guanhengai

Matanya beredar ke segala arah, memastikan tidak ada pot bunga yang menghalangi mundur mobilnya. Senyumnya pun turut mengembang kala Honda Civic putih yang ia bawa terparkir sempurna di depan rumah.

Jerry keluar mobil berbalut setelan rapi, lengkap dengan tas kerja yang hanya berisi laptop dan HVS kosong. Pak Broto, tetangga samping rumahnya, ternyata baru saja sampai saat Jerry beranjak masuk ke dalam.

image

“Jer, kok saya lihat akhir-akhir ini rapi banget?”

Yang mendapat pertanyaan justru gelagapan dan dilanda keringat dingin. “Iya, Pak. Habis ada urusan,” begitu bohongnya.

Lagi, lagi, dan lagi. Layaknya gigi berlubang, manusia juga harus menambal kebohongan yang pernah dilakukan dengan kebohongan lain. Satu-satunya cara untuk menghentikannya adalah mencabut akar masalah tersebut, yaitu kebohongan pertama.

Sayangnya, manusia lebih memilih untuk banyak berbohong dari pada mengungkap kebenaran.

Pintu rumah terbuka tepat sebelum Jerry mengetuknya. Kepalan tangan lelaki itu masih melayang di udara kala wajah cemas Mba Laras terpampang nyata di hadapannya.

“Loh? Ada apa, Mba?” tanya Jerry disertai kerutan dalam di keningnya.

Tubuh mungil berbalut kain di gendongan Mba Laras kemudian menyita perhatian pemuda berkemeja putih itu. Ia mengulurkan tangannya untuk mengambil Ajen dari dekapan sang kakak ipar. Namun, Mba Laras langsung menjauhkan tubuh Ajen dari jangkauannya.

“Masuk dulu, Jer,” katanya.

Sampai di dalam, lengan Jerry langsung ditarik ke arah kamar tidurnya. Mereka berhenti tepat di depan pintu yang tak sepenuhnya tertutup. Dari celah itu, Jerry dapat melihat istrinya dipeluk oleh Mas Aryo di atas kasur.

Gadis itu meringkuk dengan wajah tenggelam di antara kedua lututnya. Sama persis dengan beberapa hari silam, kala Angel menangis karena Ajen tidak kunjung tenang di dekapannya.

Jerry yang melihat itu pun tersenyum miris. Ia sempat menatap Mba Laras sebelum masuk ke dalam kamarnya. Kakak iparnya hanya mengangguk dan mendorong tubuh Jerry ke dalam kamar.

“Mas, biar gue aja.” Tangan Jerry mendarat di pundak Mas Aryo yang masih sibuk menenagkan Angel.

Mas Aryo pun mengangguk dan menepuk bahu Jerry. Tatapnya mengisyaratkan sesuatu yang besar baru saja terjadi pada istrinya.

Dengan telaten lelaki itu membelai surai Angel. Tangan satunya digunakan untuk mendekap tubuh sang istri. Mulutnya sama sekali tidak berbicara, hanya membiarkan air mata terus mengalir dari mata gadisnya.

Sudah hampir tiga minggu Angel seperti ini. Bukannya Jerry tidak tahu tangis istrinya setiap ia izin ke kamar mandi. Ia tahu. Namun, Jerry tidak pernah benar-benar bertanya perihal alasan di balik tangis Angel. Jerry mengingat saran yang sempat Mba Laras berikan padanya.

“Sayang, kok nangisnya sampe sesegukan gini?” Akhirnya lelaki itu angkat suara.

Tentu bukan jawaban yang Jerry terima, melainkan isak Angel yang semakin memilukan. Bahunya bergerak lebih kencang dari sebelumnya. Beberapa saat kemudian, tubuh Angel sedikit bergeser dan membalas peluk Jerry.

“C-capek, Mas...” Begitu kata Angel di tengah isaknya.

Jerry kembali menenangkan istrinya dengan belaian lembut di kepala dan bahu. Berkali-kali kata 'capek' terlontar dari mulut Angel, namun dibiarkan oleh sang suami. Biarkan gadis itu mengeluarkan segala rasa yang ia pendam dalam bentuk 'capek'.

Hampir setengah jam mereka bersandar di kepala ranajng dengan posisi berpelukan. Tangis yang semula terdengar pilu pun perlahan mereda. Air mata Angel sepertinya sudah terkuras habis karena menangis sejak satu jam yang lalu.

Saat Jerry merasa Angel sudah lebih tenang, ia pun meraih pipi gadisnya dan mengusap jejak air mata di sana. “Cantiknya aku. Ada apa, Sayang? Hm? Coba sini cerita,” tuturnya lembut. Jerry selalu lembut.

“T-tadi adek nangis lama banget. Udah a-aku kasih susu, tetep nangis. Ibu bilang cara aku susuin Ajen s-salah. Padahal, aku cuma mau bikin Ajen nyaman. C-capek Mas, disalahin teruss…”

Tangis yang sudah memudar kembali terurai. Meski tidak sekeras tadi, air mata gadis itu lagi-lagi mengalir. Jerry benar-benar merasakan sakit yang Angel rasakan saat ini.

Selama ia mendampingi istrinya di rumah, tak jarang Ibu berkomentar mengenai cara Angel mengasuh Ajen. Mulai dari cara menyusui, cara menggendong, bahkan keluhan Angel kala buang air besar pun menjadi sasaran komentar Ibu.

Bukannya Angel dan Jerry tidak tahu cara yang benar dalam merawat anak bayi, namun semua teori yang pernah mereka dapat sirna begitu saja saat praktik langsung. Mereka hanya melakukan hal-hal yang membuat Ajen dan Angel nyaman. Tetapi, Ibu menganggap semua yang mereka lakukan tidak baik.

Telapak hangat Jerry lagi-lagi mengusap surai sang istri. “Shhhh, enggak kok, kamu nggak salah. Buktinya, si Adek seneng banget kalo minum susu.”

Benar kata Jerry. Ajen selalu menunjukkan ekspresi bahagia dan excited ketika melihat sumber makanannya itu. Namun, tak jarang tangisnya tetap terdengar meski sudah diiming-imingi susu.

Beberapa hari lalu, Ajen nangis meronta tengah malam. Jerry's travel size itu berhasil membuat lima dewasa yang menjaganya terbangun dan tidak terlelap hingga fajar menjelang. Hari itu juga Jerry harus tinggal di rumah karena Angel menangis. Ia merasa gagal menjadi seorang ibu karena anaknya tidak tenang meski berada di dekapannya.

“Sayang, kamu itu ibu terbaik yang Ajen punya. Kamu liat kan, tatapan Ajen setelah kamu kasih susu? Dia tuh mau bilang makasih, soalnya kamu hebat banget.”

Angel masih sedikit kesulitan menetralkan napasnya karena isak yang begitu hebat. Namun, perkataan Jerry mampu membuatnya lebih tenang dan percaya diri. Ajen memang selalu menatap lucu sang ibu setelah menyusui. Seakan kedua netra kecilnya menyalurkan rasa terima kasih begitu dalam.

“Maaf ya kalo aku nggak bisa paham perasaan kamu. Maaf kalo selama ini aku cuma bisa peluk kamu pas nangis. My bad karna nggak bisa bela kamu di depan Ibu. Maaf ya, Sayang.”

Entah pendengaran Angel yang salah atau bukan, tetapi ia mendengar suara Jerry bergetar di ujung kalimatnya. She looked up to find Jerry with a few drops of tears. She rested hes head against his chest. “Aku yang minta maaf. Maaf ya, Mas. Harusnya aku nggak perlu nangis cuma karna hal kecil kayak gini.”

“It's not just a thing kalau sampe bikin kamu nangis, Sayang. Gak apa-apa, kalo nangis bikin kamu lebih lega dan tenang, nangis aja. Aku bakal di sini nemenin kamu kok.”

Jerry bukan Jerry jika tidak berhasil membuat istrinya tenang di pelukannya. Debar jantung lelaki itu dan usapan hangat di kepala Angel adalah ramuan kala emosi negatif menghampiri sang gadis.

Jerry adalah ketenangan.


image


Tiga puluh menit Jerry meninggalkan istrinya di dalam kamar, berbalut selimut karena pendingin ruangan diatur di suhu terendah.

Lelaki itu meletakkan anaknya di ranjang yang sama dengan Angel, kemudian menata beberapa bantal untuk menjaga bayi mungil itu. Setelahnya, Jerry duduk di samping kepala sang istri setelah menghadiahkan sebuah kecupan di keningnya.

“Eugh, basahhh...”

Jerry terkekeh kala melihat setetes air dari rambutnya jatuh di pipi gadisnya. “Maaf, maaf. Jadi kebangun deh,” katanya sedikit mengejek dan mencubit pipi Angel.

“Ck, sengaja kan bangunin aku?!” protes Angel yang langsung mengerutkan kening.

Jerry menggeser sedikit tubuh sang istri dan memeluk erat gadis itu. “Hehehe, enggak kok.”

“Nggak salah lagi,” lanjutnya.

Netra Angel langsung terbuka lebar. Kedua tangannya langsung mendorong dada sang suami. “Mas! Kok tidur di sini? Di sebelah sana! Kalo Ajen jatuh gimana?”

Alih-alih menjauh, Jerry justru mempererat dekapannya. “Si adek aman kok, udah dijaga sama bantal. Aku mau peluk kamu aja,” katanya.

“Masshhh, s-sesek!”

Lelaki itu melonggarkan pelukannya dan menatap sang istri di bawah lampu temaram. Kamar mereka sudah gelap, namun cahaya dari luar masih membantu Jerry mengabsen setiap inci wajah Angel.

“Cantik,” tuturnya sembari mengusap pipi gadis itu dengan ibu jarinya.

“I love you,” katanya lagi.

Angel yang tidak pernah mendengar Jerry berkata demikian pun hanya diam dan membalas tatap suaminya. Detik selanjutnya diisi dengan debar jantung keduanya kala bibir ranum Jerry bertemu dengan milik si cantik di hadapannya.

“I love you,” ucap Jerry sekali lagi.

“I know.”

Meski bukan jawaban seperti itu yang Jerry harapkan, senyumnya tetap mengembang. Tangannya kembali menarik tubuh Angel mendekati dadanya dan merasakan detak jantung yang selalu meningkat saat berdekatan dengan sang gadis.

“Ibu udah tau, Sayang.” Begitu jerry mengawali ceritanya.

He believed a mother knew everything about her child, but he didn't expect her to know that much. Bahkan, Ibu tahu tentang Angel dan Jerry yang dipecat dari kantor beberapa bulan setelah mereka menikah. Ibu tahu semua, kecuali kontrak pernikahan mereka.

Entahlah, tetapi Ibu tidak membahas hal itu tadi. Mungkin beliau sudah tau tentang kontrak itu, namun memilih bungkam dan membiarkan dua anak manusia ini menjalankan perannya.

Tetangga memang telinga dan mulut paling tajam. Mereka mampu mendengar semut berbicara di rumah sebelah dan menyebarkan berita mengenai semut bernyanyi.

