guanhengai

51.

Jam digital Bianca sudah menunjukkan pukul setengah sebelas malam. Perjalanan Jakarta-Bandung memakan waktu 5 jam karena padatnya lalu lintas. Suhu di dalam mobil sudah terlampau dingin hingga membuat kacamata Bianca berembun.

Setelah memasuki wilayah yang mereka tuju, mobil putih Bara melaju pelan. Nathan yang berada di balik kemudi bertanya perihal arah menuju vila milik papa Bianca. Gadis itu menunjuk jalan kecil dengan pepohonan tinggi di kanan dan kirinya.

“Beneran ini jalannya, Bi?” tanya Nathan ragi-ragu.

“Kok lo nggak percaya sama gue, sih?”

Nathan tersenyum dan menggeleng. Benar juga. Tidak mungkin Bianca melupakan jalan menuju vilanya.

Jaemin

Roda mobil kembali menyusuri jalan kecil itu. Nahas, sebuah area perkebunan karet menyambut mereka. Jalan terputus. Tidak ada akses di depan mereka. Dengan penuh sabar, Nathan kembali bertanya pada gadis di sampingnya.

“Kayaknya kita salah jalan deh, Nath.” Ringisan Bianca terurai begitu saja. Jemarinya menggaruk tengkuk yang tiba-tiba gatal.

“Jadi? Kita muter balik, nih?”

Bianca mengerjap sejenak. “Emang ada cara lain?”

Nathan menggeleng. Tanpa menunggu lama, dia memutar kemudi berkali-kali hingga bagian depan mobil kembali menuju jalan besar. Tidak ingin tersesat lagi, Bianca memutuskan untuk meminta bantuan pada peta virtual di ponselnya. Tenang, dia termasuk gadis langka yang ahli membaca peta.

“Seratus meter lagi belok kanan, Nath. Kayaknya setelah gapura itu, deh.”

Nathan mengangguk paham.

Kali ini mereka menempuh jalan yang benar. Vila besar sudah mulai terlihat atapnya. Nathan sampai berdecak kagum karena halaman vila papa Bianca bisa digunakan untuk upacara bendera.

“Lo masuk duluan aja, Bi. Biar gue yang bawa tas sama barang lo.”

“Thank you, Nath,” jawab Bianca setelah turun dari mobil.

Gadis itu masih berdiri di teras, tetapi suara papa sudah terdengar. Tawanya menggelegar, membuat beberapa burung di atap terbangun dari tidurnya. Bianca menggelengkan kepala. Papa memang selalu seperti itu saat mengobrol dengan orang lain.

“Papa!” sapa Bianca dari pintu depan.

Tiga laki-laki yang tengah berbincang menengok serentak. Meski bibirnya terlihat pucat, senyum lebar tetap terpancar dari wajah papa. Lengan kekarnya terbuka, siap menyambut putrinya.

“Papa sakit apa?” tanya Bianca setelah mendarat di pelukan papa.

“Siapa yang bilang Papa sakit? Ini cuma flu ringan, Bi.”

Bianca langsung menusuk kakaknya dengan tatapan tajam, sedangkan Rafa hanya tersenyum jahil di tempatnya. Bara yang melihat ekspresi Bianca pun ikut tersenyum. Gadis itu masih sama seperti dulu. Manja dan suka marah-marah.

Menit-menit setelahnya diisi oleh obrolan ringan. Teh hangat buatan Kak Rafa menghangatkan tenggorokan Bianca dan Nathan. Sebungkus roti bakar yang mereka beli melalui ojek online mengisi perut.

Bianca terus melontarkan pertanyaan tentang kondisi papanya hingga yang ditanya bosan menjawab. Pria berusia 58 tahun itu tertawa kencang saat Bianca mengingatkannya untuk menjaga kesehatan. Gadis itu juga memberi banyak wejangan untuk papanya yang gila kerja.

“Papa beneran cuma flu, Bi. Tanya aja sama Bara.”

“Kenapa Kak Bara lebih paham papa dari pada anaknya sendiri, sih?”

Lagi-lagi papa tertawa. Beliau mencubit pipi putrinya sebelum beranjak memasuki kamar. Kak Rafa mengikuti papa dari belakang. Dia harus memastikan papa meminum vitaminnya sebelum tidur.

Nathan ikut masuk ke kamar tamu yang sudah disiapkan untuknya. Dia kelelahan karena menyetir dan berdebat dengan Bianca. Meski ini adalah kali pertama mereka bertemu, ternyata antena di kepala keduanya saling berhubungan. Semua topik pembicaraan dibabat habis selama perjalanan.

“Belum ngantuk?”

Bara tiba-tiba menggeser tubuhnya ke samping Bianca.

“Belum,” jawab gadis itu singkat.

“Tadi gue beli susu cokelat, mau?”

Alih-alih menjawab, Bianca justru melempar tatapnya pada Bara. Dia menyilangkan tangannya di depan dada, lalu menumpu lutut kanannya dengan kiri.

“Ngapain lo ke sini?”

“Ada urusan sama wali kota.”

“Bohong. Tadi pagi lo masih di Jakarta, tiba-tiba udah ada di Bandung. Lo tau papa sakit, kan?”

Bara ikut menyilangkan tangannya di depan dada. Tubuh kekar yang awalnya menghadap Bianca bergeser sedikit, bersandar di sofa.

Baby-na-nomin-tweet-end

“Bokap lo beneran cuma flu, Bi. Dan gue ke sini bener-bener ada urusan.” Bara diam sejenak. Dia menatap Bianca dengan tatapan tidak percaya. “Jangan bilang lo ke sini karena mikir bokap lo sakit keras, terus gue maksa beliau buat jodohin lo sama gue? Hahaha! Otak lo sinetron banget sih. Lagi pula, gue nggak perlu maksa Om Jo buat restuin kita kal-”

“Sinting, ya?”

Bara tertawa kencang mendengar pertanyaan Bianca. Pipinya merona, matanya menyabit. Telapaknya mendarat di puncak kepala gadis itu sembari mengacak-acak rambutnya.

“Bercanda, Bii. Gue udah rela kok kalau lo tolak gue.” Bara melirik Bianca yang menampilkan ekspresi kesal. “By the way, lo beneran enggak berniat bantuin bokap sama kakak lo di perusahaan?”

“Sebenernya mau, tapi gue nggak kayak Kak Rafa yang dari kecil dibekalin bisnis sama Papa.”

“Lo bisa belajar dari mereka, Bi. Nggak susah kok, asal sabar sama telaten.”

Bianca memukul sofa di sampingnya hingga membuat Bara terjingkat. “NAH! Itu dia, Kak! Kesabaran gue setipis lingerie. Dan lo berharap gue telaten? Yang beresin buku-buku gue aja bibi.”

Mulut Bara sedikit terbuka. “Kenapa perumpamaannya harus lingerie, sih, Bi?”

Yang ditanya hanya mengangkat bahu. Dia meraih remote TV yang tergeletak di atas meja. Sejak kecil, Bianca suka menonton di malam hari. Selain tidak perlu berebut dengan Kak Rafa, dia lebih merasa leluasa karena tidak ada kurir paket di malam hari.

“Mau nonton Frozen nggak?”

Bianca tersenyum saat Bara menyebut judul tersebut. Meski sudah menonton berkali-kali, Bianca tetap mengangguk. Itu adalah salah satu film kesukannya.

Hujan di luar tidak mengganggu kegiatan menonton mereka. Sofa ruang keluarga dilebarkan hingga keduanya bisa sambil berbaring. Hingga jam dinding bergulir ke angka tiga, barulah TV dimatikan. Bianca sudah terlelap di samping Bara. Tubuhnya segera dibopong ke dalam kamar dan diselimuti oleh kain tebal.

Bara membelai rambut Bianca sebelum meninggalkannya. “Take care,” ucapnya pelan.


@guanhengai, 2022.

Gelap. Satu kata yang mendeskripsikan tempat Bianca bersembunyi.

Dia memeluk tas kecil miliknya tanpa melonggarkan pendengaran. Kedua kaki Bianca mulai kebas karena berjongkok hampir lima menit. Jantungnya masih gempar akibat notifikasi yang tiba-tiba menghiasi layar ponselnya.

“Kayaknya udah nggak ada orang,” bisik Bianca pada dirinya sendiri.

Setelah mengaduh karena kram, dia berusaha merangkak keluar dari kolong meja.

Sial! Prediksi Bianca meleset jauh. Laki-laki yang dia hindari ternyata masih ada di sana. Yang paling mengejutkan adalah tubuh Bara menjulang tepat di hadapannya.

“Pegel kan sembunyi di bawah meja?”

Saliva Bianca meluncur bebas melewati tenggorokan. Dadanya semakin menggebu-gebu, perutnya seketika bergejolak hebat. Dia merasakan panas di sekujur wajah dan lehernya.

Belum reda rasa terkejutnya, telapak Bara tiba-tiba melingkar di lengannya dan membantu Bianca berdiri. Gadis itu sempat oleng karena kakinya terasa ngilu saat digerakkan. Dengan gesit, Bara menggendong tubuh 57 kg itu di bahu kanannya.

“KAK BARA! TURUNIN GUE!”

“Loh? Katanya nggak kenal gue?” Bara mempererat cengkraman di betis Bianca.

“KAK BARA! MALU!”

Sesampainya di bangku panjang, laki-laki itu menurunkan perlahan tubuh Bianca. Bara menarik kedua kaki gadis itu agar kramnya reda. “Dasar, Bocil! Ngapain sih ngumpet di kolong meja? Badan lo udah nggak sekecil dulu.”

Bianca terdiam karena telapak Bara berpindah ke puncak kepalanya. Jemari Bara mengacak rambut Bianca yang semula tertata rapi. Saat mereka masih kecil, Bara sering melakukan hal tersebut. Tetapi, rasanya sangat berbeda setelah bertahun-tahun tidak bertemu.

Terakhir kali Bianca melihat Bara adalah enam tahun silam, saat dia berusia 14 tahun dan Bara 18 tahun.

