guanhengai

Jika dapat memilih untuk ikut bergabung, Angel akan melangkah dengan pasti memasuki kamar Adek dan memeluk raga si bungsu. Ia sungguh tidak tega mendengar suara tangis Jiji yang masih terdengar setelah anak itu masuk bersama Jerry sekitar lima belas menit yang lalu.

Ajen yang duduk di sampingnya juga tak kalah khawatir dengan keadaan sang adik. Remaja itu sempat melihat ekspresi Jerry yang jauh dari kata bersahabat. Wajahnya pun diselimuti oleh rona merah hingga telinga dan lehernya.

“Ma, Papa semarah itu sama Adek?” tanya Ajen sembari memainkan jemarinya.

“Abang kan tau Papa nggak suka kalo Abang sama Adek bohong,” jawab Angel.

Ajen menundukkan kepala dan pasrah. Semua perbuatan mereka selalu ditoleransi oleh Jerry, kecuali berbohong.


Di dalam kamar, Jerry hanya duduk dan menatap anak bungsunya yang sedang menangis. Ia belum berbicara sama sekali sejak Jiji masuk ke dalam kamar. Pun putranya masih berbalut jaket abu-abu dan kaos kaki yang ia kenakan untuk pergi jalan-jalan.

Saat anak itu sudah mulai tenang, Jerry baru memajukan kursinya agar berada tepat di hadapan Jiji. Lelaki itu menghela napas kasar seraya memejamkan mata sebelum telapaknya hinggap di bahu si bungsu.

“Tadi Adek ke mana?”

Yang ditanya hanya diam dan menundukkan kepala. Bibir bawahnya digigit kencang untuk menahan air mata yang lagi-lagi memaksa keluar.

“Jangan digigit bibirnya, Dek. Nanti berdarah!” tegur Jerry pelan.

“M-maafin Adek, Pa.”

“Papa nanya, tadi Adek ke mana? Jawabannya itu nama tempat, bukan maaf.” Kalimat sang ayah justru memancing air mata Jiji mengalir lagi.

“Apa susahnya jujur sama Papa sih, Dek? Selama Adek main ke tempat yang bener, Papa nggak pernah larang, kan? Adek mau berangkat naik ojek atau taxi juga selalu Papa kasih. Kenapa harus pake bohong?”

“Adek m-minta maaf,” tutur Jiji di sela-sela tangisnya.

Berdasarkan pengalaman-pengalaman sebelumnya, Jerry tahu ia tidak akan mendapat jawaban dari Jiji. Lantas ia mengajukan pertanyaan lain. “Kenapa Adek minta maaf?”

“Adek bohong s-sama Papa sama M-mama.”

“Kenapa tadi Adek bohong?” tanya Jerry lagi.

Jiji terdiam sejenak. Ia sudah memiliki jawaban di otaknya, namun seakan terhenti sebatas kerongkongan. Mengapa begitu sulit menyuarakan kejujuran?

“Adek, kenapa bohong?”

“Tadi Adek mau ke makam Eyang, tapi ternyata Abang ngikutin Adek.”

“Terus kenapa kalo Abang ngikutin Adek?”

“ADEK NGGAK SUKA DIIKUTIN, PAPA! ADEK BUKAN ANAK KECIL!”

Jerry terkejut saat putranya menaikkan intonasi. Tatap teduhnya kini berubah tajam seraya rahangnya mengeras. Jiji yang menyadari hal tersebut pun kembali menundukkan kepala dan menutup wajahnya dengan telapak tangan.

“Adek nggak pake teriak juga Papa bisa denger kok,” sindir Jerry.

“Adek nggak suka diikutin Abang terus. Di sekolah, Abang selalu ikutin Adek. Di tempat les, Abang juga ikutin Adek. Adek bisa ke mana-mana sendiri, nggak harus sama Abang.”

Jika mengikuti akalnya, Jerry akan menjawab “Tapi Adek yang salah. Kalo dari awal Adek jujur, Abang nggak bakal ngikutin Adek.” Jiji salah karena berbohong, tetapi ada alasan di balik bohongnya.

Jerry memang pernah meminta Ajen untuk mengamati kegiatan Jiji karena putra bungsunya memang masih harus diawasi. Ternyata, Jiji sadar akan hal itu dan ia merasa tidak nyaman. Meski Jiji adalah anaknya, seharusnya Jerry tidak melakukan hal tersebut. Itu sama seperti ia memata-matai orang.

Lelaki itu beranjak dari tempat duduk dan bergabung dengan putranya di atas ranjang. Jerry merangkul bahu Jiji dan membiarkan kepala si bungsu bersandar di bahunya. “Kenapa Adek nggak bilang ke Abang? Hm? Kalo Adek nggak nyaman, harusnya Adek bilang baik-baik ke orangnya, jangan disimpen kayak gini.”

“Adek takut Abang marah,” jawabnya.

“Emang Adek udah pernah coba bilang ke Abang?”

Pertanyaan jerry direspon geleng pelan.

“Coba nanti Adek obrolin sama Abang. Sejauh mana Adek kurang nyaman sama sikap Abang, terus Adek maunya Abang gimana. Ya?”

Jiji mengangguk. “Maafin Adek, Pa.”

“Papa kecewa karena Adek bohongin Papa. Papa nggak suka kalo anak-anak Papa bohong. Papa maafin Adek. Tapi, kalo Adek udah sadar salahnya di mana, next time jangan diulangi lagi. Okay?”

“Okay,” jawab Jiji pelan.

Lelaki itu memeluk putranya dan menepuk-nepuk punggung Jiji. “Aduh, anak Papa ternyata udah gede, ya? Perasaan kemarin masih suka nangis kalo popoknya penuh,” goda Jerry.

“Papa ih! Adek udah mau SMA tau!”

“Oh ya? Masa sih? Bukannya baru mau masuk SD?”

“PAPA!”

Jerry tertawa melihat raut kesal putranya. Waktu berputar begitu cepat hingga ia tak sadar si bungsu akan segera menyusul kakaknya ke jenjang yang lebih tinggi.

“Eh, Dek,” panggil lelaki itu lagi.

“Hm?”

“Kita pura-pura berantem yok? Biar Mama panik,” usul Jerry yang langsung ditatap aneh oleh Jiji.

