guanhengai

Kos sempit yang biasa dipenuhi tawa dan teriak Raga kini hening tanpa suara. Dua anak manusia terbaring lemah di kasur dengan kain basah menempel di masing-masing dahi.

Pipi lelaki yang jauh lebih kecil itu sudah memerah akibat suhu tubuh yang terlampau tinggi. Bocah itu sudah melupakan mainan-mainan yang menunggunya di kamar mandi. Biasanya, bebek dan ikan plastik di bak selalu menjadi temannya membasuh diri sebelum sekolah.

Hanya ada satu gadis yang dari tadi bolak-balik ke dapur untuk mengisi ulang air di baskom. Jam lima pagi, dirinya dikejutkan dengan suhu tubuh Praha yang melonjak. Suaminya yang biasa tidur tanpa selimut pun merengek untuk berbagi kain tebal itu dengan anaknya.

Sudah Aira katakan, Praha pasti jatuh sakit jika hujan-hujanan. Lalu, jantungnya kembali dikejutkan saat sang gadis mengangkat tubuh anaknya. Tidak berbeda jauh dengan sang ayah, bocah kecil itu pun terlihat menggigil.

Hampir satu jam Aira gunakan untuk mengurus dua lelaki tampan itu agar terbebas dari sensasi dingin. Semua jaket dan baju berbahan tebal sudah ia keluarkan agar anak dan suaminya merasa hangat. Saat mentari muncul, barulah Praha dan Raga tidur nyenyak.

Kini Aira berada di samping suaminya, baru saja selesai mengganti kain di dahi Praha. Telapak kasarnya membelai lembut rahang sang tuan. Helaan napas kasar lolos begitu saja.

“Udah dibilangin jangan hujan-hujanan, malah ngeyel ….” gumam gadis itu.

Lalu, netranya berpindah pada si mungil yang sudah terlelap bersama botol susu di mulutnya dan guling kecil di pelukannya. Lagi-lagi ia menghela napas. Tidak ada perasaan yang lebih buruk dari pada melihat anak dan suaminya jatuh sakit di waktu bersamaan seperti ini. Terlebih, ia tidak memiliki kekuatan dan dana untuk membawa mereka ke rumah sakit.

Hanya obat tablet dan sirup di lemari yang dapat ia berikan untuk dua manusia ini. Setelah bubur di kompor matang, ia akan membangunkan Praha dan Raga.

Baru saja Aira akan beranjak, pergelangannya sudah ditahan. Tubuhnya sedikit berbalik untuk menatap sang suami. “Kenapa, Mas? Pusing lagi?” tanya gadis itu seraya telapaknya memijat lengan Praha.

Sang lelaki menggeleng pelan. Salah satu tangannya merogoh kantung celana dan mengeluarkan isinya. “Nanti belanja daging aja,” tuturnya lemah.

Aira menatap bingung suaminya. Lembaran uang berwarna biru masih belum berpindah ke tangannya. Tidak biasanya Praha memberi uang belanja tambahan, apa lagi hanya untuk membeli daging merah.

“Buat apa, Mas? Kamu lagi mau makan daging?”

Lagi-lagi Praha menggeleng. “Buat Raga,” jawabnya.

Rasanya Aira ingin membanjiri Praha dengan pertanyaan. Sejak kapan lelaki itu memintanya belanja khusus untuk anaknya? Bahkan, ia jarang memperhatikan makanan sehari-hari Raga.

Tangan Aira diraih oleh Praha. Selembar uang lima puluh ribuan terpaksa digenggam jemarinya.

“O-okay, nanti aku belanja.”

Anggukan kecil Praha disusul netranya yang kembali tertutup. Kening sang gadis masih setia mengerut kala langkahnya menuntun ia keluar dari kamar.


@guanhengai, 2021.

Praha yang sudah merindukan sang ibu langsung masuk ke rumah setelah melepas helmnya. Ia tahu wanita cantik itu sedang berada di dapur karena aroma masakan Mama sudah menyapa indra penciumannya. Mama memang pintar masak, makanya dulu sering dipanggil para penghuni cluster mewah untuk membantu mengurus rumahnya.

Senyum hangat yang dua tahun terakhir hanya bersarang di otak Praha kini tercetak jelas di hadapannya. Wanita berusia 44 tahun itu tetap terlihat cantik meski tidak pernah melakukan perawatan mahal. Secepat kilat, lengan kekar sang pemuda langsung merengkuh tubuh yang jauh lebih pendek itu.

“Errr, kamu udah berat, Praha!” protes Mama mendorong bahu Praha. Biarlah, lelaki itu ingin bebas memeluk mamanya saat ini.

Sharen memang pantas dapat julukan bidadari dunia dari para bapak-bapak komplek perumahan. Bagaimana tidak? Kulit mulus dan aura elegannya mampu menutupi fakta bahwa wanita itu terlahir dari keluarga sederhana.

Papa Praha memang tidak salah pilih istri. Dulu.

“Mama, Praha kangen...” gumam lelaki itu masih dengan memeluk erat Sharen.

Setelah bersusah payah, akhirnya Mama dapat melepaskan diri dari anak manjanya. “Ish! Kamu yang nggak dateng ke rumah Mama!”

Tatapan wanita itu mengiringi langkahnya menuju wastafel. Entah sudah berapa kali Praha mengucapkan terima kasih pada Tuhan sejak ia memasuki dunia ini. Rasanya, kehidupan yang Praha inginkan terwujud semua di sini.

Kecuali Papa yang menikah dengan nenek lampir. Dan kondisi ekonominya yang kurang stabil.

Kebulan asap di atas wajah memancing saraf sensori di hidung Praha. Ca kangkung buatan Mama tidak pernah gagal. Tambahan tauco dan beberapa udang kecil di dalamnya membuat masakan itu semakin lezat.

Ugh, cacing di perut Praha sudah meronta-ronta.

“Udah, kamu duduk aja. Jangan ganggu Mama masak,” tutur Sharen sembari mendorong bahu anaknya.

Saat tiba di kursi makan, netra Praha terpaku pada sebuah box. Kotak bertuliskan salah satu bakery terkenal di kota mereka tentu membuat dahinya mengerut. Jangankan membeli cake sebesar itu, untuk menyicip roti tawar slice di sana saja mereka tidak mampu.

“Ma, kok ada kue ini?” tanya lelaki itu.

Jantung Sharen berdegup kencang kala pertanyaan itu meluncur dari mulut Praha. Tidak ada kebohongan yang masuk akal saat ini. Satu-satunya jalan adalah mengungkapkan fakta.

“Tadi papamu ke sini, Praha.”

Tiba-tiba Sharen melihat rahang anaknya mengeras dari kejauhan. Ia menangkap urat di leher dan wajah Praha menyembul. Sama seperti dugaan Mama, anaknya pasti tidak suka dengan fakta tersebut. Namun, ia tetap bungkam meski matanya tak lepas dari si jenjang tampan itu.

“Ngapain dia ke sini?” tanya anaknya dengan nada super tajam.

“Praha, dia tetep Papa kamu.”

“Secara biologis, iya. Tapi, mana ada Papa yang ngusir anaknya dan belain pelakor?”