Dari kecil, keduanya tumbuh di lingkungan yang sama karena hubungan bisnis orang tua mereka. Papa Bianca memiliki beberapa hotel dan pusat perbelanjaan, sedangkan papa Bara merupakan pemilik perusahaan fashion terbesar di Asia. Meski perbedaan usia mereka cukup jauh, Bianca tidak pernah segan untuk mengajak Bara bermain bersama.

Akan tetapi, semua berubah sejak Bara lulus SD. Mereka sudah tidak pernah berangkat dan pulang sekolah bersama. Bara yang semakin sibuk juga tidak pernah bermain atau belajar bersama di rumah Bianca.

Bara masuk SMP ketika Bianca baru naik ke kelas 3 SD. Saat Bianca masuk SMP, Bara sudah duduk di kelas 2 SMA. Saat Bianca masuk SMA, Bara sudah kuliah di Australia. Dulu Bianca sangat iri pada teman-teman sekelas Bara yang bisa bertemu dengannya setiap hari. Sedangkan, dia hanya bisa bertemu Bara setiap Sabtu atau saat orang tua mereka bertemu.

Papa Bara meninggal saat laki-laki itu berusia 21 tahun. Bara yang baru saja lulus kuliah langsung mengambil alih perusahaan yang saat itu sedang melebarkan sayap ke benua Eropa. Beralasan mengembangkan perusahaan, Bara kembali menempuh pendidikan di City of Love. Mereka semakin terpisah jauh.

Berbeda dengan Bara yang menjalani kehidupan perkuliahan di luar negeri, Bianca memilih untuk menetap di Indonesia. Dia mengambil jurusan Sastra Inggris di salah satu kampus swasta di Jakarta. Alasannya sederhana, dia tidak suka berhitung dan menghapal. Tapi, ternyata pilihannya justru membawa Bianca pada jurang yang paling dia hindari. Bukan hanya menghapal dan menghitung, dia juga harus menganalisis banyak sekali karya sastra. Mata kuliah Linguistik dan Kajian Budaya yang paling menguras otak udang Bianca.

“Mikirin apa, sih? Serius banget, Bi.” Bara menyenggol bahu Bianca, memecah keheningan.

Bianca berdeham. Dia mendorong tubuh Bara agar menjauh darinya. Jika tidak, laki-laki itu mungkin bisa mendengar debar jantung.

“Ngapain lo balik ke Indonesia, Kak?”

“I'll get married soon.”

Jawaban Bara berhasil membuat tubuh Bianca membeku. Dada dan kepalanya terasa ditusuk hingga tubuhnya terpecah menjadi beratus-ratus bagian. Dia ingin cemburu, tapi dia sadar tidak memiliki hak. Mungkin Bianca harus menyembunyikan perasaannya, sama seperti 13 tahun terakhir.

Gadis itu sudah menyimpan rasa suka sejak awal pertemuan mereka. Lagi pula, siapa yang tidak jatuh hati pada Bara? Meski saat itu mereka masih anak-anak, Bianca mampu merasakan aura tampan laki-laki itu. Terlebih, Bara selalu berpenampilan rapi. Rambutnya ditata ke atas, terkadang kacamata bersandar di hidung mancungnya. Bara benar-benar mencerminkan sosok anak tunggal kaya raya.

“Nikah sama siapa?” tanya Bianca tanpa dia sadari. Suaranya sangat pelan, hampir tidak terdengar.

Jika dipikir-pikir, pertanyaan barusan sungguh tidak layak untuk ditanyakan. Tentu Bara akan menikah dengan kekasihnya, Brigitta Caroline atau sering dikenal dengan nama Olin. Gadis cantik yang berprofesi sebagai model internasional itu sudah menjadi kekasih Bara sejak mereka duduk di bangku SMA.

Mereka mulai dekat saat menjabat sebagai ketua dan wakil ketua OSIS. Di tengah periode jabatan, mereka mengumumkan status barunya. Bianca yang saat itu baru masuk SMP pun hanya mampu tersenyum dan mengucapkan selamat ke Bara.

Untuk pertama kalinya, Bianca merasakan patah hati.

Tahun-tahun setelahnya, dia semakin terpuruk. Bara dan Olin terlihat semakin dekat. Bahkan, mereka memutuskan untuk kuliah di kampus yang sama. Kabar tentang Olin dan Bara masih sering berkeliaran di televisi dan media sosial. Bianca tentu tahu bahwa mereka sama-sama menetap di Paris.

Setelah berkali-kali denial, malam ini Bianca harus memutus harapannya. Penantian tiga belas tahunnya sudah berakhir. Dia harus melepaskan Bara meski mustahil.

“Nikah sama lo.”

“HAH?!”

Mulut Bianca terbuka lebar. Matanya terbelalak, rambut halus di sekujur tubuhnya menegang sempurna.

“Kalau lo mau, sih.”

Bianca mengerjap berkali-kali. Dia yakin wajahnya sudah semerah tomat. Tapi dia tidak peduli. Kata-kata Bara sungguh mengacak-acak perasaannya. Tekad move on yang sudah terbangun sempurna langsung runtuh begitu saja.

“Kenapa sama gue?”

Bara tidak langsung menjawab. Dia justru menatap kedua netra bulat Bianca. Laki-laki itu mengangkat salah satu sudut bibirnya kala menangkap binar di mata gadis itu.

Bara merindukan gadis kecil yang selalu mengikutinya ke mana-mana. Dia rindu suara cempreng Bianca saat meminta cokelat kepadanya. Dia rindu memarahi Bianca saat belajar Matematika. Bara rindu.

image


@guanhengai, 2022

Langit menggelap seiring tetangga berdatangan. Rhei bertugas untuk menyambut tamu dan menemani anak-anak bermain di halaman. Sama seperti biasanya, gadis itu selalu menyiapkan permen dan makanan ringan untuk dibagikan kepada anak-anak.

Ibadah perayaan ulang tahun pernikahan Pak Bun dan istrinya berjalan lancar. Ibu Pendeta dan beberapa pemuda gereja yang bertugas menjadi worship leader dan pemusik sedang berbincang santai dengan Rian. Dylan, Kayla, dan Lingga sibuk merapikan kursi plastik dan piring bekas kacang rebus.

“Mbak Rhei, main kembang api lagi dong!” rengek seorang anak laki-laki berkepala plontos.

“Waduh. Emang ada yang jual kembang api, ya? Kan ini bukan musim lebaran,” jawab Rhei seraya menaikkan salah satu alisnya.

Plak!

“Aishhhh! Sakit!” pekik gadis itu sembari menengok pelaku pemukulan bahunya.

Netranya menyalang tajam saat melihat Delvin berdiri di belakangnya dengan ekspresi tanpa rasa bersalah. Kemeja abu-abu dan celana panjang hitam membuat lelaki itu terlihat tampan. Namun, Rhei tetap tidak tertarik padanya.

“Lebay banget! Padahal gue mukulnya pelan,” tutur Delvin.

“Pelan? Tangan lo segede bagong, Delvin!” balas Rhei.

“Kak Rhei, ayok cari kembang api!” Kini gantian seorang gadis kecil berpipi gembul yang membujuk Rhei.

“Udah, cari aja. Coba ke deket Malioboro atau alun-alun, siapa tau ada,” saran Delvin yang membuat anak-anak di depan mereka bersorak setuju.

“Oke, oke. Siapa yang mau ikut beli kembang api?” tanya gadis itu yang tentu disambut heboh semua bocah kecil di sana.

Akhirnya, Rhei membawa enam anak di mobil Brio putihnya. Empat di belakang, dua di depan. Entah ada atau tidak penjual kembang api, yang penting Rhei sudah berhasil mencipta tawa gembira di wajah anak-anak. Dia hanya berharap tidak ada polisi yang memberhentikannya karena mobilnya sangat ramai.

Tiga puluh menit pencarian berbuah manis. Sebungkus kembang api kecil dan besar berhasil mereka bondong ke rumah Pak Bun. Sebelumnya, Rhei juga sudah meminta izin kepada Bapak pemilik kosnya itu dan orang tua anak-anak untuk mengajak mereka bermain kembang.

“Beli bisa, nyalain nggak bisa!” celetuk Dylan saat Rhei meminta tolong untuk menyalakan kembang api paling besar.

image

“Biar kalo kebakar, muka lo duluan yang kena,” jawab Rhei yang langsung ditabok oleh temannya itu.

“Kayla sama Lingga udah ke rumah sakit. Kale sama Gerald di dalem,” ucap Dylan.

“Wah! Kale udah di sini? Gue ajak ah!”

Belum sempat Dylan menjawab, gadis itu sudah hilang ditelan udara. Tungkainya berlari kencang memasuki rumah Pak Bun. Bukan hanya Dylan yang menganga, anak-anak yang sedang asik bermain kembang api pun ikut terdiam kala melihat Rhei berlari.

“Hai, temen-temen. Kenalin, ini Kale.”

Gadis cantik itu kembali dengan bocah kecil tampan di sampingnya. Anak-anak zaman sekarang berbeda dengan masa kecil Rhei. Dulu, Rhei akan sangat senang dan menyambut hangat teman barunya. Tetapi, anak-anak di hadapannya justru hanya menatap Kale sembari tersenyum malu.

“Hey. Masa temennya nggak disapa, sih? Ayok dong kenalan!” paksa Rhei.

“Halo, namaku Karin.” Gadis kecil yang tadi mengajak Rhei membeli kembang api pun memulai perkenalan, diikuti oleh teman-teman lainnya. Kale yang semula menundukkan kepala pun mulai berani menatap dan berbicara dengan teman-teman seusianya.

“Jiah! Bonding, Rhei?” goda Dylan.

“Bacot!” bisik Rhei.

“Mbak Rhei! Mau nyalain yang besar!” Karin mengulurkan kembang api berbentuk tabung panjang berwarna magenta.

“Dyl! Tolong!”

“Rhei, mending lo bawa Kale ke dalem dulu deh,” ucap Dylan.

“Lah? Jahat banget nggak diajak. Udah, cepet nyalain!” titah Rhei.

Dylan pun berdiri dengan raut yang tak mampu dijelaskan, kemudian mengambil kembang api di tangan Rhei. Semua anak bersorak, kecuali kale yang memang tidak tahu benda apa yang ada di tangan Dylan.

