guanhengai

Rhei butuh waktu 24 jam untuk mempersiapkan diri di agenda makan bakso bersama Gerald. Selepas pulang dari rumah sakit kemarin, gadis itu langsung berdiam diri di kamar dan membongkar seluruh isi lemarinya. Namun, pilihan Rhei tetap jatuh kepada boyfriend jeans dan crop top yang sering dia kenakan. Beruntung ada Bang Raden yang bersedia memperbaiki penampilan Rhei.

“Nggak perlu heboh, yang penting lo jangan malu-maluin,” ucap Bang Raden lima jam sebelum mereka bertemu.

Kini Rhei sedang membawa tubuhnya menuju gerobak es krim Pak Gus. Senyum lebar bersemi di wajah manisnya sejak turun dari motor besar Gerald. Pujian sang tuan mengenai makan siang pertama mereka akan terpatri permanen di dalam benak dan hatinya. Terlebih, Gerald berjanji untuk mengajak Rhei berburu makanan lain di Daerah Istimewa ini.

“Woy! Ngelamun mulu! Kesambet wewe gombel baru tau rasa.”

Ekspresi riang Rhei berubah menjadi kesal. Lengan Dylan yang bertengger di bahunya pun langsung ditepis. Entah sudah berapa ribu kali Rhei berharap Tuhan memberi kesempatannya untuk memutar waktu. Sungguh, Rhei akan mencoret Dylan dari daftar pertemanannya.

Hampir lima belas tahun mereka bersama. Dua bocah SMP yang dulu sibuk berebut gorengan di depan sekolah sudah bertumbuh menjadi dua Psikolog hebat di rumah sakit besar di Yogyakarta. Rhei tidak pernah menyangka jika rekan OSISnya semasa SMP akan menjadi temannya hingga dewasa.

“Gimana first date sama Gerald? Lo bikin malu apa?” tanya Dylan setelah lengannya berhasil melingkari bahu temannya.

“It was sooooo good. Sumpah, ternyata dia nggak sekaku itu, Dyl! Ya, walaupun cara ngomongnya nggak berubah. Tapiiiiii, gue nggak kapok jalan sama dia. Malah candu,” jelas Rhei.

Tangan Dylan menoyor kepala temannya hingga sang gadis mengaduh kesal. “Jangan berlebihan, biar dia nggak ilfeel,” ucap lelaki itu.

“Ya, ya, ya,” jawab Rhei malas.

“By the way, ngapain lo ngikutin gue?” tanya gadis itu lagi, kali ini disertai tatap sinis.

“Idih! Siapa yang ngikutin lo? Gue ke sini mau beli es krim cokelat!” pekik Dylan seraya berlari mendahului temannya.

“ENAK AJA! JATAH GUEEE!” balas Rhei sembari ikut berlari.

Pak Gus yang melihat tingkah kedua manusia dewasa itu hanya menggeleng. Beliau menunduk dan memastikan bahwa masih ada es krim cokelat untuk pelanggan setianya. Senyumnya mengembang saat melihat balok es yang terbungkus kertas kado berwarna biru.

“Yesss! Itu punya saya kan, Pak?” tanya Rhei antusias.

“Lho? Tadi yang nyampe duluan kan Mas Dylan,” jawab Pak Gus.

Rhei menurunkan bahunya, mengubah ekspresi menjadi amat lesu. “Oh, jadi sekarang Pak Gus lebih sayang sama Dylan?”

“Emang Pak Gus pernah sayang sama lo?” goda lelaki berkaos hitam di samping Rhei.

Plak!

“ANJIR! Sakitttttttt!” pekik Dylan sembari mengusap lengan yang baru saja dipukul oleh temannya.

“Pak, buat saya aja, ya?” Gadis itu masih berusaha membujuk sang penjual.

“Buat dia aja, Pak. Takutnya kos saya rubuh kalo dia ngamuk!” celetuk Dylan.

“Hahaha! Iya, iya. Ini memang buat Mbak Rhei. Mas Dylan kan sukanya rasa kacang hijau,” ucap Pak Gus disertai tawa pelan.

“Gak ada rasa cabe ya, Pak? Biar mulutnya Dylan bisa diem sebentar,” tutur Rhei setelah menatap tajam lelaki yang sedang menjulurkan lidahnya.

“Nggak ada rasa yang tak terbalas, Pak? Biar Rhei sadar diri sedik-”

PLAKKK!!

“KIMBERHEI ASSHHHYU!”

PLAKKKK!!!

“DYLAN! SAKIT!” pekik Rhei setelah telapak lebar Dylan mendarat di lengannya.

“Sakit, kan? Emang lo pikir gue gak berani bales karna lo cewek? Lo pikir gue bakal diem aja kalo lo siksa kayak gin-”

“Permisi.”

Omelan Dylan terputus oleh suara dari samping mereka. Ketiganya pun langsung menatap ke arah sumber suara. Pria kecil yang tak pernah Rhei lihat muncul di depan gerobak Pak Gus, terlihat membaca tulisan berisi beberapa menu es krim yang beliau jajakan.

Pakaian rapi dari ujung kepala hingga kaki membalut sempurna rupa eloknya. Rambut tebal tersisir rapi, kulit bersih terawat, dan aroma tubuh memikat. Bahkan, Dylan sempat ternganga ketika menyadari style bocah tampan itu lebih keren dibanding dirinya.

“Mau rasa apa, Dek?” tanya Pak Gus ramah meski tangannya masih sibuk memotong es kado rasa cokelat milik Rhei.

“Rasa cokelat ada, Pak?”

Rhei dan Dylan saling menatap, lalu menunggu respon Pak Gus.

“Waduh, baru saja habis, Dek. Ini tinggal satu, sudah dibeli Kakak yang ini,” jawab beliau sembari menunjuk Rhei dengan kelima jarinya.

Netra bocah itu perlahan berpindah. Sepersekon kemudian, Rhei merasa dadanya tertubruk beban. Dia merasa kenal dengan sinar mata anak laki-laki di depannya. Namun, terlalu gila untuk berpikir bahwa sosok di depannya adalah anak Gerald. Lebih baik Rhei berpikir bahwa dirinya terlalu mengagumi Gerald hingga bayangnya menghantui ke mana-mana.

“Ya sudah, saya beli rasa vanila aja, Pak. Ada, kan?” tanyanya lagi.

“Hah? Mirip,” batin Rhei setelah mendengar kalimat tanya yang lebih panjang dari mulut pria kecil itu.

“Eh, nggak usah ganti. Es krimku buat kamu aja,” ucap Rhei diiringi senyum manis.

“Terima kasih, saya rasa vanila aja.”

Kedua mata Rhei membulat sempurna. Ekspresi Dylan dan Pak Bun pun tidak berbeda jauh darinya. Mendengar kalimat tersebut dari seorang anak kecil yang berusia sekitar enam tahun adalah hal yang langka. Bahkan, Rhei sudah siap-siap jika harus berebut es krim dengannya seperti anak-anak lain.

“Nggak apa-apa, nanti aku yang pilih rasa lain.” Rhei masih mencoba untuk menawarkan es krimnya.

“Terima kasih, es krim itu sudah terjual sebelum saya ke sini. Biar saya yang pilih rasa lain,” jawabnya dengan wajah datar.

“Cara ngomongnya mirip seseorang nggak, sih?” bisik Dylan di telinga kiri Rhei.

“Hmmm,” respon gadis itu.

“Mbak Rhei, ini es krimnya.” Pak Gus mengulurkan es berbentuk balok yang sudah dilengkapi tusuk sate untuk pegangan.

“Makasih, Pak,” ucap Rhei setelah memberi satu lembar uang dua ribuan.

“Mas Dylan sebentar ya, saya potongin buat adeknya dulu,” kata Pak Gus yang langsung diangguki oleh lelaki itu.

Rhei menatap sosok kecil yang sedang memperhatikan lincahnya tangan Pak Gus beraksi dengan pisau. Beliau sudah tidak memerlukan penggaris untuk menghasilkan potongan rapi dan simetris.

Dua tusuk sate ditancapkan di salah satu ujung es, lalu kertas kado yang membalutnya di buka. Es krim rasa vanila ditukar dengan selembar uang lima ribu, yang kemudian dikembalikan tiga ribu oleh Pak Gus.

“Terima kasih, Pak. Semoga laris terus ya,” ucap anak lelaki itu sebelum kakinya beranjak dari hadapan mereka.

Mulut Rhei membulat sempurna, hingga Dylan menegurnya. Gadis itu menggeleng cepat, lalu menggigit ujung es krimnya yang mulai meleleh.

“Masih kecil, Rhei. Jangan lo embat!” ledek Dylan.

“Tadi Gerald juga ngomong kayak gitu pas gue habis bayar bakso,” tutur Rhei hampir tak terdengar.

“Hah?”

“Terima kasih, Pak. Semoga laris terus ya,” jawab Rhei mengikuti ucapan anak kecil itu dan juga Gerald.


@guanhengai, 2022.

⚠️ 2k words, bacanya pelan-pelan aja⚠️


Gadis kecil berbalut dress hitam bersandar nyaman di bahu Jerry. Kakinya bergoyang seraya mulutnya mengunyah cookie red velvet. Tangan kirinya yang tidak pernah diam itu memainkan telinga Jerry yang memerah karena panas mentari siang ini.

Seperti biasa, Minggu pagi selalu diawali dengan ibadah di gereja. Setelahnya, mereka sarapan di salah satu kedai nasi uduk dekat perumahan. Si bungsu yang belum terlalu lapar memutuskan untuk mengganjal perutnya dengan cookies yang sengaja Angel bawa dari rumah.

“Adek, sepatunya mau dilepas sendiri atau dilepasin Papa?” tanya Jerry setelah meletakkan sepatunya di rak.

“Minta tolong Papa,” jawabnya tanpa mengalihkan perhatian dari cookie yang tersisa setengah.

“Jiji aja yang lepasin, Pa.” Si jangkung yang kini memasuki semester empat itu melepas sepatu kecil Gege. Jemarinya tak lupa menggelitik telapak sang adik hingga si bungsu terkikik geli. Mata kecilnya menghilang tertimpa pipi gembul, membuat Jiji dan Jerry tertawa gemas.

“Makasih, Kakak!” sorak Gege girang.

“Sama-sama, Cantik,” jawab Jiji setelah menghadiahkan kecupan singkat di pipi adiknya.

Ketiga manusia itu menyusul Angel yang sudah lebih dulu masuk ke dalam rumah. Gege yang tidak ingin lepas dari gendongan Jerry pun ikut ke kamar orang tuanya dan berganti pakaian di sana. Sedangkan, Jiji memilih untuk istirahat di kamarnya sendiri.

Putra sulung Jerry belum sampai di rumah karena harus mengantar temannya terlebih dahulu. Hal tersebut membuat Gege merajuk dan terlihat lebih manja dari biasanya. Gadis kecil itu sama tak ingin lepas dari sang ayah karena takut Jerry meninggalkannya seperti Ajen.

Beberapa minggu terakhir, lelaki itu memang terlihat sibuk di kampus. Pelatih teaternya saat menempuh pendidikan S1 meminta Ajen untuk membantunya dalam mempersiapkan pentas seni yang akan digelar di akhir semester. Maka dari itu, waktu bermainnya dengan si bungsu pun berkurang. Bahkan, Ajen yang biasanya menjemput Gege pulang sekolah pun harus beberapa kali digantikan oleh Jiji.

“Adek mau bobok siang di kamar Papa?” tanya Jerry yang langsung diangguki oleh Gege.

“Ini susunya, Dek,” ucap Angel sembari mengulurkan botol pada si kecil.

“Makasih, Mama,” jawab Gege setelah merebut botol susunya.

Tubuh mungil Gege langsung bersanding dengan guling yang tak kalah besar. Netra indahnya menatap pergerakan Angel yang sedang menutup tirai agar sinar matahari tak lagi masuk ke dalam kamar. Jemari kecilnya terus menggenggam telunjuk Jerry agar sang ayah tidak ke mana-mana.

“Masa jari Papa dipegang gini, Dek? Kalo nanti Papa kebelet pipis, gimana?” tanya Jerry sembari mencolek pipi gembul putrinya.

“Eung!” Gege menggeleng cepat, pertanda Jerry tidak boleh ke mana-mana, ke toilet sekali pun.

“Sini, Adek sama Mama aja,” bujuk Angel.

“Sama Papa!” rengek si bungsu.

Lengan kecil yang semula memeluk guling pun berpindah ke lengan kekar Jerry. Ayahnya langsung menyingkirkan guling yang membatasi mereka dan membalas peluk Gege. Ibu jarinya mengusap dahi sang putri untuk membantunya tertidur.

“Ajen baru bawa cewek sekali aja cemburunya kayak gini, gimana kalo dia nikah?” bisik Jerry pada sang istri.

“Ck! Masih lama, nggak usah ngomongin itu dulu!” balas Angel dengan raut kesal.

Jerry terkekeh pelan, lalu menarik lengan Angel agar mendekat ke tubuhnya dan Gege. Ternyata, bukan hanya si bungsu yang tidak siap dengan moment tersebut. Angel pun belum sanggup membayangkan Ajen menggandeng gadis lain selain dirinya dan Gege.

image


Sinar matahari kembali memasuki kamar Jerry dan Angel, mengganggu tidur siang gadis kecil di atas kasur. Tubuhnya bergerak gelisah, disusul kelopak yang terbuka perlahan.

“Adek udah bangun?”

Suara yang sangat dikenalnya menyapa telinga, membuat Gege menggeser kepala untuk melihat sosok tampan yang berbaring miring di sampingnya. Ajen dengan kaos putih dan celana kotak-kotak sedang tersenyum menyambut si bungsu. Namun, bibir Gege perlahan menekuk ke bawah.

image

“PAPAAAA!!!” pekiknya sebelum disusul tangis.

“Eh? Kok nangis, Dek? Papa lagi pergi beli makan sebentar,” tutur Ajen panik.

Ia bangkit dari tidurnya untuk memangku dan menenangkan adiknya. Alih-alih tenang, gadis kecil itu justru menangis lebih kencang dan memanggil Jiji. Perut bidang Ajen sempat terkena pukulan dan tendangan Gege saat berusaha memeluk tubuh mungilnya.

“Adek kenapa nangis?” tanya Jiji yang baru saja keluar dari toilet.

“KAKAKKK!” Uluran tangan Gege langsung disambut baik oleh sang kakak.

Kini tangannya melingkari leher Jiji dan tak berniat melepas barang sedetik. Wajah sembabnya bersembunyi di ceruk leher kakaknya karena enggan menatap Ajen. Di balik punggung Gege, Jiji dan Ajen sama-sama mengangkat bahu.

Hampir 15 menit Gege duduk di pangkuan Jiji. Lengannya mulai kram karena si bungsu tidak mau melepas pelukannya meski ia berjanji tidak ke mana-mana. Kepala Gege pun masih setia bersandar di bahu Jiji untuk menghindari abangnya.

“Adek, tangannya Kakak pegel. Bobok di kasur aja, ya? Kakak nemenin Adek kok, janji,” ucap Jiji sembari membelai lembut kepala Gege.

“Nggak mau,” gumam si bungsu.

Hela napas Jiji terdengar sebelum tangannya kembali memperbaiki posisi Gege. Ajen yang masih duduk di sampingnya pun ikut menghela napas dan menggelengkan kepalanya. Sangat janggal karena Gege yang selalu menempelinya justru menjauh seperti ini.

Beberapa menit kemudian, bel rumah mereka berdering. Suara Jerry yang menggelegar pun menyapa pendengaran anak-anaknya. Kepala Gege yang sedari tadi bersandar langsung terangkat dan menatap sang kakak.

“Adek, turun sebentar, ya? Kakak mau bukain pintu buat Mama sama Papa,” ucapnya pada Gege.

“Ikut!” rengek adiknya.

“Gue aja yang buka,” sahut Ajen yang sudah berdiri dan siap beranjak dari kamar Jerry.