“Hah? Kamu diusir Papa? Kapan? Kok nggak cerita sama Mama?”

Praha terdiam sejenak. Lihat saja bagaimana ekspresi mamanya sekarang —alis yang hampir menyatu, wajah memerah, napas tak keruan. Lelaki itu berdiri bersandar meja makan, telapaknya hinggap di kedua bahu Mama.

“It's okay, salah Praha karena masuk ke kantor Papa tanpa izin.” “Sekarang Praha mau nanya, tadi Papa ngapain ke sini?”

Beda. Itu yang Sharen rasakan saat ini. Ia harus mengakui sikap anaknya sangat berbeda dari sebelumnya. Praha yang biasa meninggalkannya begitu saja saat membahas sang mantan suami kini justru menanyakan tujuan pria itu mendatanginya.

“Mama juga nggak tau. Tadi papamu cuma kasih itu, terus minta maaf, terus pergi,” jelas Sharen dengan netra tertuju pada box kue yang sama sekali belum di buka.

Praha menelan rasa curiga, namun tetap memberi usapan hangat di bahu Mama. Ia takut Papa menyakiti wanita di hadapannya. Praha tidak ingin kehilangan Mama untuk kedua kalinya. Praha tidak siap.

Setelahnya, pemuda itu menarik raga Sharen dalam pelukannya. Tidak ada yang boleh menyakiti Mama. Kalimat barusan bukan hanya untuk orang lain, juga untuk dirinya sendiri. Ia tidak akan menyakiti Mama lagi dengan kekecewaan.

“Anak Mama udah dewasa sekarang,” tutur Sharen yang susah payah meraih surai anaknya yang sudah tumbuh tinggi.


@guanhengai, 2021.

Decitan pintu kamar menyita penuh atensi Praha. Tubuhnya yang semula hampir merosot kembali ditegakkan kala sang istri berjalan ke arahnya. Beruntung kamar kos mereka berada di dekat balkon, sehingga ia dapat mengajak Aira berbicara ditemani gemerlap lampu ibu kota.

Jika di dunianya, mungkin lelaki itu akan mengajak Aira ke perpustakaan atau bar rumah untuk berbicara empat mata. Namun, nyatanya kini ia hanya memiliki kursi plastik bertenda ribuan bintang.

“Sini,” ujar Praha menepuk kursi kosong di sampingnya.

Lengannya segera melingkari pundak sang gadis sesaat Aira duduk. Sudah lama ia tidak merasakan hal ini. Duduk di samping gadisnya, merangkul bahunya, dan merasakan hangatnya tubuh Aira.

Ada jeda cukup panjang sebelum Praha memulai obrolan. Lelaki itu yakin gadisnya sedang diselimuti amarah yang akan meluap jika ia memulainya sekarang. Biarkan mereka sama-sama mendinginkan pikiran terlebih dahulu.

Setelah dirasa cukup, Praha mulai mengusap lengan Aira, pertanda obrolan mereka segera dimulai. “Gimana hari ini? Kamu ngapain aja?” tanya lelaki itu.

“Biasa aja. Bangun, bikin kue, mandiin Raga, kasih kue ke Bian, nyariin Raga, nangisin Raga, mandiin Raga lagi, masak, tidurin Raga.”

Lelaki itu tersenyum pias. Hari ini bukan hanya Raga yang dibuatnya menangis, tetapi juga Aira.

“Selain marah sama aku, ada yang bikin kamu seneng nggak hari ini?” tanyanya lagi.

Ia merasakan anggukan Aira. “Pas liat Raga pulang selamat, rasanya lega.”

Salah satu tangannya yang bebas digunakan untuk menarik sebelah bahu Aira. Telapaknya menggeser wajah sang gadis agar netra mereka saling bertaut.

“Maaf,” ucapnya tulus.

“Maafin aku.”

Lelaki itu menunduk penuh rasa bersalah. “Aku nggak bakal kasih pembelaan, aku sadar kok kalau aku salah.”

Setelah kembali menegakkan kepalanya, ia berkata. “Tapi, kamu mau denger penjelasanku nggak? Kenapa tadi aku lupa jemput Raga?”

Aira menatap bingung suaminya. Ini terlihat seperti bukan Praha. Lelaki yang sudah wangi ini biasanya akan mendiamkan Aira ketika mereka diselimuti kesalahpahaman. Bahkan, lebih sering gadis itu yang memulai obrolan setelah perang dingin mereka.

Dengan sedikit rasa ragu, Aira mengangguk. Senyum suaminya adalah respon atas jawaban tersebut. Tubuh mungilnya didekap oleh Praha. Kepalanya kini sudah bersandar penuh di dada suaminya. Aira dapat merasakan debar jantung Praha.

“Tadi aku ke kantor Papa,” ucap lelaki itu memulai penjelasannya.

Istrinya refleks melepas rangkulan dan menatap tajam dirinya. Namun, lelaki itu hanya tersenyum. “Dengerin dulu sampe habis,” tuturnya sembari menarik kembali tubuh Aira.

Praha baru saja membaca diary 'Praha' mengenai Aira yang sudah melarangnya bertemu dengan Papa dan istri ularnya itu. Setelah Raga lahir, mereka pernah meminta bantuan dana pada Papa karena kebutuhan Raga ternyata melampaui batas mereka.

Namun, niat itu berakhir dengan diusirnya Praha. Jangan lupakan cacian jahat dari mulut Tante Vendira yang tidak pernah Aira lupakan. Saat itu, jalan satu-satunya adalah menjual mobil Mama. Hal tersebutlah yang menyebabkan Praha hanya memiliki motor bebek sebagai alat transportasinya.

“Aku nggak minta uang ke Papa. Tadi Nash tiba-tiba ngobrolin soal Papa, terus aku jadi keinget Mama. Aku cuma mau liat gimana hidup Papa sama wanita itu,” lanjutnya.

“Aku sempat berharap Papa nggak nikah sama dia dan balik ke Mama. Nggak perlu jadi suami-istri, cukup nggak ada di dua kubu gini.”

Terdengar sang gadis menghela napas kasar. Praha hanya berharap Aira yang saat ini berada dalam rangkulannya tidak berbeda jauh dengan Airanya.

Tepat! Gadis itu mengusap punggung tangan Praha yang terjuntai bebas di samping bahunya. Tak ada kata, hanya kehangatan yang ia salurkan di sana.

Suara jangkrik sempat mendominasi, hingga sang gadis buka suara. “Jangan pernah ke sana lagi, Mas.”

Praha mengangguk tanpa ragu. Setelah mengalami kejadian tadi siang, ia tidak akan pernah lagi menampakkan diri di depan wajah Papa. Ia membenci papanya. Papanya di dunia ini.

Lelaki itu merasakan kepala Aira bergerak. Kala dirinya menunduk, wajah cantik sang istri sudah tepat berada di hadapannya. Senyum lembut keduanya berseri begitu saja. Perlahan tapi pasti, dua bibir ranum itu bertemu.

“Cantik,” tutur Praha.

“Aku maafin kamu, Mas.”

