jerry belum kembali ke kamar.

Sama seperti waktu itu, saat Anne menggelar acara pertunangannya. Jerry duduk dan berbaur dengan keluarga besarnya. Lelaki itu memang terlihat datar, namun nyatanya sifat supel dan elegan membuat Jerry disukai banyak orang. Surprisingly, ia dapat mengimbangi pembicaraan keluarga Suharjo yang kebanyakan membahas mengenai bisnis dan politik. Ugh, Angel saja muak mendengar pembahasan itu.

Sang gadis mendesah pelan, lalu bangkit dari posisinya dan memungut gaun yang masih tergeletak di lantai. Kapas bekas yang digunakan untuk menghapus make up pun masih memenuhi meja rias. Dengan langkah gontai, Angel merapikan semua kekacauan yang ia buat.

Berendam dengan air hangat di malam hari ternyata membuatnya mengantuk. Jika tak mengingat ada Jerry yang akan berbagi kamar, mungkin Angel sudah terdidur nyenyak di kasur king size itu.

Baru saja tangannya menutup keranjang baju, pintu kamar terbuka dan memunculkan sosok yang sedari tadi ia tunggu. Jas hitam dan dasi yang sudah dilonggarkan masih menempel pada tubuh Jerry. Tatapan sayu dan aroma menyengat dari tubuhnya menandakan Jerry sudah larut dalam minuman beralkohol.

“Mau mandi nggak?” tanya Angel yang hanya dijawab gelengan.

Lelaki itu melewati istrinya dan menghempaskan tubuhnya ke atas kasur. Tangannya bergerak menemukan kenyamanan di sana. Beberapa saat kemudian, Angel tidak mendeteksi gerakan di atas kasur. Gadis itu mendekati suaminya dan melirik wajah tampan yang terlihat sangat tenang. Tak butuh waktu lama untuk Angel mendengar dengkuran halus.

“Lah? Udah tidur? Cepet banget! Dasar pelor,” bisik Angel.

Angel mengulum senyum dan menggeleng pelan. Tangannya sibuk membuka sepatu dan kaos kaki yang Jerry gunakan. Tak lupa ia melepas jas hitam dan dasi yang melingkar di lehernya. Ini hanya ucapan terima kasih karena Jerry sudah menjalani perannya dengan baik hari ini.


@guanhengai, 2021

Berkas cahaya menembus jendela kamar lantai dua, mencetak bayang semu di atas lantai. Hangatnya mentari pukul 10 pagi ditambah samar-samar langkah kaki berhasil membuat sang gadis menggeliat kecil di dalam selimut.

Sepersekian detik kemudian, kasurnya bergerak pertanda ada orang lain di sana. Ia tahu betul siapa yang baru saja duduk dan membebankan tangannya di puncak surainya. Tanpa membuka mata, Angel mendesah dan menepis tangan yang ia yakini milik sang kakak.

“Mas, masih ngantuk!” Gadis itu semakin menarik selimutnya.

Aryo memang selalu ditugaskan sang ibu untuk membangunkan adik-adiknya, terlebih Angel yang memiliki jam tidur ekstra. Biasanya lelaki itu akan menghimpit hidung Angel hingga sang empunya terbangun. Gadis itu yakin sebentar lagi kakaknya akan melakukan hal yang sama, namun ia tetap enggan untuk membuka matanya. Angel akan bangun ketika kakaknya pergi, karena ada hal yang harus ia selesaikan.

1...

2...

3...

Sadar tak mendapat respon, Angel membuka matanya perlahan. Ribuan partikel cahaya dari jendela yang sudah sepenuhnya terbuka berebut merasuki netranya. Butuh beberapa detik untuk menjernihkan pandangannya. Saat kepalanya menoleh, mata yang tadinya masih sayu seketika membulat sempurna.

Gadis itu terduduk, membuat selimutnya terlepas dari tubuhnya. Kini netranya mengungkung sosok tampan bertubuh atletis berbalut kaos putih yang tengah duduk manis di hadapannya. Bukan Aryo, tetapi Jerry.

Semangkuk bubur ayam dan segelas air putih di nakas memberi petunjuk tentang kehadiran Jerry di kamarnya pagi ini. Ah, rasanya Angel begitu malu karena Jerry melihatnya tertidur. Sadar sedang diperhatikan, tangan kanan Angel langsung bergerak mengusap wajah dan area mulutnya.