Setelah punggung si sulung tak lagi terlihat, Gege baru melepas pelukannya dari leher Jiji. Ia pun turun dan kembali berbaring di kasur. Namun, tangannya tetap meremas ujung kaos Jiji agar sang kakak tidak meninggalkannya. Jiji yang merasa lengannya kebas pun langsung melakukan peregangan.

“Adek kenapa nggak mau ngomong sama Abang?” tanya Jiji setelah ikut berbaring di samping Gege.

“Nggak mau,” jawab Gege pelan.

“Iya, nggak mau kenapa, Dek? Masa Abang didiemin gitu? Kasian loh,” ucap kakaknya.

“Adek nggak mau,” lirih si kecil.

“Oke, oke, oke. Ayok smile dulu.” Gege menggeleng, lalu memeluk lengan Jiji.

image

Beberapa saat kemudian, langkah kaki terdengar mendekati mereka saat Gege sedang asik memainkan jakun Jiji. Gadis kecil itu langsung menyembunyikan wajahnya di dada sang kakak karena ia sangat hapal suara langkah Ajen. Benar saja, tubuh kekar abangnya menempati kasur kosong di belakang Gege dan telapak hangatnya mengusap kepala si bungsu.

“Adek belum mau liat Abang?” tanyanya yang tak mendapat jawaban dari Gege.

“Kayaknya dia marah karna lo nganterin Kak Marsya pulang,” celetuk Jiji setengah berbisik.

“Kan gue udah izin?” tanya Ajen bingung. Jiji mengangkat bahunya, lalu menepuk-nepuk punggung Gege.

Ajen lagi-lagi menghela napas kasar. Lelaki yang kini sedang menempuh pendidikan S2 itu pun mengusap kasar wajahnya. Punggungnya bersandar di kepala kasur sembari netranya menatap sendu sang adik.

“KAKAK!! TOLONG BANTU MAMA DI DAPUR!!”

“Ya Tuhan! Papa tuh kalo teriak bikin telinga budeg!” cibir Jiji kesal.

Saat dirinya berniat menghampiri sang ayah, Gege menahan lengannya. Jiji menatap adiknya dan tersenyum, lalu mengusap kepala Gege. “Tadi Adek denger Papa panggil Kakak, kan?” tanyanya lembut.

“Ikut,” pinta Gege disertai tatap memohon.

“Adek di sini aja, ya? Sama Abang tuh.”

“Ikuuttt!” Kini Gege sudah mulai memaksa.

“Udah, tinggalin aja,” tutur Ajen sembari menahan tubuh adik bungsunya.

“KAKAAKK!! IKUUUTTT!!” Tangisnya kembali pecah saat punggung Jiji sudah menghilang sempurna.

Ajen memeluk Gege meski harus terkena pukulan dari adiknya. Setelah beberapa menit meronta, akhirnya tenaga Gege kalah oleh lengan kekar abangnya. Tubuh mungilnya didekap sempurna oleh si sulung dan kepalanya bersandar di bahu Ajen. Meski begitu, ia belum mau berbicara dengan abangnya.

“Adek kenapa marah sama Abang? Hm?” tanya Ajen saat adiknya sudah tak lagi menangis.

“Adek marah kalo Abang main sama Kak Marsya?” Setelah menyelesaikan pertanyaannya, Ajen mendengar gumam kecil Gege.

“Emangnya Adek nggak suka sama Kak Marsya?” tanyanya lagi, kali ini direspon gelengan oleh Gege.

“Kenapa Adek nggak suka sama Kak Marsya?”

“Suka,” jawab Gege hampir tak terdengar.

“Oh, suka. Terus? Kenapa Adek marah pas Abang nganterin Kak Marsya? Masa Kak Marsya disuruh pulang sendiri, Dek?”

Gege menggeleng pelan. “Abang nggak jemput Adek,” ucapnya.

Ajen merasakan air mata Gege menembus kaos bagian bahunya. Lelaki itu menghela napas panjang. Ternyata, adiknya marah karena ia absen menjemput dirinya seusai pulang sekolah. Bukan hanya sekali, tetapi hampir tiga kali dalam seminggu.

Ajen mendorong pelan tubuh kecil Gege, lalu menangkup pipi gembulnya yang penuh air mata. “Maafin Abang ya, Dek.”

“Abang nggak temenin Adek main di taman,” tuturnya lagi.

“Iya. Abang minta maaf karena akhir-akhir ini nggak sering jemput Adek, nggak nemenin Adek main, nggak ajak Adek jalan-jalan.”

Gege tidak merespon dengan angguk maupun gelengan. Ia hanya menatap abangnya sembari air mata terus mengalir. Ibu jari Ajen terus mengusap air mata yang membasahi pipi Gege, tetapi tetesan lain langsung membasahinya lagi.

“Abang nggak bisa janji buat jemput Adek setiap hari, nemenin Adek main setiap sore, atau ajak Adek jalan-jalan setiap hari Sabtu. Abang lagi siapin pentas seni, Dek. Kayak pas Adek nonton Abang di panggung, inget kan?” tanyanya yang langsung diangguki oleh Gege.

Siapa yang dapat melupakan tampannya seorang Radjennar Noah Juanda Suharjo berbalut kostum pangeran dan berdialog di atas panggung? Bahkan, petugas yang mengatur lighting panggung pun tak mampu menghapus bayangan mengenai sempurnanya Ajen malam itu.

“Abang nggak bisa main sama Adek bukan karena Abang main sama Kak Marsya, tapi karena Abang harus latihan buat pentas. Nanti Adek bisa nonton, kalo Adek mau.”

“Abang jadi prince?” tanya Gege antusias.

“Enggak, Sayang. Abang nggak tampil, tapi Abang jadi pelatihnya.”

“Pelatih apa?”

“Ya yang ngelatih orang-orang buat pentas, Dek. Jadi, Abang harus nungguin pas mereka latihan, harus ngarahin mereka biar pertunjukannya bagus, harus negur kalau ada yang salah, harus support kalau mereka capek.”

Gege langsung menubruk dada Ajen dan memeluk leher abangnya. “Abang keren,” gumam si kecil.

Ajen yang mendengar pujian dari adiknya pun terkekeh pelan. “Makasih, emang Abang keren. Jadi? Sekarang Adek udah nggak marah sama Abang, kan?”

“Marah,” jawab Gege.

“Loh? Kok masih marah?”

“Kenapa Kakak Marsya ikut ke gereja?” tanya Gege.

Minggu-minggu sebelumnya, Ajen selalu memangku dirinya di kursi tengah mobil mereka. Namun, tadi pagi abangnya memilih berangkat dengan motor besarnya dan muncul bersama seorang gadis cantik. Tentu Gege merasa terkhianati.

“Hahaha! Adek, Kak Marsya emang gerjanya di situ, sama kayak kita.”

“Adek nggak pernah liat.”

“Iya, karena Kak Marsya biasanya gereja sore. Lagian, Adek kan di sekolah minggu, pasti nggak ketemu dong.”

“Kenapa tadi Kakak Marsya gereja pagi?”

Otak Ajen mulai tersendat seiring pertanyaan adiknya menjalar ke mana-mana. Tidak mungkin ia menjelaskan bahwa dirinya sedang dalam misi pendekatan. Tidak mungkin juga ia berbohong bahwa itu hanya sebuah kebetulan.

“Oh, soalnya Kak Marsya udah terlanjur mandi pagi.”

Itu adalah jawaban terbodoh yang pernah Ajen lontarkan pada si bungsu. Kening Gege terlihat mengerut dalam setelah abangnya menyelesaikan kalimat barusan. Namun, ia tak ingin pusing-pusing memikirkan kakak cantik yang 'merebut' abangnya.

“Gini deh. Gimana kalo Abang jemput Adek setiap hari Rabu sama Jumat? Soalnya Abang latihan agak sore di hari itu. Terus, Abang nemenin Adek main setiap hari Minggu, habis pulang gereja. Deal?”

“Tapi nggak mau ada Kakak Marsya,” gumam Gege.

“Iya, Abang nggak ajak Kak Marsya. Cuma Abang sama Adek.”

“DEALLL!!!” pekik Gege girang. Ajen mencubit hidung adik kecilnya, lalu mengecup pipi gembul Gege.

“Adek, Abang mau bilang sesuatu sama Adek,” kata Ajen serius.

Netra bulat Gege mantap abangnya penuh antusias. Senyum manis sudah terpatri di wajah cantiknya, pun jemari kecil Gege menjelajahi setiap inci rupa tampan Ajen.

“Walaupun nanti Abang jarang main sama Adek, Abang nggak bisa jemput Adek sekolah, Abang nggak ke gereja sama Adek, atau Abang pergi ke luar kota gantiin Papa, Adek tetep adeknya Abang. One day, Abang bakal tinggal di rumah Abang sendiri, entah itu jauh atau deket dari Adek. Tapi, di mana pun Abang berada, Abang tetep abangnya Adek. Adek nggak perlu takut kalo Abang diambil orang lain. Sayangnya Abang ke Adek nggak akan pernah berubah. Abang selalu sayang sama Adek.”

Ia sadar waktu bermainnya dengan Gege tersita begitu banyak karena kegiatannya di kampus dan kantor. Jika memungkinkan, Ajen ingin meminta waktu tambahan pada Tuhan. Namun, semua manusia hanya diberi 24 jam dalam sehari. Meski waktunya tak lagi penuh untuk Gege, Ajen ingin adiknya tahu bahwa rasa sayangnya akan selalu penuh sampai kapan pun.

Air mata Gege mengalir saat netranya mengedip. Gadis kecil itu memeluk abang kesayangannya dan mengucapkan bahwa ia juga menyayangi Ajen. Punggung kecilnya diusap oleh Ajen. Hangat. Gege berharap kehangatan ini tak kunjung berakhir. Ia ingin abangnya selalu ada di sampingnya untuk waktu yang panjang.

“So? Sekarang masih marah sama Abang atau enggak?” tanya Ajen memastikan.

Gege menggeleng cepat. “Tapi Adek mau es krim,” jawabnya.

“Yahhhh, masa ada syaratnya? Adek lebih sayang sama Abang atau es krim?”

“ES KRIMM!!!”

“Ya udah deh, nanti Abang main sama Kak Marsya aja.”

Lengan Gege langsung melingkari leher Ajen. “Sayang Abang! Tapi Adek mau es krim.”

Ajen tertawa puas, lalu menggendong tubuh kecil adiknya menuju lantai bawah. Ia berharap papanya memberi izin pada Gege untuk memakan ice cream Jiji yang masih tersisa di kulkas. Jika tidak, mungkin akan ada drama lagi setelah ini.

image


@guanhengai, 2022.

41.

Kepala Rhei tidak pernah sederhana. Seperti gulungan benang tak beraturan yang kemudian terikat satu sama lain, begitulah gambaran isi kepala gadis berusia 27 tahun itu. Meski raganya terlihat berjalan lurus menuju rumah Gerald, pikirannya mengejar kemungkinan-kemungkinan buruk yang akan terjadi nanti.

“Anjir! Gue harus ngomong apa di depan Gerald?”

“Hai, Mas Gerald. Gue Rhei, cewek yang kucing dan BH-nya nyasar ke rumah lo.”

Rhei menepuk pipi kanannya. “Nggak gitu dong, Rhei.”

Dia kemudian kembali berjalan, masih dengan memikirkan kalimat yang akan dilontarkannya. Jemari gadis itu meremas tali totebag di bahu kanannya serta menggigit bibir bawah berkali-kali. Pertemuan kali ini benar-benar memorakporandakan struktur otaknya.

Bising obrolan ibu-ibu tak lagi mengganggu Rhei, pun bakul ice cream tung-tung yang selalu dia panggil setiap sore dilewatinya begitu saja. Pak Gus —nama penjual ice cream tersebut— menatap bingung gadis itu. Senyum cerah yang biasa Rhei pamerkan berubah menjadi kerutan dalam di keningnya.

“Mbak Rhei! Awas!” Rhei baru menyadari keberadaan Pak Gus kala pekik itu terlontar dari mulutnya.

Selokan besar tepat berada beberapa centi dari ujung sepatu Rhei. Rumah Gerald memang berada di ujung jalan, bersebelahan dengan mushola kecil yang selalu ramai dengan anak-anak saat sore menjelang.

“Kalau anak-anak sudah pulang ngaji, pasti rasa cokelat habis, Mbak.” Begitu curahan hati Pak Gus kala Rhei protes karena ice cream cokelat selalu habis lebih dulu.

“Aish! Untung nggak kecebur got. Makin hancur image gue di mata Gerald!” gerutunya.

Gadis itu terdiam sejenak. Dia sudah berada di depan selokan. Berarti, gerbang rumah Gerald sudah terlewat beberapa meter. Telapaknya pun hinggap di dahi, mengutuk kebodohannya. Rhei berbalik, lalu tersenyum kikuk ke arah Pak Gus. Lalu, dia menilik ke dalam rumah Gerald untuk memastikan tidak ada yang menunggunya di depan pintu.

“Huft, untung nggak ada orang di sana,” tuturnya lega seraya mengusap dada.

Mikirno opo, toh? Kok sampe hampir nyemplung?” tanya Pak Gus. (Translate: Mikirin apa, sih?)

Ndak mikirin apa-apa, Pak. Cuma lagi melamun aja. Makasih ya, Pak,” jawab Rhei disertai hawa panas yang mulai menjalar ke seluruh wajahnya.

Gadis itu mengangguk pada Pak Gus sebelum berjalan menuju gerbang rumah Gerald. Beribu doa sudah menguap dari mulut dan otaknya, meminta pertolongan Yang Maha Kuasa agar memberi kelancaran pada segala rangkaian peristiwa yang akan terjadi beberapa menit lagi.

Sebenarnya, ini bukan kali pertama Rhei bertemu secara langsung dengan Gerald. Pak Bun sering mengundang anak-anak kos untuk menghadiri syukuran atau sekadar makan-makan besar di rumah beliau. Di kesempatan yang sama, pemilik kos terbaik yang pernah Rhei kenal itu juga mengundang beberapa tetangga, termasuk Gerald dan Delvin.

Jika kalian berpikir Gerald merupakan penyanyi dengan jam manggung yang super sibuk seperti Tulus atau Raisa, kalian salah besar. Dia hanya menghadiri event-event di cafe terbuka dan beberapa angkringan di daerah Yogyakarta. Jika 15 tahun silam Gerald tidak hengkang dari boybandnya, mungkin sekarang Rhei akan melihat wajah tampan itu menghiasi layar kaca setiap hari.

Gerald adalah mantan artis cilik yang memilih untuk berkarya sendiri. Sayangnya, hanya ada dua album yang berhasil dia kerjakan sejak keluarnya lelaki berdarah Jawa-Manado itu dari boybandnya. Meski begitu, Rhei tetap menjadi fans setia yang selalu update tentang kegiatan Gerald.

Hal tersebut merupakan salah satu alasan mengapa Rhei lebih suka tinggal di Yogyakarta dibandingkan kota asalnya. Terlebih, seorang Geraldo Mahendra Griffin tiba-tiba menempati rumah di samping kosnya beberapa bulan silam. Jika jiwa fangirlingnya sedang memuncak, Rhei akan mengatakan itu sebagai takdir terbaik.

“Ohhhh, nama lo Rhei?”

Gadis itu terjingkat saat mendengar suara lain di dekatnya. Lagi-lagi dia menghela napas sembari menahan malu karena hampir saja menabrak lelaki berkaos putih yang berdiri menjulang di hadapannya. Rhei mengenal sosok tersebut. Delvin, manager artis paling eksis dan narsis beberapa tahu terakhir.

image

Rhei lebih suka manager Gerald sebelum Delvin, Om Abad. Om Abad berhenti bekerja saat usia Gerald menginjak 20 tahun karena alasan medis. Lalu, posisinya digantikan oleh sang putra yang kini sedang menatap Rhei dari ujung rambut hingga kaki.

“Ngapain liatin gue kayak gitu?” tanya sang gadis.

“Idih? Siapa yang liatin lo? Itu tuh, ngeliatin sepatu baru gue yang lagi lo injek!”