Lagi-lagi, Praha menghujani Aira dengan kecupan jahilnya. Sang gadis sempat berteriak karena merasakan geli akibat kumis tipis Praha. Hingga mereka merasa tak lagi aman berada di luar, barulah keduanya beranjak memasuki kamar kos.

Kasihan Raga, sepertinya anak itu sudah mencari kedua orang tuanya.

“Mas, tadi Mama nyariin kamu loh. Katanya kamu udah lama nggak ngabarin beliau.”

“Mama kamu?”

“Mama kamu lah!”

Praha memperlambat langkahnya.

Mama? Mama gue? Mama masih ada? Mama beneran masih hidup?


@guanhengai, 2021.

Tangannya meraih pintu kamar kos, mendorongnya untuk masuk ke dalam ruang 3x4 itu. Tidak peduli jika Aira masih marah dengannya, Praha hanya ingin meminta maaf pada sang anak karena membiarkan bocah itu menunggu tanpa kejelasan.

Netranya menangkap sosok kecil itu tengah memegang botol susu dan berbaring di kasur. Tidak ada Aira di sana. Dugaan Praha, istrinya sedang di dapur dan mempersiapkan makan malam untuknya.

“Maafin Papa.” He said with almost inaudible voice. Pertahanannya sudah hancur, air mata mengalir perlahan dari sudut mata Praha. Bibir bawahnya digigit cukup keras, tak ingin anak yang kini didekapnya menyadari tangisnya.

“Maafin Papa udah bikin Raga nunggu, udah bikin Raga nangis, maafin Papa.”

Telapak kecil itu mendorong bahu sang papa. Usianya memang belum menyentuh angka lima, namun kecerdasan otaknya menurun dari sang ibu. Jemari mungil yang awalnya menyangga botol susu pun menangkup kedua rahang Praha.

Meski teramat kecil, lelaki itu dapat merasakan kehangatan di sana. Matanya terpejam kala Raga dengan telaten menghapus sisa tetes air mata di pipinya. “Cup cup cup, Papa ndak oyeh angis. Laga ndak mayah kok ama Papa,” tuturnya dengan bahasa anak kecil. (Translate: Cup cup cup, Papa nggak boleh nangis. Raga nggak marah kok sama Papa.)

Tiba-tiba perasaan yang sudah besar bertumbuh tak terbatas. Tunas kecil di hati Praha berbuah hanya dengan kalimat sederhana dari anaknya. Tubuh kecil itu langsung dibopong dan dipeluk erat.

Sungguh, rasa sesal di dalam diri Praha kian memuncak. Andai ia tidak bertindak bodoh empat tahun silam. Andai Raga tetap ada di dunianya. Andai ia memilih untuk mempertahankan calon anaknya. Dan masih banyak andai lain yang tebersit di benaknya.

“Papa, cucu Laga jatuh!”

Telunjuk kecilnya mengarah pada botol susu yang sudah tergeletak di kasur. Bibirnya mengerucut seraya linang air mata berkumpul di pelupuk. Alih-alih menolong, sang ayah justru tertawa geli melihat ekspresi Raga.

“Hahaha, lagian botolnya tuh kegedean, Raga. Harusnya kamu pake botol kecil aja, biar tangannya muat,” tutur Praha sembari mengambil botol susu itu dan menanamkan ujungnya di mulut sang anak.

Selanjutnya, pemandangan kamar kecil itu diisi oleh Praha yang masih berbalut seragam kerja dengan Raga kecil di pangkuannya. Ocehan antusias si bocah mengenai teman-teman sekolahnya membuat Praha berkali-kali terkekeh.

Ia tidak mengerti apa yang Raga ceritakan, namun mendengar anaknya berbicara sudah cukup membuat perasaannya jauh lebih tenang.

Tanpa keduanya ketahui, ada sosok gadis cantik di pintu yang menyaksikan kegiatan mereka. Tangis harunya sudah menetes sejak tadi. Sejak Praha mengucapkan maaf pada anak mereka.


@guanhengai, 2021.

“Eh, yang tadi beneran Nyonya Carlo? Perasaan cantikan mantan istrinya.”

Setuju.

Kantor Papa siang itu tiba-tiba rame. Mungkin karena wanita berpenampilan cetar yang baru aja Mr. Joseph bawa ke ruang kerjanya berhasil memancing atensi karyawan.

“Ck!” Praha mendecak kala ia lupa bahwa dirinya bukanlah karyawan kantor ini.

Ia harus masuk ke ruang kerja Papa. Satu per satu ide berputar dalam otaknya. Beruntung di dunianya Praha cukup mengenal gedung ini, termasuk jalan tikus yang biasa digunakannya untuk bolos saat ada rapat.

“Dasar bokap sinting!” gerutunya sembari menaiki tangga darurat.


Di depannya kini sudah tercetak jelas sebuah nama beserta gelar di depan dan belakangnya, CEO JCC Company yang dua tahun terakhir ini tinggal di atap yang sama dengan Praha.

Papa memang sempat membahas kedekatannya dengan salah satu rekan kerja, Tante Vendira Gautama, penerus Gautama Company. Bukankah ini hal yang lumrah? Menikah berkali-kali demi kelancaran bisnis.

Tapi, hal itu tidak akan dibiarkan terjadi jika Praha masih hidup di dunia. Mama dan papanya hanya ada satu, Mama Sharen dan Papa Joseph. Tidak akan ada mama dan papa tiri, meski keduanya sudah tak terikat janji suci.

Oke. Sekarang adalah saatnya melabrak Papa. Oh bukan, melabrak wanita itu lebih tepatnya.

“Papa!”

Pemandangan yang Praha dapatkan jauh dari kata indah. Lengan kekar Papa sedang memeluk pinggang wanita itu, sedang sang ular bergelayut manja. Ewh.

“E—eh?” Tante Vendira menampilkan ekspresi bingung tanpa melepas rangkulannya.

Demi Tuhan, Praha jijik.

Lelaki itu tersenyum sinis. Setelah mnurunkan resleting jaket merah khas salah satu ekspedisi, ia lempar bokongnya ke atas sofa. Kaki berbalut sepatu lusuh pun hinggap di atas meja kaca yang setara dengan sofa tersebut. Aroma keringat dan kaki langsung menyebar ke seluruh penjuru ruangan.

“Tidak sopan sekali anak ini, tiba-tiba masuk tanpa ketuk.” Wanita berbibir merah itu sudah melayangkan tatapan tajam pada Praha. Tentu mereka saling tahu. Sejak kecil, Praha sering bertemu Vendira karena wanita ular ini sudah mengincar Papa sejak awal.

“Maaf, Tante. Sepertinya jauh lebih tidak sopan jika menyelinap ke dalam rumah tangga orang dan menghancurkan keluarganya.” Praha terdengar tenang, meski hatinya sudah menggebu-gebu.

“Praha!” Joseph akhirnya mengeluarkan suara. Nadanya tidak terlalu tinggi, namun penekanan di sana membuat dua insan lainnya merinding. Wajah yang semula datar, sekarang dipenuhi amarah.

Papa segitu marahnya sama gue? batin Praha.

“Oh, ternyata Papa udah lupain Praha sama Mama? Hahaha, padahal dulu Mama yang nemenin Papa dari nggak punya apa-apa.”