“Katanya nggak boleh bohong?”

Yang ditanya hanya tersipu sembari menggaruk tengkuknya yang tidak gatal sama sekali. “Kalo buat ngerjain Mama boleh,” ucapnya.


@guanhengai, 2022.

Pagi itu, masih di kediaman orang tua Angel. Ralat, kini sedang proses pemindahan kepemilikan menjadi atas nama Anne. Cuaca yang tadinya cerah perlahan diselimuti awan kelabu. Beruntung Jerry sudah memperingati anak sulungnya agar tidak lari pagi di luar rumah karena rintik dari langit mulai turun.

Beberapa hari di Yogyakarta bagaikan liburan singkat bagi Ajen dan Jiji yang seharusnya belajar di sekolah. Mereka sama-sama mempersiapkan diri untuk kelulusan dan masuk ke jengjang berikutnya. Jerry dan Angel paham anak-anak mereka butuh hiburan karena pelajar tidak harus belajar setiap saat.

Mereka juga perlu istirahat agar lebih produktif. Ingat, produktif dan sibuk adalah dua hal yang berbeda.

Meski sinar mentari terhalang tebalnya mendung, senyum cerah tetap terlukis di wajah remaja nan rupawan. Matanya membentuk bulan sabit sejak Yola memulai ceritanya.

“Terus gue pikir kan ada permen karet or something else nyangkut, TERNYATA SOLNYA LEPAS ANJIR! MALU BANGGETTTTT!!”

Tawa Ajen memenuhi ruang gym yang hanya berisi dirinya dan Yola. Kakak sepupunya itu sedang berbagi kisah memalukan saat sol sepatu sekolahnya lepas di hadapan mas crush. Masa putih abu-abu memang gudang memori yang menyenangkan, at least bagi kebanyakan orang. Jika kamu bukan salah satunya, tidak apa-apa.

Suara pintu terbuka membuat kedua remaja itu memperlambat laju treadmill mereka. Sang lelaki menengok dan mendapati papanya berbalut kaos putih polos berdiri di sana. Ia pun buru-buru memencet tombol off, pamit pada Yola, dan beranjak mendekati Jerry.

“Kenapa, Pa?” tanya Ajen saat sampai di depan papanya.

“Papa mau ke supermarket sama yang lain, Abang nanti bangunin Adek, ya.”

“Oke. Enggak nanti aja, Pa? Masih hujan.”

Sebelum menjawab, Jerry menepuk lengan anaknya disertai tatap lembut. “Kan naik mobil, Bang. Abang mau nitip sarapan apa?”

“Bubur ayam aja. Mba Yola juga kayaknya mau tuh.”

“Oke, nanti Papa beliin. Adek juga dibeliin bubur ayam aja, ya?”

“Iya, samain aja, Pa.”

“Ya udah, nanti Abang jangan lupa bangunin Jiji, ya?”

“Oke! Hati-hati, Pa,” jawabnya sambil memamerkan senyum manis.

image


Belum ada tiga puluh menit mobil Juan meninggalkan rumah, tetapi Ajen sudah mengomel lebih dari lima kali. Bahkan, ia sudah mandi hingga rambutnya setengah kering. Si bungsu memang sulit sekali jika disuruh beranjak dari alam mimpi. Terlebih, tubuh jangkung Jiji yang kini melebihi Ajen sudah tak bisa ia gendong seperti dulu.

“Dek, bangun ah! Nanti dimarahin Papa loh,” katanya sembari bersandar di depan pintu kamar sang adik.

Tetap saja, remaja itu tidak bergerak sama sekali. Tubuhnya tertutup selimut hingga kepala dan Kedua tangannya tetap mengungkung guling yang terlihat kecil di samping Jiji. Mau tidak mau Ajen mendekat ke arah ranjang dan memaksa adiknya untuk bangun.

Akan tetapi, bahu remaja itu sudah berguncang sebelum sang kakak mengulurkan tangannya. Ajen yang melihat itu pun mengerutkan dahi, sebelum ia menyadari apa yang terjadi dengan Jiji.

“Dek, lo nangis?” tanya Ajen mempercepat langkahnya.

Setelah sampai di samping tubuh Jiji, ia langsung menyibak selimut dan menarik bahu sang adik. Benar dugaannya, wajah Jiji sudah memerah dan matanya sembab. Jika dilihat dari bekas air mata di pipi Jiji, Ajen memperkirakan adiknya sudah menangis sejak lama

“Adek kenapa?” tanyanya lagi.

Alih-alih menjawab, Jiji justru kembali meringkuk dan menyembunyikan wajahnya di bawah guling. Kakaknya lalu ikut berbaring di belakang punggung si bungsu dan memeluk Jiji dari belakang. Ajen hanya mengusap lengan Jiji karena isaknya semakin terdengar pilu.

“It's okay, I'm here,” tutur Ajen berusaha menenagkan adiknya.

Meski tigak tega, ia memberi waktu pada Jiji untuk menangis. Ajen meniru apa yang Jerry lakukan saat dirinya menangis. Telapak hangatnya mengusap lengan Jiji dan sesekali mengecup puncak surai remaja itu.

Beberapa menit setelahnya, tangis si bungsu mereda. Ia masih berusaha menghirup oksigen karena napasnya terputus-putus. Ajen yakin kini bantal kepala Jiji sudah dihiasi pulau alami yang berasal dari matanya sendiri.

Saat tubuh jangung itu berbalik dan menatap kakaknya, Ajen langsung bertanya, “Udah mau cerita sama Abang?”

“N-nothing. Adek cuma kangen sama Eyang.”

Nothing, katanya.

“Itu bukan nothing kalo sampe bikin lo nangis kayak gini. It's okay kalo kamu kangen sama Eyang, it's okay kalo lo mau nangis. Nangis itu bukan berarti cengeng, Dek.”

Jiji kemudian bersembunyi di dada kakaknya. Lengannya kut melingkari pinggang si sulung. Ia benar-benar rindu. Rindu pada Eyang, rindu mengajarkan Eyang bermain game, rindu suasana rumah saat Eyang masih ada, rindu masakan Eyang. Jiji rindu segala hal tentang Eyang.

