Rintik air hujan masih membasahi tanah di luar sana, jatuhnya ke genting pun mengiringi langkah Praha dan Aira. Anak mereka tertidur pulas di gendongan sang ibu, sedang ayahnya memegang tas berisi susu dan baju kotor.
Setelah berkompromi dengan Leo, lelaki berusia dua tahun di bawah Aira itu dengan senang hati meminjamkan salah satu motornya pada sang kakak. Praha dan istrinya harus rela kehilangan dua ratus ribu mereka untuk sebuah motor bebek.
Dasar adik perhitungan!
Kumpulan kunci dengan gantungan berbentuk Candi Borobudur sudah tertanam di salah satu pintu kos. Praha membukanya perlahan, tak ingin membangunkan Raga. Netranya dipaksa menelisik untuk mengetahui keberadaan saklar kamar itu. Beruntung indra pengelihatannya mampu diajak berkoordinasi, hingga Aira tidak menyadari kebingungannya.
Tubuh atletisnya tercetak jelas dari balik kemeja hitam yang sudah basah kuyup. Otot di lengan dan perutnya sungguh amat menggoda kaum wanita, termasuk Aira yang baru saja selesai dengan tugasnya memindahkan sang anak ke kasur.
Berbeda dengan suaminya, gadis itu hanya basah di bagian kaki. Kepala hingga tubuhnya tertutup sempurna dengan jas hujan dan jaket Praha hingga tak ada air lolos ke sana.
“Mas, mandi sana! Kamu basah gitu,” tuturnya sembari melengos agar suaminya tidak melihat wajah yang mulai memerah.
“Hahaha! Mukanya kok merah gitu?” goda Praha yang ternyata sudah menangkap raut istrinya.
“Hayo, habis liat apa?” tanya lelaki itu lagi seraya mengusap perutnya.
Gadis cantik berbalut dress senada dengan kemeja miliknya pun berjalan cepat menuju lemari. Tangannya sengaja disibukkan dengan beberapa tumpuk kaos dan menarik salah satunya.
“Nih! Nanti masuk angin,” ucap Aira tanpa peduli godaan Praha.
Diam-diam, lelaki itu tersenyum geli melihat wajah gadisnya. Ini adalah ekspresi Aira saat berada di bawah kungkungannya.
Ehm! Bagian itu nggak usah dilanjutin ya, Praha.
Tak ingin bersahabat dengan flu dan demam, ia langsung merampas kaosnya dan masuk ke kamar mandi.
Aira menggila sesaat pintu besi itu tertutup. Meski sudah menjalin hubungan cukup lama dengan Praha, ia selalu salah tingkah jika digoda seperti itu. Terlebih, ekspresi suaminya benar-benar menyebalkan saat berhasil memunculkan semburat merah di pipi sang gadis.
“Mas Praha gila!” gerutunya.
Gila gantengnya!! lanjutnya dalam hati.
Praha butuh sekitar lima belas menit untuk membasuh dirinya. Lima menit terakhir digunakan untuk merenungi fakta yang ia temukan hari ini. Parallel universe? Benarkah dia menjalani hidup sebagai Praha lain saat ini?
Tidak masuk akal, tetapi itu adalah satu-satunya hal yang dapat ia simpulkan. Kamar kos, jaket salah satu ekspedisi, dan beberapa lembar sepuluh ribuan di dompetnya adalah bukti bahwa kehidupan Praha di dunia ini tidak sebaik kehidupannya di sana.
Tak ingin membuat Aira menunggu terlalu lama, ia segera cukupkan lamunannya. Sisa air di ujung rambut dibiarkannya membasahi handuk kecil di bahu.
Raga sudah tenang di alam mimpi dengan posisi menghadap tembok, sedangkan istrinya masih sibuk dengan ponsel. Lelaki berusia dua puluh tiga tahun itu bergabung dengan sang gadis setelah menjemur handuknya di depan kamar.
“Gulingnya taruh di samping Raga aja, biar nggak kejedot tembok,” tutur Praha lembut sembari memindahkan bantal panjang itu ke depan anaknya.