Rhei mengikuti arah pandang Delvin dan menemukan benda hitam mengkilap di bawah flatshoesnya. Dia langsung bergeser dan pura-pura membersihkan sepatu Delvin. “Hehehe, sorry.”

“Hihihi, sirry!” ejek lelaki itu.

Meski tidak begitu mengenal satu sama lain, mereka sudah sering terlibat pertengkaran. Mungkin, orang-orang menganggapnya sebagai pertikaian kecil. Namun, bagi seorang Rhei, berebut ice cream cokelat merupakan tindakan tercela. Bukan hanya sekali mereka merebutkan potongan terakhir ice cream tung-tung Pak Gus, tetapi hampir setiap sore.

“Gerald mana?” Sepertinya Rhei harus belajar untuk mengontrol mulutnya.

“Kenapa nanyain Gerald? Bukannya lo ke sini buat ambil kucing gendut lo ini?” Delvin melirik binatang peliharaan di lengannya.

“Gak boleh pet shamming! Anabul gue punya hati, punya perasaan,” jawab Rhei kesal.

“Anabul? Namanya Anabul? Lebih cocok Anabelle sih.”

Kini tatapan sang gadis mulai menajam. Tangannya terulur dan siap untuk merampas kucingnya dari gendongan Delvin. Belum sempat telapaknya meraih Anabul, tubuh lelaki itu sudah melengos.

“Hey! Emang gue kelihatan berniat buat kasih kucing ini ke lo?”

Kening Rhei mengerut sempurna. “Siniin kucing gue!”

“Sabar. Kita tes kecerdasan dulu.”

Keningnya semakin berkerut. “Tes kecerdasan?”

“Yoi. Nama lengkap?”

“Hah?”

“Nama lengkap lo siapa?” tanya Delvin sedikit memaksa.

“Diajeng Kimberhei.”

Kini gantian kening Delvin yang mengerut. “Diajeng? Literally Diajeng?”

Bola mata Rhei memutar. Dia mulai bosan mendengar pertanyaan serupa. “Iya, beneran Diajeng,” jawabnya.

“L-lo? Keturunan...”

“Iya.”

“HAH?! LO KETURUNAN DARAH BIRU???”

Meski Rhei termasuk manusia ekspresif, menurutnya ekspresi terkejut Delvin sungguh berlebihan. Mungkin seekor burung gereja dapat hinggap di mulutnya saat ini.

“Darah rendah,” tutur Rhei menanggapi pertanyaan lawan bicaranya.

Tatapan Delvin berubah sayu, pun mulutnya tertutup sempurnya persis membentuk ekspresi (-_–). “Serius, gue penasaran. Lo beneran keturunan kerajaan?”

“Bukan. Emang lo pikir Diajeng cuma boleh dipake sama keturunan darah biru? Itu punya arti umum!” sanggah gadis itu.

“Siniin Anabul gue!” Kini Rhei berhasil merebut kucingnya dari Delvin. Lelaki itu pun tidak terlihat ingin bertanya-tanya lebih lanjut mengenai namanya.

“Gue balik dulu, makasih udah jagain Anabul gue,” tuturnya sebelum berbalik sempurna dan meninggalkan Delvin di teras rumah Gerald.

Rasa penasaran yang memuncak mengenai keberadaan penyanyi itu diredam kuat-kuat, tidak ingin terlihat agresif di depan sang manager. Gadis itu berjalan santai menuju pintu gerbang. Jantung dan otaknya terasa jauh lebih normal, tidak ada lagi rasa nervous dan takut.

“Rhei! Ini ketinggalan!”

Itu bukan suara Delvin.

Tubuhnya berhenti, lalu berbalik perlahan. Lelaki berkaos hitam dan celana pendek berdiri di samping Delvin. Rambut Gerald dibiarkan tumbuh memanjang, membuat jantung Rhei kembali berdebar hebat. Gerald memang selalu berhasil membuat seluruh titik di tubuhnya menggila.

image

Tatapan RHei berpindah pada benda hijau yang sangat dia kenal. Sebuah benda rahasia yang terbawa oleh Anabul berada di genggaman Gerald. Tanpa cermin, Rhei tahu wajahnya sedang berubah menjadi tomat saat ini.

“M-mas Gerald? Ehm, anu... Itu bukan punya gue. Gue harus balik sekarang, Anabul nunggu gue di kos. Kasian, dia harus makan sore. Bye! See you!” Gadis itu berbicara dengan kecepatan di atas rata-rata sebelum kakinya ikut berlari dengan kecepatan yang tidak Gerald perkirakan sebelumnya.

“Heh? Anabul nunggu di kos? Padahal Anabulnya ada di tangan dia. Dasar cewek aneh!” Cibir Delvin.

“Anabul siapa?” tanya Gerald dengan ekspresi super polos yang mungkin akan mengundang jeritan jika Rhei melihatnya.

“Itu, kucingnya.”

Senyum manis terbit di wajah tampan lelaki itu. Dia menggeleng pelan, lalu beranjak dari teras menuju dalam rumah. Lagi-lagi tanpa pamit. “Woy! Kebiasaan banget ninggalin gue tiba-tiba! Jelangkung ya?!” pekik managernya.


@guanhengai, 2022.

Extra part; hati-hati

Rintik hujan masih mengguyur ibu kota sejak pukul tiga sore. Kegiatan bersantai di teras yang biasa keluarga Jerry lakukan pun terpaksa berpindah ke ruang keluarga.

Jerry baru saja kembali dari dapur dengan piring di tangan kanan dan garpu di tangan kiri. Melihat Angel duduk seorang diri di sofa, pria itu segera mendaratkan bokongnya di samping sang istri.

“Mau?” tanyanya sembari menyodorkan satu potongan buah.

“Nggak suka apel,” jawab Angel tanpa memalingkan pandangan dari si bungsu yang sibuk bermain dengan Ponco di karpet.

“Ini pear, Sayang.”

Wanita itu pun membuka mulutnya, lalu mengunyah potongan buah yang Jerry berikan. Matanya seketika membelalak seraya wajahnya berpaling ke arah sang suami. Senyum manis pria di sampingnya merekah sempurna.

“Manis?”

Angel menjawab pertanyaan Jerry dengan angguk cepat. Kedua sudut bibirnya terangkat hingga pipinya mengembung. “MANIS BANGEETT!” pekiknya senang.

Jery buru-buru memasukkan potongan buah ke dalam mulutnya untuk membuktikan pernyataan Angel. Kepalanya ikut mengangguk. Garpu yang sudah kosong kembali menusuk potongan lainnya untuk diberikan kepada sang istri.

“Papa!”

Putri kecil berusia dua tahun berjalan cepat dan merentangkan kedua tangannya. Jerry pun meletakkan piring yang masih berisi potongan pear di samping paha, lalu ikut mengulurkan tangan untuk menyambut Gege.

“Adek mau pear?” tanya Jerry setelah balita itu duduk di pangkuannya.

“Syem!” jawab Gege sembari menutup mata dan menjulurkan lidah kecilnya. (Translate: asem!)

“Enggak, Sayang. Ini manis kok, tanya Mama tuh.”

Mata bulatnya beralih pada sang ibu, lalu menatapnya polos. “Mama, nis?”

“Iya, Dek. Manis, enak.”

Mulutnya kemudian terbuka lebar, membuat Jerry dan Angel terkekeh pelan. Pria itu segera memotong pear tersebut menjadi lebih kecil, lalu memasukannya ke mulut Gege dengan jari.

“Enak, kan?” tanya Jerry setelah melihat putrinya mengunyah.

“Enyak! Au yagi!” (Translate: Enak! Mau lagi!)

Ekspresi gemas Gege mengundang tawa Angel dan Jerry. Mereka pun menghabiskan sisa potongan buah dingin itu.

Pear manis di atas piring tersisa dua buah ketika Ajen dan Jiji berlari menuruni anak tangga. Si bungsu dalam pangkuan Jerry langsung bersorak ketika melihat mainan di tangan Ajen. Tubuh kecilnya merosot perlahan, lalu berlari kecil menuju kedua kakaknya.

“Adek, jalannya pelan-pelan aja,” ucap Ajen saat Gege menubruk betisnya.

Tubuh mungil berbalut dress dan cardigan itu langsung diangkat oleh Jiji, kemudian berjalan di belakang Ajen menuju ruang keluarga.

“Mainan baloknya nggak ada, Ma.” Pemuda itu meletakkan mainan Gege dan duduk di atas karpet.

“Ya udah, main itu aja. Makasih udah ambilin mainannya Adek, Bang,” jawab Angel yang direspon angguk dan senyum.

“Abang mau pear, nggak?” tawar Jerry seraya menyodorkan garpunya.

Putra bungu mereka pun merangkak ke arah sofa, lalu melahap potongan buah yang Jerry berikan. Responnya sama persis seperti Angel, netranya menggaris berbentuk bulan.

“Mau juga!” pekik Jiji setelah menurunkan Gege dari gendongannya. Remaja itu ikut merangkak dan berlutut di samping Ajen.

“Wah! Manis banget!” pekiknya setelah potongan pear terakhir masuk ke dalam mulutnya.

“Papa! Adek!” Si kecil ikut merangkak dan membuka mulutnya.

“Yah? Udah habis, Dek. Maaf, ya. Besok kita beli lagi, okay?” tanya Jerry sembari mengusap pipi gembul putrinya.

Bibir mungil Gege melengkung ke bawah, mata bulatnya mulai berair. Jerry yang melihat hal tersebut pun langsung mengangkat tubuh anaknya. Telapaknya masih terlihat besar kala bersanding dengan punggung Gege.

“Pearnya udah habis, Sayang. Besok lagi, ya? Besok Papa ajak Adek beli buah deh,” tutur pria itu.

Gege yang mendapat janji menggiurkan itu pun langsung tersenyum. Tubuhnya lagi-lagi merosot dari pangkuan Jerry dan berjalan cepat ke arah mainan yang sudah dibawa oleh Ajen. Kedua kakaknya juga ikut berpindah untuk menemani si bungsu bermain.

“Anakmu tuh, pinter banget actingnya,” tutur Jerry pada sang istri.

“Loh? Kan kayak kamu, Mas. Banyak drama!” sembur Angel. Pria itu langsung terkekeh, kemudian menarik tubuh wanitanya ke dalam rangkulan.

image


Hujan sudah berhenti sempurna, Jerry dan Angel memutuskan untuk mengepel teras dan balkon. Mereka membiarkan ketiga anaknya bermain di ruang keluarga agar tidak berkeringat.

Gadis kecil berpipi gembul di atas karpet terlihat sibuk menyusun stacking toys, sedangkan Ajen dan Jiji mengawasinya dari samping. Mainan berbentuk seperti donat itu harus disusun mulai dari yang terbesar hingga terkecil.

Awalnya, Gege terlihat senang dan menikmati permainannya. Namun, sepertinya si bungsu mulai kesulitan menyusun donat-donat itu sesuai urutan yang benar.

“Mau Kakak bantu?” tanya Jiji sembari mencolek menggenggam gemas lengan Gege.

Alih-alih mengangguk, adiknya justru menarik tangan hingga genggaman sang kakak terlepas. “Eung!” geramnya seraya menatap tajam Jiji.

“Dih? Judes banget,” tutur sang kakak.

Salah satu sudut bibir remaja itu terangkat. Ia mencolek lengan adiknya yang sedang fokus menyusun mainan. Lagi-lagi Gege hanya menepis dan menatapnya kesal.

“Kak, jangan!” tegur Ajen.

“Dek, Kakak ikut main dong.” Kini telunjuknya menjawil pipi si bungsu.

“MAMAU! Hush hush!” Tangan kecil Gege melambai di depan wajah Jiji. (Translate: Gak mau! Hush hush!)

“Loh? Malah diusir.” Sepertinya ia belum puas mengganggu sang adik. “Adek, Kakak juga mau main,” katanya lagi.

“Eung! Mamau!” Kaki kecilnya menendang tangan Jiji yang berusaha meraih mainannya.

“Kak, jangan diganggu ah! Nanti nangis,” ucap Ajen.

“Adek pelit!” seru Jiji sembari melipat tangannya di depan dada.

Gege yang awalnya tidak peduli pun menengok, lalu menatap datar sang kakak.

“Zion! Kok ngomongnya gitu, sih?” Jika Ajen sudah memanggilnya dengan nama asli, berarti sesuatu yang tidak beres baru saja terjadi.

“Apa?” tanya Jiji bingung.

“Kenapa bilang Adek pelit? Itu kan mainannya Adek, hak dia lah kalo mau main sendiri. Kalo dia nggak ngizinin lo pinjem, harusnya lo tunggu sampe dia izinin, bukan malah ngatain pelit!”

Yang ditegur hanya menatap datar abangnya. Ia pikir Ajen marah karena sesuatu hal yang serius. “Ya udah sih, kan cuma bercanda,” jawab Jiji.

image

“Terus? Menurut lo itu lucu?”

“Apaan sih, Bang? Lebay deh.”

“Minta maaf!” perintah Ajen.

Tak mau memperpanjang masalah, remaja bertubuh jenjang itu pun mengulurkan tangan ke arah Gege. “Maaf ya, Dek,” tuturnya.

Si kecil tidak menatap Jiji sama sekali. Tubuhnya justru bergeser mendekati Ajen hingga kepalanya bersender di lengan abangnya.

“Adek, Kakak mau minta maaf tuh sama Adek,” ucap Ajen pelan.

Gege menatap abangnya, lalu mengerutkan bibir. Tetes demi tetes air mata mengalir dari netranya. Ajen yang menyadari hal tersebut pun langsung memeluk tubuh mungil adiknya. Tangis Gege pecah di dada sang abang.

Tatapan Ajen menusuk dada Jiji dan membuat remaja itu langsung menunduk. Kuku ibu jarinya menggaruk telunjuk, menandakan remaja itu merasa tidak nyaman.

Telapak hangat Ajen tak henti mengusap punggung kecil adiknya. “Shhh shhh shhh.”

Butuh waktu cukup lama hingga si kecil berhenti menangis. Hidung dan telinganya memerah, pun netranya membengkak karena tangis. Ajen mengusap bercak air mata di pipi Gege, kemudian mengecup keningnya.

“Adek udah tenang?” tanya Ajen yang langsung direspon angguk pelan.

“Udah mau ngomong sama Kakak atau belum?” tanyanya lagi, tetapi kali ini mendapat gelengan dari adiknya. Ajen pun menatap Jiji, mengisyaratkan untuk menunggu sebentar lagi.

Sembari menunggu si bungsu menenangkan diri, Jiji mencoba untuk meraih telapak kaki Gege. Senyumnya mengembang saat tidak ada penolakan dari sang adik.

Beberapa saat kemudian, jemari Jiji menari di telapak Gege dan membuat sang empunya terkikik geli. Kepala yang tadinya bersandar di dada Ajen pun mulai menjauh dari tubuh abangnya, lalu berusaha menyingkirkan tangan Jiji.

“Kakak! Giyi!” protes Gege seraya tertawa lucu. (Translate: Kakak! Geli!)

Alih-alih berhenti, Jiji justru semakin menggelitik adiknya. Kini pinggang dan ketiak Gege yang menjadi sasaran sang kakak. Tawa kecilnya menggelegar hingga wajahnya merona padam.

Tangan yang tadinya memeluk erat Ajen pun mulai terlepas perlahan. Tubuh mungilnya kini berpindah ke pangkuan Jiji tanpa ia sadari.

“Kak, udah. Nanti dia cegukan lagi,” tutur Ajen.

Jiji mengangguk dan memeluk Gege yang masih mencoba menghentikan tawanya. Ketika gadis kecil itu sudah tenang, Jiji memberi gelas berisi air mineral. Beberapa mili meluncur sempurna melewati tenggorokan Gege.

image

“Maafin Kakak ya, Dek,” ucap remaja itu.

Si bungsu menatap polos kakaknya, lalu memeluk leher Jiji. “Kakak,” gumamnya.