Saat asik membelai lembut punggung adiknya, Ajen melihat benda kecil berwarna pink yang tersembunyi di balik bantal Jiji. Dengan segala rasa penasarannya, ia mengarahkan jemari ke benda tersebut dan menariknya keluar. Betapa terkejut raut tampannya kala mendapati kaos kaki kecil berwarna pink di sana.

Ajen tahu betul, itu adalah kaos kaki yang pernah Eyang beli saat mereka belanja kebutuhan Jiji dan jeje dulu.

“You miss her too, right?” gumam Ajen tanpa menghentikan belaiannya.

“Hm? Siapa?” tanya Jiji dengan suara pelan.

“Our sister.”

Tubuhnya sempat menegang sebelum tetes air mata kembali mengucur deras. Ajen merasakan kaosnya mulai basah karena tangis sang adik. Lengan kekarnya kini memeluk erat dan telapaknya mengusap surai Jiji.

Dada Ajen ikut sesak kala mendengar isak pilu remaja di pelukannya. Pedih yang tadi tidak ia rasakan kini tiba-tiba muncul tak terkendali. Bibirnya digigit kuat agar Jiji tidak mendengar tangisnya.

image

Gemuruh hujan yang masih terdengar jelas seakan mendukung mereka untuk terus menangis. Rintiknya yang menubruk jendela kamar membuat Ajen teringat moment tiga belas tahun silam, tepat di depan kamar rawat Angel.

Saat itu, Atuy berkata pada dirinya bahwa hujan akan datang saat manusia sedang berduka. Tetesnya bukan untuk mengejek air mata manusia, tetapi justru membantu untuk menyembunyikannya. Suasana teduh juga membuat orang-orang merasa nyaman dan merindukan hadirnya lagi. Sejak saat itu, Ajen suka hujan. Ia rasa hujan memang punya cara tersendiri untuk menghibur hati yang berduka.

“Kenapa Jeje ninggalin Adek, ya? Jeje pasti nggak mau punya kembaran yang nakal kayak Adek,” racau Jiji yang membuat Ajen menggeleng cepat.

“You're doing great, Jeje pasti bangga sama Adek. Kata siapa Adek nakal? Emang pernah ada yang bilang kayak gitu? Coba kasih tau Abang, biar Abang tendang sampe Neptunus!” Suara Ajen terdengar sedikit gemetar.

“P-pak Eben,” jawabnya sembari tersenyum pilu. Pak Eben adalah guru BK di sekolah Jiji yang khusus menangani anak-anak kelas 9.

Tangan Ajen langsung mengepal kuat. Setiap tekuk jemarinya memunculkan otot yang tersembunyi hingga telapaknya dihiasi bekas berbentuk bulan. “Nggak usah didengerin! Adeknya Abang nggak nakal!”

Tanpa mereka ketahui, Jerry sudah berada di balik pintu sejak Ajen memeluk Jiji dan mereka menangis bersama. Kondisinya kini tidak berbeda jauh dari si sulung. Tangannya mengepal kuat hingga wajahnya ikut memerah.


@guanhengai, 2022.

Angel memeluk kedua lutunya di ujung ruang tamu. Tak peduli wajahnya kian memerah dan sembab, ia tetap membiarkan air mata mengalir deras.

Angel hancur.

Ia kehilangan tempat untuk bersandar.

Gadis itu bahkan tidak sanggup memikirkan bagaimana sepinya rumah ini nanti. Ia hanya menangis, menunggu tenaganya habis terkuras agar dapat terlelap.

Hampir saja tubuhnya terhuyung karena kelelahan, ia mendengar langkah kaki dan menangkap aroma yang begitu familiar mendekatinya.

“Sayang, makan dulu, ya?”

Ternyata, ia masih punya bahu untuk bersandar.

image

Di ruang tamu berhias karpet serta bangku plastik, Angel menengadah dan menatap Jerry yang datang dengan sepiring nasi di tangannya. Gadis itu menggelengkan kepalanya pada oknum yang mengajukan pertanyaan tadi.

Hela napas Jerry merespon jawaban istrinya. Setumpuk nasi dan lauk di piring tak tersentuh sama sekali, padahal ia hanya mengambil setengah dari porsi makan normal.

“Oke, aku ambilin minum aja, ya?” izin lelaki itu.

“Eung, di sini aja,” gumam sang puan seraya menangkap dan menggenggam tangan suaminya.

Lelaki itu kemudian mengangguk, meletakkan piring yang berisi penuh di atas meja, kemudian ikut duduk di samping Angel. Ia memeluk bahu dan membelai surai sang istri dengan telapak hangatnya.

Dari tempat mereka duduk saat ini, Jerry dapat melihat Mas Aryo berbalut kemeja hitam sedang menyapa sisa tamu yang masih betah berbincang di rumah mereka. Rautnya terlihat sangat lelah, namun senyum tetap terpatri di wajah tampan pria itu.

image

Mba Laras tidak jauh berbeda dengan suaminya. Wanita yang berusia sepadan dengan Jerry itu menemani tamu dan menawarkan hidangan yang sudah disiapkan. Mba Laras memang jauh lebih mengenal para tamu karena ia sering menemani almarhumah Ibu bertemu dengan teman-teman beliau.

Ya, siang ini Ibu telah menyusul Bapak dan Jeje ke rumah Tuhan yang jauh di sana. Angel hanya memiliki kesempatan beberapa jam untuk melihat Ibu sebelum para tenaga medis mengelilingi tubuh beliau yang lemas tak berdaya.

Satu hal yang baru mereka ketahui adalah Ibu sudah masuk rumah sakit sejak beberapa hari yang lalu. Mas Aryo sengaja menyembunyikan hal tersebut dari Angel dan Anne karena tidak ingin adik-adiknya dirundung khawatir.

Awalnya, Ibu hanya mengeluh pusing karena lupa makan sebelum tidur. Padahal, dokter sudah mengingatkan beliau untuk memperhatikan asupan gizi setiap waktu.

Hari itu Ibu tidak langsung ke rumah sakit karena merasa dirinya hanya butuh makanan. Beliau pun meminta tolong dibelikan Sop Ayam Klaten dan memakan obat untuk sakit kepala yang ada di kotak P3K, kemudian tidur.