Obrolan ibu dengan tetangga samping rumah ternyata membawa wanita itu pada kesimpulan yang tepat mengenai anak dan menantunya. Cerita mengenai Jerry yang selalu berada di rumah dan Angel yang tidak pernah terlihat mengenakan pakaian kerja pun membuat Ibu curiga.

Hingga pertanyaan mengenai Jerry yang tiba-tiba berpakaian rapi dan pergi seakan bekerja sampai di telinga Ibu, barulah wanita itu memaksa Mas Aryo untuk bercerita.

Ibu sempat marah pada Jerry, pun pada Angel. Itu juga yang membuat dirinya melampiaskan emosi dengan berkata bahwa Angel tidak benar dalam mengurus anak.

Setelah Ibu menjelaskan semua pada Jerry, lelaki itu langsung meminta maaf karena telah membohongi mertuanya dengan menutupi status pekerjaannya. Air matanya sempat mengalir kala Ibu memeluk dirinya di akhir perbincangan mereka.

“Tadi Ibu minta maaf sama aku. Titip maaf juga buat kamu,” kata Jerry.

Angel hanya diam. Ia tidak suka dengan perasaan yang saat ini mendominasi dadanya, rasa bersalah. Ibu tidak salah jika memarahi Angel dan Jerry karena mereka berbohong terlalu lama. Angel dan Jerry yang seharusnya meminta maaf akan hal itu.

Begitulah orang dewasa. Maaf yang sangat mudah diucapkan menjadi berat akibat pertimbangan gengsi.


@guanhengai, 2022.

Suara mesin mobil tetangga terdengar jelas dari ruang tamu. Angel baru selesai memberi ASI pada anaknya yang kini kembali terlelap, sedangkan Jerry sibuk mencuci piring setelah mereka menyantap masakannya.

Basa-basi Ibu dengan tetangga sebelah samar-samar terdengar. Kondisi Angel setelah melahirkan dan alasan Ibu datang ke Jakarta adalah topik yang mereka obrolkan.

Di antara canda ringan istri dan kedua kakak iparnya, Jerry menyandarkan punggung sembari menggelengkan kepala hingga lehernya berbunyi krrrkkk.

“Kalian biasanya bangun sepagi ini?” Mas Aryo asked curiously setelah tangannya berhasil membuka toples berisi kacang bawang.

Yang ditanya segera mengangguk. He folded a comforting arm around his wife and pulled her closer. “Kadang Angel yang bangun duluan, Mas.” Mata Jerry menatap bangga gadis dalam dekapannya, “Habis itu main di kamar Ajen seharian deh.”

“Oh, cemburu ceritanya?” Mba Laras menimpali adik ipar yang telinganya mulai merona.

Mas Aryo terkekeh, wajah Jerry yang memerah selalu membuat dirinya gemas dan enggan untuk berhenti menggoda. “Masa sama anak sendiri cemburu, Jer?”

Jerry tersenyum, menggeleng, “Nggak cemburu, cuma bete dikit.”

Mas Aryo kembali terkekeh, ia mengambil cangkir berisi teh hangat yang tersisa setengah. “Kalian jadi jalan?” tanyanya pada istri dan adiknya.

“Jadi kan, Ngel? Sebentar lagi deh, tunggu ada matahari.” Mba Laras melirik sedikit ke arah jendela yang tirainya sudah dibuka.

Langit abu-abu masih menyelimuti muka bumi, pun jarum pendek belum menyentuh angka tujuh. Ibu yang terbiasa bangun pagi membuat anak-anaknya ikut terbangun meski belum memasuki jam produktif.

“Jangan terlalu jauh, takut Angel belum kuat.” Kedua alis Mas Aryo bergelombang, menatap ragu dan cemas pada adiknya.

Angel sontak tersenyum, paham jika kakak laki-lakinya sangat peduli pada dirinya. “It's okay, gue udah kuat.”

Setelahnya, obrolan ringan terdengar hingga ruang-ruang lainnya, lalu disambut gelak tawa yang saling bersahutan. Ruang tamu berisi empat manusia dewasa itu terasa hangat kala kisah mengenai kehidupan rumah masing-masing terkoar. Hingga mentari mulai menampakkan diri, barulah Angel dan Mba Laras pamit untuk keliling komplek perumahan.


Angel menatap ujung sepatunya yang tak menyentuh aspal, lalu perlahan bergerak ke arah betis yang tak tertutup kain. Celana selutut yang ia kenakan membuat betis bengkaknya terlihat jelas, pun stretch mark di bagian belakang kakinya.

Sembilan bulan mengandung Ajen bukan hanya mengubah statusnya, namun juga tubuh dan mental Angel.

“Masih suka pegel, Ngel?” tanya Mba Laras seraya menyerahkan sebotol mineral dingin pada adik iparnya.

“Lumayan, Mba. Betis sama selangkangannya kadang masih kram, kadang dada gue juga ngilu pas Ajen lagi minum susu,” ucapnya tak terlalu keras, namun masih tertangkap daun telinga Mba Laras.

Tangan Angel langsung menggenggam pergelangan sang kakak ipar saat wanita cantik itu memberi pijatan kecil di punggungnya. Rautnya menunjukkan rasa bersalah dan tidak nyaman. “Jangan, Mba. Biarin aja,” katanya.

Mba Laras melirik sekilas, kemudian kembali memijat bagian belakang Angel. “Ini emang wajar, tapi jangan dibiarin juga,” tuturnya.

Angel yang tetap merasa tidak nyaman pun bergeser sejenak menghadap Mba Laras dan mengajak kakak iparnya untuk ikut menikmati udara pagi di taman komplek.

Sepuluh menit berjalan menyusuri gang perumahan ternyata berhasil menyita banyak energi dari tubuh mereka. Beruntung tukang sayur yang selalu lewat memiliki persediaan air mineral di gerobaknya, sehingga kedua ibu beranak satu itu bisa santai sejenak.

“Gimana rasanya punya newborn?” tanya Mba Laras seraya meluruskan kedua kakinya.

“Ya gitu deh, Mba. Belum seminggu aja udah ngerasa jompo,” jawab Angel yang langsung disambut tawa anggun kakak iparnya.

“Hahaha! Tapi suami lo bisa diajak kerja sama, kan?”

“Hm,” Angel mumbled. She rested her back against the bench. “Dia selalu nemenin gue pas jagain Ajen, tapi pas udah selesai ya ikut tidur. It’s not his fault, I guess. It’s my fault, for expecting too much.”

Silence lapsed over them both as they heard the greengrocer walks away. Hela napas panjang Mba Laras mengundang Angel menatap lurus asisten rumah tangga yang sedang menyuapi makan sang anak majikan.

“Itu jeleknya cowok, Ngel. Mereka bisa sweet banget pas pacaran atau awal-awal nikah, tapi lama-lama mereka lupa dan bikin kita merasa terabaikan. Sebelum terlambat, mending lo omongin ini sama Jerry. Kalian harus obrolin apa yang bikin kalian nyaman, apa yang kalian mau, apa yang kalian harapkan ke depannya.”

“Oh,” Angel sighed. “Gue bingung sama Mas Jerry. Dia tuh baik, baik banget malah. Dia gak pernah marah sampe ngebentak gue. But, at the same time, dia juga nggak pernah dengerin alesan gue. Arghhh…”

Angel memejamkan matanya sejenak, mempersilakan otaknya untuk menyusun kata-kata yang dapat dimengerti kakak iparnya. “You know, he always hugged me till my crying stops, tapi dia cuma nanya alesan gue nangis. I mean, dia nggak pernah bener-bener nanyain apa yang gue rasain? Gimana perasaan gue pas itu? Yang dia tau tuh I'm crying ‘cause theres something hurts me. Padahal, kadang gue nangis karna gue nggak tau mau jelasin kayak gimana ke dia.”

Mba Laras tersenyum kala Angel berhasil mengeluarkan unek-uneknya. Itu adalah alasannya mendampingi Angel di sini selama beberapa waktu. Mba Laras pernah berada di posisi Angel dan tidak memiliki siapa pun untuk berbagi cerita. Ia tidak akan membiarkan adik iparnya mengalami hal serupa.

“So? Apa yang lo rasain sekarang?” tanya wanita itu lembut.

“I don’t know. Capek, seneng, sedih, bingung, takut. Pas gue liat Ajen tidur rasanya seneng banget, nggak percaya juga dia tiba-tiba lahir sebagai manusia. Like, oh my God, he was born from my womb. Tapi, pas dia nangis, rasanya gue ikut sedih, capek, dan ngerasa I’m not a good mom.”

Mba Laras menangkap kilapan di mata adik piarnya kala sinar mentari menubruk netra sendu itu. Kantung mata yang menebal menandakan apa yang Angel ceritakan benar-benar terjadi

Memiliki anak memang bukan perkara mengadon, mengandung, melahirkan. Di luar sana banyak orang tua menganggap anak sebagai investasi karena mereka mengeluarkan banyak usaha untuk membesarkannya. Padahal, anak merupakan kado dari Tuhan yang harus mereka jaga dan pelihara.

Kapan pun Tuhan ingin mengambil, mereka akan pergi. Orang tua juga yang akan menangis ketika anaknya pergi. Namun, sewaktu hidup, mereka hanya menganggapnya sebuah barang investasi. Menyedihkan.

“Lo bisa cerita apa yang lo rasain ke gue, Ngel. Itu pun kalo lo nyaman cerita sama gue.” Mba Laras menepuk lengan Angel dua kali.

Wanita itu kemudian menatap lurus anak balita yang sedang berusaha mengayunkan tubuhnya di ayunan kecil. “Gue nggak bakal sepenuhnya paham sama apa yang lo rasain, tapi setidaknya itu bisa ngurangin beban lo.”

Rambut hitam legam dan tatap teduh Mba Laras selalu memikat siapa pun yang melihat dirinya. Bahkan, Angel merasa nyaman jika berada di sekitar wanita tersebut. Satu-satunya orang yang tidak pernah menanyakan 'kapan menikah' pada dirinya adalah Mba Laras.

Angel mengerjap beberapa kali, “Mas Aryo terlalu beruntung dapet istri kayak lo, Mba.” Kedua sudut bibirnya terangkat kala melihat wajah Mba Laras ikut memerah.

“Sama-sama beruntung, Ngel.” Wanita itu terkekeh pelan, jemarinya berpindah ke beberapa helai rambut yang jatuh menutupi pelipisnya.

Sepanjang obrolan mereka, Angel tak henti-hentinya berterima kasih pada Tuhan karena telah menghadirkan Mba Laras di sampingnya.


Di rumah,

“Jer, mosok anakmu ndak dipakaikan bedong gitu? Nanti kakinya bengkok, lho.”

Jika Jerry mampu melawan, mungkin sudah dari tadi ia lakukan. Namun, dirinya masih memiliki rasa takut dan hormat pada mertuanya.

Hampir tiga puluh menit Mba Laras 'menculik' Angel ke luar rumah. Ajen yang semula terlelap pun sudah bangun dan protes di dekapan sang papa.

Sama seperti Angel, Ajen juga tidak suka kepanasan. Si kecil yang belum genap seminggu itu akan menangis kencang hingga Jerry dan Angel melepas kain yang melilitnya. Akhirnya, mereka melepas bedong Ajen dan hanya menyelimuti anaknya dengan kain berbulu tebal.