Jiji mengusap punggung kecil Gege, lalu mengecup pipi gembulnya. “Adek maafin Kakak atau enggak?” tanyanya yang langsung diangguki oleh Gege.

“Makasih,” jawabnya seraya mempererat pelukan di tubuh sang adik.

Ajen tersenyum melihat kedua adiknya dalam posisi seperti itu. Jiji terlalu sering menggoda Gege hingga si bungsu menangis. Namun, setelah mereka saling meminta maaf, so sweetnya melebihi Angel dan Jerry ketika menampilkan adegan romantis.

“Akh! Adek! Masa telinganya Kakak dimakan? Ih, basah!” geram Jiji sembari mendorong sedikit tubuh adiknya agar pelukan di lehernya terlepas.

Gege tertawa geli melihat ekspresi frustrasi kakaknya. Telapak mungil si bungsu memainkan telinga Jiji yang sudah berlumur salivanya. Ajen hanya menggelengkan kepala. Ternyata, kedua adiknya sama-sama jahil.

“ABANGG!!! TOLONG AMBILIN EMBER DI KAMAR MANDI!!!” Suara Jerry tiba-tiba terdengar dari teras depan.

“Ish! Papa kalo teriak satu kampung bisa denger,” cibir Jiji.

“Ya udah, gue ke depan sebentar,” ujar Ajen sembari bangkit dari duduk.

“Babang!” panggil Gege seraya mengulurkan tangannya.

Pemuda itu membungkuk, lalu menyisir surai sang adik. “Sebentar ya, Dek. Abang mau bawain ember buat Papa. Adek main sama Kakak dulu, ya?”

Si kecil pun mengangguk, lalu kembali memeluk leher Jiji. Kepalanya bersandar di bahu lebar sang kakak dan bergumam kecil.

“Thank you,” ucap Jiji sebelum abangnya benar-benar beranjak.

Ajen mengangguk. “Lain kali lebih hati-hati kalo ngomong. Apa yang lo pikir nggak penting bisa aja nyakitin orang lain, termasuk anak kecil. Mereka bakal inget sama kata-kata lo sampe gede,” tutur pemuda itu sebelum pergi meninggalkan kedua adiknya.

image


@guanhengai, 2022.

Dahi Jerry mengernyit saat mendapati mobil teman-temannya berjajar rapi di halaman panti. Sepertinya, Hargi dan Atuy tidak berbohong tentang sesuatu hal terjadi pada Ojon. Namun, jika itu adalah sesuatu yang buruk, seharusnya mobil mereka akan terparkir sembarangan.

Kakinya berkali-kali tersandung sampai Jiji harus ikut memegang tangan sang ayah. Jauh di belakang mereka, Ajen merangkul bahu Angel yang suhu tubuhnya kian meningkat.

Awalnya, Jerry meminta Angel tetap di rumah untuk beristirahat. Tentu istrinya itu langsung menolak dan memaksa ikut. Akhirnya, mereka memijakkan kaki di panti sebelum jarum pendek menyentuh angka enam.

Halaman yang cukup luas membuat keempat manusia itu butuh setidaknya dua menit untuk sampai di ruang tamu. Tak menemukan siapa pun di sana, Jerry dan Jiji langsung bergegas menuju ruang tengah. Samar-samar mereka mendengar pria dewasa berbicara satu sama lain.

Anehnya, tidak ada nada khawatir atau sendu yang terdengar. Obrolan itu seperti percakapan mereka biasanya, penuh canda yang disusul tawa Marcell.

Jiji dan Jerry sempat terdiam saat melihat Gavin dan Marcell berdiri santai di samping sofa, sedangkan Atuy dan Hargi asik menikmati kue cokelat di tangan masing-masing.

Ojon? Pria itu duduk sembari tertawa menatap teman-temannya. Seperti tidak ada sesuatu yang serius di sini.

“Loh? Kalian kasih tau Jerry?”

Pertanyaan itu terlontar dari si tokoh utama yang sedari tadi memenuhi otak Jerry.

Alih-alih menjawab, pria berkaos polos itu berlari ke arah tempat duduk Ojon. “Lo kenapa?”

Seperti biasa, Ojon hanya melambaikan tangan, memberi kode bahwa tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Bagaimana mungkin? Salah satu kakinya kini terbalut perban dan terlihat mengerikan.

Ojon yang melihat arah tatap Jerry pun berkata, “Oh, ini, cuma terkilir. Mereka aja yang lebay! Gue bilang nggak apa-apa, tapi maksa banget harus telepon lo.”

Jerry menghela napas kasar. Entah harus merasa lega atau kesal, tetapi mengemudi dengan kecepatan 120 km/h di pagi hari demi melihat Ojon yang terkilir merupakan hal gila yang ia lakukan. Masalahnya, Jerry tak hanya membawa tubuhnya sendiri, tetapi juga istri dan kedua putranya.

Demi Tuhan, jarak dari rumah ke panti seharusnya menghabiskan waktu satu setengah jam. Tetapi, pagi ini ia mengemudi bagai kesetanan dan hanya butuh 50 menit untuk sampai.

Setelah memejamkan mata beberapa saat, kedua ekor netra Jerry menusuk Atuy dan Hargi yang masih asik menikmati kue tanpa rasa bersalah sedikit pun.

“KAMPRET LO BERDUA!” pekiknya seraya bangkit dan menarik kerah kaos Atuy.

“HEH! SELO DONG!” protes temannya.

“SELO GIMANA, ANJING?! ISTRI GUE LAGI SAKIT DAN PAGI-PAGI BUTA LO TELEPON DIA BUAT KE SINI! GUE PIKIR OJON KENAPA-NAPA, BANGSATTT!!”

“JANGAN PERNAH MAIN-MAIN SAMA NYAWA ORANG!”

Semuanya menatap Jerry. Jiji yang belum pernah melihat papanya seperti itu langsung merapat ke tubuh Marcell dan Gavin. Atuy yang biasanya menggoda Jerry pun hanya diam sembari menundukkan kepala. Kali ini ia benar-benar marah.

Jika keadaan tidak separah ini, jika Angel tidak dalam keadaan sakit, mungkin Jerry akan menanggapinya dengan lebih santai.

“Gila!” hardiknya lagi sebelum melepas cengkraman di kaos Atuy.

“Sorry.” Hanya itu yang dapat Atuy dan Hargi katakan saat ini.

“M-mas?”

Suara serak Angel langsung menyita perhatian semua orang yang memenuhi ruang tengah. Tubuhnya yang bertumpu penuh di dada Ajen dan bibirnya yang sedikit pucat langsung membuat ekspresi Atuy dan Hargi dipenuhi rasa bersalah.

Jerry berjalan mendekati istrinya, menggantikan tugas Ajen dan merangkul Angel. “Ayo, kita istirahat di kamar aja,” tuturnya.

Kening Angel seketika mengerut, tatapnya kemudian jatuh pada Ojon yang tersenyum janggal dari atas kursi.

“Hai, Ngel,” sapanya.

“Jon, lo nggak apa-apa?” tanya Angel dengan suara yang sangat lemah.

“I'm okay, totally fine. Dua borokokok ini yang lebay!” katanya setelah menunjuk Atuy dan Hargi.

“Lo istirahat aja. Sorry ya ganggu pagi-pagi,” lanjutnya yang langsung direspon gelengan oleh Angel.

“Nggak apa-apa. Ya udah, gue ke kamar dulu ya. Sorry nggak bisa gabung,” pamitnya pada kelima pria dewasa di sana dan juga anak-anaknya.

Suara Ajen dan Jiji yang merengek kesal terdengar samar-samar dari balik punggung Angel dan Jerry. Dua remaja itu juga pasti marah pada uncle-uncle sialan yang mengganggu tidur mereka.

Hingga keduanya sampai di depan pintu kamar, suara di ruang tengah semakin terdengar abstrak. Terlebih, rasa pusing yang mendera kepala Angel membuatnya tidak begitu jelas menangkap suara dari luar.

“Kamu nggak perlu marah segitunya sama Atuy-Hargi, Mas,” tuturnya setelah mendorong pintu kamar.

“Gimana nggak marah? Mereka bikin aku panik, kamu juga, bahkan anak-anak juga ikut panik.”

“Tapi kan Ojon beneran terkilir, Mas.”

“Iya, tapi mereka tuh ngabarin kita seolah-olah Ojon ada di ujung maut, Sayang. Nggak lucu tau!” gerutunya.

Jerry menunduk sebentar untuk menarik selimut yang terbentang di ranjang, lalu membantu istrinya berbaring di sana.

“Ya udah, tapi jangan marah kayak tadi di depan anak-anak. Ajen sama Jiji ketakutan, Mas.”

“Sorry.” Netra sang tuan memandang wanitanya dengan penuh rasa bersalah. Ia melupakan hal tersebut.

Angel tidak menjawab, hanya tangannya yang berkali-kali menepuk space kosong di sampingnya. Sang suami yang mengetahui kode tersebut pun langsung melepas jam tangan, meletakkannya di atas nakas, dan ikut bergabung dengan Angel.

“Kamu beneran nggak mau ke dokter?” tanya Jerry untuk kesekian kalinya.

“Nggak usah, udah nggak terlalu pusing kok. Tinggal tidur sebentar, habis itu pasti sembuh,” jawab Angel.

Sang tuan kemudian mengangguk dan menariknya ke dalam pelukan. Telapak hangat Jerry menepuk-nepuk punggung Angel seperti saat ia menidurkan Ajen dan Jiji sewaktu bayi.

Jika dibandingkan suami dan kedua putranya, Angel termasuk jarang sekali terserang penyakit. Hanya batuk dan pilek yang sesekali menghampiri, tetapi itu tidak pernah mengganggu aktivitasnya. Maka dari itu, keadaan Angel yang seperti ini membuat Jerry dan anak-anaknya khawatir. Terakhir kali Angel mengeluh pusing, keesokan harinya ia harus dirawat di rumah sakit karena terkena malaria. Masalahnya, Angel masih takut dengan jarum suntik dan menolak untuk ke dokter.

Semoga kali ini tidak ada sesuatu yang lebih serius.


Matahari terus bergulir hingga melambung tepat di atas kepala manusia. Benar kata Angel, keadaannya berangsur membaik setelah tidur dan makan semangkuk bubur ayam.

Kini wanita itu sudah bergabung dengan istri Marcell dan anaknya, entah membicarakan tas atau dompet yang baru-baru ini dirilis oleh designer terkenal.

Jiji dan beberapa anak panti sibuk bermain bola di halaman samping. Gavin, Ojon, Jerry, dan Marcell berbincang santai di halaman belakang sembari menikmati kue hasil karya Jerry.

Atuy dan Hargi? Mereka harus membersikan seluruh lorong dan dapur panti akibat kejahilan mereka tadi pagi. Berapa pun usianya, jika mereka bertingkah layaknya anak kecil, maka Jerry akan menghukum layaknya anak kecil juga.

“Kayaknya kita beneran harus cariin istri buat mereka deh,” kata Gavin santai.

“Lo juga harus nikah, Vin!” respon Ojon.

“Lo juga kali, Jon,” ucap Marcell.

“Ah, gue mau ngurus panti aj-”

“Eh! Mau ke mana, Jen?”

Kalimat sebelumnya terputus saat Ajen lewat membawa nampan berisi sepiring kue dan dua gelas yang entah berisi cairan apa.

“Ke depan, Uncle. Mau ngobrol sama Uncle Adil,” jawab remaja itu.

Setelah keempat pria dewasa di sana mengangguk, Ajen pamit untuk melanjutkan langkahnya yang terhenti sejenak.

Ia sempat mendengar percakapan ayah dan sahabat-sahabatnya itu. Memang selalu begitu jawaban Ojon. Bukannya tidak ada wanita yang ingin bersama unclenya, tetapi ia yang menutup diri. Ah, bukan, menutup hati lebih tepatnya.

Ojon berkali-kali mencoba untuk menjalin hubungan dengan beberapa kenalannya. Namun, ia berakhir pada rasa tidak percaya diri karena masa lalu orang tuanya.

Berbeda dengan Jerry dan Atuy yang 'dibuang', Ojon justru menyerahkan diri ke panti asuhan. Ojon yang saat itu masih duduk di bangku SD datang dengan ransel penuh jajanan.

Ojon kecil sedang pergi untuk karya wisata saat ia menemukan sebuah bangunan berisi anak-anak. Ojon yang memang tidak terlalu suka bermain bersama teman-temannya pun memutuskan untuk bergabung dengan kerumunan bocah di halaman panti.

Awalnya, ia hanya ingin menginap di panti selama beberapa hari, kemudian menelepon orang tuanya untuk menjemput. Namun, ternyata panti asuhan jauh lebih hangat dari rumahnya sendiri.

Sebenarnya, Ojon bisa kembali ke keluarganya kapan pun ia mau. Tetapi, fakta bahwa orang tuanya bahkan tidak berusaha mencari ketika Ojon hilang membuat dirinya marah dan kecewa.

“Woi, woi, woi! Kelewatan kali, gue di sini!”

Ajen berhenti sebelum menengok ke belakang. Ia meringis kala melihat ekspresi heran unclenya. Pria yang sedang duduk itu terlihat tidak segalak biasanya. Kini ada sedikit gurat bahagia, mungkin?

image

“Ajen bawain brownies buatan Papa,” tutur remaja itu sembari menata piring dan dua cangkir teh hangat di meja kecil.

“Thanks,” tutur Mas Adil

“Sama-sama,” jawab Ajen.

Setengah jam kemudian, mereka hanya berdiam seraya menikmati angin tipis-tipis yang didominasi hawa panas. Teriknya sang surya menuntut pori-pori Ajen dan Mas Adil mengeluarkan bulir keringat. Namun, mereka mengabaikannya.

“Gimana kemarin? Bisa ujiannya?”

Suara Mas Adil memecah keheningan mereka.

“Ya, so so lah. Ada yang lancar, ada yang ngadet,” jawab Ajen.

“Terus? Menurut lo bakal keterima di mana?”

“Aduh, kalo itu Ajen juga nggak yakin, Uncle. Tiap tahun aja passing grade-nya beda, belum lagi saingannya semakin hebat. Yang penting Ajen udah berusaha, urusan keterima di mana biar Tuhan yang atur.”

Salah satu sudut bibir Mas Adil terangkat. “Jerry banget,” gumamnya.

“Kalo di luar kota berarti ngekos?” tanya pria itu lagi.

“Hmmm, kalo di Jogja paling nempatin rumah Eyang. Kalo di Bandung ya ngekos.”

“Kabarin gue kalo keterima, biar gue beli rumah di sana.”

Ajen membelalak seketika. “Rumah buat Ajen?!”

“Bukan lah! Buat gue.”

“Ngapain Uncle beli rumah di sana?”

“Kepo banget, tinggal bilang doan,” ucap Mas Adil.

“Iya, nanti Ajen kabarin.”

“Ya, semoga lo keterima pilihan pertama deh. Mau di mana pun lo kuliah nanti, pesen gue cuma satu.”

Mas Adil menengok ke arah Ajen sebelum melanjutkan perkataannya. “Selalu jujur, takut sama Tuhan, dan berlaku benar. Jadi orang baik tuh nggak cukup, soalnya orang baik belum tentu bener.”

Ajen terdiam, menatap kagum uncle di hadapannya. Mas Adil memang tidak seramah Marcell dan Gavin, tidak sebijak Jerry dan Ojon, juga tidak selucu Atuy dan Hargi. Tetapi, setelah Ajen mengenalnya, ia menemukan kenyamanan saat bercerita dengan beliau.

Entahlah, Ajen pun tidak tahu bagaimana cara mendeskripsikannya.

“Kenapa ngeliatin gue? Nggak percaya ya orang kayak gue bisa ngomong gitu?”

Remaja itu langsung menggeleng cepat, kemudian tersenyum manis. Jerry selalu mengajarkan dirinya untuk mendengar perkataan orang lain. Bukan karena siapa orangnya, tetapi apa yang mereka katakan.