Masih dengan posisinya, kedua lengan lelaki itu bersila di depan dada. Bayangan tentang masa kecilnya di atas motor bersama Mama dan Papa adalah pemicu terlontarnya kalimat barusan. Guyuran hujan yang akhirnya membuat Praha kecil demam adalah bukti bahwa ia juga ikut andil dalam perjuangan kedua orang tuanya.

Namun, kini Papa meninggalkan Praha. Benar-benar meninggalkan dirinya.

“Halah! Paling mau minta uang, Mas. Udah kasih aja, biar cepet pergi dari sini.”

Demi Tuhan tidak ada niat untuk meminta sepeser pun dari Papa. Ia hanya ingin melihat bagaimana kehidupan pria itu di dunia ini. Pasalnya, Papa di dunia asal Praha memilih untuk meninggalkan Tante Vendira dan menghabiskan waktu dengan dirinya.

Ternyata, hal itu tidak terjadi di sini.

Alih-alih tersinggung, laki-laki tersebut justru menurunkan kakinya dan menegakkan bahu. Matanya sempat tertutup untuk menarik napas panjang.

Perlahan, sepasang indra pengelihatan itu kembali terbuka. “Saya nggak sudi terima uang dari pria dan wanita seperti kalian,” katanya.

Jujur, Praha keringat dingin. Tidak pernah sekali pun dalam hidupnya ia berkata demikian. Bahkan, berhadapan dengan Papa saja dia masih sedikit sungkan. Entah mengapa, hari ini Praha teringat almarhumah Mama dan membawa raganya ke kantor Papa.

“Terus? Tunggu apa lagi? Pintu keluar di sebelah sana,” tutur Joseph sembari menunjuk pintu ruang kerjanya.

Senyum culas ala ibu tiri jahat tergambar jelas di wajah Tante Vendira. Benar-benar ular!

“Bilang saya wanita murahan, padahal istrinya juga sama. Sampe hamil anak haram.”

Dua kalimat yang terlontar dari mulut wanita itu membangunkan monster dalam diri Praha. Langkahnya terhenti sebelum tubuhnya berbalik dan berjalan cepat menuju Tante Vendira.

Netra Praha mulai memunculkan garis-garis merah tepat lima belas inci di depan wajah wanita ular itu. “Jangan pernah bilang Raga anak haram!” ujarnya penuh penekanan di setiap suku katanya.

“Emang itu kenyataannya, kan?” balas si ular tanpa takut.

“JANGAN PERNAH BILANG RAGA ANAK HARAM!”

Kedua tangan lelaki itu sudah terkepal sempurna hingga menciptakan luka berbentuk bulan sabit di telapaknya.

“Sudah, sudah! Lebih baik kamu pergi dari sini!”

image

Tanpa ia duga, Papa malah mengusir Praha tanpa memberi pembelaan sedikit pun.

“Pa?”

“Pergi dari kantor saya!” usir lelaki itu sekali lagi.

“Anda bukan papa saya.”

Begitu putus Praha sebelum langkahnya menjauh dan membanting pintu ruang kerja Joseph.

Semua orang boleh marah padanya, boleh membentak dirinya, boleh menghina dirinya, tetapi tidak akan pernah dibiarkannya orang lain menghina Raga.

Raga adalah harta berharga baginya.

Entah sejak kapan, yang pasti rasa sayang Praha sudah tumbuh begitu besar terhadap bocah ikal itu.


@guanhengai, 2021.

“Eh, yang tadi beneran Nyonya Carlo? Perasaan cantikan mantan istrinya.”

Setuju.

Kantor Papa siang itu tiba-tiba rame. Mungkin karena wanita berpenampilan cetar yang baru aja Mr. Joseph bawa ke ruang kerjanya berhasil memancing atensi karyawan.

“Ck!” Praha mendecak kala ia lupa bahwa dirinya bukanlah karyawan kantor ini.

Ia harus masuk ke ruang kerja Papa. Satu per satu ide berputar dalam otaknya. Beruntung di dunianya Praha cukup mengenal gedung ini, termasuk jalan tikus yang biasa digunakannya untuk bolos saat ada rapat.

“Dasar bokap sinting!” gerutunya sembari menaiki tangga darurat.


Di depannya kini sudah tercetak jelas sebuah nama beserta gelar di depan dan belakangnya, CEO JCC Company yang dua tahun terakhir ini tinggal di atap yang sama dengan Praha.

Papa memang sempat membahas kedekatannya dengan salah satu rekan kerja, Tante Vendira Gautama, penerus Gautama Company. Bukankah ini hal yang lumrah? Menikah berkali-kali demi kelancaran bisnis.

Tapi, hal itu tidak akan dibiarkan terjadi jika Praha masih hidup di dunia. Mama dan papanya hanya ada satu, Mama Sharen dan Papa Joseph. Tidak akan ada mama dan papa tiri, meski keduanya sudah tak terikat janji suci.

Oke. Sekarang adalah saatnya melabrak Papa. Oh bukan, melabrak wanita itu lebih tepatnya.

“Papa!”

Pemandangan yang Praha dapatkan jauh dari kata indah. Lengan kekar Papa sedang memeluk pinggang wanita itu, sedang sang ular bergelayut manja. Ewh.

“E—eh?” Tante Vendira menampilkan ekspresi bingung tanpa melepas rangkulannya.

Demi Tuhan, Praha jijik.

Lelaki itu tersenyum sinis. Setelah mnurunkan resleting jaket merah khas salah satu ekspedisi, ia lempar bokongnya ke atas sofa. Kaki berbalut sepatu lusuh pun hinggap di atas meja kaca yang setara dengan sofa tersebut. Aroma keringat dan kaki langsung menyebar ke seluruh penjuru ruangan.

“Tidak sopan sekali anak ini, tiba-tiba masuk tanpa ketuk.” Wanita berbibir merah itu sudah melayangkan tatapan tajam pada Praha. Tentu mereka saling tahu. Sejak kecil, Praha sering bertemu Vendira karena wanita ular ini sudah mengincar Papa sejak awal.

“Maaf, Tante. Sepertinya jauh lebih tidak sopan jika menyelinap ke dalam rumah tangga orang dan menghancurkan keluarganya.” Praha terdengar tenang, meski hatinya sudah menggebu-gebu.

“Praha!” Joseph akhirnya mengeluarkan suara. Nadanya tidak terlalu tinggi, namun penekanan di sana membuat dua insan lainnya merinding. Wajah yang semula datar, sekarang dipenuhi amarah.

Papa segitu marahnya sama gue? batin Praha.

“Oh, ternyata Papa udah lupain Praha sama Mama? Hahaha, padahal dulu Mama yang nemenin Papa dari nggak punya apa-apa.”

Masih dengan posisinya, kedua lengan lelaki itu bersila di depan dada. Bayangan tentang masa kecilnya di atas motor bersama Mama dan Papa adalah pemicu terlontarnya kalimat barusan. Guyuran hujan yang akhirnya membuat Praha kecil demam adalah bukti bahwa ia juga ikut andil dalam perjuangan kedua orang tuanya.

Namun, kini Papa meninggalkan Praha. Benar-benar meninggalkan dirinya.