Di pagi selanjutnya, Mba Laras datang ke rumah karena Ibu tidak mengangkat panggilannya. Sayangnya, Ibu sudah tergeletak dan tidak merespon saat Mba Laras mengguncang tubuhnya. Dengan bantuan supir dan bibi, Mba Laras melarikan Ibu ke rumah sakit.

Angel tidak tahu persis apa yang terjadi sebelum Ibu pergi. Ia sedang tersenyum seraya menatap mata wanita itu sebelum kedua kelopaknya tertutup perlahan, untuk selamanya. Angel benar-benar menyaksikan bagaimana Ibu pergi meninggalkannya. It hurts.

“K-kenapa Ibu pergi, Mas?” lirih Angel.

“Aku kan belum m-minta maaf sama Ibu,” lanjutnya sebelum tangis gadis itu pecah.

Sebagai suami sekaligus manusia yang juga pernah merasa kehilangan, Jerry hanya memeluk istrinya. Tidak ada yang dapat ia lakukan selain menemani Angel meluapkan perasaannya.

image

Lelaki itu juga merasa kehilangan, terlebih ia harus mengurus proses pemakaman sang mertua karena keadaan Mas Aryo sangat jauh dari kata baik-baik saja. Sedangkan, Juan harus menjaga Anne yang kini tengah berbada dua. Jerry terpaksa merepotkan Mba Laras untuk menjaga Angel tadi.

“Shhh, shhh, shhh.” Sang tuan terus mengusap punggung dan bahu istrinya yang semakin bergetar.

“Sekarang aku u-udah nggak punya orang tua, Mas. Ajen sama Jiji udah nggak punya eyang.”

Dada Jerry ikut sesak mendengar pernyataan barusan. Kini pikirannya ikut melayang pada Ajen dan Jiji di rumah. Ia sempat memberi kabar sebelum ibadah penghiburan dilaksanakan. Tanpa diberi tahu, lelaki itu yakin anak-anaknya langsung menangis tersedu-sedu.

Mereka yang paling semangat ketika Jerry mengajaknya ke Jogja untuk bertemu sang nenek. Mereka juga lebih senang menghabiskan waktu di rumah bersama Ibu dari pada berwisata ke berbagai tempat. Hanya Ibu satu-satunya nenek yang mereka miliki. Ajen dan Jiji pasti sangat kehilangan.

“Sayang, kita ke kamar aja yok?” usul Jerry yang langsung diangguki oleh gadisnya.

Ia lalu memapah tubuh Angel menuju kamar tamu di lantai bawah.

Saat raga mereka berjarak beberapa meter dari pintunya, Angel kembali menangis di dalam pelukan Jerry. Otaknya tiba-tiba memutar kenangan saat ia hamil Ajen dan memakai kamar tersebut untuk beristirahat.

Saat itu Angel banyak mengeluh karena Ibu terlalu mendikte dirinya. Ia berkali-kali meluapkan rasa kesal pada wanita yang telah melahirkannya itu. Kini rasa tersebut berubah menjadi rasa sesal dan tak tahu bagaimana cara mengusirnya. Sudah terlambat untuk meminta maaf.

Belum sempat mereka merebahkan tubuh di ranjang, lagi-lagi isak gadis itu pecah. Kejadian setelah ia melahirkan Jiji membuatnya teringat oleh Ibu. Di kamar yang sama, ia pernah menyesal karena memilih melahirkan di Jogja. Hal itu membuatnya merasa terkurung di bawah atap yang sama dengan Ibu.

Kini Angel menyesal. Menyesal karena pernah berpikir demikian. Memang benar, eksistensi seseorang baru dapat dirasakan saat dirinya telah tiada. Satu-satunya cara untuk menyadarkan manusia adalah kehilangan.

“Ibu pasti kesepian ya, Mas? Makanya Ibu pergi,” gumam Angel setelah suaminya menarik selimut untuk menghangatkan tubuh mereka.

“Ibu sekarang udah nggak kesepian, Ibu udah ketemu Bapak lagi, Ibu juga ketemu sama Jeje,” lanjutnya yang kemudian dipeluk erat oleh Jerry.

Tuan berkemeja hitam itu dapat rasakan napas Angel menembus celah kancingnya dan menggelitik kulit. Kedua insan itu menikmati sendu tanpa kata, saling mendekap sementara riuh tamu di luar masih memenuhi pendengaran.

Di siang hari nan mendung, Angel dan Jerry kembali menikmati kehilangan setelah tiga belas tahun berlalu.

image


@guanhengai, 2022.

Gemerlap lampu menghiasi jendela besar di sudut dapur Angel dan Jerry, bagai pengganti tabur bintang yang tertutup polusi ibu kota. Gelas tinggi berisi wine di masing-masing tangan menjadi pelengkap bincang santai sepasang suami istri tersebut.

Lengan sang tuan melingkari bahu istrinya, merangkap raga cantik itu agar terus berada di atas bangku tinggi bersama dirinya. Keduanya mendadak bisu sejak cairan pekat berwarna merah-hitam-keunguan memenuhi gelas mereka. Pikiran masing-masing melanglang buana tanpa peduli tiktok jam dinding di belakang mereka.

image

“Udah tujuh belas tahun, ya?” tanya Jerry memecak keheningan.

“Hmm. Ajen udah mau kuliah, Adek udah mau SMA,” respon sang istri.

“Nggak kerasa banget, kayaknya baru kemarin kita ketemu di cafe buat ngobrolin kontrak,” gumam lelaki itu sebelum meneguk winenya.

Semua memori masa lalu mengenai keduanya terputar otomatis dalam benak Angel. Mulai dari pertemuannya di cafe, drama mereka saat acara tunangan Anne, ribetnya mengurus berkas pernikahan, janji suci yang awalnya dibuat main-main, hingga Ajen kecil hadir di perut Angel dan menjadi pemersatu kedua orang tuanya.

Gadis itu menegakkan kepala, menatap lekat figur yang dicintainya. Sosok luar biasa yang kini tengah membalas tatapnya seperti bukan manusia, melainkan malaikat. Gadis itu melihat bagaimana perjuangan Jerry yang selalu berusaha memenuhi kebutuhannya meski terkadang ia sendiri kekurangan. Jerry merupakan gambaran sosok sempurna seorang suami dan ayah.