Setelah memastikan Raga aman dan nyaman, ia duduk bersandar kepala kasur dan ikut menatap layar ponsel sang istri.
“Kamu nggak tidur pake guling?” tanya Aira.
“Enggak, kan bisa peluk kamu.”
Lengan kekarnya membebani perut sang gadis, membuat tetesan air ikut mengenai pipi istrinya.
“Shhh! Dingin, Mas.”
Alih-alih menyingkir, lelaki itu justru menenggelamkan wajahnya di ceruk leher Aira. Ia rindu aroma ini. Ia rindu spot ini. Ia rindu Aira.
“Mas!” bola mata gadis itu tiba-tiba menatapnya tajam. “Kamu bohong sama aku, ya?”
Sebelah alis Praha terangkat, meminta penjelasan dari sang lawan bicara.
“Motormu nggak dipinjem Nash, kan?”
Tubuh lelaki itu menegang seketika.
“Eng, anu... Itu ....”
Ah! Praha belum mempersiapkan jawaban untuk pertanyaan Aira. Otaknya sungguh buntu saat ini, tidak tahu apa yang harus ia katakan pada istrinya.
Iya, aku jatuh pas mau ke Bandara.
Iya, motorku rusak habis lintas dimensi.
Nggak mungkin, kan?
Merasa tak dihiraukan, gadis itu mencubit pinggang suaminya. “Mas, ayo jujur!”
Lelaki itu menggaruk tengkuk yang sama sekali tidak gatal. Anggukan kecil adalah respon atas pertanyaan istrinya tadi. Ia meringis kala melihat tatap Aira menajam.
“Mas, terus motormu di mana? Tadi juga aku liat ada luka di sik—”
Di bawah remang cahaya lampu kamar, Praha mencuri satu kecupan singkat di pipi sang istri. Malu. Ingin rasanya Aira memanggil ibu peri dan membuat dirinya lenyap dari tempat itu.
“Massss!!” geramnya seraya mencubit pinggang lelaki di sampingnya lagi.
Saat itulah Praha tertawa. Telapaknya mengurung wajah Aira, dahinya didekatkan pada milik gadisnya.
“Aku jatuh kemarin, makanya nggak pulang. Maaf, ya?”
Ponselnya terlempar saat tubuh Aira bangkit dari tidurnya. Tanpa peduli nasib benda panjang itu, netranya justru menelisik beberapa lebam di tubuh sang suami.
“Hah? Jatuh? Jatuh di mana? Kok nggak bilang aku? Terus ada yang sakit nggak?”
Yang dicemaskan hanya menggeleng dan tertawa geli. Airanya tidak berubah. Ia tetap sosok yang takut kehilangan Praha, bahkan menangis hanya karena luka kecil di tubuh lelakinya.
“Jangan bohong lagi,” pinta Aira serius yang diangguki Praha.
Senyum jahil suaminya membuat gadis itu lagi-lagi salah tingkah.
“Raga nyariin kamu kemarin.”
Bohong. Bocah itu berkata bahwa Aira lah yang mencari dirinya. Apakah wanita selalu seperti itu? Menjadikan anaknya sebagai kambing hitam.
“Aku nggak apa-apa kok,” ujarnya membuat sang istri tenang.
Telapak Praha meraih ponsel Aira dan menyimpannya di atas nakas. Tubuhnya sedikit diangkat demi meraih saklar dan mematikan lampu kamar. Sebelum keduanya direnggut oleh kantuk, lelaki itu menggenggam tangan istri dan juga anaknya. Ia rapalkan doa syukur dan ucapan selamat tidur pada Sang Pencipta.
Peluk hangat untuk Aira adalah penutup malam ini. Dalam diam, Praha menyuarakan terima kasih dan janji pada semesta untuk menjaga gadisnya sekali lagi. Tangan panjangnya juga membelai lembut surai ikal sang anak. Raga benar-benar mengingatkan Praha akan masa kecilnya. Tanpa ragu, lelaki itu memberi kecupan di dahi anak dan istrinya.
“Good night, sleep tight,” tuturnya menutup hari.
“Raga pasti seneng kalo tau papanya cium dia,” batin Aira.
@guanhengai, 2021.