Jerry tersenyum kecut seraya menggoyangkan tubuh Ajen. “Tadi Ajen nangis, Bu. Jerry lepas sebentar bedongnya sampai Ajen tidur lagi.”

“Nggak baik, lho. Coba ambilkan bedongnya, biar Ibu yang pasang.”

Lelaki itu sempat terdiam. Hati kecilnya ingin menolak permintaan sang ibu, namun Jerry tidak seberani itu. Ia pun mengangguk kecil dan bersiap beranjak ke kamar. Belum sempat kaki kanannya melangkah, suara dari arah kamar mandi terdengar.

“Kaki anak bayi itu memang belum lurus, Bu. Lama-kelamaan juga lurus sendiri kok, nggak perlu dibedong setiap saat. Yang penting kan anaknya nyaman.”

Kedua sudut bibir Jerry langsung terangkat. Senyum lega terpancar di wajahnya saat Mas Aryo keluar kamar mandi dengan handuk yang masih tersampir di bahu.

Ibu tidak menjawab pernyataan Mas Aryo. Beliau hanya menatap anak sulungnya dengan sirat tidak terima. “Kakimu sama adik-adikmu dulu Ibu bedong terus lho, Mas.”

Pria bertato kecil itu pun menghampiri sang ibu dan merangkul bahunya. “Iya, tapi ini kan anaknya Angel sama jerry, Bu. Ajen itu sama kayak Angel, nggak suka panas. Mungkin dia ngerasa sumuk pas dibedong, jadi rewel.”

Lagi-lagi senyum Jerry mengembang. Kini tak sepenuhnya lega, namun didominasi rasa bersalah. Ia merasa dirinya kurang tegas dan membuat Mas Aryo angkat bicara untuk menjelaskan hal tersebut pada Ibu.

Seharusnya Jerry bisa berkata demikian. Seharusnya Jerry bisa membela anaknya di depan Ibu. Seharusnya Jerry bisa menyampaikan pendapatnya. Seharusnya Jerry tidak hanya menuruti apa yang orang lain katakan. Terlalu banyak 'seharusnya' di benak lelaki itu saat ini.

“Udah, udah. Gimana kalau sekarang Ibu mandi? Aryo udah siapin alat mandinya. Jerry juga, mendingan lo telfon Angel. Si Ajen mau mandi sama minum susu, kan?” Saran Mas Aryo yang langsung diangguki Jerry.

Meski raut Ibu belum sepenuhnya menerima, dorongan tangan kanan Mas Aryo yang masih merangkul bahunya ke arah kamar mandi membuat wanita lanjut usia itu pasrah.

Sebelum tubuhnya benar-benar menjauh, Mas Aryo menengok ke belakang dan menghadiahkan kedipan untuk sang adik ipar. Jerry pun mengangguk sembari mengucap 'terima kasih' tanpa suara.

Jerry selalu menyukai cara Mas Aryo meredam konflik dan menjelaskan tanpa menghakimi. Ia banyak belajar dari kakak iparnya tentang cara menghadapi orang lain.

“Huft, untung gue yang digituin. Coba kalo Angel? Bisa-bisa dia kepikiran,” gumamnya seraya memasuki kamar untuk menelepon sang istri.


@guanhengai, 2022.

Petang ini, pijak kaki dan desas desus perawat membangunkan seorang lelaki. Otaknya kembali bekerja, alisnya mengerut kala rangsang suara mulai memenuhi gendang telinganya.

Saat kelopak terbuka, bukan cahaya lampu yang pertama kali Praha lihat. Wajah dokter dengan rambut yang memutih memenuhi pandangannya. Stetoskop masih terpasang di telinga dan masker medis menutupi mulutnya.

“Praha, kamu bisa dengar saya?” tanya beliau dengan suara yang sedikit bergetar,

Kedua netra Praha memejam sejenak, ia terlalu malas untuk mengangguk.

Gue di mana? Ini di dunia gue?

Jika seorang pria berkemeja tidak memasuki ruang rawat itu, mungkin Praha akan terus bergumul dengan tebakan-tebakan dalam otaknya.

“Praha! Praha sudah bangun, Nak?” tanya Papa sesampainya di samping ranjang.

Lelaki yang masih berbaring itu tidak mampu menjawab, hanya ada aliran air mata menggantikan kata yang tercekat sebatas tenggorokan.

Ia sudah kembali.

Sesaat setelahnya, dokter dan perawat tadi mulai meninggalkan ruang rawat Praha. Satu hal yang ia ingin tanyakan, berapa lama tubuhnya terbaring di sini? Pasalnya, kepalanya terasa sangat berat dan tubuhnya seperti renta tak bertenaga.

“P-pa,” panggil Praha dengan suara yang teramat pelan.

“Ya? Praha mau apa? Nanti Papa ambilkan,” jawab pria bertubuh tinggi itu.

“Praha udah lama? Di sini?” tanyanya to the point.

Terlihat jelas kesedihan di mata Papa. Namun, senyum tak terlalu lebar langsung berseri saat telapaknya membelai surai Praha. “Hampir satu bulan,” jawab Papa.

Kening Praha lantas mengerut sempurna. Jika tubuhnya terbaring di sini selama jiwanya berkeliaran di dimensi lain, lalu di mana 'Praha'?

“Kamu cuma bangun sekali, inget?” tanya Papa lagi yang menyita perhatian Praha sepenuhnya.

“Aku bangun? Ngapain?” Praha ingin tahu. Apa yang dilakukan another Praha saat itu?

“Nanti kamu tanya Nash aja. Dia bilang, cuma boleh kalian berdua yang tau?” Kini raut Papa berubah sedikit linglung. Ya, mungkin memang ada sesuatu yang Nash dan 'Praha' lakukan saat itu.

Apakah Nash tahu jika yang bangun itu bukan dirinya? Entahlah, akan ia tanyakan nanti saat lelaki itu mengunjunginya.


@guanhengai, 2021.

Acara ulang tahun Raga terlaksana dengan baik. Beberapa tamu undangan sudah mulai meninggalkan venue karena hari mulai sore, namun beberapa lainnya masih berada di ruang tamu.

Si kecil pemilik acara baru saja menuntaskan hasrat buang air kecilnya, tentu ditemani sang ayah. Praha menggenggam erat telapak mungil Raga. Meski masih terasa basah, si kecil berbalut kemeja dan jeans mini itu tak menunjukkan ekspresi risih sama sekali.

Rautnya justru menyiratkan sedikit khawatir pada sang ayah. Sedangkan, lelaki tampan lengkap dengan kemeja hitam itu sedang susah payah menahan tangis yang mungin akan berderai jika dirinya diajak bicara.

Raga menghentikan langkahnya tiba-tiba. Dekorasi serba biru dan putih yang menghiasi ruang tamu seakan tak lagi menarik bagi bocah yang hari ini berusia empat tahun.

“Papa!” panggil anak itu sembari menarik tangan ayahnya.

“Hm?” Hanya itu respon yang mampu Praha berikan. Tak ada kata, tak ada tatap, tak ada pergerakan. Ia kaku.

“Papa, nggak sopan ngoblol tapi nggak liat mata,” tutur si kecil lagi. (Translate: Papa, nggak sopan kalau ngobrol tapi nggak lihat mata.)

Terpaksa lelaki itu menunduk dan menjatuhkan dengkulnya di lantai. Beruntung para tamu masih sibuk bercengkrama di bawah, sehingga ia tak perlu khawatir jika nanti pelupuknya terpaksa mengeluarkan air.

“Kenapa, Sayang?”

“Papa napa? Papa sakit? Laga ambil obat buat Papa, ya?” (Translate: Papa kenapa? Papa sakit? Raga ambilin obat buat Papa, ya?)

Tolong, jangan tanyakan itu pada seseorang yang sedang tidak baik-baik saja. Alih-alih menenangkan, pertanyaan itu justru memanggil seluruh memori di balik tangisnya. Alhasil, air mata yang sedari tadi ditahan tumpah begitu saja.

Hari ini Praha menangis di hadapan anaknya. Anak yang bahkan belum mengerti letak sakitnya. Iya, Praha memang sedang sakit. Namun, tak ada obat yang mampu menyembuhkannya.

“Papa seneng hari ini Raga tambah besar.” Telapaknya menyusuri surai sang anak meski tetes demi tetes air membasahi pipinya.

“Sayang, kamu harus inget satu hal,” ucap lelaki itu yang langsung ditatap serius oleh anaknya.

“Papa selalu sayang sama Raga. Walaupun Papa pulang malem karena kerja, walaupun papa nggak jemput Raga pas sekolah, walaupun Papa nggak beliin Raga mainan baru, Papa selalu sayang sama Raga.”

Sudah, cukup. Mulutnya tak mampu berkata lebih banyak. Emosi dan air mata sudah mendominasi diri Praha. Ia tak ingin berjanji lebih banyak, takut 'Praha' asli tidak sanggup memenuhinya.

Kala netranya sedang tertutup rapat, lelaki itu merasakan dua tangan mungil melingkari lehernya. Wangi khas anak kecil memenuhi indra penciumannya. Raga sedang memeluk ayahnya yang terlihat sangat rapuh saat ini.

“Laga juga seneng kalo cepet besal, bial nanti bisa peyuk punggung Papa. Sekalang peyuk lehel, ya?” Cengiran imut bocah itu mengakhiri pertanyaannya. (Translate: Raga juga seneng kalau cepet besar, biar nanti bisa peluk punggung Papa. Sekarang peluk leher dulu, ya?)

Praha hanya mengangguk. Ia membebankan kepalanya di bahu kecil Raga, menikmati menit-menit terakhir bersama anaknya. Dari awal acara, lelaki itu tak sedetik pun melepas pandangannya dari Raga. Jika bisa mengucap pamit, mungkin akan ia lakukan saat ini. Namun, anaknya belum memahami situasi yang ia alami.

“Raga, setelah ini Papa harus pergi sebentar. Besok pagi Papa balik lagi. Nggak apa-apa, kan?” tanya Praha setelah menyelesaikan isaknya.

Kedua bibir Raga langsung mengerucut. “Nggak boyeh,” katanya.

“Hei, Boy, denger Papa.” Praha menggenggam kedua bahu Raga, kemudian memberinya usapan lembuat sebagai penenang.

“Besok Papa pulang.” Tiga kata yang ternyata menyesakkan si pelontar. Tak ada kebohongan dalam kalimatnya tadi. Papanya memang akan pulang, Papanya Raga, tentu bukan dirinya.

“Janji?” tanya Raga menyodorkan kelingking kecilnya.

Praha mengambil tangan anaknya, menciumnya selama beberapa detik, lalu menyelipkan kelingking besarnya di sana. “Janji.”

“Laga cali Papa kalo Papa nggak puyang lagi,” tutur si keriwil. (Translate: Raga cari Papa kalau Papa nggak pulang lagi.)

“Lagi? Hahaha, emang kapan Papa nggak pulang, Sayang?”

“Pas itu, abis Laga tanya Papa mau minta apa cama Tuhan.” (Translate: Pas itu, habis Raga tanya Papa mau minta apa sama Tuhan.)