Terkadang, sempurna yang manusia maksud bukanlan utuh dan tak bercacat karena good people still make mistake. Ia menyebut seseorang sempurna karena sosok tersebut mampu 'menambal' apa yang kurang dalam dirinya.

Jerry dengan hati seluas samudera dan kasihnya yang sedalam lautan mampu menaklukkan kerasnya Angel. Di balik kokohnya hati, pikiran, dan sampul istrinya, ia mampu menemukan kegelisahan dan kebergantungan dalam diri sang gadis. Itu mengapa Angel selalu menganggap suaminya sempurna.

And most importantly, she liked how he never left her behind, even he knows her worst.

“Kenapa kamu ngeliatin aku kayak gitu?” tanya Jerry dengan wajah merona.

“Tuhan lagi ngapain pas ciptain kamu ya, Mas?”

“Hah?”

“Kenapa kamu baik banget sih, Mas? Kenapa kamu sesempurna itu jadi manusia? Kadang aku sampe mikir, aku pantes nggak sih ada di sini? Sama kamu? Kenapa selama ini kayak aku ngerasa nggak berguna, ya?”

Sungguh, pernyataan Angel bukan gombal semata. Sudah terlalu sering dirinya terbangun saat tengah malam hanya untuk memastikan Jerry tidak berubah menjadi sosok bersayap. Tak jarang air matanya menetes karena merasa tidak pantas bersama dengan Jerry yang sebaik itu.

Cup

Angel mengerjap kala sang suami mencuri satu kecup singkat di bibirnya. Ia menengok ke sana ke mari demi memastikan tidak ada orang lain yang melihat kejadian barusan.

“Mas! Kalo diliat Bibi sama Beler gimana?” bisiknya setengah sebal.

“Itu biar kamu nggak ngomong sembarangan!” tutur lelaki itu membuat Angel memalingkan wajah, memenuhi pandangannya dengan gemerlap cahaya yang juga berisi keindahan.

Telunjuk dan ibu jari sang tuan kemudian meraih dagu istrinya, menggeser sedikit wajah cantik itu agar kembali berhadapan dengan dirinya.

“Sayang,” panggil Jerry yang hanya direspon deham singkat.

“Mau gandeng tanganku?” tanya lelaki itu lagi, memancing kerutan di dahi sang istri.

“Ngapain gandengan?”

Jerry menatap telapak tangannya yang menengadah di atas lututnya. “Oh, nggak mau?”

Walaupun tidak tahu tujuan sang suami, Angel tetap melakukannya.

Setelah itu, kedua sudut bibir Jerry terangkat saat melihat jemari mereka saling mengunci satu sama lain. Ia lalu mengangkat genggaman itu ke samping wajah Angel. “Kamu liat ini?”

Yang ditanya hanya mengangguk dengan raut bingung.

“Ini sama kayak aku sama kamu. Coba deh kamu lurusin jari-jari kamu,” titahnya yang langsung diikuti Angel.

image

Jerry kemudian ikut meluruskan jemarinya dan membuat genggaman mereka terlepas. “Lepas, kan?” tanyanya, kemudian diangguki lagi oleh sang istri.

Lelaki itu lalu mengambil kembali tangan Angel, mengapit jemari lentik itu di sela-sela jarinya. “Sekarang kamu lurusin lagi jarimu,” titah Jerry lagi.

Ia kemudian meremas telapak sang istri dan membuat gadis itu mengaduh pelan. “Sakit?” tanyanya.

image

“Sakit lah,” jawab Angel.

Setelahnya, ia mengarahkan jemari istrinya untuk menekuk dan mengunci gandengan tangan mereka seperti semula. “Yang pertama tadi gambaran kalo kita sama-sama nggak peduli dan saling meninggalkan, Sayang. Genggaman itu bakal lepas karena kita nggak berusaha bertahan satu sama lain.”

Ada hela napas sebelum Jerry melanjutkan penjelasannya. “Kalo yang kedua itu gambaran yang bakal terjadi kalo cuma aku yang mempertahankan hubungan kita. Aku bakal nyakitin kamu karena memaksa kamu bertahan.”

Ia kemudian tersenyum dan mengangkat lagi genggaman tangan mereka seraya menatap lekat netra Angel. “Nyatanya, sekarang kita gandengan tanpa ada paksaan. Jari kamu sama jari aku saling mengunci, yang artinya kita sama-sama mempertahankan hubungan ini.”

image

Salah satu elapak Jerry berpindah ke puncak surai Angel, sedangkan telapak satunya mengungkung kedua tangan sang istri. “Jangan pernah bilang kamu nggak berguna, kamu nggak pernah ngapa-ngapain, kamu nggak pantes buat aku.”

“Sayang, aku nggak bisa sampai di titik ini tanpa kamu. Senyum kamu setiap pagi, suara kamu setiap hari, pelukan kamu setiap malem, itu yang bikin aku bisa menjalani hari-hari. Kamu itu berharga buat aku.”

Angel tersenyum dan memamerkan tatap kagum berbinar. Tanpa ia sadari, setetes air mata lolos dari kelopaknya. Saat gadis itu mulai mempertanyakan eksistensinya di samping Jerry, suaminya selalu menarik kembali kepercayaan Angel. Ia beruntung karena Jerry selalu membuat dirinya merasa dicintai.

“I love you,” ucap Angel sembari memeluk pinggang sang tuan.

Jerry sempat tertegun di tempat. Pasalnya, selama tujuh belas tahun menjalani hiruk pikuk rumah tangga, ini adalah kali pertama Angel mengucapkan hal itu terlebih dahulu.

Salah satu bibirnya kemudian tertarik dan lengannya membalas pelukan hangat sang istri.

“You know I love you more, Angel,” jawab Jerry sebelum mengecup kening gadisnya.


@guanhengai, 2022.

Pulang ke rumah saat matahari masih berada di atas kepala sebenarnya bukan bagian dari agenda Jerry hari ini. Otaknya yang masih mendidih akibat meeting tadi pagi ditambah penjelasan sang istri mengenai putra bungsu mereka membuat suhu tubuhnya kian meningkat. Rona di wajah dan pupil yang membesar menandakan lelaki itu sedang diselimuti kabut amarah.