Rhei menarik anak-anak menjauh dari Dylan. Beberapa melawan, namun berhasil ditaklukkan oleh gadis itu. Kale berada tepat di depan tubuhnya, sedangkan anak-anak lain mengelilingi tubuh Rhei.

Korek di tangan Dylan mulai membakar sumbu kembang api. Warna orange kian menjalar mendekati ujung tabung tersebut. Tangan lelaki itu sudah mengarah ke angkasa, siap meluncurkan ledakan hebat nan indah.

Duarrrr

Ledakan pertama disambut sorak semangat anak-anak. Namun, Rhei merasa seseorang mencengkram dressnya. Dia pun menunduk dan melihat Kale sudah berbalik sambil memejamkan mata.

“It's okay, Kale. Kembang apinya jauh kok, aman,” tuturnya menenangkan.

Alih-alih tenang, bocah itu justru menggeleng dan menutup telinganya dengan kedua telapak tangan. Ledakan kedua segera menyusul. Wajah Kale kian merona dan bibirnya memucat. Rhei yang melihat hal tersebut pun berniat mengajak Kale untuk masuk ke dalam rumah Pak Bun.

Gadis itu belum sempat berbalik karena lelaki berkemeja hitam sudah lebih dulu menarik Kale. Wajah Gerald tidak kalah pucat dengan Kale. Lengan kekarnya langsung mengangkat tubuh Kale. Setelah kepalanya bersandar di bahu sang ayah, tangisnya pecah.

Bingung dan panik menyelimuti dada Rhei. Terlebih, Gerald yang tiba-tiba berlari ke rumahnya tanpa sapa. Di tengah kebingungannya, gadis itu dihampiri oleh Delvin yang langsung menarik lengannya.

“Kenapa?!?” tanyanya.

“Kale takut kembang api gede, Rhei!” jawab Delvin seraya membawa tubuh gadis itu sedikit berlari.

“Gue bawa lo biar bisa bantu Gerald tenangin Kale,” ucap Delvin lagi setelah melihat raut bingung Rhei.

image


Butuh hampir satu jam untuk menenangkan Kale dan membuatnya terlelap. Napasnya sempat sesak hingga Gerald harus memberinya inhaler. Sepanjang usaha menenangkan bocah tampan itu, rasa bersalah menimpa kepala dan dada Rhei. Terlalu banyak 'seandainya' yang berputar di benaknya.

“Nggak usah dipikirin, Kale emang sering kayak gini.”

Gerald ikut duduk di samping Rhei. Kini mereka menempatkan diri di ujung trampoline yang berada di halaman belakang rumah gerald. Namun, kepala Rhei tidak pernah sederhana. Semua berbelit seperti benang tak berujung.

“Sorry, Mas. Harusnya gue nggak ajak Kale main kembang api.” Intonasi Rhei sangat berbeda dari biasanya, pelan dan sedikit bergetar.

“Nggak apa-apa. Kamu kan tadi belum tau,” jawab Gerald seraya menepuk sisi kosong di sampingnya.

Rhei melepas flatshoesnya dan merangkak ke samping Gerald. Sekarang, kedua insan itu berbaring di tengah trampoline dengan langit berhias bintang sebagai atapnya.

“Sering nanganin kasus kayak gini, Rhei?” Gerald kembali bertanya karena Rhei tidak berbicara satu kata pun.

“Hm? Kasus apa, Mas?”

“Anak tantrum,” jawab Gerald seraya mengalihkan pandangannya ke wajah Rhei.

“Lumayan,” jawab gadis itu membalas tatap Gerald.

Jantung Rhei bekerja lebih keras dari biasanya selama beberapa detik, hingga dia sengaja memutus tatap mereka demi kesehatan benak dan batinnya. Kekeh pelan Gerald terdengar dari samping, namun gadis itu tidak berani menengok lagi.

“Ini salah satu alasan saya bawa Kale ke Psikolog, Rhei. Bukan cuma kembang api, Kale juga takut sama suara-suara keras lainnya. Petir, balon pecah, kaca pecah, bahkan barang jatuh pun kadang bikin dia nangis karena kaget. Itu juga yang bikin Kale susah sekolah. Jadi, saya terima kasih banget karena kamu mau ajak Kale belajar. At least dia ngerasain gimana rasanya belajar sama orang lain.”

Rhei tidak langsung menjawab. Netranya terfokus pada dua bintang yang bercahaya lebih terang dari bintang-bintang lainnya. Telinganya mendengar embus napas Gerald yang langsung terbawa angin malam. Tangannya bertaut di atas perut sebagai pelampiasan rasa grogi.

“Emang, Kale takut sama suara keras sejak kapan, Mas?” tanya gadis itu tanpa mengalihkan netranya.

“Sejak kecil. Waktu itu, Mama dan Omanya ajak dia ke pasar malam. Tiba-tiba, ada balon pecah di deket Kale. Dia langsung nangis kenceng banget sampe susah ditenangin.”

“Kalo karena kaget, harusnya enggak segitunya, Mas.”

“Iya, kayaknya dia emang phobia suara keras.”

Rhei menggeser fokus matanya dan menatap Gerald yang masih asik melihat bintang-bintang di langit. “Phobia itu selalu ada sebabnya, Mas.”

Gerald terdiam sejenak, lalu membalas tatapan Rhei. “Apa dugaan kamu, Rhei?”

“Kalo Kale kayak gitu sejak kecil, mungkin dia pernah atau sering denger suara keras pas bayi. Atau, suara itu udah dia denger sejak di dalem kandungnyan mamanya.”

Lima detik Gerald membeku sebelum melengos dan menghindari tatapan Rhei. Dia menghela napas panjang dan memejamkan matanya. “Semakin dingin, Rhei. Mau masuk ke dalem aja?” tanya lelaki itu.

Rhei mengangguk, lalu mengikuti Gerald menuju ruang tamu.

image

Cara Gerald menghindari tatapan dan langsung mengganti topik membuat Rhei sampai pada satu kesimpulan. Kale kecil sering mendengar keributan. Yang Rhei tidak tahu, apakah keributan itu bermula saat Kale sudah lahir ke dunia, atau bahkan sejak dia masih di dalam kandungan.

Pasalnya, Rhei pernah menangani klien yang mengaku phobia balon dan petir, hampir sama seperti Kale. Sebut saja Mawar. Mawar bercerita bahwa dadanya terasa sangat sesak kala mendengar suara keras. Usut punya usut, ketakutan itu sudah tertanam dalam dirinya sejak masih di dalam kandungan.

Pertengkaran orang tua Mawar menyebabkan ayahnya sering membentak, memaki, dan bersikap kasar kepada sang ibu. Hal tersebut tentu didengar oleh Mawar yang saat itu masih di dalam kandungan. Rasa takut yang dirasakan sang ibu juga dapat dirasakan oleh Mawar. Alhasil, rasa takut akan suara keras tertinggal di dalam diri Mawar.

Ini adalah salah satu alasan mengapa Rhei tetap menerima klien dewasa. Tidak banyak orang yang paham dan siap menjadi orang tua. Mereka pikir, kehidupan seorang anak dimulai saat mereka lahir. Padahal, mereka sudah dapat menyerap apa yang mereka alami sejak berada di dalam kandungan.


@guanhengai, 2022.

Lorong lantai tiga rumah sakit tidak seramai lantai dasar. Jajaran pintu putih berhias nama pasien selalu mengisi pemandangan Rhei setiap hari. Ruang praktiknya tidak berdekatan dengan ruang rawat, tetapi masih ada di lantai yang sama.

Bunyi pintu tertutup terdengar kala sosok berkemeja navy itu keluar dari ruangannya. Rambut panjang yang dijedai dan lengan jas rumah sakit yang digulung sebatas siku membuat Rhei terlihat lebih santai dari sebelumnya. Segelas espresso dingin di genggam kirinya menemani gadis itu mengelilingi lorong lantai tiga.

Teriknya siang ini membuat Rhei teringat cerita Kayla beberapa hari lalu. Konon katanya, kolam di balkon lantai tiga merupakan kolam pengabul permohonan. Jika seseorang melempar koin ke dalam kolam di bawha terik mentari, maka permohonannya akan terkabul.

Rhei bukan manusia yang mudah mempercayai cerita orang begitu saja. Maka dari itu, di saku jasnya sudah tersimpan tiga buah koin untuk membuktikan pernyataan Kayla.

Kolam yang hanya dihiasi air mancur itu tidak pernah terisi ikan sama sekali. Rhei sudah sering menanyakan hal tersebut pada Mbak Sri, salah satu petugas kebersihan di rumah sakit ini. Namun, jawaban Mbak Sri selalu melenceng dari ekspektasi Rhei.

“Ya mungkin ikannya ndak betah di sini, Mbak.” “Ikannya lagi mudik, Mbak.” “Ikannya goib, Mbak. Cuma bisa dilihat sama yang beriman kuat.”

Gadis itu menghela napas saat kakinya mendekati kolam tersebut. Pantulan sinar matahari di atas air membuat Rhei menyipitkan kedua matanya.

Sesampainya di pinggir kolam, Rhei meletakkan gelasnya. Dia merogoh saku untuk mengeluarkan satu koin seratus perak yang selama ini tersembunyi di laci meja kerjanya. Rhei lalu meneliti sekitar untuk memastikan tidak ada orang lain selain dirinya di sana. Beberapa saat kemudian, gadis itu menutup matanya dan mengucapkan sebuah permintaan.

Plung

Koin seratus rupiah di tangannya sudah ditangkap oleh air di dalam kolam dan sedang menuju ke dasarnya. Rhei dapat melihat pantulan dirinya sedang tersenyum puas di air yang jernih.

“Kalo Gerald bisa jadi jodoh gue, berarti ini beneran kolam ajaib,” gumamnya.

“Rhei? Lo ngapain di sana?”

Gadis itu membatu dalam posisi sedikit membungkuk. Otaknya berusaha meneliti suara yang baru saja menyapa dirinya. Perlahan Rhei menegakkan tubuh dan berbalik.

“Lingga?! Lo ngagetin gue, anjir!” protes Rhei yang sebenarnya pura-pura terkejut.

“Lagian lo kayak lagi nyembah kolam, Rhei,” jawab lelaki itu seraya berjalan mendekatinya.