Bola mata sang tuan membulat. Setelahnya, berputar ke atas mencari jawaban.

“Ohhhh pas party di sini juga?” tanya Praha yang lansgung diangguki oleh Raga.

Hari itu. Hari di mana ia masuk ke dunia ini dan 'Praha' keluar. Hari di mana ia memulai kebohongannya. Hari di mana ia menginginkan hidup menjadi dirinya versi lain. Hari di mana ia menyesali keputusannya dulu.

“Papa pasti pulang, Sayang.” Itu adalah janji Praha.

“Kalo nggak puyang, Laga cali Papa.” Itu janji Raga. (Translate: Kalo nggak pulang, Raga yang cari Papa.)

Anggukkan Praha mengakhiri obrolan singkat mereka. Obrolan? Hahaha, bolehkah Praha katakan ini sebagai salam perpisahannya dengan si kecil?

Tangga demi tangga ia lewati sembari menggendong Raga. Beberapa tamu menatap kemesraan anak dan ayah yang memiliki wajah serupa. Berbeda dengan gadis cantik berbalut gaun biru di samping kue ulang tahun anaknya.

Terlihat jelas jejak kemerahan di hidung dan mata Aira. Praha tidak tahu pasti apa yang membuat gadis itu menangis. Entah karena tak sabar menunggu suaminya kembali atau karena tak rela mepelas kepergian lelaki yang saat ini berjalan ke arahnya.

Sepertinya, opsi pertama lebih masuk akal.

image

“Titip Raga, ya,” bisik lelaki itu setelah membebankan anaknya ke lengan Aira.

Anggukkan kecil adalah respon atas titahnya. Sepersekon kemudian, telapaknya hinggap di puncak surai Aira. Ibu jari Praha mengusap kening gadis itu seraya netranya menyelami milik sang puan.

“Praha sayang banget sama lo, Ra. Dia tau semua tentang lo tanpa lo ceritain,” tuturnya menutup pembicaraan.

Praha tidak ingin mendengar balasan Aira. Maka dari itu, tubuhnya segera berbalik dan menjauh dari gadis itu. Terdengar sedikit rengekan Raga dari sana, namun ia tak memiliki keberanian untuk berbalik sedikit pun. Praha takut goyah.

“Mau kemana, Bang?” Suara Leo menyapa pendengaran Praha sebelum tubuhnya melintasi pintu depan.

“Keluar bentar, Le. Titip Aira sama Raga, ya.”

Leo mengangguk, tak ada perasaan aneh sedikit pun.

Setelah lepas dari pandangan Leo, Praha langsung berjalan menuju pangkalan ojek. Ia harus mengambil motornya dan mengulang kejadian di hari itu. Kecelakaan.

“Woi! Mau ke mana lo?” Shit! Itu suara Nash.

“Eh, anu ... Itu, gue mau ... ” Otak Praha seketika membeku. Jika ia berkata ingin keluar sebentar, Nash pasti menawarkan kunci mobilnya.

“Ayo, gue anter,” tutur lelaki bertubuh ramping itu.

“Nggak usah, gue cuma keluar bentar.”

“Bentar? Hahaha! Lo mau keluar dari dunia ini, kan? Mau balik ke dimensi lo?”

Netra Praha membulat sempurna sekarang.

“Nggak usah sok kaget gitu! Lo sendiri yang bilang kalo lo bukan dari dunia ini. Ya udah, ayok gue anter. Lo mau ke mana emang?”

Nash memang satu-satunya orang yang tidak pernah meninggalkannya. Lelaki ini memang selalu memberinya bogem mentah saat ia mulai tersesat. Namun, Nash segera menggandeng Praha dan menemaninya mencari jalan keluar.

“Thank you, Nash. Lo emang sahabat terbaik gue!” Tak apa jika laki-laki berpelukan di tengah jalan, kan?

“Ish jijay bajay! Jauh-jauh lo dari gue, Alien!”

Kekehan receh dari mulut keduanya menutup drama singkat tadi. Setelah itu, Nash benar-benar mengantar Praha ke kos dan mengambil motornya.

Dibukanya sebentar pintu kos yang menjadi tempatnya berteduh selama tiga minggu. Kasur di mana ia dan Aira tidur bersama, kamar mandi di mana ia dan Aira berbagi pasta gigi, lemari di mana bajunya dan Aira saling bertumpuk.

Ini adalah cita-citanya dulu, sebelum memutuskan aborsi.

“Hidup di sini sama di sana sama-sama punya struggle, kan?” tanya Nash yang entah sejak kapan berada di sampingnya.

“Hm,” respon Praha.

“Lo mau kabur ke mana pun, pasti ada aja masalahnya. Yang harus lo lakuin cuma terima dan maafin masa lalu. Maafin orang lain aja susah, apa lagi diri sendiri. Tapi, susah bukan berarti nggak bisa, kan?”

Wow. Praha sampai tak percaya bahwa Nash dapat berkata demikian.

“Thanks sekali lagi, Nash. Gue titip Aira sama Raga ya,” pinta Praha.

“Buset? Susah amat permintaan lo! Kan nanti ada Pra- Ehm, maksud gue another Praha.”

Sang lawan bicara hanya terkekeh pelan.

“By the way, di dunia lo, gue udah ada gandengan belum?”

Pertanyaan random Nash justru mengundang gelak tawa Praha. Jika ia tahu di sana dirinya adalah asisten Praha, mungkin Nash akan mengomel sepanjang hari.

image

“Cuma lo yang nggak berubah di mana pun, Nash!” canda Praha.

“Anying! EMang takdir gue jadi jomblo sejati. Terus, gimana caranya lo balik ke sana?”

Praha berpikir sejenak sembari memainkan kunci motor di tangannya. “Nabrakin diri.”

“What? Nabrakin diri? Segampang itu? Anjir!”

“Sama keinginan.”

“Hah?”

Tarikan napas panjang mengawali penjelasan singkatnya pada Nash.

“Apa yang ada di dunia ini adalah keinginan yang nggak bakal terwujud di dunia gue, mungkin itu juga yang another Praha rasain. Ada sesuatu yang dia mau, tapi nggak terjadi di sini. Pas kita sama-sama dapet kejutan, I mean, kecelakaan, ya kita tuker tempat.”

“Anjay guranjay! Keren abis! Ckckckck.”

Tak ingin berlama-lama, Praha segera berjalan menuju motornya dan bersiap menjalankan rencana yang tadi sudah ia pikirkan.

Seperti yang sudah Praha katakan, kecelakaan tidak akan membuat jiwanya kembali ke dimensi asalnya. Niat dan keinginan yang besar adalah kunci dari keberhasilannya. Maka dari itu, ia sekuat tenaga menginginkan hidup kembali di dunia asalnya.

“Gue pengen balik, biar nggak nyakitin Aira,” itu tekadnya.

“Praha!” panggil Nash lagi.

“Ya?”

“Di mana pun lo berada, gue bakal selalu jadi sahabat lo, kan?”

Senyum dan anggukkan Praha langsung terlihat tanpa ada ragu sedikit pun.

Setelah Nash masuk ke dalam mobil, Praha pun melajukan motornya. Ia akan kembali ke jalanan di mana dirinya terbangun pertama kali di sini. Sebelum itu, izinkan Praha melewati rumah Aira sekali lagi.

Tak ada siapa pun di halaman, hanya beberapa satpam dan supir yang mengantar majikan mereka.

Oh! Praha melihat Jesco dan Garen dari balik kaca helmnya. Sudah. Ia sudah tak perlu pamitan dengan siapa pun di sini. Praha tidak ingin mengacaukan tekadnya lagi. Ia harus kembali ke dunianya agar another Praha dapat membali ke sini.

“See you,” tuturnya sebelum memperlaju gas motor.


@guanhengai, 2021.

Terangnya langit berubah menjadi gelap, empat pemuda dengan benda di masing-masing tangan sedang duduk melingkar di bawah pohon besar. Sudut tersunyi sengaja Jesco pilih agar obrolan mereka tak terdengar pengunjung lain.

Lingkaran hitam di bawah mata mereka adalah pertanda semakin sibuk kegiatan sehari-hari. Jesco yang kelimpungan mengurus cafe sembari bekerja, Nash yang harus menyiapkan banyak hal untuk bos besarnya, Garen yang selalu duduk di balik meja kasir toko bangunan, serta Praha yang bersahabat dengan terik sang surya untuk mengirim barang-barang customer.

Kebulan asap dari mulut tiga di antara mereka mewakili segala pergumulan dalam diri masing-masing. Berbeda dengan teman-temannya, Praha hanya menyeruput minuman beralkohol tanpa menyentuh rokok sedikit pun.

Belum juga pertanyaan siang tadi terjawab, kini masalah baru sudah datang pada dirinya dan Aira. Setidaknya, ia sudah menemukan sedikit clue tentang istrinya yang begitu sensitif saat membahas adik untuk Raga. Lelaki itu baru sadar bahwa kondisi ekonomi sangat mempengaruhinya sekarang.

“Suram amat tu muka, Pak?” Nash yang duduk di samping kanan Praha mencolek lengan sahabatnya.

“Biasa, masalah anak,” jawab lelaki berkaos hitam itu.

“Berat banget ya?” Kini giliran Garen yang melontarkan pertanyaan.

Helaan napas panjang dan anggukkan Praha mengawali jawabannya. “Pokoknya kalian kalo mau nikah harus mikir mateng-mateng dulu deh, jangan bayangin enaknya doang. Ternyata, lebih banyak capeknya.”

“Tuh, Ren! Kalo maen pake kondom!” Ledek Nash.

“Gue selalu pake, eek!” Tepis Garen.

“Anjing! Ya jangan kawin sebelum nikah lah!” Sembur Jesco.

“Hm. Lebih baik lo jaga-jaga, Ren.” Praha kini mulai menghidupkan mode serius yang memancing tiga temannya ikut mengubah air wajah mereka.

“Ya kalo terlanjur jadi tapi belum siap tinggal kuret,” celetuk Garen yang langsung dihadiahkan tatapan tajam.

“Crazy! Mending tanggung jawab terus mati-matian hidupin keluarga lo dari pada harus aborsi. Trust me, itu lebih menyiksa dari pada married.”

Nash melihat netra Praha yang mulai berair. Rasa sakit tergambar jelas di balik tatapnya. Tanpa komando, telapak lelaki itu langsung hinggap di bahu Praha dan menepuknya dua kali.

“Yang paling aman ya gak usah maen sampe nikah,” ujar Jesco yang lansung diangguki semuanya.

Untung salah satu temannya masih ada yang waras. Hubungan Jesco dan kekasihnya memang diakui paling sehat di antara mereka, kecuali Nash yang masih betah dengan kesendiriannya.

“By the way, tadi Raga cerita ke gue. Katanya lo mau rayain ulang tahun dia? Emang bener?” Garen kembali mengangkat kepalanya. Pertanyaan barusan juga mengundang tatap kedua teman lain yang menunggu respon Praha.

“He'em,” jawab lelaki yang kini menyandarkan punggungnya ke kursi.