“Ajen bakal selalu inget itu. Jujur, takut sama Tuhan, berlaku benar. Ajen bakal lakuin,” katanya.

Mas Adil mengangguk seraya memberi dua tepukan di bahu Ajen. Sebenarnya, ia tahu Ajen akan melakukan hal tersebut tanpa disuruh. Remaja di hadapannya benar-benar bertumbuh seperti ayahnya. Bahkan, Ajen bisa menjadi lebih baik dari Jerry.

Ajen mengulurkan cangkir tehnya pada Mas Adil, lalu dibalas oleh pria itu. Denting tubrukan cangkir mereka memancing senyum lebar keduanya.

Ketika hampir semua orang menghindari Mas Adil, hanya Ajen yang berani mendekati dan berbincang dengannya. Ia benar-benar bahagia kala menikmati waktu bersama uncle yang satu ini.


@guanhengai, 2022.

Pukul 19.45 kedua remaja tampan masih berkutat dengan kayu bakar dan minyak tanah di tengah halaman belakang rumah mereka. Tusuk sate berhias sosis dan potongan daging dibiarkan berjajar di samping alat grill. Bibi, Beler, dan Dave berlarian mengambil alat perang mereka masing-masing.

Di tengah sibuknya anggota keluarga lain, Jerry dan Angel justru menepi dan menikmati potongan kue dari piring masing-masing. Tadi pagi Angel dan Jerry bangun dengan tubuh yang terasa berat, mungkin akibat belanja terlalu lama. Sang tuan, beruntungnya, langsung sembuh setelah minum Panadol. Memang orang Indonesia. Namun, Angel masih merasakan pening meski hanya sekelibat.

Bangku kecil di bawah pohon rambutan menjadi tempat persembunyian mereka dari omelan anak-anaknya. Jika Jiji melihat kedua insan itu asik bersandar manja, amukannya mungkin akan menghancurkan rencana bakar-bakaran malam ini.

“Yah, habis.”

Jerry menoleh, kemudian menukar piring kosong di tangan istrinya dengan piring berisi potongan kue terakhirnya.

“Makasih, Mas.” Angel terkekeh saat menerimanya.

Tangan lelaki itu kemudian terjulur ke depan, menangkap setetes air sisa hujan tadi sore. Setelah menunggu sekitar tiga jam, akhirnya angin mampu mengusir awan hitam yang terlihat nyaman berlabuh di atas ibu kota. Hampir saja rencana garden party mereka gagal.

Teru teru bozu yang Jiji pasang melintang di depan kolam berenang ternyata berguna juga. Awalnya, Ajen dan Jerry menertawakan si bungsu karena mengikat kertas putih dan membuat bentuk seperti casper berkepala plontos. Namun, saat hujan berhenti tiba-tiba, lidahnya menjulur hebat pada abang dan ayahnya.

“Tuh, kan! Papa sama Abang nggak percaya sih! Mereka bisa ngusir hujan, tau!” cemoohnya.

“Kamu beneran nggak mau pake jaket?”

Pertanyaan sang istri membawa kesadaran Jerry kembali pada tempatnya. Ia menengok sedikit, lalu menggeleng pelan. “Pake aja, biar kamu nggak makin demam.”

Meski terkesan berlebihan, senyum manis tetap menghiasi wajah cantik Angel. Jerry tidak berubah sejak dulu. Lelaki itu selalu memberi apa pun yang membuat Angel nyaman dan bahagia, meski harus mengorbankan dirinya sendiri.

Sang puan memeluk manja lengan kekar suaminya. Bersandar sepenuhnya pada bahu Jerry yang hanya dilapisi kaos tipis. Akan tetapi, kini Jerry sedang dalam mode jahil. Sisa percikan air yang masih bersarang di tangannya sengaja ia cipratkan ke wajah Angel.

Kepala yang baru saja bersandar pun bangkit dan menatap tajam suaminya, dengan tawa kencang menyebalkan. Tangan Angel meletakkan piring kecil berisi potongan kue yang belum sempat ia lahap. Sungguh, Angel benci mendengar tawa jahil suaminya. Jerry persis seperti Jiji yang bangga kala berhasil mengerjai abangnya. Sampai suaranya yang sedikit nge-bass pun sama persis.

image

Tak ingin kalah, si cantik yang wajahnya dipenuhi bintik air itu pun mengusap pinggiran bangku yang masih basah. Tanpa ragu, ia langsung mencipratkan sebanyak-banyaknya air yang dapat ia tampung ke arah Jerry. Sialnya, sang tampan berkaos hitam itu sudah tahu rencana balas dendam istrinya. Dengan kecepatan cahaya, ia bergeser dan menghindari cipratan itu.

“IH! CURANG!” pekik Angel kesal.

Jerry mengangkat bahu dan menjulurkan lidah. Lagi-lagi Angel meraup sisa-sisa tetesan air hujan di sekitarnya. Suaminya mengangkat tangan dan membuat tameng. Sang puan lantas berdiri dan menarik tangan Jerry, mengibas tangannya yang penuh dengan bulir air. Jerry menunduk. Air mengenai kue Angel yang malang.

“Mas! Kena kuenya!”

“Loh? Kok aku yang dimarahin? Kan kamu sendiri yang cipratin.” Jerry tertawa.

Angel pun ikut tertawa geli, mendorong tubuh suaminya untuk ikut duduk di bangku itu lagi. Rasa pening perlahan memudar. Sejenak, tubuh mereka kembali menempel satu sama lain. Debar jantung masih sangat cepat. Ternyata, usia seperti ini masih bisa mereka gunakan untuk bermain bagai anak kecil.

“Mereka tumbuh cepet banget ya,” ujar Jerry sembari menatap lurus ke arah Ajen dan Jiji yang bersorak karena berhasil menyalakan api unggun.

“Iya, sekarang udah nggak mau digandeng lagi,” jawab sang istri.

“Kamu juga.”

Kening Angel mengernyit. “Hah? Aku?”

“Iya, kamu juga makin dewasa. You're not my girl anymore, you're my amazing, beautiful, incredible woman.” Jerry tersenyum manis.

Waktu yang cepat berlalu nyatanya sudah mengubah Jerry dan Angel menjadi pria dan wanita hebat bagi keluarga mereka. Jerry bukan lagi lelaki yang suka becanda kotor dengan teman-temannya, ehm, masih sesekali. Angel bukan lagi gadis yang hanya bisa menangis saat melakukan kesalahan.

Kini mereka terlihat seperti manusia dewasa yang bijak dan mapan.

Jika teman-teman karyawan Neo corp mengadakan reuni, mungkin keduanya akan terlihat seperti dua sosok yang jauh berbeda dari terakhir kali mereka lihat. Namun, bagi Jerry dan Angel, perubahan itu merupakan proses yang tak instan dan dihiasi jatuh-bangun.

Untuk menjadi Jerry-Angel yang kini duduk manis sembari bergandeng mesra, butuh banyak kejadian yang menguras fisik dan mental. Mereka berkali-kali jatuh sebelum salah satu menariknya untuk kembali bangkit.

“Ya udah, ke sana yok?” ajak Jerry sembari menyengir jahat.

Angel ikut menyengir kala melihat tangan suaminya mengusap air di bangku. Tanpa Jerry ketahui, Angel juga mencolek krim kue yang sudah tak layak konsumsi. Bersiap untuk perang.

Ternyata, Jerry tidak mencipratkan air ke wajahnya. Ia justru mengangkut piring Angel dan mengulurkan tangan untuk membantu istrinya berdiri. Ah, tidak asik. Baiklah, jika Jerry tidak memulai perang, Angel dapat melakukannya.

Tyulll

Goresan tebal cream berwarna putih menghiasi pipi Jerry, tepat di lesung pipitnya. Angel langsung berlari kencang sesaat setelah suaminya sadar akan hal tersebut.

“ANGEEEEELLL!!!! JANGAN LARI!!! KAMU MASIH SAKIT!!!” Jerry berteriak dan mencoba menggapai istrinya.

Yang dipanggil sudah melangkah besar menuju tempat Bi Asih dan Bi Marni berdiri. Ia bersembunyi di balik tubuh kedua wanita itu dan menjulurkan lidah pada Jerry. Sang suami yang merasa ditantang pun segera meremas sisa krim kue yang ada demi misi balas dendamnya. Melihat hal tersebut, Angel langsung terbirit-birit menuju kursi Ajen dan Jiji.

Jerry mendesis sebal, kemudian lanjut mengejar istrinya. Beler dan Dave yang sedang mengangkut alat grill pun hanya menggelengkan kepala dan menatap heran majikannya. Sudah tidak ada lagi rasa takut yang tersangkut di dada mereka. Jerry dan Angel benar-benar akan berubah menjadi sosok hangat dan kekanakan jika di dalam rumah.

“ANGEEELLL!! SINI!!” Jerry masih berteriak di tengah larinya.

“KEJAR LAH!! PAYAH!!” ejek Angel yang justru menambah laju Jerry.

Istrinya berteriak heboh. Ujung kaos Ajen sempat ia tarik, namun putra sulungnya tidak berniat ikut lari-larian dengan sang ibu. Begitu juga dengan Jiji, kening dan ujung matanya sudah berkerut melihat kelakuan kedua orang tuanya.

Hingga fokus Angel mulai buyar, sandal jepitnya tertekuk dan membuat dirinya terjatuh di atas rumput. Jerry yang masih berlari pun tertawa tanpa rasa kasihan sama sekali.

Beberapa detik kemudian, tubuh kekarnya mengungkung sang istri dalam pelukan. Krim kue yang memenuhi telapaknya langsung diusapkan ke wajah Angel. Ingin bangkit pun ia tak mampu. Akhirnya, Angel pasrah dipeluk erat oleh suaminya dengan muka cemong.

“Ck, nanti jerawatan, Mas!” protes sang istri.

“Nggak apa-apa, tetep cantik,” gombal si suami.

Mereka berbaring di atas rerumputan belakang rumah. Deru napas kasar memenuhi telinga masing-masing. Hidungnya rakus berebut oksigen untuk memenuhi paru-paru. Dada Angel dan Jerry naik-turun tak keruan.

“Hhhhh cap-ek,” ujar Jerry sedikit sesak.

“Uhuk! P-payah, gitu doang c-capek!” respon Angel tak kalah sesak.

Suaminya memberi sentilan di dahi. “Halah! Kamu juga ngos-ngosan. Nggak usah sok kuat deh! Lagi sakit juga.”

Mereka terdiam sejenak. Hingga sesuatu terasa menusuk kulit Angel, barulah ia sadar bahwa kini keduanya tengah berbaring di atas rumput. Lantas sang puan bangkit, tak ingin rambut panjangnya berselimut kotoran. Sebelum berhasil ia duduk, tangan Jerry sudah menariknya kembali. Jadilah kepala Angel bertumpu pada dada sang suami. Kaos hitam Jerry pun harus dikorbankan karena terkena krim kue di muka Angel.

“Di sini dulu, aku capek,” ucap Jerry masih sedikit engap.

“Mau selesai aja?” tanya sang istri yang juga masih sedikit terbata.

“Apanya?”

“Kita.”

Jerry langsung menahan napas. Ia sedikit menunduk demi melirik si cantik yang berbaring di atas dadanya.

Pletak

Lagi-lagi sentilan berhasil mendarat di kening Angel dan membuat sang empunya mengaduh kesakitan.

“Sakit!” protesnya.

“Kita? Apa yang harus kita selesein? Hah?” tanya sang suami.

“MAKSUDNYA INI! KEJAR-KEJARANNYA!” pekik Angel kesal.

“Ngomongnya yang bener dong, kan jadi salah paham,” bela Jerry.

“Ah! Kamu emang hobinya salah paham, Mas!”

Jerry tertawa mendengar pernyataan Angel. Lengan kekarnya semakin erat memeluk wanitanya. Mata si tampan menggaris berbentuk sabit seraya pipinya tertarik. Ini menyenangkan. Ekspresi kesal bercampur lelah istrinya merupakan pemandangan yang tidak dapat ia lewatkan.

Jika boleh meminta pada Tuhan, Jerry ingin waktu selalu berjalan seperti ini. Bahagia.

image


(*) Teru teru bōzu (wikipedia) adalah boneka tradisional Jepang yang terbuat dari kertas atau kain putih yang digantung di tepi jendela dengan menggunakan benang. Jimat ini diyakini memiliki kekuatan ajaib yang mampu mendatangkan cuaca cerah dan menghentikan atau mencegah hujan.


@guanhengai, 2022.

Langit tak secerah biasanya. Kumpulan awan gelap menutup matahari yang seharusnya bersinar terang. Angin kencang juga beberapa kali menerpa wajah orang tua murid yang antre memasuki aula sekolah.

Hari ini acara pelepasan siswa kelas 12 digelar. Setelan kebaya serta jas rapi berdasi membalut hampir seluruh manusia yang masuk ke dalam aula.

Jerry dan sang istri sudah menempati kursinya sejak sepuluh menit lalu, namun tak ada pembicaraan di antara mereka.

Jika putra bungsunya tidak membocorkan apa yang terjadi dengan Jerry, mungkin sekarang Angel sedang overthinking dan bergerak gelisah. Faktanya, gadis itu justru bersandar elegan seraya memperhatikan Ajen dari jauh. Lirikan dari ekor mata Jerry pun berkali-kali ia abaikan.

Angel tidak terlalu buruk dalam urusan acting. Ia memang tidak pandai dalam menebak ekspresi, tetapi gadis itu tahu suaminya sedang menahan kesal. Entah apa yang salah dengan otak Jerry, seharusnya ia tidak perlu takut karena hanya dirinya yang bersarang di hati Angel.

Waktu terus bergulir hingga siang menjemput. Berkas sinar dari ventilasi di beberapa sudut aula sudah terpancar yang menandakan mentari kembali menampakkan wujudnya. Meski begitu, sepertinya mendung masih menjajah rupa tampan Jerry.

Ia hanya sesekali tersenyum dan berbicara saat pria di sampingnya menyapa. Begitu pula dengan Angel yang hanya merespon saat wanita bergaun merah di sampingnya memamerkan prestasi sang putri.

Remaja yang kemudian Angel ketahui namanya sebagai Gabby itu mendapat skor tertinggi saat ujian kelulusan.

“Itu yang di depan anak saya. Dia memang setiap hari les pelajaran, les renang, les balet, dan jarang main. Saya nggak kaget sih kalau dia dapat nilai tinggi.” Angel hanya mendengarkan pernyataan wanita itu mengenai putrinya yang sedang berdiri di depan.

Nada bicaranya saja sudah menunjukkan jika manusia itu sedang menyombongkan diri. Andai saja ia tidak perlu repot-repot memikirkan etika, Angel pasti sudah menutup mulutnya dengan lakban.

“Hehehe, iya.” Hanya itu respon sang puan.

“Anak Ibu yang mana?” tanya wanita itu lagi. Sepertinya, beliau belum puas memamerkan putrinya.

Angel tidak langsung menjawab karena kepala sekolah kembali berbicara di depan dan memanggil siswa terakhir dalam jajaran murid berprestasi.

” ... Mungkin kalian sudah tahu siapa yang akan saya panggil ke depan. Tidak ada yang kaget jika dia menjadi juara umum karena prestasinya di bidang akademik dan non-akademik tidak perlu diragukan lagi. Ya sudah, sepertinya gadis-gadis di ujung sana sudah tidak sabar melihat teman kita. Radjennar Noah Juanda Suharjo, silakan naik ke atas panggung, Nak.”

Tepuk tangan paling meriah menemani langkah remaja itu menuju bagian depan aula. Rupa tampan dan tubuh kekarnya dibalut sempurna oleh jas hitam. Rambutnya tertata rapi, beberapa helai dibiarkan membentuk koma di ujung keningnya.

image

“Anak gue,” gumam Jerry bangga seraya memamerkan kedua lesung pipitnya.

Tidak berbeda jauh dari sang suami, Angel pun tersenyum bangga.