Masih dengan setelan jas dan dasi, Jerry duduk di pinggir ranjang seorang diri. Tubuhnya menunduk dengan kedua siku dibebankan di paha. Berkali-kali ia mengusak wajah dan rambutnya yang sudah berantakan.

Si tampan berusia 44 tahun itu tak habis pikir dengan kelakuan anaknya di sekolah. Jerry dan Angel sudah mencoba banyak cara agar si bungsu berhenti membuat kekacauan. Namun, Jiji bukan tipe remaja yang cukup dengan nasihat, pun anak itu tetap tidak kapok saat diberi hukuman.

Decit pintu kamar mengundang tubuh kekar sang tuan menegak. Ia berbalik dan mendapati istri cantiknya berjalan setelah menutup pintu kamar mereka.

“Gimana? Dia udah mau ngomong sama aku?” tanya Jerry tanpa basa-basi. Namun, Angel merespon dengan geleng pelan.

Gadis itu bergabung dengan sang suami, lalu menepuk pundaknya dua kali. Telapaknya membelai lembut lengan kekar Jerry, kemudian menjelajahi pergelangannya hingga jemarinya bertaut dengan milik lelaki itu.

“Sabar, Mas. Biarin dia nangis sendiri dulu,” tutur Angel mencoba untuk meredam amarah sang tuan.

“Anakmu nggak perlu nangis kalo dia nggak salah, Angel.”

Ternyata, percuma saja ia menenangkan suaminya. Tujuh belas tahun tinggal di bawah atap yang sama membuat Angel hapal bahwa lelaki di sampingnya menjadi tidak tersentuh di saat seperti ini. Kini ia semakin percaya saat Beler berkata Jerry terlihat menakutkan jika sedang marah.

Sambil menghela napas kasar, Jerry meremas jemari sang istri. Setelahnya, benar-benar tak ada obrolan di antara mereka. Keduanya hanya berdiam diri sembari menonton aksi burung gereja di luar jendela. Dari pada Angel terkena imbasnya, lebih baik ia diam.


“Masih belum mau ketemu aku?” tanya Jerry setelah Angel keluar dari kamar Jiji.

Saat gadis itu menggeleng, punggung sang tuan menubruk dinding di belakangnya. Bohong jika ia tidak khawatir sekarang. Raut lelaki yang sudah mengganti pakaiannya menjadi kaos santai dan celana pendek itu terlihat begitu gusar di depan kamar anaknya.

Sudah hampir tiga jam Jiji tidak keluar kamar, bahkan untuk makan siang. Tidak seperti biasanya si bungsu seperti ini. Dalam kasus-kasus sebelumnya, anak itu selalu menjelaskan dengan tenang dan tanpa rasa bersalah pada Jerry. Meski Jiji tahu dirinya salah, ia tidak takut untuk melawan guru BK.

“Suruh dia makan dulu, nanti sakit. Aku yang di kamar,” ucap lelaki itu sebelum beranjak masuk ke kamar mereka.

Lagi-lagi Angel hanya mampu menatap pintu yang sudah tertutup. Ia menjadi linglung setiap keadaan berubah seperti ini. Gadis itu ingin mendukung Jerry tanpa menyudutkan Jiji. Namun, nyatanya ia dipaksa untuk memilih salah satu pihak.

image


Suaminya sedang berbaring miring seraya memejamkan mata kala Angel masuk ke kamar setelah selesai menemani Jiji makan siang. Gadis itu kemudian naik ke atas ranjang dan memeluk punggung Jerry. Ia menyalurkan kehangatan, berharap mampu menenangkan sang tuan.

“Kamu nggak mau ngobrol sama Jiji, Mas?” bisik Angel.

Lelaki yang sekarang sudah membuka matanya hanya bergumam pelan. Ia kemudian berbalik dan menatap istrinya. Senyum teduh Angel memancing kedua sudut bibir Jerry terangkat. “Emang dia udah mau ketemu aku?” tanyanya yang langsung mendapat senyum anggun dari Angel.

“Coba dulu, Mas. Kalo kalian sama-sama nunggu nggak bakal ada ujungnya.”

Jerry mengangguk. “Aku boleh minta tolong nggak?”

“Apa?”

“Tolong suruh Adek temuin aku di samping kolam, ya.” Jerry sempat mengecup kening Angel selama beberapa detik sebelum ia beranjak.

Seharusnya Angel sudah tahu permintaan tersebut. Lelaki itu memang lebih sering berbicara dengan anak-anaknya di sana. Katanya, agar Abang dan Adek dapat menggunakan kamar mereka sebagai comfort zone yang tak tersentuh orang lain.


image

Sudah lebih dari sepuluh menit Jerry duduk bersandar bantalan empuk di pinggir kolam berenang. Tangan kanannya menjadi sandaran kepala sementara tangan kiri memainkan benda yang tadi ia titip pada Dave.

“Pa,” panggil Jiji dengan suara yang nyaris tak terdengar.

Yang dipanggil kemudian memasukkan benda di tangan kirinya,lalu merespon si bungsu tanpa menoleh sedikit pun. “Duduk, Ji.”

Samar-samar ia menangkap sosok itu mendekat dan duduk di sampingnya. Jemari tangan Jiji bertaut seraya kepalanya terus menunduk. Dilihat dari gerak-geriknya, putranya terlihat sedang ketakutan.

Jerry pun menghela napas panjang sebelum memulai perbincangan mereka.

“How's your day?” tanya Jerry masih dengan menatap lurus bayangan pohon yang tercetak di atas permukaan air kolam.

“B-better than nothing,” jawab Jiji.

“I'm sorry for what happened to you.”

Netra si remaja langsung menatap bingung papanya. “Hm?”

“Disuruh belajar di rumah seminggu, kan?” tanya Jerry memastikan.

“I'm sorry.” Anaknya kembali menundukkan kepala.

“Boleh nggak kalo Papa minta Jiji buat ceritain semua yang Jiji kerjain di sekolah hari ini?”

Si bungsu mengangguk, kemudian mulai membuka mulutnya untuk bercerita.