“Kenapa sih ngeliatin gue kayak gitu?” tanya Angel.

Jerry menggeleng pelan. “Makan dulu biar ada tenaga,” katanya sembari meraih mangkuk bergambar ayam jago.

Gadis yang diajak bicara hanya menggigit bibir bawahnya. “Ehm, gue ....”

Salah satu alis Jerry terangkat, menunggu kelanjutan dari kalimat Angel.

“Gue?” tanya lelaki itu karena tak kunjung mendapat balasan.

“Gue bisa makan sendiri. Taruh di sana aja aja buburnya!” Angel menunjuk nakas yang tadi digunakan Jerry untuk meletakkan mangkuk dan gelas. Ia ingin Jerry cepat-cepat pergi dari kamarnya.

“Ya udah, nanti habis makan langsung mandi. Masih ada yang harus kita urus di bawah,” ujar Jerry sebelum beranjak dari kasur calon istrinya.

“Oh ya, kalo perut lo nggak enak bilang aja, biar gue yang urus sisanya,” lanjut lelaki itu sembari menjatuhkan tatap ke noda di selimut yang Angel gunakan.

Blushhh

Pipi sang gadis merona seketika. Ternyata Jerry mengetahui masalahnya pagi ini. Gadis itu segera menenggelamkan wajahnya pada bantal sesaat setelah Jerry menutup pintu. Kakinya sibuk menendang-nendang udara dan mulutnya menjerit dramatis.

“Ah, sialan! Kenapa harus bocor segala, sih? Malu banget anjirrrr!” gerutu Angel.

Ingin rasanya menenggelamkan diri di Samudra Pasifik. Namun, sepertinya itu bukanlah ide bagus. Dengan segala rasa kesalnya, gadis itu menarik selimut kotor dan melemparnya ke keranjang baju. Ia harus segera membersihkan diri dan menemui orang-orang yang terlibat dalam acara pernikahannya.


Setelah menghabiskan waktu selama satu setengah jam, Angel pun menuruni anak tangga dengan terburu-buru. Ia baru saja menerima pesan bahwa orang yang ditugaskan untuk menyebar undangan telah kembali.

Dada gadis itu terasa sedang berdisko. Rasa penasaran yang begitu memuncak membuat dirinya tak sadar melewati satu anak tangga terakhir. Tubuhnya hampir saja mendarat secara tidak manusiawi jika tidak ada lengan kekar yang menopangnya saat ini.

“Jangan lari-lari, kalo jatuh nggak ada yang mau gendong lo.” Suara serak yang sudah tak asing bagi Angel menyapa telinganya.

Ia sudah tahu pemilik tangan berhias gelang rantai di pergelangan kirinya. Sungguh! Hari ini Angel merasa bodoh di depan Jerry. Belum genap dua jam dirinya terbangun dari tidur, namun wajahnya sudah memerah sebanyak dua kali.

Angel berdeham sembari melepaskan diri dari rengkuhan Jerry. Gadis itu segera merapikan kembali kaosnya yang sempat tersingkap. Pergelangan kakinya bergerak memutar, memastikan kelalaian tadi tidak membuatnya terkilir.

“Makasih,” ujar Angel pada lelaki yang masih menatapnya heran.

“Emangnya ngejar siapa sampe lari-lari gitu?” tanya Jerry tak mampu menyembunyikan rasa penasarannya.

Mendengar hal itu, Angel justru mengedarkan pandangannya dan bergegas meninggalkan Jerry. Lagi-lagi perkataan calon suaminya tak didengar. Punggung sang gadis sudah hilang dalam sekejap ditelan pintu yang mengarah pada halaman tempat resepsinya digelar.

Jerry hanya bisa menggeleng pelan melihat kelakuan Angel. Gadis itu akan bertingkah seperti anak kecil jika kembali ke rumah ibunya. Atau memang semua anak akan seperti itu jika berada di kediaman orang tuanya? Entahlah, Jerry tak pernah merasakan itu.

Lelaki itu mengikuti langkah Angel meski tak yakin berhasil mengejarnya. Dengan senyum tulus, Jerry menyapa satu per satu pekerja yang sedang memasang dekorasi di sepanjang ruang tengah hingga halaman belakang rumah calon mertuanya.

Jangan lupakan tatapan memuja dari para wanita yang duduk mengelilingi tungku. Wajan jumbo berisi aneka masakan yang aromanya mengudara tak membuat pemasak-pemasak itu melewatkan pesona Jerry. Bahkan, beberapa dari mereka terang-terangan menyayangkan pernikahan Angel dengan Jerry. Dunia kehilangan satu lelaki tampan, katanya.