Sang gadis hanya diam dan tidak merespon temannya. Kedua netra Rhei justru terfokus pada sosok kecil di samping Lingga. Pakaian dan rambut yang tertata rapi selalu membuat Kale terlihat tampan.

“Halo, Kale!” sapa Rhei saat anak itu sampai di depannya.

Alih-alih membalas sapa, bocah tampan itu justru menunjukkan raut kecewa. Rhei yang bingung pun langsung jongkok untuk menyetarakan tingginya dengan Kale.

“Loh? Kok mukanya berubah? Aku ada salah apa?” tanya Rhei lembut.

“Tante Rhei kenapa panggil saya Kale?”

Alis Rhei bergelombak seketika. Beberapa detik setelahnya, dia memamerkan senyum canggung. Rhei tidak langsung mejawab pertanyaan Kale. Diambilnya gelas yang masih berisi setengah espresso dingin, lalu digandengnya tangan bocah itu menuju tempat yang lebih sejuk.

“Kale, I'm so sorry. Papanya Kale minta aku buat nggak panggil Kale dengan nama 'Kael'. So, aku panggil Kale aja, gimana? Sama-sama ganteng kok namanya,” ucap Rhei setelah duduk di salah satu bangku panjang lantai tiga.

Kale sempat berpikir sejenak, lalu mengangguk pelan. “It's okay. Sama-sama nama saya,” jawabnya diikuti senyum manis.

Demi Tuhan, Kale merupakan gambaran kecil Gerald. Ujung bibir, bentuk hidung, sudut alis, bahkan aura keduanya benar-benar sama persis. Rhei merinding kala memikirkan hal tersebut.

“Lo nggak ada klien, Rhei?”

Gadis itu sampai melupakan eksistensi Lingga di dekatnya.

“Eh? Enggak. Kayaknya klien gue kabur semua deh,” jawabnya asal.

Tawa kecil Kale mengundang perhatian Rhei. Pasalnya, ini adalah kali pertama gadis itu mendengar tawanya. Kedua sudut bibir Rhei terangkat, telapaknya membelai lembut surai Kale.

“By the way, kok kalian bisa bareng?” tanya Rhei.

“Tadi Dylan nitip Kale ke gue, kebetulan udah nggak ada pasien,” jawab Lingga.

“Gerald sama Delvin ke mana?”

“Delvin lagi jemput Gerald, tadi Kale belum selesai konseling. Oh ya, tadi kita beli jajan di depan, mau?” Lingga memamerkan beberapa tusuk telur gulung di tangannya.

Rhei mengerutkan dahinya. “Emang Kale boleh makan jajanan kayak gitu?”

“Boleh kok, Tante. Papa nggak pernah ngelarang saya buat makan apa aja.”

“Tuh! Kenapa jadi lo yang posesif, sih? Udah kayak emaknya aja!” celetuk Lingga yang langsung mendapat cubitan keras di pinggangnya.

Kale hanya memperhatikan mereka dengan tatapan bingung.

image


Tiga puluh menit mereka habiskan untuk membicarakan banyak hal. Mulai dari burung yang singgah di tiang listrik, klakson kendaraan yang saling bersautan di bawah sana, awan-awan yang saling mengejar, hingga cerita di balik pembuatan movie Disney. Tentu semua topik berasal dari rasa penasaran Kale.

Rhei memang senang menangani klien kecil seusia Kale. Namun, sejujurnya dia belum siap mendapat pertanyaan-pertanyaan random seperti ini. Biasanya, dialah yang memberi pertanyaan pada klien-kliennya.

“Om Lingga sama Tante Rhei sukanya nonton apa?”

“Om Lingga suka nonton apa aja, asal bukan film setan.”

Rhei tertawa mendengar respon Lingga. Tubuh dan nyali Lingga memang memiliki korelasi negatif. Lelaki ini bisa menjerit paling histeris ketika menonton film horor.

“Kale juga takut film setan,” gumam si kecil. “Kalo Tante Rhei?” lanjutnya.

“Aku suka nonton drama sama anime,” tutur Rhei merespon pertanyaan Kale.

“Anime apa, Tante?”

“Aku paling suka Ponyo sama Wolf Children. Kale udah pernah nonton atau belum?”

“Belum. Kale sukanya nonton Disney. Tapi, Kale mau nonton itu!” ucapnya semangat.

“Boleh, nanti aku ajak Kale nonton. Kale suka menghitung sama baca buku, kan? Gimana kalo kita belajar bareng, terus nanti diselingi nonton film deh,” tawar Rhei yang direspon pekik riang anak itu.

“Tante Rhei ke rumah Kale?”

“Engga, Sayang. Nanti kita video call aja. Ya, sekali-kali boleh deh aku ke rumah Kale.”

Rhei tersenyum bahagia. Jika tidak tahu malu, Rhei akan menganggap ini sebuah langkah awal untuk menarik perhatian Kale. Setelah langkah ini terlewati dengan mulus, dia akan menarik perhatian Gerald. Tetapi, Rhei masih sadar posisi dan porsinya. Dia tahu Gerald bukan lagi impiannya. Gerald sudah dimiliki wanita lain.

“Emangnya, film Disney kesukaan Kale apa?” tanya Lingga penasaran.

“Encanto. I like Encanto so much,” jawabnya.

“Why?” Rhei gantian bertanya.

“Karena Kale nonton itu sama Papa. Kale seneng bisa nonton sama Papa. Papa pangku sama peluk Kale, hangat,” ucapnya yang membuat dua manusia dewasa di sana terdiam.

“Aku juga bisa peluk Kale, mau?” tawar Rhei yang langsung ditatap oleh sang bocah.

“B-boleh?” tanya Kale.

“Of course, sini.” Rhei membuka kedua lengannya agar Kale bisa memeluknya terlebih dahulu.

Hap

Tubuh kecil itu langsung menubruk Rhei dan membuat gadis bersurai panjang itu tertawa geli. Dia kemudian mengusap dan menepuk-nepuk punggung Kale.

“Ternyata kamu juga suka dipeluk kayak anak-anak lain, ya?” tanya Rhei.

“Emangnya orang gede nggak suka dipeluk, Tante?” Kale kembali bertanya sembari melepas pelukannya.

Lingga dan Rhei saling tatap, lalu tersenyum canggung.

“Ada yang suka, ada yang nggak suka,” jawab Lingga asal.

“Kalo Om Lingga? Suka dipeluk atau enggak?”

“Ehmmm, tergantung orangnya. Kalo dipeluk Kale suka kok,” jawab lelaki itu.

“Kalo dipeluk Tante Rhei? Tante Rhei hangat loh,” ucap Kale seakan-akan menjual gadis di sebelahnya.

Lingga kemudian beranjak, lalu duduk di samping Rhei. Dia melingkarkan lengannya di bahu sang gadis tanpa aba-aba dan membuat Rhei kembali terkejut. “Kalo Om Lingga sama Tante Rhei pelukannya kayak gini, soalnya kita temenan,” ujarnya disertai senyum mempesona.

“Emangnya ada pelukan apa aja, Om?” tanya Kale dengan tatap penuh rasa penasaran.

“Nggak ada! Om Lingga nih aneh-aneh aja!” Rhei menjawab seraya menepis tangan temannya.

“Oh, soalnya Mama sama Papa pelukan juga kayak Om Lingga sama Tante Rhei tadi. Kale kira semua orang gede pelukannya kayak gitu,” ujar Kale dengan volume yang sangat pelan.

Berbeda dengan Lingga yang hanya mengangguk, Rhei seketika terdiam setelah mendengar kalimat Kale. Banyak pertanyaan yang muncul di dalam otaknya, namun dia masih punya akal untuk tidak menanyakan hal tersebut.

“Aku nggak pernah liat mamanya Kale.”

Rhei menatap Lingga dan ekspresi polosnya. Dia menahan diri untuk tidak berkata demikian, tetapi temannya justru berkata tanpa beban.

“Soalnya Mama udah di surga, Om.”

“Uhuk!”

Gelas di tangannya menjauh dari mulut, pun cairan kehitaman yang belum sempat mengaliri tenggorokan Rhei kembali tersembur. Untung saja Kale dan Lingga sudah menjauh, sehingga tidak terkena hujan lokal Rhei.

“RHEI! KEBIASAAN DEH!” pekik Lingga kaget.

“Sorry, sorry,” jawab Rhei seraya membasuh wajahnya dengan tissue.

“I'm sorry to hear that, Kale. Maaf udah bahas-bahas itu,” tutur Lingga dengan penuh rasa bersalah.

“Nggak apa-apa, Om. Dulu sih Kale sedih, tapi sekarang udah enggak terlalu.”

Meski berkata demikian, bibir Kale bergetar. Netranya terlihat berlari menghindar kontak tatap dengan Rhei dan Lingga. Rhei tahu dia sedih. Kale masih sedih. Gadis itu segera merangkul bocah tampan di sampingnya dan mengusap lembut lengan Kale.

“Kalo masih sedih juga enggak apa-apa, Kale. Sedih itu wajar,” ucap Rhei.

“Om Dylan juga bilang kayak gitu setiap Kale cerita tentang Mama.”

Rhei hanya mengangguk setuju dengan pernyataan Kale. Teka-teki di otaknya mulai terisi satu per satu. Entah apa yang membuat wanita itu pergi meninggalkan suami dan anaknya, Rhei tidak ingin menggali hal tersebut. Yang terpenting, Rhei sudah tahu alasan mengapa mamanya Kale tidak pernah terlihat.

“Kale!!!”

Ketiga manusia yang sedang larut dalam hening itu sama-sama menengok ke arah sumber suara. Delvin dengan kaos hitam dan kacamata kebanggaannya sedang berjalan menuju tempat mereka duduk.

“Maaf, tadi macet banget jalanannya,” ucap Delvin sembari mengulurkan tangannya.

“Iya, nggak apa-apa. Kale juga seneng ngobrol bareng Tante Rhei sama Om Lingga,” jawab Kale meraih telapak Delvin.

“Thank you udah jagain Kale,.” Delvin membuka kacamata hitamnya dan memamerkan senyum manis.

“No problem,” jawab Lingga.

“Nggak ada yang gratis!” celetuk Rhei.