Setelah Ajen menerima pialanya, remaja itu ikut berdiri di samping Gabby dan siswa berprestasi lainnya. Tepuk tangan yang tadinya sungguh berisik pun perlahan mereda.

Kala tukang foto di depan sibuk mengambil gambar mereka, Angel mendekatkan tubuhnya pada wanita di sampingnya. “Itu anak saya,” ucapnya santai.

“O-oh? Yang terakhir dipanggil?” tanyanya yang hanya direspon deham singkat oleh Angel. Gadis itu tidak perlu melihat ekspresi si wanita sombong untuk menangkap rasa malunya.

Memang manusia seharusnya berhati-hati dengan mereka yang lebih banyak diam. Bukan karena tak mampu. Terkadang, orang yang memiliki segalanya lebih suka menjadi pengamat dari pada memamerkan kebodohan.


“Ma, Pa, Ajen mau foto-foto dulu, ya?” izin putranya setelah meletakkan piala dan bucket bunga di dalam mobil. Remaja itu memang meminta agar sang ayah mengantarnya karena Beler sudah pulang terlebih dahulu.

“Jangan lama-lama, Jen. Papa harus balik ke kantor,” tutur Jerry.

Bohong. Angel tahu suaminya bohong. Ia hanya ingin menghindari istrinya dan tak mau berlama-lama di mobil dengan Angel.

Alih-alih marah dan tersinggung, gadis itu justru terkekeh pelan. Sungguh, ekspresi Jerry sangat menggemaskan saat lelaki itu marah. Jika tidak sedang menjalankan misi, Angel pasti sudah tertawa sejak tadi.

Brak

“Wow? Santai kali, Mas,” ucap sang gadis kala Jerry sedikit membanting pintu mobil.

Yang diajak bicara hanya menatap Angel sejenak, lalu bersandar dan menutup matanya di balik kemudi. Hal tersebut mengundang senyum jahil terbit di wajah istrinya.

“HAHAHA!”

Tawa Angel yang tiba-tiba lantas membuat Jerry terkejut dan membuka matanya. Namun, pemandangan di sampingnya justru membuat rasa kesal Jerry menjadi-jadi. Angel tertawa dengan ponsel di tangannya.

“Lucu banget,” ucap Angel dengan nada gemas.

“Ck, apaan sih?”

image

Gadis itu terdiam dan memutar pelan kepalanya. Sungguh nada bicara Jerry sangat jauh dari kesan ramah. Pun ekor matanya seakan siap menghunus jantung siapa pun yang menatapnya.

“Apaan sih, Mas?” balas Angel tak kalah sinis.

“Kamu nggak usah ketawa-ketawa sendiri, serem!”

Gadis itu menatap bingung suaminya.

Satu detik

Dua detik

Tiga Detik

Cukup. Angel sudah tidak tahan melihat wajah kesal Jerry. Tawanya pecah seketika. Rintik air hujan yang tiba-tiba membasahi kaca depan mobil mereka seakan ingin menyaingi gelak tawa sang gadis.

“Nggak ada yang lucu!” gerutu suaminya.

Telunjuk Angel mencolek pipi lembut lelaki itu. “Kenapa sih suamiku dari kemarin marah-marah terus? Lagi mens, Mas?” godanya yang tak mendapat respon dari Jerry.

Ia kemudian menggeser sedikit tubuhnya agar menghadap Jerry. Sebelah kakinya diangkat sebagai penopang sikunya. Beruntung Angel memilih setelah blazer alih-alih memakai dres ketat seperti wanita pada umumnya.

“Mas, kenapa sih? Hm? Kenapa judes banget dari kemarin?”

“Emang kenapa? Nggak ada apa-apa,” tangkas Jerry.

“Ah masa sih? Coba sini liat aku dulu.” Jemari gadis itu menggeser dagu sang suami.

Jerry yang dipaksa menatap netra lembut Angel pun seketika merona. Satu kelemahan lelaki itu adalah selalu gagal menyembunyikan rasa malunya. Wajah dan telinga Jerry tidak pernah bisa berbohong.

Istrinya lagi-lagi tertawa gemas.

“Kamu mau kenalan sama temen SMAku, Mas?”

Tentu respon Jerry adalah “Hah? Temen SMA?”

“Iya. Temen SMA yang ngirim cupcake ke aku, Hargi, sama Marcell.”

Telinga lelaki itu kian memerah. Ternyata, istrinya tahu mengenai dirinya yang cemburu atas pemberian tersebut.

“Dia itu sahabatnya Alle, Mas. Orangnya sebelas dua belas sama Atuy-Hargi, nggak mungkin lah aku suka sama dia. Lagian kemarin itu kue dari istrinya, bukan dari dia,” jelas gadis itu disertai kekehan.

“Gantengan mana sama aku?”

Sembur pelan keluar dari celah bibir Angel. Sungguh pertanyaan yang tidak penting untuk dijawab. Tetapi, ia tetap memberi respon untuk memuaskan rasa penasaran suaminya.

“Kamu yang paling ganteng, Mas.”

Senyum malu kemudian tercetak di wajah Jerry. Telinganya yang semakin padam membuat Angel tertawa kencang.

“Kamu kalo lagi cemburu lucu-lucu nyebelin, Mas.”

“Kamu nggak cerita ke aku, gimana aku nggak cemburu?”

“Ya aku mau cerita tapi kamu judes banget dari kemarin,” balas gadis itu tak mau kalah.

“Jadi? Baikan nggak, nih?” tanya Angel lagi.

“Baikan,” jawab Jerry.

Gadis itu mengulurkan jari kelingkingnya pada sang suami. Namun, lelaki itu tidak menyambar dan hanya menatap datar Angel.

Cup

“Baikannya orang dewasa tuh kaya gini, kalo pake kelingking mah baikannya Adek sama Abang,” tutur Jerry setelah mengecup pipi Angel.

“Idih, udah bisa gombal. Padahal dari kemarin mukanya datar banget kayak triplek,” goda Angel.

Lelaki itu langsung menarik istrinya ke dalam pelukan. Tidak terlalu rapat karena mereka terhalang kotak di antara kursi penumpang dan pengemudi.

“Maaf ya udah mikir aneh-aneh,” kata Jerry sembari membelai lembut punggung Angel.

“Nggak apa-apa, asik juga dicemburuin.”

Sang tuan lantas menepuk bahu Angel. “Enak? Kamu pikir nggak capek nahan cemburu?” gerutunya yang direspon tawa sang istri.

“Kok kamu tau aku kesel sama pengirim cupcake itu?” tanya Jerry lagi masih dengan memeluk Angel.

“Adek yang bilang,” jawab gadisnya.

“Ck! Adek nih emang bikin malu aja.”

Tok tok tok

Ajen muncul di samping jendela Angel berpayung jam hitam miliknya. Gadis itu lantas menepuk kening dan meminta Jerry untuk membuka pintu mobil bagi si sulung.

“Asik banget berduaan di mobil, Ajen kehujanan tau!” cibirnya setelah duduk di bangku tengah.

“Sorry, Bang. Nih, pake jas Papa dulu,” jawab Jerry seraya membuka jasnya.

Angel yang melihat pakaian Ajen basah karena hujan pun langsung merasa bersalah. Namun, putranya justru menatap dirinya dengan tatapan menggoda. Setelah Jerry berbalik dan kembali fokus dengan kemudi, Ajen mengedipkan matanya.

Bibirnya bergerak tanpa suara, “Udah baikan?”

Angel tersenyum seraya ibu jari dan telunjuknya bertemu di titik 360º, membentuk isyarat oke.

“Makasih,” gumamnya yang langsung diangguki Ajen.

image


@guanhengai, 2022.

Ketika Angel sampai di lobby, Jiji sudah hilang karena menyusul papa dan abangnya. Meski terbilang ramai, ia masih dapat memindai seluruh area lobby demi menemukan asisten suaminya.

“Bu Angel, mari saya antar.” Akhirnya yang ditunggu muncul juga.

Dave menunduk sebelum melewati gadis itu dan memimpin jalannya.

Pendengaran Angel dipenuhi ketuk pantofel pria berdasi, obrolan wanita bergaun minimalis, serta denting gelas kaca yang dibara oleh para waiters. Sang gadis tetap mengikuti asisten suaminya meski tatapnya berkeliaran ke setiap sudut auditorium.

Ia mencari keberadaan kakak dan teman-temannya.

Sekitar seratus langkah setelah pertama kali ia memijak kaki di tempat tersebut, akhirnya Angel berhenti. Dave yang tadinya berjalan tegak pun mulai menunduk untuk merapikan sofa dengan nama Angel di atasnya. Lelaki itu kemudian mempersilakan istri atasannya untuk duduk dan menunggu Jerry.

Seharusnya ramai isi auditorium mempengaruhi Angel, nyatanya ia tetap sama. Manusia cantik berusia empat puluh tiga tahun itu asik merayakan kesendiriannya di tempat yang dipenuhi obrolan kolega sang suami.

Memperhatikan sekitar dan menganalisis lingkungan adalah satu-satunya hal yang Angel kerjakan saat ini. Segelas minuman beralkohol di atas meja pun tak tersentuh sejak tadi. Bukan karena Angel tidak memiliki kenalan, namun ia ingin recharge karena keramaian bukanlah comfort zone-nya.

Salah satu kakinya bergerak resah hingga tepukan pelan di bahu menarik kesadaran gadis bergaun hitam itu. “Mama cantik!” Ternyata suara anak bungsunya.

Angel mengulum senyum lega, akhirnya ada seseorang yang menhampiri dirinya. “Hey, Sayang! Kok Adek sendiri? Papa sama Abang ke mana?” tanyanya setelah remaja itu mengecup pipi kirinya.

Jiji menarik sedikit celana bahannya sebelum ikut duduk di samping Angel. Setelan jas berwarna biru tua mengemas tubuh jenjangnya hingga membuat remaja itu terlihat tak seperti siswa yang baru saja lulus SMP.

image

“Papa lagi ngobrol sama Uncle Aryo,” jawab Jiji. Remaja itu kemudian memajukan wajahnya agar mendekat pada telinga sang ibu. “Abang lagi deketin cewek,” bisik Jiji disertai kekeh pelan.

“Hah? Cewek siapa?”

“Nggak tau, tadi Abang ngobrol sama cewek di belakang.”

Angel tentu terkejut, namun tidak mempercayai Jiji sepenuhnya karena si bungsu sama seperti Jerry, suka melebih-lebihkan. Ia juga hapal watak Ajen yang tidak mudah dekat dengan orang asing, terutama lawan jenis.

Sekitar lima belas menit Jiji dan Angel berbincang ngawur. Mulai dari mengomentari dekorasi, membicarakan pria tua berkepala botak, mengagumi wanita independen berblazer cream, dan menggoda cicak yang numpang lewat di samping sepatu Jiji.

“Asik banget ngobrolnya.”

Suara yang tak asing menyapa pendengaran mereka. Keduanya berbalik dan menemukan Jerry diikuti oleh Ajen serta asistennya, Dave. Lelaki itu tersenyum sebelum menghampiri istri dan putra bungsunya.

“Maaf lama, Sayang,” tutur Jerry setelah mengecup kening Angel.

“Kamu dari mana?” respon sang istri.

“Tadi briefing sama Mas Aryo sama Ajen.”

“Loh? Kata Adek si Abang ngobrol sama cewek?”

Jerry sempat melirik Jiji yang pura-pura tidak mendengar. “Adek sukanya nyebar hoax deh. Itu tadi sekretaris magang di kantor, Sayang. Ya ngobrol sih, tapi ngobrolin kerjaan.”

Sudah Angel duga.

“Oh, gitu. Loh? Abang ke mana, Mas?” tanya gadis itu saat tak menemukan Ajen di balik punggung Jerry.

Cup

“Di sini, Mama,” jawab Ajen dari samping wajahnya.

image

“Abang! Main cium-cium aja!” tegur Jerry seraya menatap tajam putra sulungnya.

“Dih? Kenapa? Sama mama sendiri juga,” balas remaja itu.

Angel pun menarik tubuh Ajen agar duduk diam di sampingnya demi menghindari perdebatan ayah dan anak itu. Sungguh tidak lucu jika Jerry dan Ajen berdebat di depan banyak orang.


Sama seperti acara peresmian pada umumnya, beberapa menit pertama dibuka dengan doa dan pengantar dari sang pembawa acara. Kemudian, agenda dilanjutkan oleh sambutan dari beberapa manusia dengan posisi penting di perusahaan.

Mas Aryo sudah maju sebagai pemegang kekuasaan tertinggi sebelum hari ini. Pria bermata tajam itu lebih banyak berbicara mengenai perusahaan dari pada hal-hal lain. Semua orang yang duduk di auditorium ini memang tak perlu dijelaskan lebih banyak tentang Mas Aryo karena namanya sudah terlalu terkenal di kalangan pebisnis.

image

Setelah beberapa pria berdasi maju bergantian, sampailah di mana nama lengkap Jerry dipanggil oleh si pembawa acara. Berbeda dengan orang-orang sebelumnya, ia tidak memiliki gelar di belakang namanya.

Lelaki itu meremas bahu sang istri sebelum beranjak menaiki podium. Angel sempat tersenyum membalas genggamannya untuk menyalurkan rasa percaya diri pada suaminya meski dirinya tak kalah deg-degan.

“Tes, tes.”

Tepuk ricuh langsung menanggapi suara Jerry yang mulai menggema memenuhi setiap sudut auditorium.

Setelah apresiasinya mulai reda, bibir ranum lelaki berlesung pipit itu mulai mendekati microphone. Kedua netra Jerry sempat mengabsen seluruh bangku yang terisi oleh kolega dan para tamu undangan.

Akan tetapi, wajah Angel dan kedua putra mereka adalah tujuan terakhir tatap sang tuan. Ia mulai berpidato setelah senyum manis menghiasi figur rupawannya.

Tepuk tangan yang sudah tak terdengar berganti riuh kagum karena lesung pipit Jerry tergambar jelas di layar lebar. Ini adalah momen langka karena tidak banyak orang berkesempatan melihat senyum lelaki itu. Jerry terkenal sebagai pria beku dan galak.

“Selamat siang,” sapa Jerry pada setiap manusia yang hadir di tempat tersebut.

Seharusnya jantung lelaki itu yang berdebar kencang, namun ternyata Angel juga merasakannya. Padahal, ia hanya duduk manis dan menatap suaminya yang sedang berbicara di depan sana.

Tak jauh berbeda dengan apa yang Mas Aryo sampaikan, Jerry pun membahas sedikit mengenai perusahaan mereka. Ia juga memperkenalkan diri sebagai wali Ajen, pemilik resmi WAY Indonesia tercatat mulai hari ini.

“Berdiri di tempat ini adalah hal yang tidak pernah saya bayangkan sebelumnya. Saya tidak akan bisa sampai di titik tanpa sosok yang selalu menggenggam tangan saya. Dia ada di sini, duduk manis dan memperhatikan saya berbicara.”

Senyumnya kemudian mengarah pada Angel. “Mohon maaf untuk Bapak dan Ibu yang duduk di beberapa baris terdepan, saya tahu kalian sudah bosan mendengar cerita saya tentang sosok tersebut.”

Tawa renyah kemudian menggema memenuhi auditorium. Jerry memang sering memamerkan betapa hebatnya Angel setiap ia lunch atau dinner bersama koleganya.

“Angel, satu-satunya wanita di dalam hidup saya,” ucap Jerry setelah menunjuk istrinya yang terlihat kaget.

Tepuk tangan lagi-lagi menyambut pernyataan lelaki itu. Seluruh mata kini terarah pada wanita cantik dengan surai hitam legam yang duduk di barisan paling depan. Angel pun sempat beranjak dan membungkuk untuk menghargai apresiasi mereka.

“Karena pembawa acara dan teman-teman di belakang sana membebaskan saya dari durasi berpidato, izinkan saya cerita sedikit tentang istri saya sekaligus wanita paling cantik.”

“Kami bertemu saat saya belum menjadi apa-apa. Saat itu, saya masih bekerja menjadi cleaning service di salah satu perusahaan.”