“Tadi Adek cuma mau jajan di kantin, terus malah diajak sam-”

“Ji? Papa kan minta Jiji cerita semua, berarti dari awal setelah Papa turunin Jiji di lobby sekolah dong,” tutur Jerry memotong kalimat Jiji sebelumnya.

“Oh? Sorry, Pa.”

“Hm, coba ulang ceritanya dari awal,” pinta lelaki itu.

Sejujurnya, Jiji juga tidak tahu mengapa Jerry meminta dirinya untuk bercerita seluruh kegiatannya. Namun, itu bukan hal sulit karena ia hanya menghabiskan waktu selama empat jam di sekolah.

Ceritanya bermula saat tungkai jenjang Jiji dan Ajen turun dari mobil sang ayah. Ia berjalan masuk ke dalam gedung sekolahnya, sementara abangnya tetap berdiri di tempat hingga punggung Jiji tak terlihat. Gedung sekolah Ajen ada di sebelah barat gedung SMP, jadi ia harus berjalan sebentar untuk sampai di sana.

Setelah menyapa guru piket, Jiji bergegas ke arah lift untuk mengantre. Sialnya, jajaran siswa dan guru yang terlampau panjang membuat niat remaja itu menciut. Terpaksa ia berbalik dan memilih menggunakan fasilitas lain, yaitu anak tangga.

Semua kegiatan berjalan seperti biasa. Bel berbunyi pukul 6.30 WIB, disusul renungan pagi dan menyanyikan lagu Indonesia Raya, guru masuk kelas, Jiji belajar, pusing, bel pergantian pelajaran, Jiji belajar lagi, pusing lagi, kemudian mengantuk, hingga kesadarannya kembali saat bel istirahat berbunyi.

Waktu istirahat pun ia gunakan sebaik-baiknya untuk menyantap masakan Bibi yang sudah Angel siapkan di lunch box. Kali ini semur daging dan bakwan jagung yang memenuhi perut lapar Jiji. Setelahnya, ia dan teman-teman membeli ice cream di kantin.

Kenormalan itu berlangsung sampai salah seorang teman Jiji mengajak dirinya dan beberapa siswa lain ke taman belakang sekolah. Jiji yang melihat bel masuk masih berdering sekitar tujuh menit lagi pun mengiyakan ajakan tersebut. Lagi pula, terlambat masuk kelas setelah bel istiharat selesai bukanlah sebuah dosa.

Saat sampai di taman belakang, seorang dari mereka mengeluarkan benda yang Jiji tahu itu sangat terlarang di sekolahnya. Bungkus kotak berbentuk persegi panjang dengan gambar leher berlubang membuat netra remaja itu membelalak.

“Adek juga kaget pas Leo keluarin rokoknya, Pa!” pekik Jiji disertai kerutan di dahinya.

Jerry yang mendengar hal tersebut pun tersenyum penuh arti. Ternyata Leo yang bawa rokok ke sekolah, batinnya.

“Terus? Siapa aja yang ngerokok?” tanya lelaki itu.

image

Alih-alih langsung menjawab, Jiji justru menatap ragu sang ayah. “J-Jiji enggak,” lirih remaja itu.

Lelaki di sampingnya melingkarkan lengan ke bahu Jiji, memberi usapan lembut di punggung anaknya. Jerry sama sekali tidak mengintimidasi, namun auranya terasa sangat menakutkan.

“Kenapa?”

Jakun kecilnya bergerak naik turun, pertanda baru saja ada saliva yang mengalir di sana. Kepalanya lagi-lagi menunduk seraya tautan jari di atas lututnya mengerat. Jerry yang melihat hal tersebut pun menangkup tangan Jiji dan memindahkannya ke samping pahanya.

“Papa nggak marah kalo Jiji jujur sama Papa,” tutur Jerry.

“Jiji penasaran atau enggak sama rasa rokok?” Yang ditanya hanya menatap dirinya dengan mata berkaca-kaca.

“Ji?” panggil lelaki itu lagi.

“S-sedikit,” respon si bungsu.

“Alright, makasih udah jujur sama Papa.”

Telapak sebelah Jerry diangkat dan merogoh saku celananya. Ia mengeluarkan sebungkus rokok yang tadi dibeli oleh Dave di warung dekat rumah mereka. Sang tuan kemudian mengangkat benda itu dan menunjukkannya pada Jiji. Perlahan ia buka bungkus rokok tersebut, lalu mengeluarkan dua batang dari dalamnya.

“Tolong pegang dulu, Ji,” titah Jerry.

Dengan ragu remaja itu mengambil alih rokok dari jemari ayahnya. Sesaat kemudian, lelaki itu beranjak dan masuk ke dalam rumah, meninggalkan Jiji dengan tanda tanya besar. Tak lama setelahnya, Jerry kembali dengan segelas air mineral dan pematik kecil milik Mas Aryo yang ketinggalan di rumah.

“Normalnya, orang ngerokok tuh kayak gini, Ji.” Jerry mengapit satu batang rokok di antara telunjuk dan jari tengahnya, seperti perokok pada umumnya.

“Kalo kayak gini, biasanya orang yang selo banget, kayak Uncle Atuy sama Uncle Ojon,” lanjutnya sembari menjepit batang rokok itu dengan telunjuk dan ibu jari, lalu membiarkan ketiga jari lainnya terbuka.

“Hahaha, iya, Paman Atuy kalo ngerokok kayak gitu!” ungkap Jiji disertai tawa kecil.

Sang ayah pun tersenyum singkat. “Nah, sekarang coba Jiji nyalain rokoknya.”

“Hah? Dinyalain, Pa?”

“Iya. Katanya Jiji penasaran?” Putranya kikuk seketika, netranya mengerjap berkali-kali.

“Beneran dinyalain, Pa?” tanya Jiji ragu.

“Ya beneran lah, Sayang. Coba nyalain, Papa mau liat,” desak lelaki itu sembari menyodorkan korek yang ia bawa.

Jiji pun mengambil benda tersebut dari tangan ayahnya. Sebelum ibu jarinya menekan pematik itu, ia sempat menatap Jerry sekali lagi. Angguk sang tuan yang akhirnya meyakinkan Jiji untuk menyalakan rokok di tangannya.