“Gue bayar pake dosa!” respon Delvin sebelum beranjak meninggalkan Lingga dan Rhei.

Tangan kecil Kale terus melambai ke arah mereka hingga pintu lift tertutup. Senyum di wajahnya pun tidak pudar hingga raganya tertelan benda kotak yang membawanya ke lantai dasar.

“Udah nggak penasaran soal istrinya Gerald lagi, kan?” tanya Lingga tiba-tiba.

“Ck! Harusnya lo nggak usah nanya gitu. Kasian Kale.”

“Terima kasih dulu kek.”

“Makasih, Lingga ganteng!” pekik Rhei di samping telinga temannya.

“RHEI! Suara lo bikin telinga budeg!” protesnya kesal.

“Bodo amat! Gue mau gangguin Dylan dulu. Byeeee!!!”

Lingga hanya bisa menggeleng kala melihat Rhei berlari ke arah ruang kerja Dylan. Untung saja klien Dylan sudah pulang sejak beberapa menit yang lalu. Jika tidak, mungkin lelaki itu akan memarahi Rhei sepanjang hari.

image


@guanhengai, 2022.

Ketika hampir seluruh umat manusia membenci hari senin, ternyata hal tersebut tidak berlaku bagi Rhei dan Dylan. Jadwal praktik mereka hanya tiga kali dalam seminggu. Di hari lain, kedua manusia yang kini sedang berbincang dengan Rian datang ke rumah sakit sekadar untuk presensi.

“Rian mau kayak Mbak Rhei sama Mas Dylan ah, kerjanya cuma dengerin orang-orang curhat,” kata remaja yang kini duduk di bangku kelas 3 SMA itu.

image

“Walah! Nek aku bisa ngulang waktu, aku nggak bakal mau jadi psikolog! Mumet, Yan! Harus interpretasi, nganalisis, bikin laporan. Apa lagi kalo harus nanganin anak kecil yang susah diajak kompromi. Modyar ndasku!” keluh Dylan.

“Padahal lebih enak nanganin anak kecil, dari pada dibilang sok tau sama orang tua. Haduh, berasa dimarahin nenek sendiri!” sahut Rhei.

“Hahaha! Mas Dylan sama Mbak Rhei ternyata bisa sambat juga, ya? Tak pikir cuma bisa senyum, ketawa, sama dengerin orang,” ucap Rian yang dibalas tawa ketiganya.

Mereka memang jarang menunjukkan kekesalan dan amarah. Namun, Rhei dan Dylan tetap manusia yang bisa merasakan emosi negatif. Hanya saja, mereka memiliki cara masing-masing untuk melampiaskannya. Dylan akan jalan-jalan sendiri dengan motornya hingga melupakan kesedihan tersebut, sedangkan Rhei memilih berdiam diri di kamar dan bercerita pada Anabul.

Emosi negatif bukanlah hal yang harus dihindari. Kita hanya perlu sadari, rasakan, terima, dan belajar mengelola agar dampaknya tidak merugikan diri sendiri maupun orang lain.

“Ayok, ayok, masuk dulu. Makanannya sudah siap.”

Suara lembut Pak Bun menyapa gendang telinga. Ketiga sosok yang sedang asik mengobrol itu pun segera beranjak dan menuju ruang makan untuk menyantap masakan Bu Asih, istri Pak Bun. Aroma lezat langsung menyambut indra penciuman mereka meski meja makan masih berjarak beberapa meter.

“Wah, harum sekali, Bu,” tutur Dylan saat sampai di meja makan.

Jajaran piring dan gelas sudah ditata sesuai jumlah mereka. Pun sepasang alat makan terpangku rapi di atas piring. Benar-benar memanjakan mata dan perut anak kos.

“Terima kasih, Mas Dylan. Mari duduk, kita sarapan sama-sama,” jawab Bu Asih.

Mereka segera menarik kursi masing-masing dan menempatinya. Tidak ada obrolan hingga Pak Bun mengajak mereka untuk berdoa bersama. Rhei selalu senang kala mendengar Pak Bun memimpin doa. Rasanya damai, seperti memiliki ayah yang begitu menyayangi dan tak lupa mendoakan dirinya.

“Amin,” ucap mereka serentak setelah membentuk tanda salib dengan tangan kanannya.

“Yok, boleh makan sampai kenyang. Kalau ndak kenyang nanti ndak boleh perpanjang kos,” tutur Pak Bun disertai kekehan khas beliau.

“Hehehe, saya jamin pasti kenyang, Pak. Apa lagi si Rhei, udah nggak makan dari minggu lalu,” jawab Dylan yang langsung mendapat tabokan dari gadis di sampingnya.

Mosok? Kayaknya babang Grab sama Shopeefood setiap hari dateng buat nganterin makanan buat Mbak Rhei tuh,” celetuk Rian.

“Hush! Wes, wes, wes, makan dulu, nanti aja ngobrolnya.”

Mereka pun mengangguk, lalu mengambil nasi serta lauk pauk secukupnya. Denting garpu dan sendok memenuhi ruang makan Pak Bun pagi ini. Bercak sinar mentari yang masuk melalui celah di atas dapur sesekali membuat Rhei tersenyum. Gadis itu selalu menikmati suasana makan bersama seperti ini.

Lima belas menit berlalu, satu per satu manusia di meja makan itu sudah menghabiskan makanan yang mereka pindahkan ke piring masing-masing. Bu Asih baru saja meletakkan sepiring bolu pandan yang masih panas. Aroma manis dari potongan bolu berbentuk segitiga itu kembali membuat cacing-cacing di perut Rhei berteriak antusias. Bolu pandan Bu Asih mendapat sertifikat sebagai bolu pandan terbaik dari Rhei.

“Ambil saja, Mbak. Ini Ibu siapkan khusus untuk kalian kok,” ujar Bu Asih.

“Terima kasih, Bu. Rhei ambil satu, ya?” izin gadis itu.

“Ambil banyak yo rapopo, Mbak. Tolong ambilin plastik ya, Bu. Biar anak-anak bawa ke kamarnya,” ucap Pak Bun.

“Waduh! Ndak usah, Pak. Jadi enak,” jawab Dylan mengundang tawa Pak Bun, Bu Asih, dan Rian.

image

Nyatanya, plastik tersebut tidak berguna karena sepiring bolu pandan buatan Bu Asih langsung ludes sebelum dingin. Rasa manis yang pas, aroma pandan yang lezat, lembutnya bagian atas bolu, serta beberapa bagian bawah yang mengering membuat lidah Rhei menari saat menyambutnya.

“Wah, ternyata bolu buatan Ibu laris,” goda Pak Bun pada Dylan dan Rhei yang masih mengunyah potongan terakhir bolu mereka.

“Hehehe. Bolu Ibu memang yang paling enak, Pak,” jawab Rhei.

“Iya, Pak. Uenak tenan!” sahut Dylan.

“Mas Dylan katanya mau dibikinin tiap hari, Bu!” celetuk Rian.

“Weh! Ngawur! Nggak, Bu. Saya nggak bilang gitu. Tapi, kalo Ibu maksa, saya terima dengan senang hari,” ujarnya yang langsung mendapat cubitan dari Rhei.

Setelahnya, gadis itu ikut membantu Bu Asih merapikan meja makan dan mencuci piring. Meski rumah Pak Bun terbilang cukup besar, mereka memilih untuk membersihkannya sendiri alih-alih membayar asisten rumah tangga. Lagi pula, dua anak mereka sudah tinggal di rumah masing-masing. Hanya tersisa Rian, si bungsu yang sebentar lagi ikut merantau.

“Mbak Rhei sama Mas Dylan minggu depan ada acara ndak?” tanya Pak Bun saat mereka sudah kembali berkumpul di ruang makan.

Yang ditanya justru saling tatap, berdiskusi melalui telepati mengenai jadwal mereka minggu depan. Dylan terlihat menggeleng pelan, lalu direspon angguk oleh Rhei.

“Sepertinya nggak ada kegiatan, Pak. Paling cuma praktek sama presensi ke rumah sakit,” jawab Rhei mewakili temannya.

“Wah, berarti bisa dong ikut memeriahkan acara syukuran ulang tahun pernikahan Bapak sama Ibu yang ke 25?”

Dylan langsung melebarnya netranya. “Bisa banget, Pak! Nggak terasa ya, sudah 25 tahun aja. Dulu pas saya pindah ke sini, kayaknya baru ulang tahun ke 19,” ujarnya disertai tawa pelan.

“Selamat, Bapak, Ibu. Rhei doain yang terbaik buat Bapak, Ibu, Mbak Adhis, Tommy, dan Rian.”

“Amin, amin. Terima kasih, ya. Nanti tolong ajak temen-temen kos lain juga ya, Mbak Rhei. Sama tetangga kita, sopo jenenge, Pak?” tanya Bu Asih pada Pak Bun.

“Mas Gerald, Bu.” Rian yang menjawab pertanyaan ibunya.

“Oh, iya, Mas Gerald!”

“Nah, kalo urusan Gerald emang tugasnya Rhei, Bu,” goda Dylan.

Tatap gadis itu langsung menajam hingga terasa menusuk dada Dylan. Namun, temannya hanya terkekeh pelan. Rian pun ikut tertawa saat melihat wajah Rhei yang perlahan merona.

“Wajar lah nek Mbak Rhei suka, wong ganteng ngono yo, Mbak?” timpal Pak Bun.

Kini tidak ada jalan keluar bagi Rhei kecuali tersenyum dan mengangguk. Demi Tuhan, dia akan langsung meninju Dylan setelah acara makan pagi ini berakhir.

image


@guanhengai, 2022.

Payung biru berhias logo salah satu bank melindungi tubuh kekar Gerald. Celana panjang yang sudah dilipat sebatas lutut pun masih terguyur kubangan air hujan karena sang empunya berjalan sangat cepat.

Tok tok tok

Gadis yang Gerald duga sedang mendengarkan musik itu pun terlihat terkejut. Cahaya lampu menggambar sempurna bayangan Rhei di balik jendela mobil. Setelah menyipitkan mata untuk menelaah siapa yang mengetuk mobilnya, gadis itu perlahan membuka jendela.

“MAS GERALD NGAPAIN DI SINI?” tanya Rhei dengan volume yang lumayan keras karena hujan semakin deras.