Ia mengeluarkan beberapa lembar kertas dari kantung jaketnya, kemudian meletakkan di atas meja. “Nih, dateng ya. Raga yang ngundang kalian,” ucapnya lagi.

Jesco, Nash, dan Garen langsung berebut untuk melihat kertas berbalut plastik yang didominasi warna biru. Tulisan Raga is turning 4 menyambut netra mereka. Ilustrasi kartun kucing berkalung lonceng emas memenuhi undangan ulang tahun itu.

“Ini serius?” tanya Jesco seraya membolak-balik undangan yang baru saja Praha berikan.

“Serius lah.”

“Woah!!! Akhirnya, Raga bisa ngerayain ulang tahun!” pekik Garen heboh.

“Anjir, kenapa jadi gue yang terharu?” lanjut lelaki itu sembari menengadah untuk menahan air matanya.

“Yeu! Lebay banget lo!” Nash langsung menabok bahu temannya.

“Anying! Beneran terharu nih!” Setetes air mata yang lolos dari pelupuk Garen membuat ketiga temannya tertawa. Ia memang selalu begitu.

Meski tengah diselimuti gundah, Praha tak ingin melewatkan momen berharga bersama sahabat-sahabatnya. Waktu seperti ini akan langka terjadi jika sudah menikah. Buktinya, ia baru sempat berkumpul dengan mereka setelah terjebak hampir tiga minggu di dunia ini.

image

Dua setengah jam selanjutnya diisi dengan obrolan ngalor-ngidul. Beberapa kali tawa lepas Garen dan Jesco terdengar. Sepiring kentang goreng, tiga bungkus rokok, dan empat botol minuman pun sudah kosong.

Drrtt drrtt

Praha merasakan getaran dari saku jaketnya. Ia tahu persis nama siapa yang akan muncul di layar ponselnya jika nanti dinyalakan. Siapa lagi kalau bukan istrinya?

Masih ingin menikmati waktu bersama ketiga rekannya, ia pun mengabaikan pesan Aira. Beberapa getaran dari ponselnya masih terasa hingga beberapa menit kemudian. Biarkan Praha mengumpulkan tenaga untuk menghadapi istrinya nanti.

Setelah saling berdebat mengenai konspirasi parallel universe, keempat pemuda itu saling mengucap selamat tinggal. Garen yang sudah dipengaruhi alkohol memutuskan untuk bermalam di cafe Jesco. Sedangkan, Nash yang hanya meneguk sedikit minuman masih mampu mengantar Praha kembali ke kos.

“Hati-hati, Nash! Lo bawa suami orang,” ujar Jesco seraya merangkul sahabat mungilnya.

“Yoi. Lo juga hati-hati bawa si kurcaci,” jawab Nash.

Setelah Jesco menjauh dari hadapannya, ia menatap Praha yang mulai mabuk. “Tunggu di sini bentar. Gue gak mungkin pulangin lo kayak gini,” ujarnya.

Praha hanya mengangguk-angguk dan mulai mengumpulkan kesadarannya. Bisa-bisa ia berakhir tidur di luar jika Aira tahu dirinya mabuk.

“Tuhan ngapain lo sih? Sampe bisa berubah gini,” gumam Nash sembari menatap undangan ulang tahun Raga di tangannya.


Jam digital pada layar ponselnya sudah menunjukkan pukul setengah dua belas malam, namun suaminya belum juga menampakkan batang hidung.

Aira dengan cardigan putih duduk beralas anak tangga, menunggu Praha kembali. Lengannya masih kebas karena menidurkan Raga yang sempat rewel tadi. Pasalnya, sang ayah sudah berjanji untuk membacakan dongeng sebelum ia tidur.

“Ck, mana sih Mas Praha? Katanya sebentar, tapi sampe jam segini belum pulang.”

Gadis itu kembali menatap layar ponselnya, berharap ada notifikasi dari sang suami. Nyatanya, hanya ada foto keluarga kecilnya yang terpampang jelas di sana.

Senyum ceria Raga di atas trolley dengan dirinya dan Praha di kedua sisi anak itu membuat dada Aira berdesir. Rasa sesal mengerubungi dirinya karena sempat membentak anaknya tadi siang.

“Maafin Mama, Raga.” Usapan kasar langsung membasuh air matanya yang kembali menetes.

Beberapa saat kemudian, deru mesin mobil membuat gadis itu menengok. Toyota CHR putih berhenti tepat di depan gerbang kosnya. Ia tahu itu adalah kendaraan Nash, yang berarti suaminya sudah kembali.

Sengaja Aira tidak beranjak dari tempatnya, berniat untuk memberi kejutan pada sang suami. Ia juga ingin meminta maaf atas perkataannya tadi siang. Aira sudah menyakiti perasaan Praha. Mungkin, itu adalah alasan suaminya pulang larut.

“Thank you, Nash.” Suara Praha terdengar setelah menutup pintu mobil.

Aira melihat Nash membuka kaca jendela bagian depan dan menganggukkan kepala pada suaminya. “Jangan lupa baikan sama Aira!” pekiknya dari dalam mobil.

Ah, ternyata Praha menceritakan masalah mereka pada Nash. Tak apa, pria juga butuh cerita. Decitan rem sudah terdengar, berarti Nash akan hengkang sebentar lagi. Aira siap-siap beranjak untuk menyambut suaminya.

Namun, saat mobil itu hendak melaju, Praha mengetuk kaca mobil dan kembali memanggil sahabatnya.

“Kenapa?” Nash kembali menarik rem tangan.

“Ehm, soal obrolan kita tadi ...” Suara Praha hampir tidak terdengar oleh sang gadis.

“Obrolan yang mana?” tanya lelaki di balik kemudi itu.

“Tentang parallel universe. Lo percaya?”

Aira mulai menajamkan pendengarannya.

“Hm, fifty fifty sih. Kenapa?”

“Kalo... Gue yang lo liat sekarang dari universe lain, lo percaya?”

Gadis di balik tangga membekap mulutnya sendiri.

“Hah? Ngaco! Udah sana masuk, lo udah mabok berat kayaknya!” perintah Nash, lalu menggelengkan kepala.

“Ya udah, lupain aja.” Praha kemudian bergerak mundur dan membiarkan sahabatnya melajukan mobil. Lambaian tangan keduanya menjadi penutup perjumpaan malam ini.

“Akhirnya lo ngaku juga ke gue,” tutur Nash sembari menaikkan kaca mobilnya dan menjauh dari kos Praha.

image


@guanhengai, 2021.

Siang sudah mulai berganti menuju sore, awan abu-abu tebal pun datang menyembunyikan mentari. Praha sedang duduk seorang diri, menunggu anaknya yang belum keluar dari kelas.

Papa muda itu hanya berharap tetes air hujan tak jatuh saat dirinya masih dalam perjalnan. Mengingat bagaimana Raga sakit membuatnya tak ingin mengalami hal serupa.

Kini beberapa pasang netra menatap lelaki yang sedang menatap kosong ayunan di depannya. Meski wajahnya terlihat datar, benak Praha tak sekalipun tenang sejak tadi.

Pertanyaan mengenai alasan 'Praha' tidak merayakan ulang tahun Raga dan Aira yang tak kunjung memberi adik untuk anaknya itu berputar di kepala. Bohong jika ia mengaku tidak penasaran.

Saat setumpuk dugaan memenuhi otaknya, suara yang sedari tadi ditunggu menyapa gendang telinga.

“Papaaa!!” Bocah kecil berambut keriwil itu berlari ke arah Praha. Tubuh mungilnya segera ditangkap oleh sang ayah sebelum menyentuh tanah.

“Hayo, mau jatuh, kan? Pelan-pelan, Sayang.” Usapan lembut mendarat di puncak surai Raga.

“Papa! Tadi Tepen celita, atanya maen ama dedek asyik lhooo.” (Translate: Papa! Tadi Steven cerita, katanya main sama adek asik loh!)

Praha terdiam sejenak. Mulut dan otaknya sama-sama kelu, tak tahu respon seperti apa yang harus ia berikan pada sang anak.

“Raga mau dedek?” tanya lelaki itu yang tentu langsung diangguki oleh Raga.

“Nanti tanya Mama dulu ya.”

“Mama unya dedek baby?” Netra bulat berkilau itu menatap ayahnya penuh harap.

“Belum punya, Sayang. Tapi nanti Mama bisa bikin dedeknya,” papar Praha yang disambut anggukkan pelan. Ia tahu anaknya tidak terlalu mengerti.

“Papa cuci tlek Laga, ya?” Akhirnya si kecil mengalihkan topik. (Translate: Papa cuci truk Raga, ya?)

Praha segera menggendong sang anak dan berjalan menuju parkiran. “Iya, ayo kita cuci truknya Raga. Berdoa sama Tuhan, semoga hujannya nggak turun, biar truknya Raga bisa kering.”

Anak polos itu lalu melakukan sesuai perintah papanya. Sepasang telapak kecilnya dikatupkan, kemudian mulutnya mengagungkan doa agar awan gelap pergi menjauh. Praha yang melihat itu pun terkekeh pelan. Raga sungguh menggemaskan.

Ah, bagaimana mungkin Praha rela meninggalkan anak ini?


@guanhengai, 2021.

Rumah dua lantai di ujung jalan itu tampak terang. Cat putih membuatnya terkesan elegan dengan lampu warm white tersebar dari taman hingga bagian depan rumah.

Angel sibuk memotong buah di dapur sembari memeriksa makanan yang dimasak oleh Bi Asih. Hari ini menu mereka adalah seafood, tentu tanpa kerang di dalamnya. Meskipun Angel mengidam berbagai jenis seafood selama hamil, belum tentu si bayi suka hidangan laut itu. Anak sulungnya sama sekali tidak ingin mengonsumsi kerang.

Rumah terasa sunyi ketika Jerry masuk dan mengucap salam, hanya dijawab samar oleh anak bungsunya yang tentu sedang menatap layar komputer di kamar. Setelah menghampiri si Adek, ia segera berjalan menuju dapur karena tak menemukan Angel di ruang keluarga. Punggungnya bersandar di tembok dan menatap istrinya yang masih asik bergurau dengan asisten rumah tangga mereka.

“Loh? Udah pulang, Mas?” tanya wanita itu saat menyadari kehadiran suaminya. Bi Asih dan Bi Marni yang ada di sana juga ikut menyapa tuannya.

Ia segera membasuh tangan dan menghampiri lelaki tampan dengan jas bergaris itu. Telapaknya yang masih basah meraih milik sang suami dan menciumnya.

“Sorry masih kotor,” tutur Angel lagi.

“It's okay, Sayang,” jawab Jerry setelah menghadiahkan satu kecupan di dahi Angel.

Wanita itu mengambil alih tas kerja Jerry seraya berjalan berdampingan menuju kamar mereka. Ia sudah menyiapkan kaos dan celana ganti untuk suaminya, kini tinggal menyalakan air hangat dan membanjiri bathub.

“Makasih, Sayang. Kamu nggak mau nemenin aku mandi nih?” goda Jerry yang kini tengah bertelanjang dada.

image

“Anak-anak udah kelaperan, Mas.”

“Ya udah, nanti malem, ya?” tanya lelaki itu lagi sembari memainkan satu alisnya.