“Halah! Paling mau minta uang, Mas. Udah kasih aja, biar cepet pergi dari sini.”

Demi Tuhan tidak ada niat untuk meminta sepeser pun dari Papa. Ia hanya ingin melihat bagaimana kehidupan pria itu di dunia ini. Pasalnya, Papa di dunia asal Praha memilih untuk meninggalkan Tante Vendira dan menghabiskan waktu dengan dirinya.

Ternyata, hal itu tidak terjadi di sini.

Alih-alih tersinggung, laki-laki tersebut justru menurunkan kakinya dan menegakkan bahu. Matanya sempat tertutup untuk menarik napas panjang.

Perlahan, sepasang indra pengelihatan itu kembali terbuka. “Saya nggak sudi terima uang dari pria dan wanita seperti kalian,” katanya.

Jujur, Praha keringat dingin. Tidak pernah sekali pun dalam hidupnya ia berkata demikian. Bahkan, berhadapan dengan Papa saja dia masih sedikit sungkan. Entah mengapa, hari ini Praha teringat almarhumah Mama dan membawa raganya ke kantor Papa.

“Terus? Tunggu apa lagi? Pintu keluar di sebelah sana,” tutur Joseph sembari menunjuk pintu ruang kerjanya.

Senyum culas ala ibu tiri jahat tergambar jelas di wajah Tante Vendira. Benar-benar ular!

“Bilang saya wanita murahan, padahal istrinya juga sama. Sampe hamil anak haram.”

Dua kalimat yang terlontar dari mulut wanita itu membangunkan monster dalam diri Praha. Langkahnya terhenti sebelum tubuhnya berbalik dan berjalan cepat menuju Tante Vendira.

Netra Praha mulai memunculkan garis-garis merah tepat lima belas inci di depan wajah wanita ular itu. “Jangan pernah bilang Raga anak haram!” ujarnya penuh penekanan di setiap suku katanya.

“Emang itu kenyataannya, kan?” balas si ular tanpa takut.

“JANGAN PERNAH BILANG RAGA ANAK HARAM!”

Kedua tangan lelaki itu sudah terkepal sempurna hingga menciptakan luka berbentuk bulan sabit di telapaknya.

“Sudah, sudah! Lebih baik kamu pergi dari sini!”

image

Tanpa ia duga, Papa malah mengusir Praha tanpa memberi pembelaan sedikit pun.

“Pa?”

“Pergi dari kantor saya!” usir lelaki itu sekali lagi.

“Anda bukan papa saya.”

Begitu putus Praha sebelum langkahnya menjauh dan membanting pintu ruang kerja Joseph.

Semua orang boleh marah padanya, boleh membentak dirinya, boleh menghina dirinya, tetapi tidak akan pernah dibiarkannya orang lain menghina Raga.

Raga adalah harta berharga baginya.

Entah sejak kapan, yang pasti rasa sayang Praha sudah tumbuh begitu besar terhadap bocah ikal itu.


@guanhengai, 2021.

“Eh, yang tadi beneran Nyonya Carlo? Perasaan cantikan mantan istrinya.”

Setuju.

Kantor Papa siang itu tiba-tiba rame. Mungkin karena wanita berpenampilan cetar yang baru aja Mr. Joseph bawa ke ruang kerjanya berhasil memancing atensi karyawan.

“Ck!” Praha mendecak kala ia lupa bahwa dirinya bukanlah karyawan kantor ini.

Ia harus masuk ke ruang kerja Papa. Satu per satu ide berputar dalam otaknya. Beruntung di dunianya Praha cukup mengenal gedung ini, termasuk jalan tikus yang biasa digunakannya untuk bolos saat ada rapat.

“Dasar bokap sinting!” gerutunya sembari menaiki tangga darurat.


Di depannya kini sudah tercetak jelas sebuah nama beserta gelar di depan dan belakangnya, CEO JCC Company yang dua tahun terakhir ini tinggal di atap yang sama dengan Praha.

Papa memang sempat membahas kedekatannya dengan salah satu rekan kerja, Tante Vendira Gautama, penerus Gautama Company. Bukankah ini hal yang lumrah? Menikah berkali-kali demi kelancaran bisnis.

Tapi, hal itu tidak akan dibiarkan terjadi jika Praha masih hidup di dunia. Mama dan papanya hanya ada satu, Mama Sharen dan Papa Joseph. Tidak akan ada mama dan papa tiri, meski keduanya sudah tak terikat janji suci.

Oke. Sekarang adalah saatnya melabrak Papa. Oh bukan, melabrak wanita itu lebih tepatnya.

“Papa!”

Pemandangan yang Praha dapatkan jauh dari kata indah. Lengan kekar Papa sedang memeluk pinggang wanita itu, sedang sang ular bergelayut manja. Ewh.

“E—eh?” Tante Vendira menampilkan ekspresi bingung tanpa melepas rangkulannya.

Demi Tuhan, Praha jijik.

Lelaki itu tersenyum sinis. Setelah mnurunkan resleting jaket merah khas salah satu ekspedisi, ia lempar bokongnya ke atas sofa. Kaki berbalut sepatu lusuh pun hinggap di atas meja kaca yang setara dengan sofa tersebut. Aroma keringat dan kaki langsung menyebar ke seluruh penjuru ruangan.

“Tidak sopan sekali anak ini, tiba-tiba masuk tanpa ketuk.” Wanita berbibir merah itu sudah melayangkan tatapan tajam pada Praha. Tentu mereka saling tahu. Sejak kecil, Praha sering bertemu Vendira karena wanita ular ini sudah mengincar Papa sejak awal.

“Maaf, Tante. Sepertinya jauh lebih tidak sopan jika menyelinap ke dalam rumah tangga orang dan menghancurkan keluarganya.” Praha terdengar tenang, meski hatinya sudah menggebu-gebu.

“Praha!” Joseph akhirnya mengeluarkan suara. Nadanya tidak terlalu tinggi, namun penekanan di sana membuat dua insan lainnya merinding. Wajah yang semula datar, sekarang dipenuhi amarah.

Papa segitu marahnya sama gue? batin Praha.

“Oh, ternyata Papa udah lupain Praha sama Mama? Hahaha, padahal dulu Mama yang nemenin Papa dari nggak punya apa-apa.”

Masih dengan posisinya, kedua lengan lelaki itu bersila di depan dada. Bayangan tentang masa kecilnya di atas motor bersama Mama dan Papa adalah pemicu terlontarnya kalimat barusan. Guyuran hujan yang akhirnya membuat Praha kecil demam adalah bukti bahwa ia juga ikut andil dalam perjuangan kedua orang tuanya.

Namun, kini Papa meninggalkan Praha. Benar-benar meninggalkan dirinya.

“Halah! Paling mau minta uang, Mas. Udah kasih aja, biar cepet pergi dari sini.”

Demi Tuhan tidak ada niat untuk meminta sepeser pun dari Papa. Ia hanya ingin melihat bagaimana kehidupan pria itu di dunia ini. Pasalnya, Papa di dunia asal Praha memilih untuk meninggalkan Tante Vendira dan menghabiskan waktu dengan dirinya.

Ternyata, hal itu tidak terjadi di sini.