“AYO NEDUH DI RUMAH SAYA AJA,” tawar lelaki itu.

Rhei sempat terdiam, membiarkan rintik hujan tempias dan membasahi bagian dalam mobilnya. Dia memang menyimpan rasa pada lelaki yang kini berdiri di hadapannya. Namun, Rhei masih waras untuk tidak menerima ajakan suami orang.

“NGGAK USAH, MAS. SEBENTAR LAGI MAU MASUK.”

Rhei tidak mengira bahwa pernyataannya barusan memancing Gerald untuk mencondongkan kepalanya ke depan. Jarak wajah mereka kini kurang dari 20cm. “Sebentar laginya kapan, Rhei? Dari tadi saya liat kamu di sini, di dalem mobil, sendiri. Mending ke rumah saya dulu sambil nunggu hujan reda.”

Sepertinya, Rhei harus berterima kasih pada derasnya bulir hujan karena sudah menyembunyikan debar jantung gadis itu. Sayang, kulit wajahnya tidak sanggup berbohong dan langsung merona padam, membuat Gerald tersenyum geli.

“Udah, ikut saya aja. Kasihan mesin mobilnya,” putus Gerald tanpa mengindahkan penolakan Rhei.

Gadis bersurai panjang itu pun mengangguk pasrah saat tubuh Gerald kembali mundur dan mempersilakan dirinya untuk menutup jendela mobil. Dengan tangan bergetar, Rhei menyambar tote bag di kursi penumpang dan mematikan lampu mobil.

Malam ini adalah kali pertama Rhei masuk ke dalam rumah Gerald. Otaknya bekerja keras untuk memilih kalimat sapa yang tepat saat bertemu dengan istri Gerald yang mungkin disembunyikan di dalam rumah tersebut.

Bertemu dengan wanita paling beruntung menurut Rhei.

image


Suasana rumah Gerald sungguh berbeda jauh dengan gambaran yang selama ini melekat di kepalanya. Perabot-perabot besar dengan dominan warna cokelat kayu sangat berbanding terbalik dengan tampak depan rumah ini yang terkesan mewah. Lantai dua pun hanya diisi oleh televisi dan mainan anak.

Hanya ada tiga ruang yang Rhei tebak sebagai kamar tidur. Pintu lain di ujung ruangan ditempel sebuah sticker bertuliskan “DILARANG MASUK KECUALI GERALD”. Dia sempat terkekeh saat membaca tulisan tersebut. Dari bentuk pintunya, Rhei tahu bahwa itu adalah studio musik Gerald.

Sembari menunggu lelaki itu berganti pakaian, Rhei menjejajahi dinding rumah Gerald dengan tatapannya. Anehnya, tidak ada satu pun foto keluarga Gerald terpajang di sana. Hanya ada beberapa foto lelaki itu bersama managernya di acara penghargaan musik.

Rhei menghela napas kasar. Mungkin, belum saatnya dia mengetahui tentang istri dan keluarga Gerald. Padahal, suasana malam ini sangat mendukung untuknya bergalau ria. Meski deras hujan dan dinginnya udara malam ini tidak mengusik gadis itu, lagu Hujan di Balik Jendela milik Senandung yang diputar melalui radio membuatnya merasakan dingin udara di luar rumah.

“Minum dulu, Rhei. Nanti ganti baju aja, saya ada beberapa kaos yang belum pernah dipakai.”

Lelaki itu meletakkan dua cangkir berisi cairan berwarna ungu. Gadis itu menatap kedua cangkir yang masih mengeluarkan kepulan asap. Otaknya terus mencari referensi mengenai minuman yang memiliki warna secantik itu. Namun, semakin dia gali, semakin tidak menemukan.

“Ini teh bunga telang, Rhei. Saya kasih perasan lemon sedikit biar warnanya cantik,” tutur Gerald sembari tersenyum menatap kebingungan Rhei.

Gadis itu mengangguk, lalu mengucapkan terima kasih. Tanpa menunggu lama, dia meraih salah satu gelas yang Gerald letakkan di atas meja, lalu menyeruput teh bunga yang tidak pernah didengar sebelumnya.

Sama seperti kebanyakan wanita yang mengekspresikan nikmatnya santapan, Rhei juga menari-nari kecil kala merasakan teh buatan Gerald mengaliri tenggorokannya. Rasa tawar seperti green tea menyambut lidahnya, diikuti sensasi asam dari lemon yang kemudian mendominasi.

“Gimana rasanya?” tanya Gerald yang kini sudah ikut duduk di samping Rhei dan meminum teh miliknya.

“Enak, seger, bikin tenggorokan hangat. Makasih, Mas,” jawab Rhei.

“My pleasure, Rhei. Saya bisa bikinin lagi kalau kamu mau.”

Gadis itu akan mengangguk semangat jika orang lain yang berkata demikian. Namun, dia tetap berusaha menjaga kesan kalem nan elegan di depan Gerald.

“Enggak usah, Mas. Ini udah lebih dari cukup kok,” ucapnya.

Tiga puluh menit setelahnya hanya diisi obrolan ringan antara keduanya. Mulai dari warung-warung bakso yang harus masuk dalam list mereka, merk ice cream favorit, genre lagu kesukaan, hingga urutan mandi yang baik dan benar. Sesekali Gerald tertawa lepas kala mendengar cerita Rhei mengenai Anabul. Kucing itu ternyata memang hobi kabur dan membawa barang pribadi Rhei.

Lagu Rindu Yang Kita Tangisi milik Elegi terlantun saat Gerald beranjak untuk memenuhi panggilan Kale.

Kita bertemu lagi akhirnya Siapa peduli cerita di baliknya

Rhei terdiam seraya suara ceklek dari radio terdengar. Itu merupakan lirik terakhir dari lagu terakhir di mixtape milik Gerald. Setelah memastikan belum ada tanda-tanda lelaki itu kembali, Rhei berjalan menuju meja tempat radio besar itu berada.

Netranya membaca satu per satu tulisan di atas tombol yang sudah mulai memudar. Kala melihat tulisan 'open', telunjuk Rhei segera menekannya.

“Tentang kamu.” Rhei bersuara pelan saat membaca tulisan di mixtape berawarna hitam tersebut.

“Asik banget sih jadi istrinya Gerald, pake dibikinin mixtape segala,” bisiknya pada diri sendiri, berharap dialah yang menempati posisi itu.

“Suka lagu-lagunya, Rhei?”

Gadis itu terkejut dan langsung menyembunyikan mixtape tersebut di balik tubuhnya meski dia tahu itu tak berguna. Jantungnya kembali dikejutkan saat melihat Kale dengan muka bantalnya menempel di dada Gerald seperti anak koala.

Akhirnya, Rhei tersenyum kaku dan mengulurkan benda tersebut ke Gerald. “Maaf lancang, Mas. Tadi lagunya mati,” ucapnya.

“Kalau suka ambil aja, Rhei.”

Kedua netranya membulat bercahaya. Bukan karena lagu di dalamnya, tetapi karena ini pemberian Gerald. Namun, kilau di matanya perlahan memudar saat mengingat istri Gerald.

“Nggak usah, Mas. Kayaknya ini dibikin khusus buat seseorang,” tuturnya sembari mengusap tulisan di mixtape tersebut dengan ibu jarinya.

“Oh, itu. Enggak kok, tapi pas saya masukin lagu-lagunya kebetulan saya inget sama kamu.”

Rhei tersedak salivanya sendiri hingga membuat Kale yang tadinya hampir terlelap kembali membuka mata. Tolong kasih petunjuk bahwa kini Rhei masih berada di dunia nyata dan belum berpindah ke alam imajinasi.

“Soalnya beberapa minggu ini kamu jarang keliatan, saya pikir kamu udah pindah,” lanjut Gerald.

Tidak, Rhei tidak butuh penjelasan. Itu hanya akan membuat jantungnya semakin berdebar tak keruan.

“O-oh? Ya udah. Makasih, Mas. Gue nggak pindah kok.”

“Mana ada yang mau pindah kalo tetangganya sejenis lo?!” lanjutnya dalam hati.

“Hujannya masih belum reda, nginep di sini aja. Nanti kamu tidur di kamar saya, biar saya tidur sama Kale.”

“Jangan, Mas. Nggak enak sama tetangga,” jawabnya

“Loh? Emangnya kamu udah bisa masuk ke kos?”

“Belum sih. EH?! Kok Mas Gerald tau gue nggak bisa masuk kos?” Rhei melotot meminta penjelasan.

“Nebak aja. Mana ada orang yang diem di mobil selama itu kalo bukan karena kekunci?”

Rona wajah Rhei semakin padam. Berbohong memang bukan keahliannya. Maka dari itu, menghadapi klien dewasa merupakan tantangan terbesar bagi gadis itu karena terkadang harus menunjukkan senyum manis kala hatinya amat dongkol.

“Kayaknya hujannya bakal awet. Mau nunggu sampe reda? Bisa-bisa kita nggak tidur semaleman.”

Rhei sempat menengok ke arah jendela taman belakang dan menyadari bahwa hujan deras disertai angin seperti ini tidak akan reda dalam satu jam ke depan. Bahkan, trampolin dan ayunan milik Gerald sudah menampung genangan air di atasnya.

“Ya udah, Mas. Maaf banget ya, jadi ngerepotin gini,” tuturnya.

“Siapa yang bilang kamu ngerepotin?” tanya Gerald sembari berjalan menuju sofa tempat mereka duduk beberapa menit yang lalu.

“Saya mau bikin susu dulu buat Kale, boleh tolong jaga dia sebentar?”

Saat mendengar pertanyaan tersebut, ingin rasanya Rhei bertanya perihal keberadaan sang ibu. Selain tidak ada foto Gerald bersama istrinya, Rhei juga tidak melihat foto lelaki itu bersama Kale. Namun, rasanya pertanyaan itu terlalu personal dan tidak sopan untuk ditanyakan.

Rhei pun mengangguk, lalu duduk di samping lelaki kecil berbalut piyama tidur. Meski ada bercak air liur yang mengering di pipinya, Kale tetap terlihat sangat tampan. Pipinya merah dan matanya sayu akibat kantuk.