“Ck, sana cepet mandi! Nggak usah konser!” pekiknya sembari mendorong sang suami masuk ke bathub dan meninggalkannya.

Angel selalu memeriksa kantung celana dan kemeja Jerry sebelum memasukkannya ke keranjang pakaian. Seperti biasa, pasti ada saja yang tertinggal di sana. Kali ini sebuah oil roll on yang ia lupakan di kantung celananya. Gelengan pelan wanita itu seakan pertanda bahwa ia tak kaget lagi.

Suaminya menghabiskan setidaknya sepuluh menit di bawah shower air hangat. Kala air keran tertutup, Angel segera beranjak dari kasur dan berdiri di depan pintu kamar mandi.

“Satu... dua... ti...” Wanita itu mulai menghitung.

“Sayang!!!!”

“Tuh kan,” gumamnya pada diri sendiri.

Sepersekon kemudian, pintu kamar mandi terbuka sedikit dan kepala Jerry muncul dari sela-sela itu. “Tolong handukku dong, hehehe.” Suaranya mengecil saat sang istri ternyata sudah berdiri di hadapannya.

Kain di lengan Angel langsung dirampas oleh si tua tampan itu. Setelah terima aksih terucap dari mulutnya, lelaki itu langsung menutup kembali pintu kamar mandi.

Ya, ini adalah alasan Angel harus menunggu Jerry sampai selesai mandi. Jika bukan handuk, pasti pakaian dalamnya yang tertinggal.

Setelah selesai, handuk tadi dia gunakan untuk membalut tubuhnya sebatas pinggang. Sisa air di rambut sang tuan masih menetes dan membasahi bahunya. Sesaat kemudian, suara ceklekan pintu terdengan dan kotak-kotak di abdomen serta bisep kekar Jerry terpampang jelas.

“Si Abang udah pulang?” tanya Jerry sembari meraih kaos dan boxer yang sudah Angel siapkan.

“Udah, tadi aku denger suara motornya.” Anggukkan sang suami terlihat setelah Angel menyelesaikan kalimatnya.

Hari ini anak sulung mereka ada jadwal les persiapan UN. Biasanya, remaja berusia 17 tahun itu akan pergi bersama teman-temannya. Namun, hari ini Ajen memilih pulang lebih cepat.

“Mas, jangan lupa pake skin care,” ujar sang puan lagi.

Jerry berbalik dan memeluk pinggang istrinya. Satu ciuman di pipi Angel berhasil dicuri. “Nanti aja, kan masih mau olahraga.” Meski sudah terbiasa dengan sikap dan candaan Jerry yang seperti ini, Angel masih belum mampu mengontrol rona merah di wajahnya.

“Hahaha! Masih merah aja mukanya,” ucap lelaki itu.

“Udah ah, itu Abang sama Adek udah nunggu di meja makan.” Tentu ini adalah alasan semata. Angel juga tidak tahu apakah anak-anaknya sudah siap atau belum. Yang penting, ia terlepas dari godaan porno sang suami.

Betapa beruntung wanita itu karena Abang dan Adek sedang berada di pihak Mama. Kedua remaja tampan itu sudah duduk manis di tempatnya, memperhatikan Bi Marni menata piring untuk mereka makan. Segera sepasang suami istri itu menghampiri anak-anak mereka.

“Mama!!” Belum sempat Angel menapakkan kaki di ruang makan, remaja bertubuh kekar langsung beranjak dan memeluk tubuhnya.

“Astaga! Berat, Sayang.” Wanita itu tetap membalas pelukan Ajen meski hampir terhuyung.

“Pelan-pelan, Bang!” Tegur Jerry sembari menahan bahu Angel.

“MAMA!!!” Kini giliran si bungsu bertubuh tinggi yang menyelinap masuk di antara pelukan mama dan kakaknya.

“Ck! Gantian, Dek!” gerutu si Abang.

“Ya udah sana! Abang kan udah peluk Mama!”

“Dih? Baru satu detik?” Terpaksa Abang menjauh dari dua manusia itu, sebelum geplakan Adek mendarat di lengannya.

image

“Nggak ada yang mau peluk Papa nih? Kasian banget ganteng-ganteng gini nggak laku,” tutur lelaki berwajah tampan yang sudah merentangkan kedua lengannya.

Satu detik

Dua detik

Tiga detik

Krik krik krik

Tidak ada jawaban dari istri dan anak-anaknya. Tatap datar tiga manusia berwajah dingin itu membuat bulu kuduk Jerry berdiri seketika.

“Iya iya, nggak usah peluk Papa. Sana peluk Mama aja!” gerutunya.

“Papaa!!” si Adek langsung melepas pelukan di tubuh Angel dan beralih ke papanya.

Bugh

Beban tambahan terasa mendorong Jerry. Ternyata, anak sulungnya ikut memeluk sehingga tubuh adiknya terhimpit di antara dua lelaki kekar.

“Eunggh! Abang, berat!” pekik si Adek.

Bukannya melepas, Ajen dan Jerry sama-sama mempererat rengkuhan mereka. Mulut si Adek sudah memanggil-manggil mamanya, meronta minta dilepaskan. Namun, Angel hanya tertawa gemas melihat anak bungsunya tersiksa.

“Mas, udah ah. Kasian tuh muka Adek udah merah banget,” ucap Angel akhirnya menarik tubuh suaminya.

Si kecil berparas tinggi langsung meraup oksigen sebanyak-banyaknya setelah berhasil lepas dari kakak dan papanya. Bibir si Adek langsung mengerucut saat Abang, Papa, dan Mama menertawakannya.

“Hehehe, maaf ya Adek,” kata Abang merangkul pundak si bungsu.

“Badan kalian gede tau!” protes si Adek, masih belum terima.

“Makanya ikut ngegym, Dek.” Papa menimpali.

“Nggak mau! Nanti makin ganteng,” jawabnya.

image

Rasa lapar yang tidak tertahankan memaksa mereka untuk kembali ke meja makan. Berbagai macam buah dan hidangan utama sudah tersedia di sana. Cepat-cepat mereka duduk di kursi masing-masing dan membuka piring di meja.

Sebelum menyantap olahan seafood itu, mereka saling bergandeng tangan.

“Hari ini siapa yang mau berdoa?” tanya sang kepala keluarga.

“Adek!” Jari telunjuk si bungsu terangkat.

“Oke, Adek pimpin doa ya.” Ucapan Jerry langsung diangguki oleh anaknya.

Mulut remaja berusia 14 tahun itu dengan lantang mengucap syukur atas berkat Tuhan hari ini. Tak lupa ia mendoakan saudaranya yang jauh di sana agar Tuhan juga melimpahkan berkat-Nya pada mereka.

Setelah amin terucap, mereka segera menikmati kerang saus padang, sup seafood, cah kangkung, dan perkedel jagung. Hanya ada denting sendok dan garpu selama makan. Obrolan yang sudah mereka siapkan masih tersimpan rapi di otak. Setelah piring bersih, baru mereka berbicara satu sama lain.

🔓Jannuarsa Zion Juanda Suharjo (Jion), adeknya Ajen, anak kedua Jerry-Angel image


@guanhengai, 2021.

Langit kelabu menyelimuti ibu kota, pun angin berembus dengan kecepatan cukup tinggi. Beberapa dedaunan kering sudah jatuh tak kuasa menahan bebannya.

Sama seperti Praha yang sibuk mendorong troli, menikuti Aira menyusuri setiap rak supermarket. Jemari dan jam tangannya menjadi mainan Raga yang duduk tenang di bagian belakang troli.

Bisik-bisik para pengunjung cukup mengganggu Praha yang tidak pernah mengalami hal seperti ini. Netra tajamnya seakan siap menghunus setiap orang yang menatap aneh keluarga kecil mereka.

“Apaan sih? Nggak suka deh liat tatapan mereka!” gerutu lelaki itu.

“Udah biasa kan, Mas? Biarin aja.”

Tampaknya Aira benar-benar tidak peduli. Perempuan itu hanya menunjukkan tatap melalui ekor mata yang sedikit sinis. Mereka pun kembali meneliti setiap produk yang terpajang di sana, tentu tak lupa memperhatikan harga di bawahnya.

Baru saja hendak meraih mie instan, tangan Praha tiba-tiba ditepis oleh istrinya. Kerutan di dahi serta sebelah alis yang tengkat menandakan lelaki itu tak paham mengapa ia tidak boleh mengambil barang sebungkus.

“Jangan terlalu banyak makan mie instan,” tutur Aira yang langsung berjalan mendahului suami dan anaknya.

“Papa nggak mam mi!” Suara imut dari depan dadanya mengundang senyum Praha.

“Iya. Papa nggak makan mie lagi deh,” jawab lelaki itu, kemudian mengejar langkah istrinya.

Praha berkali-kali melihat Aira mengambil beberapa makanan dengan merk berbeda. Gadis itu membaca berat masing-masing produk, lalu membandingkan harganya.

“Ehm, kalo seratus lima puluh gram harganya tiga belas ribu sama dua ratus gram harganya lima belas ribu murahan yang mana, Mas?” tanya sang istri seraya menggenggam dua bungkus margarin.

Praha sempat memutar bola matanya sejenak, lalu menjawab, “dua ratus gram lima belas ribu.”

Raut ragu tergambar jelas di wajah Aira. Sudut bibir dan bola matanya sama-sama mengarah ke kiri. “Beli di tukang sayur aja deh, lebih murah,” ucapnya setelah meletakkan dua benda itu di tempatnya semula.

Hampir saja Praha melongo. Bahkan, ia sudah melakukannya. Jika istrinya tidak berniat membeli margarin di sini, untuk apa bertanya?

Perlahan tapi pasti, keranjang beroda yang semula kosong mulai terisi dengan berbagai produk. Tentu kebutuhan Raga yang mendominasi. Mulai dari susu cucuk, susu cair kotakan, biskuit, serta beberapa snack yang aman untuk anak seusianya.

Kini mereka sudah memasuki lorong khusus popok. Aira meminta suami dan anaknya menunggu di ujung karena ia harus berkali-kali memastikan merk mana yang akan dibelinya.

“Ish, kenapa nggak ada yang isinya sedikit, sih?” gerutu gadis itu.

“Ck! Ini terlalu tipis kalo buat malem-malem.”

“Yang ini dulu bikin pantatnya Raga iritasi.”

Ketika sang ibu sedang asik bergumul dengan dirinya sendiri, telunjuk kecil Raga mengarah pada Aira. Praha yang mengerti pun langsung mendorong troli menghampiri gadis itu. Mungkin anaknya juga lelah melihat mamanya mondar-mandir bak setrika.

“Sayang, kenapa? Popok yang biasa nggak ada?” tanya lelaki itu.

Sang gadis menggeleng pelan. “Ada sih, tapi lagi nggak ada promo.” Netranya berpindah menatap Praha, menyiratkan rasa kesal dan sedih. Pasalnya, hanya itu satu-satunya merk yang selalu Raga gunakan.

“Ya udah, beli yang lain nggak ada?”

“Yang lain lebih mahal, Mas. Ini yang murah, tapi tipis banget,” jawabnya sembari menunjukkan sebungkus popok di tangan kirinya.