Setelah melewati pintu belakang, Jerry menemukan sosok Angel sedang berbicara dengan seseorang berpakaian serba hitam. Nampaknya gadis itu sedang memarahi pria yang Jerry perkirakan berusia 45 tahun. Beberapa kali dahinya mengerut seraya urat lehernya menyembul.

“Hei, ada apa?” tanya Jerry setelah berhasil berdiri di samping calon istrinya.

Pria yang tadinya menunduk pun menegakkan kepalanya dan menyapa Jerry dengan anggukan. Lelaki itu membalasnya dengan senyum manis sebelum kembali memusatkan perhatian pada Angel.

“Kenapa, Angel? Ada yang kurang?” tanya lelaki itu lagi.

Angel menepis tangan Jerry di bahunya, “Tau ah! Gue mau balik ke kamar!”

Sang gadis langsung pergi meninggalkan dua pria berbeda generasi itu tanpa menunggu balasan dari calon suaminya. Jerry menggaruk tengkuknya yang tidak gatal karena merasa tak enak pada pria di hadapannya.

“Err, maaf ya, Pak. Hari ini moodnya memang sedang tidak baik,” tutur Jerry.

Pria yang kemudian Jerry ketahui bernama Tarjo itu mengangguk sopan. “Tidak apa-apa, Den. Saya yang kurang maksimal dalam menjalankan tugas,” jawabnya tanpa menatap mata Jerry.

“Ya sudah, saya kembali bekerja, Den. Tolong sampaikan maaf saya pada Non Angel,” ujar Pak Tarjo sebelum membungkuk dan meninggalkan Jerry.

Lelaki berkulit cerah itu menghela napas sembari menyibak rambutnya ke belakang. Raut bersalah Pak Tarjo terus menghantui pikirannya. Kesalahan apa yang Pak Tarjo lakukan sehingga memancing emosi Angel?


@guanhengai, 2021.

Iringan lagu Beautiful in White milik Westlife berpadu suara pijakan heels dan sepatu kulit menggiring langkah sepasang calon suami istri. Keduanya baru saja memberi selamat pada sang pemilik acara yang notabenenya adik mereka sendiri. Sama seperti pesta pada umumnya, terlihat tenda-tenda kecil tempat para penyaji menjajakan masakannya. Para tamu undangan berbalut jas dan dress mahal bercengkrama sembari berdiri mengelilinginya.

Tawa bahagia dan senyum tulus terpancar dari setiap sudut aula, tetapi tidak dengan Angel. Gadis yang kini tengah menggandeng lengan kekar Jerry tetap menampilkan senyum termanisnya. Namun, tak terlihat komposisi ketulusan sedikit pun.

Jerry terlalu handal bermain peran hingga seluruh penonton dalam aula benar-benar percaya mereka adalah sepasang kekasih. Lengan berbalut kemeja yang dilipat sebatas siku itu sudah beralih melingkari pinggang sang gadis.

Pemandangan yang membuat ginjal para jomblo bergetar itu tak lepas dari perhatian kedua sahabat Angel yang sedari tadi menampilkan senyum nakalnya. Langkah sang gadis memelan saat melihat raut jahil Hargi. Sampai Jerry mendorong pelan pinggangnya, barulah gadis itu mendengus dan menatap tajam sahabatnya.

“Ciee ciee, priwitt!! So sweetnya ngalahin yang lagi tunangan,” goda Hargi yang membuat Angel menepis kasar tangan Jerry dari pinggangnya.

Begitu juga dengan Marcell, matanya sudah memancarkan lirikan maut meski mulutnya masih sibuk menelan potongan semangka.

“Makan dulu baru ngehina gue,” ujar Angel menepuk punggung Marcell dan membuat sang empunya tersedak.

“Uhuk! Kalo gue mati gimana, Ngel?!” omel Marcell.

Gadis itu menaikkan bahu, “Dikubur lah,” jawabnya tak peduli.

“Omongan itu doa, Mars.” Angel melirik tajam lelaki di sampingnya. Biasanya orang akan memanggil Marcell dengan sebutan 'Cell'. Hanya dirinya dan seseorang di masa lalu mereka yang memanggil Marcell dengan 'Mars'.

“What?!” pekik Marcell menatap Jerry.