“Kita belum kenalan. Namaku Rhei,” sapa sang gadis memecah keheningan.

“Saya udah tau nama Tante,” jawab bocah itu.

Rhei sedikit menganga saat panggilan itu terlontar dari mulut Kale. Apakah wajahnya menunjukkan bahwa dirinya sudah tante-tante?

“Panggilnya 'kakak' aja, aku masih muda kok.”

“Tante kan temennya Papa.” Gadis itu tersenyum canggung. Ya, bocah di hadapannya adalah anak Gerald. Itu yang seharusnya Rhei ingat dan tanamkan dalam benaknya.

“Alright. So, what's your name?” tanya Rhei lagi sembari mengulurkan tangannya.

Lelaki kecil itu pun membalas uluran tangan sang gadis. “Oma panggil saya Kael, tapi Papa sama Om Delvin panggil saya Kale.”

Alis Rhei menggelombang seketika, lalu sebisa mungkin menetralkan kembali ekspresinya. “Terus, aku panggil kamu siapa, dong?”

image

Telunjuk kecil Kale menempel di dagunya, menunjukkan bahwa ia sedang berpikir keras. Beberapa saat setelahnya, netra mungilnya menatap Rhei. “Panggil Kael aja, boleh?”

Yang ditanya justru tertawa kecil. “Loh, itu kan nama kamu, ya terserah kamu. Oke, berarti aku panggil kamu Kael, ya?”

Si tampan kecil itu mengangguk senang, lalu kembali bersandar pada sofa untuk menantikan susu hangat buatan sang ayah. Di sampingnya, senyum ramah Rhei perlahan memudar, terganti oleh rasa penasaran yang membuncah.


@guanhengai, 2022.

Dua lelaki berbeda generasi sedang menatap layar televisi. Adegan seorang gadis kecil yang diasingkan oleh neneknya karena dianggap berbeda membuat raut Kale terlihat sendu. Botol berisi air mineral di tangannya pun tidak tersentuh sejak beberapa menit yang lalu.

“Nangis aja, nggak ada yang ketawain,” ucap Gerald sembari memberi sekotak tissue pada lelaki kecil di sampingnya.

“Papa nggak sedih?” tanya Kale polos.

“Enggak, udah pernah nonton,” jawabnya.

Kale hanya mengangguk dan mengambil selembar tissue yang tadi ditawarkan oleh sang ayah. Meski air matanya belum menetes, dia tetap berjaga-jaga.

Gerald tidak pernah menyombongkan kecerdasan Kale yang mirip dengannya. Namun, cara berpikir lelaki itu memang menurun pada Kale. Walaupun Gerald tidak mengasuh Kale sejak bayi, sifat keduanya pun sangatlah mirip. Tidak heran jika Delvin sering menyerah saat menghadapi mereka.

“Papa, Kale mirip sama Mirabel, ya?”

Gerald menengok, lalu mengangkat salah satu alisnya. “Kenapa?”

“Eyang nggak suka sama Kale. Mama ninggalin Kale. Dulu Papa juga nggak mau ajak Kale pindah ke sini.”

Diam. Lelaki itu hanya bisa terdiam. Dia melengos dan menelan saliva yang tiba-tiba berproduksi lebih banyak dari biasanya. Seharusnya Gerald tahu bahwa otak luar biasa Kale mampu berpikir demikian. Bocah di sampingnya bukan sekadar anak kecil berusia enam tahun yang menyerap segala hal tanpa menyaring terlebih dahulu.

“Besok jadi ketemu Mama?” tanya Gerald mengalihkan topik.

Berhasil. Kale langsung tersenyum dan mengubah raut wajahnya. “Jadi!” jawab bocah itu penuh semangat.

“Kale lebih suka di sini atau di Solo?” tanya Gerald lagi tanpa menatap anaknya.

“Sama Papa,” jawab bocah kecil itu meski responnya tidak ada dalam pilihan Gerald.

“Makasih udah bolehin Kale tinggal sama Papa,” lanjutnya sembari menatap lelaki dewasa yang sedang memeluk bantal sofa.

“Anytime,” jawab Gerald dengan netra yang masih terfokus pada layar televisi.

“Kale sayang Papa.”

Kali ini Gerald lagi-lagi hanya diam. Bahkan, untuk menatap sepasang netra teduh Kale pun dia tidak sanggup.

“Hm.” Hanya itu yang keluar dari bibirnya.

“Udah, lanjut nonton aja. Habis ini langsung tidur, udah malem,” katanya.

Kale mengangguk semangat, lalu menggeser tubuhnya agar lebih dekat dengan Gerald. Kepala kecilnya bersandar di lengan sang ayah, sedangkan tangannya masih menggenggam erat botol air mineral.

Malam ini adalah malam yang indah baginya. Duduk di sofa yang sama dan menonton film bersama Gerald adalah hal yang paling menyenangkan bagi Kale.

image


@guanhengai, 2022.

Empat manusia dengan perut keroncongan menatap tajam ke arah Rhei. Yang ditatap hanya meringis sembari berlari seperti bocah TK. Lengannya menggendong kucing gembul yang sudah meronta meminta dilepas.

Sesampainya di meja makan, Rhei duduk di samping Dylan, lalu memindahkan beberapa potong lontong dan tiga tusuk sate ke piring yang disediakan untuknya.

“Mbul main sendiri ya, jangan ke mana-mana,” ucapnya setelah melepas kucing belang tersebut dari gendongannya.

“Enak ya, dateng-dateng langsung ambil makanan,” sindir Dylan.

“Rhei pimpin doa!” titah Bang Raden yang langsung diangguki gadis itu.

Butuh sekitar tiga menit untuk mereka merapalkan rasa syukur pada Yang Maha Kuasa atas berkat malam ini. Meski sate ayam berbalur bumbu kacang di depan mereka sudah tak lagi hangat, rasanya tetap nikmat. Terlebih, dua bungkus sambal yang tadi ditumpahkan Bang Raden. Sungguh menggugah selera.

“Selamat makan,” ucap mereka serentak.

Setelahnya, ruang makan kos diisi oleh obrolan bersambut denting sendok dan garpu. Sesekali mereka beranjak untuk mengambil minum di dapur atau sekadar berdiri saat bokong mulai kram.

Momen makan malam bersama penghuni kos adalah waktu yang paling Rhei suka. Obrolan ringan mengenai beberapa bagian sate yang dibakar terlalu lama kian mendalam seiring suara jangkrik menemani mereka.

Kini Bang Raden sedang mengungkapkan keresahannya sebagai pengguna ojek pangkalan yang sering mendapat perlakuan tidak baik.

“Edan banget! Gue pake celana pendek aja langsung diliatin anjir! Emang kenapa, sih? Iya, tau kok paha gue semulus pipi bayi. Tapi nggak gitu juga kali,” tuturnya kesal.

“Karena budaya berpakaian di sini sama di Jakarta beda, Bang,” respon Rhei setelah menelan potongan sate terakhirnya.

“Excuse me? Kayaknya celana gue masih tergolong sopan kok,” sanggah Bang Raden lagi.

“Tapi, orang-orang di sini kan nggak terbiasa liat cowok pake hot pants, Bang.” Kini giliran Kayla yang menanggapi.

Bang Raden meletakkan tangannya di atas meja, lalu menopang kepalanya dengan telapak. “Ck! Clothes has no gender, tau!”

image

Empat kepala lainnya mengangguk serentak, tanda setuju terhadap pernyataan Bang Raden.

Banyak orang berkata bahwa berbincang dengan lelaki berusia 29 tahun itu membutuhkan pengetahuan yang luas dan terbuka. Berdiskusi dengan Bang Raden berarti sudah siap dihantam berbagai pernyataan yang mampu menggoyahkan prinsip.

Kala Rhei dan Dylan masih sibuk mengangguk, Lingga sudah mengumpulkan piring mereka menjadi satu tumpukan tinggi dan membawanya ke dapur. Kayla pun mengikuti lelaki itu dari belakang.

“Thank you, Ling!” pekik Dylan.

“My pleasure!” jawab Lingga setelah suara kran air terdengar.

Obrolan terhenti sejenak. Bang Raden beranjak untuk mencuci tangan, Dylan mengambil minuman dingin di kulkas, sendangkan Rhei menghampiri Anabul yang terlelap nyaman di salah satu rak sepatu milik penghuni kos.

Kos Pak Bun terdiri atas dua lantai berisi 24 kamar dan satu lantai tambahan untuk menjemur pakaian. Rhei, Dylan, Kayla, dan Lingga tinggal di lantai atas. Sedangkan, Bang Raden dan sebelas penghuni lainnya menempati lantai satu.

Rhei memilih kamar lantai atas karena memiliki balkon yang nyaman untuk bersantai di malam hari. Bintang-bintang di langit pun jelas terlihat dari jendela kamarnya meski lebih sering tertutup awan.

Menjadi sesepuh kos Pak Bun adalah prestasi yang sering mereka banggakan. Pasalnya, banyak rekan kerja mereka di rumah sakit yang menginginkan tempat ini. Namun, kamarnya selalu terisi penuh setiap awal semester perkuliahan. Hanya mereka berlima yang bertahan lebih dari empat tahun di sini.

“Guys! Ke pantai asik kali, ya?” tanya Kayla sembari mengibas telapaknya yang masih basah.

“Basah, Kay!” pekik Dylan.

“Sorry,” decit gadis itu.

“Mantai di mana?” sahut Bang Raden menanggapi pertanyaan Kayla.

“GunKid asik kali, biar ketemu pasir putih,” usul Rhei.

“Nice! Ayo! Minggu depan kosong nih,” ucap Bang Raden.

“Ayok ayok aja,” tutur Lingga setelah duduk di samping Kayla.

“Sabiiii!” Dylan mengacungkan ibu jarinya.

Percakapan selanjutnya diisi dengan rencana liburan singkat mereka ke salah satu pantai di daerah Gunung Kidul. Layar ponsel Kayla penuh dengan hal-hal mengenai rencana tersebut. Mulai dari kendaraan, waktu berangkat, bekal, barang yang akan mereka bawa, hingga rencana menitipkan Anabul ke rumah Pak Bun.