Alih-alih tersinggung, laki-laki tersebut justru menurunkan kakinya dan menegakkan bahu. Matanya sempat tertutup untuk menarik napas panjang.

Perlahan, sepasang indra pengelihatan itu kembali terbuka. “Saya nggak sudi terima uang dari pria dan wanita seperti kalian,” katanya.

Jujur, Praha keringat dingin. Tidak pernah sekali pun dalam hidupnya ia berkata demikian. Bahkan, berhadapan dengan Papa saja dia masih sedikit sungkan. Entah mengapa, hari ini Praha teringat almarhumah Mama dan membawa raganya ke kantor Papa.

“Terus? Tunggu apa lagi? Pintu keluar di sebelah sana,” tutur Joseph sembari menunjuk pintu ruang kerjanya.

Senyum culas ala ibu tiri jahat tergambar jelas di wajah Tante Vendira. Benar-benar ular!

“Bilang saya wanita murahan, padahal istrinya juga sama. Sampe hamil anak haram.”

Dua kalimat yang terlontar dari mulut wanita itu membangunkan monster dalam diri Praha. Langkahnya terhenti sebelum tubuhnya berbalik dan berjalan cepat menuju Tante Vendira.

Netra Praha mulai memunculkan garis-garis merah tepat lima belas inci di depan wajah wanita ular itu. “Jangan pernah bilang Raga anak haram!” ujarnya penuh penekanan di setiap suku katanya.

“Emang itu kenyataannya, kan?” balas si ular tanpa takut.

“JANGAN PERNAH BILANG RAGA ANAK HARAM!”

Kedua tangan lelaki itu sudah terkepal sempurna hingga menciptakan luka berbentuk bulan sabit di telapaknya.

“Sudah, sudah! Lebih baik kamu pergi dari sini!”

image

Tanpa ia duga, Papa malah mengusir Praha tanpa memberi pembelaan sedikit pun.

“Pa?”

“Pergi dari kantor saya!” usir lelaki itu sekali lagi.

“Anda bukan papa saya.”

Begitu putus Praha sebelum langkahnya menjauh dan membanting pintu ruang kerja Joseph.

Semua orang boleh marah padanya, boleh membentak dirinya, boleh menghina dirinya, tetapi tidak akan pernah dibiarkannya orang lain menghina Raga.

Raga adalah harta berharga baginya.

Entah sejak kapan, yang pasti rasa sayang Praha sudah tumbuh begitu besar terhadap bocah ikal itu.


@guanhengai, 2021.

Rintik air hujan masih membasahi tanah di luar sana, jatuhnya ke genting pun mengiringi langkah Praha dan Aira. Anak mereka tertidur pulas di gendongan sang ibu, sedang ayahnya memegang tas berisi susu dan baju kotor.

Setelah berkompromi dengan Leo, lelaki berusia dua tahun di bawah Aira itu dengan senang hati meminjamkan salah satu motornya pada sang kakak. Praha dan istrinya harus rela kehilangan dua ratus ribu mereka untuk sebuah motor bebek.

Dasar adik perhitungan!

Kumpulan kunci dengan gantungan berbentuk Candi Borobudur sudah tertanam di salah satu pintu kos. Praha membukanya perlahan, tak ingin membangunkan Raga. Netranya dipaksa menelisik untuk mengetahui keberadaan saklar kamar itu. Beruntung indra pengelihatannya mampu diajak berkoordinasi, hingga Aira tidak menyadari kebingungannya.

Tubuh atletisnya tercetak jelas dari balik kemeja hitam yang sudah basah kuyup. Otot di lengan dan perutnya sungguh amat menggoda kaum wanita, termasuk Aira yang baru saja selesai dengan tugasnya memindahkan sang anak ke kasur.

Berbeda dengan suaminya, gadis itu hanya basah di bagian kaki. Kepala hingga tubuhnya tertutup sempurna dengan jas hujan dan jaket Praha hingga tak ada air lolos ke sana.

“Mas, mandi sana! Kamu basah gitu,” tuturnya sembari melengos agar suaminya tidak melihat wajah yang mulai memerah.

“Hahaha! Mukanya kok merah gitu?” goda Praha yang ternyata sudah menangkap raut istrinya.

“Hayo, habis liat apa?” tanya lelaki itu lagi seraya mengusap perutnya.

Gadis cantik berbalut dress senada dengan kemeja miliknya pun berjalan cepat menuju lemari. Tangannya sengaja disibukkan dengan beberapa tumpuk kaos dan menarik salah satunya.

“Nih! Nanti masuk angin,” ucap Aira tanpa peduli godaan Praha.

Diam-diam, lelaki itu tersenyum geli melihat wajah gadisnya. Ini adalah ekspresi Aira saat berada di bawah kungkungannya.

Ehm! Bagian itu nggak usah dilanjutin ya, Praha.

Tak ingin bersahabat dengan flu dan demam, ia langsung merampas kaosnya dan masuk ke kamar mandi.

Aira menggila sesaat pintu besi itu tertutup. Meski sudah menjalin hubungan cukup lama dengan Praha, ia selalu salah tingkah jika digoda seperti itu. Terlebih, ekspresi suaminya benar-benar menyebalkan saat berhasil memunculkan semburat merah di pipi sang gadis.

“Mas Praha gila!” gerutunya.

Gila gantengnya!! lanjutnya dalam hati.

Praha butuh sekitar lima belas menit untuk membasuh dirinya. Lima menit terakhir digunakan untuk merenungi fakta yang ia temukan hari ini. Parallel universe? Benarkah dia menjalani hidup sebagai Praha lain saat ini?

Tidak masuk akal, tetapi itu adalah satu-satunya hal yang dapat ia simpulkan. Kamar kos, jaket salah satu ekspedisi, dan beberapa lembar sepuluh ribuan di dompetnya adalah bukti bahwa kehidupan Praha di dunia ini tidak sebaik kehidupannya di sana.

Tak ingin membuat Aira menunggu terlalu lama, ia segera cukupkan lamunannya. Sisa air di ujung rambut dibiarkannya membasahi handuk kecil di bahu.

Raga sudah tenang di alam mimpi dengan posisi menghadap tembok, sedangkan istrinya masih sibuk dengan ponsel. Lelaki berusia dua puluh tiga tahun itu bergabung dengan sang gadis setelah menjemur handuknya di depan kamar.

“Gulingnya taruh di samping Raga aja, biar nggak kejedot tembok,” tutur Praha lembut sembari memindahkan bantal panjang itu ke depan anaknya.

Setelah memastikan Raga aman dan nyaman, ia duduk bersandar kepala kasur dan ikut menatap layar ponsel sang istri.

“Kamu nggak tidur pake guling?” tanya Aira.

“Enggak, kan bisa peluk kamu.”

Lengan kekarnya membebani perut sang gadis, membuat tetesan air ikut mengenai pipi istrinya.

“Shhh! Dingin, Mas.”

Alih-alih menyingkir, lelaki itu justru menenggelamkan wajahnya di ceruk leher Aira. Ia rindu aroma ini. Ia rindu spot ini. Ia rindu Aira.

“Mas!” bola mata gadis itu tiba-tiba menatapnya tajam. “Kamu bohong sama aku, ya?”