“Ehm, beli yang agak mahal aja?” usul sang suami.

Gadis beralis rapi itu menunduk lemas. “Nggak bisa. Budget kita nggak nyampe, Mas.”

“Laga Laga Laga Laga!” Kedua tangan mungil anaknya terulur untuk mengambil bungkusan di lengan Praha.

“Raga mau pake yang ini?” tanya sang ayah yang langsung mendapat tatapan bingung dari anaknya. Kepala berambut keriwil itu sedikit miring ke arah kanan, terlihat mencerna apa yang barusan Praha tanyakan.

Beberapa saat kemudian, tangannya memeluk erat bungkus popok berisi 38 pcs. Anggukan kecil Raga disambut senyum lebar ayah dan ibunya. Hari ini mereka menghemat beberapa ribu dari anggaran belanja bulanan.


Sebentar lagi Aira dan Praha memasuki zona merah. Rasanya ingin sekali menggeplak kepala manusia di balik ide peletakan mainan anak. Mengapa mereka berpikir untuk memajang benda keramat itu di ujung lorong?

“Papa!” panggil Raga yang kemudian mendapat tatapan curiga dari Aira. Gadis itu sudah tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.

Benar saja, jemari anaknya langsung mengarah pada salah satu miniatur truk dengan sekop plastik di atasnya. Aira langsung menatap Praha sembari menggeleng. Namun, air wajah sang suami seperti keberatan dengan hal itu.

“Beliin aja, ya?” tanya Praha sedikit berbisik.

“Mas, mainan Raga masih banyak di kos. Lagian, bulan ini kita nggak ada rencana buat beli mainan baru.”

Perkataan sang ibu terdengar oleh si kecil. Baru saja Praha ingin bernegosiasi dengan Aira, isak anaknya mulai terdengar. Semakin ditatap, tangisnya semakin kencang. Papanya langsung menggendong anak itu dan berusaha menenangkan Raga.

“Raga, bulan lalu kan udah beli mainan. Tadi juga Mama udah bilang, hari ini Raga nggak beli mainan baru.”

Ucapan mamanya semakin membuat Raga menangis. Truk kecil berwarna merah itu sangat menggoda imannya, bisa ia gunakan untuk bermain di taman bersama uncle Bian nanti.

“Raga! Nggak malu tuh diliatin orang? Mau Mama tinggalin di sini? Iya?”

Bukannya tenang, Raga justri semakin memberontak dan merosot dari gendongan Praha. Bokong kecil itu mendarat di lantai, pun kakinya sudah menendang-nendang udara.

“Laga mau! Laga mau! Laga mau ituuuu!!!!!”

“Biarin aja, nanti Mama tinggal di sini kalo nggak mau diem.”

Lelaki berbalut jaket hitam yang sedari tadi memperhatikan wajah tegang istrinya pun memutuskan untuk mengusap pelan lengan sang gadis. “Udah, kamu lanjut belanja aja. Biar aku yang urus Raga,” tuturnya lembut.

Aira pun mengangguk tanpa kata, kemudian mengambil alih troli yang tidak begitu penuh.

Sepeninggalan istrinya, Praha menatap kembaran kecilnya sejenak. Kedua ujung bibir yang semula menegang kembali diregang untuk mengulas senyum tipis. Napas kasar berembus dari hidung lelaki itu sebelum ikut duduk bersama sang anak.

image

Telapak hangat Praha hinggap di puncak surai anaknya. Usapan lembut ia berikan untuk bocah yang masih tantrum itu

“P-papa! Laga m-mau ituuu! M-mau main tlek ama a-angkel Biyan!!” Kalimatnya tersendat oleh tangis yang masih mendera. (Translate: Papa! Raga mau itu! Mau main truk sama uncle Bian!)

Tak kunjung mendapat respon dari papanya, Raga kembali menangis. Wajahnya sudah memerah dengan air mata dan ingus di mana-mana. Rambut keritingnya pun basah karena keringat mulai membanjiri tubuh kecil itu.

“Kalo Raga ngomong sambil nangis, Papa nggak paham. Raga selesein dulu nangisnya, Papa tungguin,” ucap lelaki itu datar.

Benar saja, Praha setia duduk di samping anaknya dan menunggu isak kecil itu selesai. Beberapa pengunjung yang lalu lalang semakin memberi tatap tak menyenangkan. Namun, itu sudah tak lagi mengganggu Praha. Fokusnya saat ini adalah bagaimana cara menenangkan dan memberi anaknya pengertian.

Setelah beberapa menit menunggu, Raga mulai mengatur napasnya seperti sedia kala. Mungkin air matanya sudah mulai habis karena meraung-raung tadi.

Melihat anaknya yang sudah tenang, Praha meraih telapak kecil Raga dan memberi usapan sedikit di sana. Lelaki itu bertanya, “Raga udah nggak marah lagi?”

Gelengan bocah itu dihadiahi senyum papanya. Kini Praha mulai berdiri dan mengulurkan kedua tangannya pada sang anak. Awalnya, Raga terlihat ragu untuk menerima gendongan sang ayah. Namun, ia juga ingin bersandar di bahu lebar itu.

“Sekarang Raga boleh ngomong sama Papa,” tutur Praha lembut.

“L-laga mau main itu!” tunjuknya lagi.

“Emang truknya Raga yang lama di mana?”

“Di depan.” Depan yang si kecil maksud adalah depan kamar kos mereka yang digunakan untuk meletakkan barang tak terpakai. Aira memang membiarkan truk mainan Raga di sana karena sudah kotor.

“Loh? Itu masih ada? Masih bisa jalan kan truknya?” tanya Praha lagi, sembari menjauh dari lorong tadi.

“Macih, tapi Laga nggak mau, kotol!” (Translate: Masih, tapi Raga nggak mau, kotor!)

“Kalo kotor kan bisa dibersihin, Sayang. Nanti truknya nangis loh kalo masih bisa dipake tapi Raga malah beli yang baru.”

Bibirnya mengerucut gemas. “Nangis?” tanya anak polos itu dengan tatapan sendu.

Merasa menang, sang ayah pun membalas Raga dengan tatapan yang tak kalah sendu. “Iya. Nanti truknya bilang 'ihh Raga kok jahat ya, nggak mau main sama aku lagi' gitu.”

“Mamau mamau mamau! Tlek nggak boyeng nangis!” (Translate: nggak mau, nggak mau, nggak mau! Truk nggak boleh nangis!)

“Nah, makanya, nanti kita bersihin aja ya? Besok Raga bawa lagi pas main sama uncle Bian,” ajakk Praha.

Setelah melihat anaknya mengangguk, pertanyaan utama barulah terlontar. “Jadi? Truk yang tadi nggak usah dibeli, ya?”

Angguk tanpa ragu langsung diberikan oleh bocah itu. Senyum lega dan senang Praha jelas tergambar di wajahnya.

“Next time, kalau Raga mau minta sesuatu ke Mama sama Papa, nggak perlu pake nangis kayak tadi. Sakit kan dadanya?” tanya Praha seraya mengusap dada anaknya yang masih naik-turun.

Lengan kecil itu langsung memeluk leher sang ayah. “Maap, Papa.”

“Iya, nggak apa-apa. Nanti minta maaf juga ya sama Mama,” ucap sang ayah yang diangguki Raga.

Lelaki itu memang tak berniat membelikan mainan baru pada Raga. Tetapi, anaknya juga harus tahu alasan di balik larangan itu. Praha juga harus memastikan bahwa anaknya belum membutuhkan mainan baru. Jika tadi Raga mengatakan truk mainannya rusak, pasti Praha berpikir dua kali untuk membatalkan transasksi.

Dari balik rak yang baru saja mereka lewati, seorang pria bertubuh tinggi menatap Praha dan Raga yang kian menjauh. Senyum bangga menghiasi wajah tampan yang tertutup masker.


@guanhengai, 2021.

Satu fakta umum yang seharusnya sudah kalian ketahui, bahwa manusia pandai bersandiwara. Terkadang, apa yang terlihat hanya sebagian kecil dari hidup manusia.

Anak kecil selalu jujur, kata siapa? Raga yang belum genap berusia empat tahun ternyata begitu pandai menyembunyikan luka.

Mereka memang akan berkata jujur jika si dewasa memberi pertanyaan, namun lebih banyak mengurung rahasia yang akan membuatnya terlihat lemah jika terungkap.

Maka, jangan heran jika mereka banyak ditemukan tergeletak dengan banyak goresan di tangan. Ada juga yang selalu mengumbar tawa guna menutupi kesedihan. Sekali lagi, manusia pintar bersandiwara.

Praha selalu melihat anaknya sebagai bocah kecil imut yang pintar dan supel. Beberapa kali lelaki itu mengikuti pertemuan keluarga, Raga selalu menjadi pusat perhatian saudara-saudaranya. Meski hanya melihat dari jauh, ia yakin duplikat dirinya selalu menikmati waktu bersama anak-anak lain.

Praha masih tidak habis pikir dengan apa yang ia lihat hari ini. Ketidakadilan yang dialami Raga sungguh menyesakkan dirinya. Waktu seakan kembali menarik dirinya ke masa lalu, di mana Praha kecil diejek oleh teman-teman karena tidak memiliki ayah.

Tapi, kali ini apa? Apa alasan mereka mendiskriminasi anaknya? Raga memiliki orang tua lengkap.

Tangan kecil yang sedang menahan botol susu kini dibelai lembut oleh sang ayah. Berbaring di samping Raga adalah kebiasaan yang tidak pernah terlewat setiap harinya.

“Raga, anak Papa yang paling pinter,” ucapnya masih dengan meneliti setiap pori wajah sang anak.

“Papa, Papanya Laga yang paling kelen!” jawab anaknya sedikit tak jelas karena mulut masih dipenuhi dot. (Translate: Papa, Papa Raga yang paling keren!)

Aira baru saja memasuki kamar mereka dan langsung melewati anak-ayah yang sedang bermesraan di atas kasur. Gadis itu memasuki kamar mandi dan mulai menyalakan keran.

Tiap kali melihat senyum Raga, Praha justru semakin merasa bersalah. Ia langsung merengkuh anaknya, melantunkan lagu pujian sekolah minggu yang selalu Raga nyanyikan.

“Papa, lagi!” sorak anak itu ketika lagunya selesai.

Praha tertawa kecil, lalu kembali mengulang lagu itu dari awal. Dari terbit matahari, sampai pada masuknya Biarlah nama Tuhan dipuji Dari terbit matahari, sampai pada masuknya Biarlah nama Tuhan dip ...

Suaranya berhenti saat menangkap Raga menatap dalam dirinya. Manusia memang jago bersandiwara, tetapi mata selalu menyiratkan banyak kejujuran. Sayangnya, tidak semua orang mampu kelihat jujur di balik tatap.

“Raga kenapa liatin Papa kayak gitu, Nak?” tanyanya.

Raga kecil tersenyum, kemudian merentangkan tangan mungilnya. “Peyuk!”

Kedua alis Praha sempat terangkat, namun segera ia normalkan ekspresinya saat air wajah sang anak mulai berubah.