“What?” Jerry yang merasa kebingungan pun menyuarakan hal yang sama.

“Tadi lo manggil gue apa?”

“Mars?”

“Hei! Stop stop stop. Jangan panggil Marcell pake 'Mars' lagi,” ujar Hargi berinisiatif menengahi mereka, khawatir sahabatnya akan melakukan sesuatu di atas batas wajar. Jerry tidak menjawab, lelaki itu melirik pada gadis cantik yang terlihat membatu di tempatnya.

Sudah lama sejak terakhir kali Angel mendengar panggilan itu. Angel, Marcell, dan Hargi sudah menjalin pertemanan sejak kecil. Mereka memiliki satu sahabat lain yang kini tak lagi bersama mereka dan panggilan itu adalah satu-satunya hal yang tertinggal. Pernah satu waktu mereka mencari jejaknya, namun berakhir dengan hilangnya Angel selama beberapa hari. Sejak saat itu, Hargi dan Marcell memilih untuk melupakannya dan membuang jauh hal-hal yang berhubungan dengan sahabat kecil mereka, termasuk panggilan yang dibuatnya untuk Marcell.

Angel berjalan menjauhi kedua sahabat dan calon suaminya, netranya terkunci pada sudut aula yang dipenuhi ucapan selamat dari para undangan. Alunan musik seketika melembut kala sang gadis mendekati sebuah karangan bunga. Otaknya sibuk memutar memori masa lampau untuk menemukan sebuah nama.

Kedua matanya membulat sempurna.

Gadis itu menyapu seisi aula dengan mata elangnya, menubruk kerumunan para pejabat berdasi demi menemukan seseorang. Seseorang yang namanya tertera jelas di sana, di salah satu karang bunga bernuansa pink-gold.

“Angel, ngapain di sini?”

“Lo!!” Sang gadis terkejut begitu tangan Jerry hinggap di bahunya.

“Nyari siapa sih? Serius banget kayaknya,” Jerry menjawab sembari mengedarkan pandangnya.

“Ck, jauh-jauh sana! Kalo lagi berdua nggak usah drama!” sembur gadis itu.

Yang dibentak tidak membalas, malah merapatkan diri dan memeluk pinggang gadisnya. Jerry dengan leluasa menghirup wangi strawberry mint dari rambut Angel.

Sepertinya lelaki itu sudah jatuh pada pesona Angel. Sayangnya, ia harus kembali mengingat perjanjian di atas kertas yang sudah mereka bubuhi tanda tangan. Jika tidak ada denda pelanggaran, mungkin Jerry sudah meminta Angel menjadi istri seumur hidupnya.

“Ish, dibilang jauh-jauh dar—” Perkataan Angel terputus saat ibunya berjalan ke arah mereka, terpaksa dirinya membalas pelukan Jerry —meski dalam hatinya terlintas rasa bahagia.

“Angel, Jerry, ayok foto keluarga,” ajak sang ibu yang mendapat anggukan semangat dari Jerry.

Satu per satu manusia dengan kemeja dan dress berwarna seragam mengelilingi Anne dan Juna —nama tunangan Anne—. Jerry hendak mengikuti yang lain, namun pergerakannya terhenti saat Angel meremat lengannya.

“Kita di ujung aja,” katanya tanpa menatap sang lelaki.

“Loh? Tapi kan ini acara tunangan adikmu?” tanya Jerry heran. Biasanya keluarga inti akan berada di kanan dan kiri mereka. Sungguh aneh.

“Jangan terlalu kelihatan, biar mereka nggak sadar kalo nanti lo pergi dari hidup gue,” ujar Angel sebelum meninggalkan Jerry dengan ekspresi yang tak terbaca. Lelaki itu terdiam.

“Emang nggak ada kesempatan buat gue stay, ya?” tanya lelaki itu pada dirinya sendiri.

Setelahnya tak ada lagi obrolan di antara mereka. Flash kamera dan bincang-bincang keluarga sama sekali tak mengganggu perang dingin keduanya. Udara pun semakin terasa menusuk kulit karena sikap Jerry yang membeku dalam sekejap. Rasanya benteng yang sangat tinggi sudah terbangun di antara mereka. Bukan karena perbedaan status, namun perbedaan rasa dan harap.

Jerry kecewa. Entah pada Angel yang tak bersikap seperti yang ia inginkan, atau pada dirinya yang terlalu berekspektasi tinggi?


@guanhengai, 2021.