Respon kaget hampir ditunjukkan oleh seluruh tamu undangan. Mereka mulai berbisik satu sama lain entah membicarakan apa.

“Seperti yang Saudara ketahui, tidak ada gelar di belakang nama saya karena saya memang tidak pernah menginjakkan kaki di bangku kuliah. Dengan latar belakang saya yang hanya lulusan SMA, akhirnya saya hanya dapat bekerja sebagai cleaning service, supir, dan tukang ojek.”

“Saya tidak tahu bagaimana wanita di luar sana, tetapi saya dapat berkata bahwa istri saya adalah wanita terhebat. Saat orang-orang berlomba untuk mendapatkan pasangan dengan harta berlimpah, ia justru menerima saya yang tidak berharta sama sekali.”

Lelaki itu berhenti sejenak, lalu menatap kakak iparnya yang sedang tersenyum penuh makna. Jerry dapat melihat kilat bangga dari mata Mas Aryo.

“Angel tumbuh di keluarga dan lingkungan yang berkecukupan. Cukup dalam hal materi maupun kasih sayang. Saat kami bertemu pun, dia jauh lebih mapan dari pada saya. Penampilannya yang rapi sungguh berbeda jauh dengan pria berkaos polos dan tas selempang. Jujur, saya sedikit malu saat bertemu dia untuk pertama kalinya.”

“Hebatnya, Angel rela melepas itu semua demi tinggal bersama saya. Ah, mungkin karena saya tampan. Ya kan, Sayang?” candanya yang langsung mengundang tawa seisi auditorium.

Sang istri yang kini ditatap Jerry pun tersipu meski sudah sekuat hati menyembunyikan ekspresinya.

“Hahaha bukan, bukan. Saya tahu dia sayang sama saya. Angel bukan orang yang mudah menunjukkan perasaannya. Dari pada harus bilang 'I love you', dia lebih milih bikinin saya teh hangat dan pisang goreng setiap sore. Dari pada harus bilang 'kangen', dia lebih milih langsung datang ke kantor saya dan bawain makan siang. Angel memang wanita luar biasa.”

“Ah, saya ingat beberapa belas tahun yang lalu, waktu anak pertama kami baru lahir ke dunia. Djennar, kamu udah sering denger ini dari Mama sama Papa.”

Ajen yang merasa terpanggil pun mengacungkan jempol ke arah Jerry. Entah kisah mana yang akan diceritakan oleh sang ayah, semoga itu bukan hal memalukan.

“Saya sempat menganggur lima sampai enam bulan setelah Djennar lahir. Saat itu, saya sedang dalam proses belajar untuk bergabung menjadi karyawan Pak Aryo. Dan dalam jangka waktu enam bulan itu, kami memanfaatkan sisa tabungan untuk kebutuhan sehari-hari. Ternyata, kebutuhan kami dan Djennar melonjak pesat.”

“Kalian tahu apa yang Angel lakukan? Dia menyarankan agar saya membuka catering kecil-kecilan. Saya sempat berpikir apakah istri saya tidak malu kalau orang-orang tahu suaminya pengangguran? Apakah dia tidak malu untuk menawarkan dagangan ke orang-orang? Apakah dia tidak malu jika harus menemani saya setiap hari untuk mengantar pesanan?”

“Tetapi, Angel memang wanita luar biasa yang tidak pernah malu akan kondisi suaminya. Dia justru terus mendorong dan meyakinkan saya untuk membuka usaha kecil-kecilan itu.”

“Angel benar-benar wujud nyata dari kasih sayang Tuhan pada saya.”

Air mata gadis yang dari tadi disebut oleh Jerry pun mengalir. Memori mengenai masa-masa perjuangan dengan sang suami di rumah kontrakan mereka tiba-tiba terkuak begitu saja.

Jerry yang setiap hari bangun pagi untuk mempersiapkan bahan, Angel berbelanja ketika ada bahan yang habis, bergantian menjemur Ajen karena tidak mampu membayar baby sitter, bangun tengah malam saat anaknya lapar, rela berpuasa demi membeli popok Ajen, dan masih banyak hal yang membuatnya terisak.

Detik selanjutnya, lengan kekar Ajen memeluk sang mama dan telapak hangat Jiji mengusap pundaknya.

“Orang-orang selalu berkata bahwa Angel beruntung karena mendapat suami seperti saya. Padahal, saya yang lebih beruntung karena memiliki istri seperti dia. Mereka tidak melihat bagaimaan Angel selalu menjaga saya dan anak-anak di rumah, menjadi penengah saat kami berdebat, merelakan potongan ayam favoritnya demi anak-anak, mengorbankan waktu istirahatnya demi menyiapkan kebutuhan kami. Dia adalah istri dan ibu yang sungguh luar biasa.”

“Maka dari itu, izinkan saya mengundang istri saya untuk berdiri di sini. Agar Saudara sekalian melihat bagaimana wujud wanita terhebat dalam hidup saya. Sayang, boleh naik sebentar ke sini?”

image

Ternyata, bukan hanya Angel yang berlinang air mata. Mas Aryo yang biasanya datar pun sudah meneteskan cairan dari netra elangnya. Ojon, Atuy, Hargi, Marcell, dan Gavin yang hadir di sana juga menangis setelah mendengar perkataan Jerry. Mereka adalah saksi perjuangan Angel dan Jerry.

Angel mengambil selembar tissue untuk mengusap air matanya sebelum naik menyusul sang suami. Uluran tangan Dave langsung ia sambar ketika dirinya sudah siap menghampiri Jerry. Tepuk tangan yang lebih meriah kini menyambut gadis itu.

Sang tuan meninggalkan tempatnya untuk menyambut gadisnya. Pinggang Angel langsung ia raih seketika sosok itu menaiki panggung. Ucapan terima kasih pada Dave pun sempat terdengar sebelum keduanya berjalan menuju tempat Jerry berdiri tadi.

Kini wajah cantik Angel menghiasi layar lebar di belakang mereka. Ucap kagum dan tepuk tangan lagi-lagi menyelimuti auditorium. Banyak orang yang berbisik dan memuja keelokan paras istri pemilik perusahaan tersebut. Namun, lebih banyak yang mengagumi keduanya sebagai pasangan sempurna.

“Aku boleh ngomong?” bisik Angel pada suaminya.

Jerry pun langsung menarik microphone dan berbicara, “Ternyata istri saya juga mau menyampaikan sesuatu. Harap siapkan telinga Saudara karena sebentar lagi Saudara akan mendengar suara bidadari,” candanya yang langsung mendapat geplakan pelan dari sang istri.

“Selamat pagi,” sapa Angel setelah ia berdiri di hadapan microphone.

Seluruh mata di depannya mengarah pada gadis cantik itu dan membalas sapanya barusan.

“Pertama-tama izinkan saya memperkenalkan diri. Saya Angel, Rain Angelina Suharjo. Aryo Suharjo adalah kakak sulung saya dan pria tampan di samping saya adalah suami saya.”

“Seperti yang tadi sudah diceritakan suami saya, kami memang bertemu saat dia belum mendapat jabatan seperti saat ini. Satu yang saya tidak setuju dengan pernyataannya adalah saat dia berkata belum menjadi apa-apa kala bertemu dengan saya.”

Gadis itu sempat menatap Jerry sebelum melanjutkan perkataannya.

“Menurut saya, dia sudah menjadi lelaki luar biasa bahkan sebelum bertemu dengan saya. Manusia hebat bukan hanya dinilai dari pekerjaan atau jabatannya, kan?”

Riuh terdengar setelah Angel menanyakan hal tersebut. Kini tatap kagum kian terpacar dari setiap pasang mata manusia yang duduk di bangku auditorium.

“Mungkin saat itu karir Pak Jerry baru saja di mulai, tetapi kepribadiannya luar biasa melebihi manusia normal. Jika Saudara mengenal Pak Jerry dengan manusia yang kaku dan galak, saya justru mengenal sebaliknya.”

Alih-alih menggunakan 'Mas', Angel lebih memilih menggunakan 'Pak'. Gadis itu meniru cara Ibu saat ikut menyambut para tamu undangan kala peresmian kantor baru Bapak beberapa puluh tahun silam.

“Pak Jerry adalah orang yang hangat, baik, perhatian, bertanggung jawab, tidak mudah menyerah, dan melakukan segala hal demi keluarganya. Kalau tadi Pak Jerry sudah menceritakan pengalaman kami setelah kelahiran anak pertama, izinkan saya menceritakan masa-masa setelah anak bungsu kami hadir ke dunia.”

“Saat itu, seharusnya kami menyambut dua manusia kecil. Tapi, ternyata Tuhan jauh lebih sayang dengan anak perempuan saya. Mungkin sekarang dia juga hadir di sini, meski kami tidak bisa melihatnya.”

“Sama seperti orang tua pada umumnya, siapa sih yang tidak sedih setelah kehilangan seorang anak? Saya dan Pak Jerry tentu merasa sedih. Tapi, Pak Jerry tidak pernah menunjukkan itu di hadapan saya dan orang lain. Dia selalu memeluk dan menenangkan saya ketika menangis, padahal saya tahu saat itu dia juga menahan sesak.”

Manusia tampan di sampingnya tertawa garing demi menghalau air mata yang terus memaksa keluar.

“Saya bersyukur karena bertemu dan hidup bersama suami saya. Lelaki hebat ini banyak mengajarkan saya tentang kehidupan yang sebelumnya tidak pernah saya dapatkan. Manusia di samping saya yang membuat saya dapat berbicara seperti ini di hadapan Saudara sekalian.”

“Kehadiran Mas Jerry di hidup saya benar-benar mengubah sosok seorang Angel. Bahkan, dulu teman-teman saya pernah hampir meninggalkan saya karena suatu hal. Hanya Mas Jerry yang tetap bertahan dan mendampingi saya. Benar kata orang-orang, saya beruntung karena memiliki suami seperti Mas Jerry.”

“Sebelum saya meninggalkan tempat ini, saya ingin menyampaikan terima kasih karena Saudara sudah menerima suami saya menjadi rekan kerja Saudara. Selamat pagi.”

Pada akhirnya, panggilan itu keluar dari mulut Angel. Pelukan dan kecupan singkat di kening gadis itu menjadi penutup pertunjukan mereka pagi ini. Tepuk tangan yang jauh lebih ricuh dan panjang menggiring langkah mereka menuruni anak tangga.

image

Gadis itu menggandeng lengan suaminya yang tengah meneteskan air mata. Ia kemudian tersenyum dan membelai lembut tangan Jerry. Angel benar-benar beruntung memiliki lelaki itu di sampingnya.

Bukan hanya Jerry yang berhasil membangun karir cemerlang di hidupnya, Angel juga berhasil membangun karakter yang jauh lebih baik dari pada sebelumnya.

Mereka sama-sama berkembang, bertumbuh dalam kasih. Kehadiran keduanya saling berpengaruh satu sama lain dan menuntun mereka ke titik saat ini. Angel beruntung karena memiliki suami seorang Jerry, pun Jerry beruntung memiliki istri seorang Angel.


@guanhengai, 2022.

Jumat ini adalah waktu yang paling ditunggu oleh keluarga Jerry. Selain sang kepala keluarga yang pulang lebih cepat, anak-anak mereka juga sudah menyelesaikan ujian kelulusan.

Sebenarnya, ujian Ajen sudah selesai sejak beberapa dua minggu lalu. Namun, sang adik baru saja menyelesaikan ujiannya hari ini.

Lusa mereka akan sama-sama menghadiri acara penyambutan pemimpin baru di kantor. Jerry sebagai tokoh utama dalam acara tersebut akan berpidato mewakili anak sulungnya.

Meski sudah terlampau sering melihat suaminya berpidato di depan umum, Angel tetap menantikan momen tersebut. Terlebih, Ajen dan Jiji ikut memakai setelan jas berdasi. Sungguh tak mampu ia bayangkan betapa tampan ketiga manusia itu.

Pukul lima sore, senyum lebar terpasang di wajah Jerry saat ia keluar dari kamar setelah membersihkan tubuhnya. Hatinya kian gembira kala melihat sang istri duduk seorang diri di sofa ruang keluarga.

“Yes! Belum ada Abang sama Adek!” seru lelaki itu setelah sampai di samping Angel.

Gadisnya hanya menatap sebentar, lalu melengos saat Jerry menarik tubuhnya ke dalam dekapan. Ia menggenggam tangan Angel dan meletakkannya di depan dada. “Mereka kalo mandi kok lama banget, sih?” tanya Jerry.

“Si Adek kayaknya lagi berendam, Mas,” sahut Angel.

“Wih, lama tuh. Bisa bikin adek dulu buat dia,” goda Jerry sembari menjawil pipi Angel.

“Bikin sendiri!” Suaminya hanya tertawa, lalu menepuk lengan Angel dan mengecup pipi gadis itu berkali-kali.


Rumah di ujung jalan itu tampak terang meski dilihat dari sudut mana pun. Lampu sorot berwarna kuning di teras lantai dua dan bagian belakang rumah Jerry menambah kesan elegan pada bangunan yang didominasi warna putih itu.

Keempat anggota keluarga sedang berbincang nyaman di sofa dengan sepiring pisang goreng dan teh tawar hangat. Kepala Ajen dan Jiji bersandar di bahu Angel, sedangkan Jerry duduk sendiri di sofa single.

Dua bulan terakhir ternyata cukup menguras energi dan emosi mereka. Ajen yang susah payah berjuang demi kelulusan dan ujian masuk perguruan tinggi, Jiji yang mati-matian belajar agar lulus SMP, Jerry yang harus bolak-balik ke kantor Mas Aryo dan calon kantor barunya, serta Angel yang sibuk memastikan kesehatan mereka.

Setelah memasukkan potongan pisang goreng terakhir, Jiji menarik ujung kaos Ajen untuk membersihkan sisa minyak di jarinya. Sang korban yang menyadari hal itu pun menatap adiknya sembari mempersiapkan diri untuk menerkam Jiji.

“Hei! Hei! Hei! Adek ah, itu kan ada tissue!” tegur Angel ketika dua remaja itu saling memukul.

Jerry yang tadinya tengah menyeruput teh pun menurunkan gelasnya, “Adek yang bener dong, nanti bajunya Abang kotor. Kasihan Bibi yang nyuci.”

Jiji menganggukkan kepala seraya mengucap maaf pada kakaknya. Remaja itu kemudian memeluk lengan Angel dan semakin bersandar di bahu sang ibu.

“Capek,” gumam Jiji.

Angel mengusap lengan si bungsu dan menyisir surai tebalnya dengan jemari. Jiji memang tidak terlalu pandai dalam bidang akademi, ia lebih tertarik pada seni dan olahraga. Angel dan Jerry pun tidak pernah memaksa anak-anaknya untuk mendapat nilai bagus di sekolah, yang penting mereka tetap menghargai pendidikan.

Keduanya juga tidak pernah meminta Ajen dan Jiji untuk bersekolah di tempat yang dinilai bagus oleh orang-orang. Menurut mereka, sekolah di mana pun akan sama selama anak-anaknya dapat menerapkan apa yang mereka dapat di tempat tersebut.

“Adek jadinya mau lanjut di SMA Abang atau di sekolah lain, Sayang?” tanya Angel.

Meski dirinya sedang berbicara dengan si bungsu, mata Angel tetap memandang Jerry yang tengah membalas tatapnya. Topik ini menjadi sedikit sensitif di keluarga mereka.

Adek beberapa kali meminta Angel untuk tidak mendaftarkan dirinya ke sekolah milik Mas Aryo. Padahal, hanya itu satu-satunya SMA yang berada dalam radius lima kilometer.

“Adek ikut Mama aja,” jawab Jiji. “Kalo nanti Abang kuliah di luar kota, Mama kesepian di rumah.” Remaja itu berhenti sejenak dan menengadah. “Adek sekolah di SMA Abang aja deh.”

“Katanya mau cari sekolah seni, Dek?” tanya Jerry.