“Sini sini ... Raga kalo mau peluk Papa kan tinggal peluk,” tuturnya seraya mengangkat tubuh kecil itu ke atas dadanya.

Wajah kecil berpipi gembul itu langsung bersembunyi di balik ceruk leher Praha. Sedangkan, tangan ayahnya setia menepuk pantat yang dilapisi pampers itu.

“Tadi bekal yang dibawain Mama enak nggak, Sayang?”

Anggukan cepat Raga adalah jawaban atas pertanyaan papanya.

“Emang tadi Mama bawain apa?”

Kepala anak kecil itu mendongak, menatap wajah Papa yang sedari tadi memberinya pertanyaan.

“Tadi Laga bawa telung pake cocis, enaaakkk!” Salah satu jempol mungilnya terangkat, membuat Praha tertawa gemas. (Translate: Tadi Raga bawa telur pakai sosis, enaaakkk!)

Setelah meletakkan botol susu yang sudah kosong di nakas, Praha kembali menepuk pantat anaknya. Sebenarnya, pertanyaan tadi bukan hanya basa basi untuk membuat anak kecil di dadanya ini berbicara.

“Kalo temen-temen Raga bawa makan apa ke sekolah?”

Ya, itu hanya 'gerbang' menuju pertanyaan inti.

Persis seperti dugaan Praha, anaknya terdiam seketika. Netra bulat itu langsung memancarkan kesedihan. Jika boleh jujur, Praha pun tidak tega melihat Raga yang seperti ini.

“Raga?” panggil lelaki itu lagi.

Anaknya hanya menggeleng sembari melengkungkan bibirnya ke bawah. Ia tahu Raga sedang menahan tangisnya, sesuatu yang seharusnya tidak perlu dilakukan. Baik anak kecil maupun dewasa, menangis adalah hak.

“Kenapa Raga nggak pernah bilang ke Papa kalau di sekolah nggak pernah makan bareng temen-temen? Hm?”

Runtuh. Runtuh sudah benteng anak kecil itu. Tangisnya pecah dipelukan sang ayah. Praha yang biasa hanya berusaha menenangkan anaknya kini ikut terluka mendengar isak Raga.

“K-kata Eca, Laga nggak punya tas ama cepatu bagus. L-laga juga nggak pelnah b-beyi esklim di sekoyah, dadi temen-temen nggak mau temenin Laga.” ucap bocah itu dengan napas tersendat karena menangis. (Translate: Kata Echa, Raga nggak punya tas sama sepatu bagus. Raga juga nggak pernah beli es krim di sekolah, jadi temen-temen nggak mau nemenin Raga.)

Speechless.

Echa adalah salah satu anak dari kerabat Aira. Gadis kecil berusia lima tahun itu adalah salah satu sepupu yang dekat dengan Raga. Bahkan, Echa beberapa kali mengajak Raga bermain ke rumahnya.

Bagaimana mungkin anak sekecil itu dapat berucap demikian?

“Kamu lupa sama mamanya Echa? Sepupuku yang punya anak karna 'kecelakaan' juga?”

Ternyata, Aira sudah keluar kamar mandi sejak Raga menangis di pelukan Praha. Fakta tentang gadis kecil bermulut pedas sudah tidak mengejutkan Aira. Sama seperti mamanya, Echa pun senang mengganggu orang lain.

“Ya terus? Kenapa anaknya ngomong gitu ke anakku?” tanya Praha sembari menenangkan Raga.

“Karna Raga lebih beruntung dari Echa. Raga masih punya kamu, tapi papanya Echa pergi gitu aja. Dia cari kekurangan Raga buat bikin anak-anak lain ngejauhin Raga. Satu-satunya ya itu.”

“Gila ya? Masa anak kecil udah diajarin kayak gitu? Nggak mendidik banget. Kalo belum siap ngurus anak nggak usah bikin anak!”

Omelan Praha membuat Aira terkekeh pelan, “emang dulu kita siap, Mas?”

Pertanyaan yang keluar dari mulut Aira terasa menusuk dada Praha. Tak ada kebohongan sedikit pun di sana, tetapi mengapa terlalu menyesakkan?

Praha ingat. Itu adalah alasan yang ia gunakan untuk melenyapkan Raga.


@guanhengai, 2021.

Taman kanak-kanak tak seramai ingatan Praha. Nyaring teriakan bocah yang biasa menggelegar hingga sudut terkecil kini tersisa perosotan dan ayunan tanpa pemain.

Praha melangkah mendekati jajaran wanita yang duduk di tepi pagar. Lelaki berbalut kaos putih dan jaket kulit hitam berjalan dengan kantung plastik di tangan, berayun selaras dengan melodi yang terlontar dari mulutnya.

image

Meski Praha menjadi sasaran tatap ibu-ibu di sana seperti papa muda kebayangan, matanya tetap tertuju pada gadis berkaos putih dan celana jeans.

“Ini mamanya siapa sih? Cantik banget,” ujar Praha sembari tangannya hinggap di puncak surai Aira.

Istrinya buru-buru menepis tangan asing yang belum ia kenali sebagai suaminya. “Kok ditepis?” Alis tebal si tampan saling bertaut, bibirnya mengerucut kecewa.

“Mas! Kok tiba-tiba di sini?” tanya Aira seraya bergeser untuk memberi tempat untuk suaminya.

“Makasih, Sayang. Hari ini udah selesai, jadi bisa pulang bareng deh.” Praha melingkarkan lengannya ke bahu Aira, sedang istrinya memutar bola mata malas. Ternyata ini tujuan Praha berangkat kerja kemarin, agar ia bisa menjemput anaknya.

“Raga masih lama?”

Aira mengangguk sambil curi-curi pandang pada kantung merah di tangan sang suami. “Itu apa, Mas?”

Kini bungkusan yang Aira tidak ketahui isinya itu sudah terangkat tepat di depan wajahnya. “Coba tebak,” tutur Praha disertai cengiran menggoda.

Gadis itu berusaha mencari jawaban di mata suaminya., namun sepertinya Praha tak berniat memberi clue. Gelengan Aira membuat Praha tersenyum menang. Terlebih, ekspresi istrinya saat ia mengatakan bahwa itu adalah sebungkus babi panggang dari resto langganan mereka.

“Mas? Serius?”

Praha mengangkat bahu. “Liat aja nanti di kos.”

Sepersekon kemudian, lelaki itu merasakan hangat menggelayari tubuhnya. Kedua tangan Aira memeluknya dari samping, persis seperti seorang adik yang baru saja diberi permen oleh kakanya. Lelaki itu tersenyum malu saat ini. Ah, padahal biasanya Praha yang selalu membuat Aira salah tingkah.

Gadis itu menatap Praha dari samping bahunya. “Makasih, Mas.”

Sang lelaki mengangguk sembari menundukkan kepalanya demi membalas tatap Aira. “Sama-sama, Sayang.”

Seporsi babi panggang sangat berharga bagi mereka yang selalu makan tempe dan telur setiap hari.

Menit demi menit berjalan, semakin berat netra Aira bertahan untuk tetap terbuka. Gosip ibu-ibu, cuaca panas, dan usapan lembut di lengannya semakin menarik paksa kesadarannya.

Merasa tubuh Aira semakin bertumpu pada dadanya, Praha pun melirik sebentar gadis itu. “Ngantuk, ya?”

Anggukan Aira membuat Praha memperlembut usapannya. Untung istrinya memilih tempat yang sedikit tersembunyi, jadi ia tidak perlu khawatir oleh tatapan orang-orang.

“Aku nggak mau tidur, Mas. Cuma merem bentar,” tutur Aira dengan mata yang masih memejam.

“Oh, kupikir mau tidur sebentar.”

Aneh. Mana bisa tidur di tempat ramai seperti ini? Lagi pula, Aira harus memperhatikan satu per satu anak yang keluar dari ruang kelas agar anaknya tidak kabur dari lingkungan sekolah.

Pasalnya, beberapa hari lalu Raga keluar gerbang TK dan berdiri di samping penjual ice cream. Aira tidak melarang anaknya untuk mengonsumsi makanan itu, tapi harus di bawah pengawasannya.

“Sayang, itu Raga udah keluar.”

Kalimat dari mulut suaminya membuat Aira sedikit tersentak. Ternyata, bahu Praha terlalu nyaman untuk sekadar berbaring. Pantas saja Raga selalu terlelap saat sang ayah menggendongnya.

“Ayo, Mas.” Aira mengulurkan tangannya dan mengajak Praha berdiri.

Setelahnya, senyum kedua manusia dewasa itu menyambut sang anak. Bocah keriwil dengan tas merah kecil di punggungnya langsung berlari ke arah Praha. Tubuh mungilnya tampak begitu kecil saat bersanding dengan kaki panjang sang ayah. Praha segera menggendong anaknya, sedangkan Aira mengambil alih kantung yang sedari tadi dibawa lelaki itu.

“Anak Papa pinter banget sih,” tuturnya sembari berjalan menuju parkiran.

Tak ada jawaban dari Raga.

“Loh? Raga kenapa?”

Suara Aira menyita perhatian suaminya. Ia baru merasakan ada air menetes di lehernya. Segera Praha jauhkan kepala sang anak dari ceruknya. Wajah mungil itu sudah memerah dan dipenuhi air mata.

“Raga kenapa, Sayang? Hm? Coba cerita sama Papa,” ucap lelaki itu lembut.

Alih-alih menjawab, anaknya justru menunjuk salah satu bocah berseragam sama dengannya. Bedanya hanya sebungkus jajan di tangan anak itu.

“Raga mau jajan? Iya?” tanya Praha lagi.

Aira yang mengelahui alasan Raga menangis pun menepuk bahu Praha pelan. Sang lelaki menengok ke arah istrinya dan menaikkan satu alis.

“Ada temennya yang ulang tahun, tapi dia nggak dapet jajan.”

Kening lelaki itu langsung berkerut dalam. “Kenapa?”

“Karena Raga nggak bawa kado.”

Jleb!

Kalimat dari mulut Aira langsung menghujam jantung Praha. Konsep macam apa itu? Jahat sekali.

“Udah sering kayak gini?”

Aira tahu Praha sedang menahan emosinya. “Nggak apa-apa, nanti Raga lupa kok,” tuturnya berharap Praha sedikit tenang.

“Udah sering kayak gini?”

Fix. Praha marah.

“Iya,” jawab Aira seraya netranya tertutup.

Telapak lebar lelaki itu langsung mengusap surai anaknya. Raga masih menangis di pelukan Praha. Sungguh, hatinya benar-benar terkoyak akan fakta barusan.

“Nggak apa-apa, besok ulang tahun Raga dirayain, ya?”

Bukan anaknya yang terkejut, justru gadis cantik di sampingnya yang menahan lengan Praha. Netranya menyiratkan keterkejutan yang teramat.

“Serius, Mas?”

Kelopak Praha berkedip berkali-kali. Mengapa respon Aira sangat tak wajar? Padahal, normal-normal saja jika merayakan ulang tahun anak, meski kondisi ekonomi mereka sedikit tidak memungkinkan.

Tidak apa-apa, tawaran dari mertua Praha menyelamatkan idenya tadi.

“Emang kenapa? Serius lah,” tuturnya.


@guanhengai, 2021.