Sebelah alis Praha terangkat, meminta penjelasan dari sang lawan bicara.

“Motormu nggak dipinjem Nash, kan?”

Tubuh lelaki itu menegang seketika.

“Eng, anu... Itu ....”

Ah! Praha belum mempersiapkan jawaban untuk pertanyaan Aira. Otaknya sungguh buntu saat ini, tidak tahu apa yang harus ia katakan pada istrinya.

Iya, aku jatuh pas mau ke Bandara. Iya, motorku rusak habis lintas dimensi.

Nggak mungkin, kan?

Merasa tak dihiraukan, gadis itu mencubit pinggang suaminya. “Mas, ayo jujur!”

Lelaki itu menggaruk tengkuk yang sama sekali tidak gatal. Anggukan kecil adalah respon atas pertanyaan istrinya tadi. Ia meringis kala melihat tatap Aira menajam.

“Mas, terus motormu di mana? Tadi juga aku liat ada luka di sik—”

Di bawah remang cahaya lampu kamar, Praha mencuri satu kecupan singkat di pipi sang istri. Malu. Ingin rasanya Aira memanggil ibu peri dan membuat dirinya lenyap dari tempat itu.

“Massss!!” geramnya seraya mencubit pinggang lelaki di sampingnya lagi.

Saat itulah Praha tertawa. Telapaknya mengurung wajah Aira, dahinya didekatkan pada milik gadisnya.

“Aku jatuh kemarin, makanya nggak pulang. Maaf, ya?”

Ponselnya terlempar saat tubuh Aira bangkit dari tidurnya. Tanpa peduli nasib benda panjang itu, netranya justru menelisik beberapa lebam di tubuh sang suami.

“Hah? Jatuh? Jatuh di mana? Kok nggak bilang aku? Terus ada yang sakit nggak?”

Yang dicemaskan hanya menggeleng dan tertawa geli. Airanya tidak berubah. Ia tetap sosok yang takut kehilangan Praha, bahkan menangis hanya karena luka kecil di tubuh lelakinya.

“Jangan bohong lagi,” pinta Aira serius yang diangguki Praha.

Senyum jahil suaminya membuat gadis itu lagi-lagi salah tingkah.

“Raga nyariin kamu kemarin.”

Bohong. Bocah itu berkata bahwa Aira lah yang mencari dirinya. Apakah wanita selalu seperti itu? Menjadikan anaknya sebagai kambing hitam.

“Aku nggak apa-apa kok,” ujarnya membuat sang istri tenang.

Telapak Praha meraih ponsel Aira dan menyimpannya di atas nakas. Tubuhnya sedikit diangkat demi meraih saklar dan mematikan lampu kamar. Sebelum keduanya direnggut oleh kantuk, lelaki itu menggenggam tangan istri dan juga anaknya. Ia rapalkan doa syukur dan ucapan selamat tidur pada Sang Pencipta.

Peluk hangat untuk Aira adalah penutup malam ini. Dalam diam, Praha menyuarakan terima kasih dan janji pada semesta untuk menjaga gadisnya sekali lagi. Tangan panjangnya juga membelai lembut surai ikal sang anak. Raga benar-benar mengingatkan Praha akan masa kecilnya. Tanpa ragu, lelaki itu memberi kecupan di dahi anak dan istrinya.

“Good night, sleep tight,” tuturnya menutup hari.

“Raga pasti seneng kalo tau papanya cium dia,” batin Aira.


@guanhengai, 2021.

The way to Aira's house was so long, but he didn't mind it. He smiled to himself. Finally, Airanya kembali.

Dekorasi bernuansa emas memenuhi halaman rumah sang gadis, mencolok netra Praha dengan kekaguman. Memang begitu house party seorang konglomerat, berbeda dengan pesta keluarganya yang hanya dimeriahi oleh organ tunggal.

Tamu undangan yang ramai membuat Praha berjalan sedikit menepi. Bagaimana tidak? Lelaki itu hanya berbalut jeans dan jaket murahan di antara manusia berdasi.

Mungkin ini yang dulu mama rasakan ketika bertemu keluarga papa, begitu batinnya.

Lelaki itu mendaratkan bokongnya di salah satu kursi kosong dekat jajaran makanan. Matanya terus menjelajahi tempat ini demi menemukan sosok yang sudah ia rindukan.

Beberapa kekehan kecil lolos dari mulutnya, melihat kebiasaan orang kaya yang tak jauh berbeda dengan dirinya. Mangkuk kecil di telapak kiri dengan sendok terhimpit elegan di antara ibu jari dan telunjuk kanan. Jangan lupakan logo-logo mahal yang bersarang dari ujung kepala hingga kaki.

Sebenarnya, Praha bingung dengan esensi pesta seperti ini. Apakah mereka datang pure untuk memberi selamat? Atau hanya sebagai ajang pamer harta dan jabatan?

A shake from the phone brought him back to the present. Tangannya ikut bergetar hebat kala menangkap satu nama yang tertera di layar.

Aira. Airanya menelepon.

Jarinya tremor seketika, bahkan dibutuhkan usaha lebih untuk menggeser layar ponselnya ke arah kanan. Sepersekon kemudian, benda persegi panjang itu sudah menempel di telinganya.

“Halo?” sapa Praha pada seseorang di seberang sana.

Kondisi jantung lelaki itu sudah tak keruan. Jika tidak terhalang tulang, daging, dan kulit, mungkin organ itu sudah meloncat tanpa arah.

“Aira?” sapanya lagi setelah beberapa waktu tak mendapat jawaban.

Gadis itu tetap hening. Bahkan, tak ada helaan napas terdengar dari seberang sana.

“Mas!”

Suara yang menyapa indra pendengaran sang tuan membuatnya terkejut dan hampir menjatuhkan ponselnya. Ternyata, bukan suara itu hal yang paling membuatnya terkejut. Sosok cantik di balik pilar teras mampu mencekat napas Praha.

“Jesus, if it's just in my dream, please wake me up!” batinnya terus meronta, meminta bukti bahwa ini adalah nyata.

Waves of her hands instantly grabbing Praha's attention while his finger turn their calls off. Gadis itu berjalan mendekati Praha. His eyes locked with Aira's as she raised her eyebrows. Keningnya sedikit mengerut saat lelakinya memberi respon tak normal.

He immediately ran towards the girl whom he’d recognized as his girlfriend. Praha pulled his girl into a big hearty hug a moment their body one inch away. Forgotten his unhealed wound, forgotten he was crying over Aira, forgotten she almost made him cry (again) between the crowd.

Ini nyata. Praha bisa merasakan hangatnya peluk Aira dan lembutnya surai gadis itu. Ini bukan mimpi.

“Aira, kamu ke mana aja? Aku kangen!” ujarnya setelah melepas pelukan erat tadi.

Sang gadis menatapnya bingung. Berkali-kali matanya berkedip hanya untuk memastikan lelaki di depannya dalam kondisi normal. “Aneh! Harusnya aku yang nanya gitu. Mama sama Papa udah mau potong kue, kamu baru dateng.”

Tatap bingung berpindah ke netra Praha. Tengkuknya digaruk pelan seraya otaknya berusaha mencerna perkataan Aira. Mama dan Papa potong kue?