Dari ekor matanya, Angel dapat mengangkap raut sedih Jiji. Ia pernah memergoki si bungsu menangis seorang diri di pinggir kolam berenang. Remaja itu jarang menunjukkan sisi lemahnya di hadapan orang lain. Namun, sekali terpancing, Jiji bisa menangis sepanjang hari.

Bukan hanya jauh dari Angel dan Jerry, ia yang sedari kecil bermain dan menghabiskan waktu bersama Ajen pasti akan kehilangan sosok kakak ketika si sulung kuliah di luar kota.

Tak jauh berbeda dengan Jiji, kini Ajen tengah bersandar di bahu Angel dan menikmati tetes demi tetes yang keluar dari kelopaknya. Ia akan berpisah dengan kedua orang tua dan adiknya dalam beberapa bulan, jika skor tesnya mampu menembus standar kampus pilihannya.

“Abang sama Adek nggak perlu sedih karna pisah sama Mama Papa. Kalian harus kejar cita-cita sejauh yang kalian bisa. Kalo capek, Abang sama Adek bisa pulang kapan pun. Nggak perlu khawatirin Mama,” kata Angel seraya memeluk kedua anaknya.

“T-tapi Adek nggak mau jauh dari rumah.”

Jerry tersenyum dan beranjak dari duduknya. Ia memberi kode pada istrinya untuk bergeser sedikit, kemudian memeluk Ajen yang sudah menangis.

Telapaknya membelai lembut surai si sulung saat kepala remaja itu bertumpu penuh ke dadanya. “Mama sama Papa bukan ngusir Abang sama Adek dari rumah, Sayang. Papa sama Mama juga pasti sedih kalo jauh sama kalian. Tapi, nggak selamanya kalian tinggal sama Mama Papa. One day, Abang sama Adek harus tinggal di rumah sendiri sama keluarga, kan?”

“Papa jangan ngomong gitu.” Ajen bersuara pelan.

“Papa ngomong kayak gini karena Abang sama Adek udah gede. Mama sama Papa nggak bisa ngajarin semua hal ke kalian. Ada beberapa pengalaman yang harus kalian jemput sendiri di luar sana.”

Jerry menghela napas sebentar. Ada begitu banyak hal yang ingin ia rasakan saat ini. Bohong jika Jerry tidak sedih dan khawatir. Seorang ayah tidak mungkin baik-baik saja saat anak-anaknya berada jauh dari dirinya.

“Abang sama Adek nggak perlu khawatir sama Mama, kan ada Papa yang jaga. Tugas Abang sama Adek itu cuma bahagia dan kejar cita-cita kalian. Udah, Papa cuma minta itu.”

Tangis Ajen yang tadinya tak terdengar kini justru memenuhi ruang keluarga lantai dua itu. Pelukannya di pinggang Jerry kian erat seraya air matanya membasahi kaos bagian pundak sang ayah.

Jiji yang tengah memeluk Angel pun tak kuasa menahan isaknya. Ia benar-benar tidak ingin jauh dari keluarganya dan kesepian di kota orang. Jika sedang memikirkan tentang sepi, pikiran mengenai Jeje pasti melintas dalam benak remaja itu. “Kalo Jeje masih ada pasti bisa sekolah bareng, Jiji nggak kesepian,” gumamnya.

Pembicaraan mengenai Jeje selalu mengundang suasana sendu. Sudah hampir empat belas tahun, mereka masih sering merindukan sosok kecil itu. Bahkan, sampai berpuluh-puluh tahun pun mereka akan tetap merindukan Jeje.

Jerry melingkarkan lengannya melintasi bahu Ajen, kemudian membelai tangan Jiji yang tengah memeluk Angel. “Jeje selalu nemenin Adek kok,” ujar lelaki itu dengan suaranya yang sedikit parau.

Tidak mampu menahan, Angel lantas melepas tangisannya juga. “Jeje selalu ada sama kita, Sayang,” tuturnya di tengah isak.

Lelah, sesak, rindu, khawatir, takut, dan segala rasa yang mereka pendam kini meledak dalam bentuk tangis pilu. Saling memeluk dan menguatkan satu sama lain merupakan satu-satunya cara untuk bertahan melewati malam yang dingin ini.

Mereka tetap duduk di sofa itu hingga malam menjemput.

Angel memeluk kedua anaknya lebih erat dan membayangkan hidupnya jika Ajen dan Jiji memilih sekolah di luar kota. Jerry menyandarkan kepala pada tembok di belakangnya dan memikirkan hal yang tidak jauh berbeda dengan sang istri.

Ajen masih bersandar pada dada papanya sembari menatap nanar tembok di hadapannya, kegelisahan kian mengguncang dirinya. Si bungsu tak kalah bimbang, jemarinya terus dimainkan seraya hatinya berusaha menentukan pilihan.

Sebelum mereka memutuskan masuk ke kamar masing-masing, Ajen melihat wajah lelah kedua orang tuanya. Mungkin Mama sudah tidak kuat menggendongnya ke mana-mana, pun Papa sudah tidak mampu mengejar langkah Ajen. Namun, kehadiran mereka selalu menghangatkan remaja itu.

Jika suatu hari Ajen harus pergi dan meninggalkan mereka, Ajen yakin itu adalah hari terberatnya setelah Jeje kecil meninggalkan dirinya.

“Ajen sayang Mama sama Papa, sayang Adek sama Jeje juga,” gumamnya di balik pintu kamar.


@guanhengai, 2022.

Jerry sedang membaca berita terkini di iPadnya kala Angel datang membawa sepiring pisang goreng. Suara langkah kaki yang kian mendekat berhasil mencuri atensinya. Lelaki berlesung pipit itu kemudian menggeser sedikit tubuhnya dan memberi tempat untuk sang istri bergabung.

Aroma dari secangkir teh tawar hangat menyeruak dan segera dibayar dengan ucapan terima kasih. Telapak lembut Angel kemudian mengungkung lengan kekar suaminya yang kembali terlihat sibuk dengan iPad.

Ikut penasaran, netra sang puan pun turut mengembara di atas layar tersebut. Jemari suaminya beberapa kali menghalangi tulisan di laman pencarian, namun bukan sebuah masalah besar. Ternyata, lelaki itu sedang membaca berita mengenai harga BBM yang naik akhir-akhir ini.

Ah, bacaan bapak-bapak memang membosankan. Gadis itu melengos dan memutuskan untuk menatap sudut ruang keluarga berhias tanaman. Seketika ia mengulum senyum tipis kala menatap foto masa kecil Ajen dan Jiji terpampang jelas di dua tembok yang mengapit sudut tersebut.

“Mas Jerry,” panggil Angel.

“Kenapa, Sayang?” tanya suaminya tanpa berpaling dari layar.

“Mas Jerry,” panggil Angel lagi.

“Iya, Sayang. Kenapa?”

“Mas Jerry.”

Lelaki itu mengerutkan keningnya dan menutup cover iPad. Diletakannya benda tersebut di samping, kemudian netranya fokus pada Angel yang justru tidak menatap dirinya.

“Ada apa, Sayang?” tanya Jerry lagi setelah membenarkan posisi duduk sang istri.

“Mas Jer-”

“Kenapa sih?” Sepertinya kadar kesabaran Jerry kian menipis.

Istrinya kemudian menengadah dan menatap lelaki itu. “Sayangnya mana?”

Kening sang tuan berkerut lebih dalam. Bukan wanita namanya jika tidak membuat pria bertanya-tanya. Ia mengobrak-abrik isi otaknya demi menemukan makna pertanyaan Angel barusan. Tak butuh waktu lama, kedua sudut bibir Jerry terangkat.

Cup

“Itu sayangnya,” jawab lelaki itu.

Angel langsung melihat kedua bibirnya karena tidak siap dengan reaksi Jerry. Ia pun hanya mengerjap sembari menahan agar hawa panas tak merasuki wajahnya. Sayang, kini telinganya sudah ikut memerah.

“Lah? Kamu yang godain tapi kamu juga yang salting?”

Tawa sang suami memenuhi setiap sudut ruang saat wajah Angel bersembunyi di dadanya. Lagi pula, respon apa yang ia harapkan dari suaminya yang super jahil?

“Ada apa, Sayang?” Lelaki itu bertanya setelah mengambil pisang goreng dari atas piring.

“Dulu pas kamu kecil mirip Ajen kecil nggak, Mas?”

“Hah? Kok random?”

“Itu, lagi liat foto kecilnya Ajen.”

Suaminya ikut menjatuhkan tatap pada figura besar di sudut ruang. Wajah tampan nan lucu anak-anak mereka tergambar jelas di sana. Ajen sedang duduk dengan senyum lebar, sedangkan Jiji dipangku dengan wajah datar. Mereka menggemaskan. Dulu.

“Kayaknya Ajen lebih ganteng,” gumam Jerry yang langsung mendapat tawa lepas dari Angel.

“Tumben ngakuin anaknya ganteng? Biasanya rebutan siapa yang paling ganteng,” tutur istrinya setelah tawa reda.

Alih-alih marah, Jerry justru menatap istrinya yang masih diselimuti tawa geli. Mata tajam teduh, alis luas, bibir merah, wajah v-shape, hati kuat, perasaan lembut, what a perfect combo of God's creature. Kini giliran Jerry yang mempertanyakan sebahagia apa Tuhan saat menciptakan Angel.

“Kenapa ngeliatin aku kayak gitu?” tanya istrinya saat Jerry tidak memindahkan pandangnya barang seinci.

“Aku boleh ngomong kasar nggak?”

Angel bingung.

“Boleh, ya?” izin lelaki itu, lalu istrinya hanya mengangguk ragu.

Sebelum berkata kasar, Lengan kekar Jerry memeluk erat sang istri hingga Angel meronta untuk di lepaskan.

“ANJINGGG!! ISTRI GUE CANTIK BANGET SIHHHHH!!!!”

Angel tidak tahu harus mengelompokkan itu sebagai maki atau pujian. Yang pasti, Jerry berhasil membuat diafragmanya digelitik oleh rasa yang tak mampu ia jelaskan. Untuk kedua kalinya di sore ini, Angel merona. Beruntung Jerry tidak melihat wajahnya yang memerah.

“Kamu cantik banget, Sayang!” Jerry terus mengatakan itu hingga Angel bosan mendengarnya.

image


Ajen dan Jiji baru saja memberi kabar bahwa mereka pulang sedikit lebih lambat dari biasanya. Ajen harus mengurus kartu pendaftaran tes masuk perguruan tinggi di tempat les. Jiji yang memang diwajibkan pulang bersama si sulung pun terpaksa menunggu abangnya selesai dengan urusan tersebut.

Waktu yang masih cukup panjang dimanfaatkan oleh Jerry dan Angel untuk memasak santap malam mereka. Hal ini tentu tidak dilakukan setiap hari karena ada kalanya Jerry yang pulang lebih lama. Maka dari itu, mereka selalu menggunakan waktu-waktu seperti ini untuk berkegiatan bersama. Mereka juga sering berkebun untuk mengisi waktu akhir pekan dengan anak-anak.

“Mas Adil jadi main ke sini, Mas?” tanya Angel sembari memotong cabai dan bawang putih.

“Jadi, pas weekend. Katanya dia juga mau ajak ceweknya.”

“Hm, aku penasaran sama ceweknya Mas Adil sih. Kakakmu itu dingin banget kayak es batu, cewek kayak gimana ya yang bisa bikin Mas Adil meleleh?”

Jerry terkekeh pelan seraya memastikan air di dalam panci belum blubuk-blubuk. “Kamu nggak sadar, ya? Dulu kamu lebih parah dari Mas Adil. Kalo aku ajak ngomong cuma jawab satu-dua kata.”

“Beda! Dulu kan awalnya kita terpaksa tinggal bareng, Mas. Lagian kamu emang bawel banget sih,” balasnya.

“Bawel? Aku pendiem gini dibilang bawel?”

“PENDIEM? Pendiem dari mana? Kamu tanya tuh anak-anakmu, bahkan pas kamu tidur aja berisik, Mas.”

Tatapan Jerry berubah malas. “Ih, ya udah sih. Kenapa jadi bahas pas aku tidur?”

“Pengen banget aku sumpel mulutmu kalo malem, Mas.”

“Ya udah, sumpel aja!” gerutu Jerry.

“Tapi pake bibir,” lanjutnya yang langsung mendapat todongan pisau dari Angel.

Selanjutnya, dapur bernuansa hitam putih itu hanya diisi oleh bunyi pisau bertubruk talenan, spatula bercumbu wajan, dan sesekali keran air yang dinyalakan. Menu malam ini adalah telur balado, ayam goreng tepung, dan sayur kacang panjang.

Meski keadaan ekonomi mereka sudah lebih jauh dari kata membaik, Jerry dan Angel tetap lebih suka masakan rumahan dari pada makanan yang dijual di resto mahal. Mereka biasanya makan di luar rumah setelah pulang gereja di minggu pagi. Selebihnya? Hanya sesekali.

“Kenapa Ajen sama Jiji beda jauh ya, Mas?” gumam Angel tiba-tiba.

“Ya beda lah, kan beda orang. Kepalanya beda, isi otaknya beda, perasaannya beda, karakternya beda,” jawab sang suami.

“Ih, bukan gitu maksudnya.”

“Iya, aku ngerti kok. Sini deh,” panggil Jerry.

Angel bangkit dari duduknya dan menghampiri lelaki itu di depan kompor. Air di dalam panci mulai mengeluarkan gelembung yang berarti sudah siap untuk dimasuki beberapa bahan utama. Lengan Jerry melingkari pinggang Angel sembari tangannya memegang piring berisi telur yang akan direbus.

“Telur-telur ini asalnya sama-sama dari kulkas, kan?”

“Iya,” jawab istrinya.

“Kalo kamu liat, bentuk mereka sama nggak?”

“Sama lah.”

“Oke, sekarang aku rebus dulu telurnya.” Lelaki itu kemudian memindahkan beberapa butir telur di atas piring ke dalam panci. Kini hanya tersisa satu telur yang belum ia masukkan.

“Itu satunya nggak direbus, Mas?” tanya Angel bingung.

Pyar

“Loh? Kok malah dipecahin?” tanya gadis itu lagi.

Alih-alih menjawab, Jerry justru melontarkan pertanyaan. “Emang kalo pecah berarti nggak bisa kepake?”

“Y-ya bisa sih, tapi kita kan nggak mau bikin telur dadar.”

“Kan bisa buat ayam goreng tepung, Sayang.”

Setelah itu, Jerry menarik tubuh Angel agar mereka saling berhadapan. Piring berisi telur yang tadi ia pecahkan kini diletakkan di samping kompor. Lelaki itu kemudian tersenyum dan menangkup kedua bahu istrinya.

“Telur-telur ini sama kayak Abang sama Adek, Sayang. Walaupun mereka sama-sama anak kita, mereka tetep beda. Jiji itu anaknya keras, dia emang harus ngerasain pecah dulu biar bisa memproses semuanya. Kalo Ajen, dia anaknya gampang belajar, jadi kita bilangin aja udah paham.”

“Terus? Emang itu bikin salah satu dari mereka nggak berguna? Enggak, kan? Proses anak-anak buat mencapai tujuannya emang beda, Sayang. Perbedaan itu harus kita terima dan sadari. Tapi, satu hal yang nggak boleh kita lakuin ke mereka, membandingkan satu sama lain. Okay?”

Bibir istrinya melengkung membentuk senyum manis seraya kepalanya mengangguk. Tolong normalisasi Angel yang jatuh hati berkali-kali karena suaminya adalah Jerryan Edo Najuanda.

Cup

Kini bukan Jerry yang memberi kecupan, melainkan istrinya. Bibir lelaki itu seketika terlipat dan menampilkan sepasang lesung pipit di pipi yang merona. Ia menyembunyikan wajahnya di ceruk leher Angel saat hawa panas memenuhi sekujur tubuh kekarnya.

Sekarang suara tawa Angel yang memenuhi dapur mereka. Meski Jerry masih menang dengan skor 2-1, Angel puas karena berhasil membuat suaminya merona.


@guanhengai, 2022.