Kucing kesayangan Rhei yang sedang menjadi topik perbincangan hanya duduk diam di pangkuan Bang Raden, seakan ikut menyimak percakapan lima manusia di meja oval tersebut. Perut buncitnya terumbar, kedua kakinya terbuka lebar, netranya menatap kosong ke arah Rhei.

“Nanti makan malemnya cari di jalan pulang aja.”

Usulan Lingga langsung mendapat empat persetujuan. Kayla pun menekan ikon di ujung kanan atas untuk menyimpan catatannya. Dia lalu menangkap tampilan layar dan membagikannya ke ruang obrolan mereka.

“Udah gue kirim screenshotnya ke grup, sama ke Bang Raden,” ucap gadis itu.

“Thank you, Kay,” tutur Bang Raden.

“Sama-sama, Bang.”

Saat mereka sibuk membaca catatan yang ditulis Kayla, Rhei menggumam pelan. Netranya bergerak gelisah seraya kuku ibu jarinya menggaruk telunjuk.

“Kenapa, Rhei?” tanya Dylan bingung.

“Ehm, kayaknya gue nggak ikut deh,” decitnya.

“Loh? Kenapa?” Alis Bang Raden bergelombang.

“Minggu depan gue harus kumpulin hasil asesmen, takut capek. Mau tidur seharian pas weekend,” jawabnya.

“Ehm, iya sih. Lo bilang pertengahan April harus dikumpul,” sahut Kayla sembari menggaruk dagunya dengan telunjuk.

“Ya udah, nanti kalo nggak capek ikut aja. Tapi, kalo capek ya istirahat di kos,” ujar Lingga.

“Alright! Liat nanti ya, guys,” kata Rhei yang langsung disetujui oleh teman-teman kosnya.

Acara makan malam ditutup dengan kehebohan yang diciptakan oleh Anabul. Kucing belang itu mengejar cicak kecil yang melintas di hadapannya hingga membuat salah satu pot bunga Pak Bun jatuh dan tanahnya berserakan. Mau tidak mau, mereka harus merapikannya sebelum beranjak ke kamar masing-masing.

Anabul memang hobi mencipta masalah.


@guanhengai, 2022.

Sudah empat hari sejak Rhei mengetahui fakta mengenai Gerald dan Kale. Dia tidak pernah menanyakan perkembangan konseling anak itu ke Dylan. Menurutnya, mengetahui lebih banyak tentang mereka akan menambah rasa sakit.

Rhei selalu berkata bahwa menjadi seorang psikolog berarti sudah siap memakai topeng selama bekerja. Mereka mampu menampilkan ekspresi ramah dan ceria sepanjang hari meski mendung tebal menyelimuti hatinya. Mereka tetap menebarkan aura positif meski keadaan buruk sedang melanda.

“Kayaknya beban you segede truk molen ya, Rhei?”

Gadis itu tersenyum pada lelaki di sampingnya. Bang Raden dengan kaos kuning dan kacamata merah berhasil membuat Rhei tersenyum geli. Terlebih, saat lelaki lulusan ISI itu membalas tatapan aneh dari penumpang lain di dalam Trans Jogja. Sungguh menghibur kesedihan.

“Segede tas lo, Bang!”

Tawa lepas Bang Raden menggelegar, membuat tatap orang-orang kian menusuk. Diusapnya pucuk rambut Rhei, berakhir tepukan pelan di bahu sang gadis. Setelahnya, ransel hitam berisi bekal makan siang dan jajanan lainnya diletakkan di sebelah kaki mereka.

“Pegel, Bang?” tanya Rhei yang direspon angguk lemas.

Mereka berpikir bus akan sepi di siang hari. Namun, ternyata dugaan mereka meleset bebas. Tidak ada satu bangku pun yang terlihat kosong, kebanyakan terisi oleh ibu-ibu yang membawa tas belanja dan anak-anaknya.

Terkadang, Rhei merasa kesal jika melihat pemandangan seperti itu. Menurutnya, anak balita yang berada di dalam kendaraan umum bisa dipangku untuk menghemat tempat. Namun, mereka lebih memilih mendudukkan anaknya di bangku terpisah.

Rhei tidak dapat berkomentar karena mereka sama-sama memiliki hak untuk duduk. Dia hanya merasa dongkol akibat teriknya siang ini ditambah desak-desakan di dalam bus. Beruntung di sampingnya adalah Bang Raden. Setidaknya, hati Rhei sedikit terhibur karena tingkah dan kata-kata konyolnya.

“Gue kayak kura-kura, ya? Bawa rumah ke mana-mana,” ucap Bang Raden sembari memperbaiki posisi ransel besarnya agar tidak menghalangi jalan.

“Padahal kemaren lo bilang jangan bawa banyak barang.”

“Dari pada kita nanti kelaperan di jalan? Gawat herawat,” jawabnya.

Gadis itu hanya mengangguk dan tersenyum. Tubuhnya ditarik oleh Bang Raden saat bus berhenti dan beberapa penumpang turun ke halte. Lengan kekar lelaki itu melindungi bahu adik kosnya. Saat bagian belakang bus terlihat lebih lenggang dari sebelumnya, terdengar hela napas lega dari mulut Rhei.

Keduanya berjalan menuju deretan kursi kosong di bagian belakang. Belum sempat Rhei menjatuhkan bokong di salah satu kursi berwarna biru itu, rombongan penumpang lain masuk ke dalam bus dan berebut kursi. Rhei lupa bahwa ada orang-orang yang juga menunggu bus mereka. Senyum yang tadinya sudah terbit pun kembali tenggelam.

“Itu masih ada satu kursi, Rhei,” ujar Bang Raden menunjuk kursi kosong di bagian tengah bus.

“Lo aja yang duduk, Bang,” jawab Rhei seraya mendorong tubuh Bang Raden.

“Dih? Nggak mau ah! Nggak gentle banget. Masa gue duduk tapi ngebiarin cewek berdiri?” Gadis itu tertawa pelan, lalu mengangkat ransel Bang Raden dan memeluknya.

“Emang ada peraturan kalo kursi di Trans diprioritasin buat cewek? Kalo emang cowok lebih butuh, ya pake lah.”

Dia kemudian memaksa kakak kosnya itu untuk duduk sebelum orang lain memakainya. Ransel hitam berisi bekal dan segala perlengkapan perang mereka dilempar ke pangkuan Bang Raden. Tanpa mempedulikan rintih sakit lelaki itu, Rhei langsung menggantungkan tangan kirinya ke bagian atap bus.

“Mampus, cium nih burket gue!” celetuknya yang langsung direspon tawa geli Bang Raden.

Rhei menghargai sikap Bang Raden yang mengalah demi dirinya. Namun, dia merasa tidak memerlukan tempat duduk itu karena bawaan Rhei hanya shoulder bag kecil berisi hand sanitizer, tissue, dompet, dan ponsel.

“Thank you, Rhei,” ucap Bang Raden disertai senyum manis.

“Sama-sama, Bang.”


@guanhengai, 2022.

image

Suasana lingkungan sekitar Rhei memiliki korelasi negatif dengan otaknya. Semakin tenang ruang kerja Rhei, maka semakin riuh kepalanya.

Cangkir beling di hadapan gadis itu masih penuh dengan kopi yang diseduh satu jam lalu. Kepulan asap yang semula memayungi cangkirnya sudah hilang ditelan dinginnya suhu ruangan. Embun tipis menyelimuti kaca ruang kerja Rhei, membuat lautan kerlap-kerlip lampu di luar sana terlihat samar.

“Kenapa gue nggak tau kalo Gerald udah punya anak?”

Mungkin, ini sudah kali keseribu Rhei bertanya pada dirinya sendiri. Tentu tidak ada jawaban yang memuaskan karena minimnya petunjuk mengenai hal tersebut. Gerald merupakan salah satu public figure yang sangat menjaga privacy keluarganya. Bahkan, publik tidak tahu siapa orang tua Gerald.

Bisa jadi seorang pejabat negara, pengusaha terkenal, atau sesama public figure?

“Jadi? Anak kecil itu beneran anaknya Gerald?” tanya Rhei ketika Dylan menghampiri dirinya di taman belakang rumah sakit.

“Gerald itu public figure, Rhei. Mereka yang sering show off keluarganya di media sosial aja masih nyimpen banyak rahasia, apa lagi orang kayak Gerald?” jawab sahabatnya.

Gadis itu selalu bersemangat saat bagian administrasi rumah sakit memberinya dokumen klien berusia kanak-kanak. Namun, hari ini suasana hatinya seperti bertemu dengan klien lanjut usia yang memiliki prinsip teguh dan merasa tidak membutuhkan bantuan psikolog.

Rhei tenggelam dalam bayangan masa depan di mana dirinya dan Gerald berakhir dalam sebuah hubungan pasti. Gadis itu lupa bahwa dia hanya satu dari beribu penggemar seorang Geraldo Mahendra Griffin.

Benar kata Dylan, Gerald tetap seorang public figure yang menyimpan banyak rahasia. Rhei tidak bisa mengatakan bahwa dirinya sangat mengenal Gerald hanya karena tahu lelaki itu selalu makan bakso tanpa sambal dan kecap. Rhei tidak bisa mengatakan dirinya sangat mengenal Gerald karena tahu lelaki itu lebih suka rasa strawberry dari pada cokelat.

Nyatanya, Rhei tidak mengenal Gerald sama sekali.

“Terus, istrinya Gerald di mana?”

Itu adalah pertanyaan paling besar yang muncul di kepalanya hari ini. Sayang, peluang Rhei mendapat jawaban tidak sebesar rasa penasarannya. Lagi pula, dia tidak mengharapkan jawaban itu, setidaknya untuk saat ini. Rhei tahu jauh di dalam lubuk hatinya masih sulit menerima fakta bahwa Gerald sudah berkeluarga.

“Kenapa rasanya dosa banget sih jatuh cinta sama artis?” tanya Rhei mengakhiri sesi galaunya.

Sebelum kedua kaki gadis itu beranjak meninggalkan rumah sakit, kopi yang sudah dingin segera diteguk habis. Cangkir kotor yang selalu dia cuci sebelum pulang pun kini dibiarkannya menghiasi meja kerja. Energinya benar-benar terkuras. (Hati) Rhei butuh istirahat panjang.


@guanhengai, 2022.