Ah! Salah satu karangan bunga menjawab pertanyaan Praha. Pesta ini adalah peringatan hari ulang tahun pernikahan mertuanya. Belum sempat sepatah kata meluncur dari mulutnya, pekik anak kecil menyita perhatian dua manusia dewasa itu.

“Mama! Mau esklim!”

Sebiji anak laki-laki dengan rambut ikal mengulurkan tangannya ke arah Aira. Praha yang melihat kejadian itu hanya diam dan berperang dengan benaknya sendiri.

Itu anak Aira? Masa sih? Bukan ah! Tapi kok manggilnya mama?

“Mas?”

Panggilan aneh itu kembali terdengar. Terlalu banyak pertanyaan di otak Praha saat ini. Ia merasa dikenal banyak orang tetapi asing dengan diri sendiri. Apakah dirinya mengalami amnesia? Demi Tuhan, ini tidak lucu.

“Mas! Itu anakmu minta ice cream, anterin dulu sana!”

Hah? Anak? Anak gue? Ini anak gue? Sejak kapan?

Telapak berhias jam tangan itu langsung ditarik oleh sosok kecil yang sedari tadi menggerutu. Sembari berjalan, bocah itu masih mengomel karena sang ayah terlalu lama menuruti permintaannya.

“Kata Papa boyeh mam esklim hali ini!”

Tenda dengan jajaran mangkuk ice cream sudah terlihat jelas di depan lelaki itu, namun otaknya masih sibuk mencari benang merah dari kejadian yang baru saja ia alami.

Aira memanggilnya 'Mas'. Ada anak kecil yang mengaku sebagai anaknya.

Aneh.

“Papa! Gendong!” Mangkuk berisi ice cream cokelat sudah bertengger di telapak kecilnya saat kedua lengan itu terulur ke arah Praha.

“Papa!!” Tak kunjung mendapat balasan, si kecil keriwil itu menarik ujung kaosnya.

The mini one just kept looking at him with his pair of infamous puppy eyes that everyone would eventually fall for. Tidak tega melihatnya, Praha langsung mengambil alih mangkuk ice cream cokelat itu dan membopong si bocah.

Di luar dugaan Praha, sosok kecil itu langsung memeluk lehernya ketika sampai di pelukan. “Papa cemalem nggak puyang? Mama cali-cali loh,” tuturnya dengan nada kesal tapi imut.


@guanhengai, 2021.

Menjadi manusia bukanlah hal mudah, terlebih saat dipaksa selalu kuat dan tersenyum di tengah badai dunia.

Sepasang sepatu Adidas pemberian mendiang mama mengantar langkah Praha menyusuri lahan luas nan tenang. Gundukan berselimut rumput dengan tanda salib di ujung kepala memenuhi pandangan Praha.

Tanpa perlu menyusuri satu per satu nisan, lelaki berusia 24 tahun itu dengan mudah menemukan tempat peristirahatan terakhir sang ibu. Saat nama yang sangat dikenalnya terlihat, ia langsung mendekatkan bokongnya ke tanah seraya kedua tangan mengepal di depan wajah. Tentu Praha menyapa mama, juga Tuhan yang dengan setia menjaga wanitanya hingga akhir hayat.

Memori masa lalu tergambar jelas kala netranya tertutup. Kejadian dua tahun silam yang berhasil merampas mama dari hidup Praha memancing sedihnya. Bukan. Itu bukan salah semesta, tapi salah Praha yang gagal mengubur fakta. Fakta tentang cucu mama yang sengaja dihilangkan oleh anaknya sendiri karena belum siap menyandang gelar ayah.

Praha takut.

Ia tahu tidak semua orang tua benar-benar menjalani perannya sebagai ayah atau ibu di hidup seorang anak. Ada orang tua yang hanya menumpang nama di akta lahir dan ijazah. Mereka disebut orang tua hanya karena usia yang terus bertambah seiring memutihnya helai demi helai rambut.

Sama halnya dengan mama dan papa. Mama adalah wanita hebat karena berhasil membesarkan Praha seorang diri. Namun, terkadang mama terlalu sibuk dengan tumpukan baju kotor milik majikannya hingga melupakan eksistensi Praha.

Papa. Pria dengan ratusan cabang perusahaan itu mulai intens mengirim uang bulanan ke mama untuk menghidupi Praha ketika putranya menginjak usia 17 tahun. Sejak saat itu, mama pun mulai menghabiskan lebih banyak waktunya dengan Praha. Hingga ia sadar bahwa selama ini uanglah yang membesarkannya, bukan kasih sayang.

Namun, Praha yang bodoh tetap menjadikan papa sebagai role modelnya. Sama seperti pria itu, Praha pun memilih untuk menyakiti gadis yang ia cintai beserta anaknya sendiri.

Kini bukan lagi doa yang Praha rapalkan, namun permintaan maaf yang terdalam. Di balik kelopak yang masih setia tertutup, air matanya menetes tanpa perintah.

Mama pergi dengan rasa kecewa dan bersalah yang tak terbendung.

Sama halnya dengan wanita itu, sang anak pun selalu diselimuti rasa bersalah. Bedanya, Praha masih punya kesempatan untuk menampung oksigen di paru-parunya. Namun, itu adalah hal yang sangat menyesakkan.

Dihantui rasa bersalah sepanjang hidup membuat hal-hal di dunia tak lagi menarik. Bahkan, pertemuannya dengan sang ayah sesaat setelah mama meninggal saja tidak meninggalkan bekas yang bermakna.

Praha sudah kehilangan dirinya sejak empat tahun lalu, saat Aira tak lagi menjadi alasannya pergi ke kampus atau sekadar memangkas rambut setiap bulan. Airanya pergi.

Jangan sebut Praha berlebihan karena tidak ada istilah berlebihan dalam mencintai.

“Ma, andai Praha bisa turn back the time. Aira pasti lagi di samping Praha sekarang, sama cucu Mama juga,” parau lelaki itu.

Ia tidak yakin perihal menerima kehadiran anaknya. Yang Praha inginkan adalah Aira tetap di sampingnya.

“Den Praha? Ke sini lagi?” Suara serak khas lansia menyapa indra pendengarannya.

Sembari menggenggam sarung di bahu, Pak Prabu berjalan mendekati Praha. Pria yang bertugas menjaga pemakaman itu sudah cukup mengenal lelaki yang pernah tertidur beralas tanah basah.

Diberi pertanyaan, Praha mengangguk pelan. Senyumnya tetap berseri meski hati diselimuti gundah. “Iya Pak, saya kangen Mama.”

Pria berusia 56 tahun itu tersenyum hangat. Telapaknya menepuk bahu Praha dua kali sebelum raganya pamit pergi.

Tak salah jika Pak Prabu mempertanyakan kehadirannya. Praha memang intens mengunjungi tempat ini beberapa hari terakhir.

Entahlah, lelaki itu merasa pemakaman adalah tempat yang tepat untuk menenangkan pikirannya yang kacau. Ya, saat ini Praha sedang sangat kacau.

Ia benar-benar merindukan Aira. Airanya.


@guanhengai, 2021.