“Oke, sekarang Papa pinjem koreknya buat nyalain rokok Papa,” pinta Jerry setelah melihat ujung rokok di tangan Jiji mulai terbakar.

Kini kedua lintingan di jari mereka sudah sama-sama menyala.

“Nah, sekarang Jiji jepit rokoknya pake bibir kayak gini,” ucap lelaki itu memperagakan pada sang anak yang langsung diikuti meski geraknya terlihat sangat kaku.

“Oke, terus Jiji hisap pelan-pelan rokoknya sampe mulut Jiji penuh.” Ia lagi-lagi memberi contoh pada remaja itu, sekalian mengenang masa-masa di mana dirinya masih merokok.

“Uhuk uhuk!”

Persis seperti dugaan Jerry, anaknya pasti terbatuk saat mencoba rokok untuk pertama kalinya. Ia lalu menepuk-nepuk punggung Jiji seraya terkekeh pelan. “Mau minum?” tawarnya yang langsung diiyakan oleh sang anak.

Jiji terlihat rakus menelan seisi gelas yang Jerry bawa tadi. Netranya masih tertutup, mungkin ingin menghilangkan sensasi aneh dari tenggorokannya.

“Gimana? Enak?”

“NO!” jawab remaja itu dengan wajah kesal.

“Hahaha! Nggak semua hal yang bikin penasaran itu memuaskan, Ji.”

Jiji menatap Jerry dari ujung gelas yang masih menempel di bibirnya.

“Papa nggak marah kalo Jiji penasaran sama banyak hal, itu wajar. Papa cuma minta Jiji harus lihat dampak ke depannya kalo Jiji mau coba hal baru. Kalo Jiji rasa oke-oke aja, Jiji boleh coba. Tapi, kalo itu bisa merugikan Jiji atau orang-orang disekitar Jiji, ya jangan dilanjutin.”

“Papa nggak pernah larang Jiji sama Abang buat ngerokok kok, sekali-kali boleh. Dulu Papa juga ngerokok,”

“Really? Bohong ah,” respon Jiji.

“Serius! Tapi Papa berhenti sejak ketemu sama Mama.”

“Why?” tanya si bungsu.

“Papa tau rokok emang nggak bagus buat kesehatan. Tapi, apa gunanya? Toh Papa yang bakal nanggung resiko sama penyakitnya. Pas Papa ketemu Mama, Papa jadi takut. Gimana kalo nanti Papa sakit? Pasti Mama kesusahan ngurusin Papa. Gimana kalo Papa meninggal duluan? Siapa yang bakal jagain Mama? Akhirnya, Papa nggak pernah beli rokok lagi. Sesekali masih ngerokok, pas ngumpul sama Uncle Ojon, Uncle Atuy, sama Uncle Aryo.”

Lengan kekarnya langsung dipeluk erat oleh si bungsu. Jerry merasakan ada sesuatu yang membasahi kaosnya.

“Maafin Jiji, Pa. Jiji janji nggak bakal ulangin,” tutur Adek di tengah isaknya.

“Papa pegang janji Jiji,” jawab lelaki itu sembari membelai surai anaknya.

“Tadi kenapa nangis, Dek? Kan Adek nggak salah?” tanya Jerry penasaran.

“S-soalnya guru-guru di sekolah nggak ada yang p-percaya sama Jiji.”

“Papa percaya sama Adek. Next time, Adek boleh cerita ke Papa walaupun orang lain nggak percaya sama Adek. Ya?”

“Eung,” jawab Jiji disertai anggukkan.

Jerry mengecup puncak surai anaknya setelah menghela napas lega. Untung saja ia tidak keburu emosi dan membiarkan amarah mendominasi pikirannya. Jika saja tadi Jerry langsung menyudutkan dan menghakimi putra bungsunya, ia pasti akan menyesal seumur hidup.

Seorang ayah memang dituntut untuk memiliki pundak kokoh guna bersandar anak-anaknya, pun hati kuat dan pikiran yang sabar dalam menghadapi mereka.

image


@guanhengai, 2022.

Permukaan air kolam dan secangkir teh hangat menemani Jerry menyelam benaknya sendiri. Tabur bintang di langit nyatanya tak mampu menggantikan kehadiran sang istri yang kini sedang menemani Jiji belajar. Ia harus menunggu sampai jarum jam menyentuh angka sembilan agar Angel kembali ke sisinya.

Hela napas berkali-kali terhempas dari hidung mancungnya hingga suara langkah kaki dari arah samping menyita perhatiannya. Lelaki itu menoleh perlahan dan mendapati putra sulungnya berjalan dengan kaos putih dan celana pendek. Raut dan rambut Ajen sama-sama berantakan, mungkin karena efek belajar.

“Pa,” panggilnya terdengar sangat lemas. Ia mengisi space kosong di samping Jerry dengan kepala menunduk.

Punggung tangan sang ayah menempel pada kening si tampan berusia enam belas tahun itu. Hangat. “Belajar seperlunya aja, Bang.”

“Hm,” respon Ajen seraya menjatuhkan kepalanya di bahu Jerry.

Mata keduanya menatap lurus bayangan pohon dan lampu taman belakang yang tercetak di atas permukaan air. Telapak hangat si dewasa membelai lembut punggung putranya. Tak ada bising lain, hanya suara binatang malam dan gemericik air kolam yang mendominasi.

“You good?” tanya Jerry memecah keheningan.

“Hm, so so,” jawab Ajen tanpa bergeser barang seinci.

“Mau cerita sama Papa?”

Anaknya mengangguk pelan. “Gimana kalo Ajen nggak keterima PTN, Pa?”

Lelaki itu mulai membelai kepala Ajen perlahan dan tidak langsung menjawab pertanyaannya.

Topik ini sedang menjadi perbincangan hangat di keluarga kecil mereka. Ajen yang mengambil kelas akselerasi harus mulai memikirkan rencana kuliahnya. Beberapa bulan lagi, ia akan menghadapi ujian kelulusan sekolah dan penerimaan mahasiswa baru.

Si sulung sudah menetapkan pilihan untuk menerima kado dari Alle, yaitu perusahaan yang kini dalam masa pemindahan kekuasaan. Melihat papanya enjoy dalam bekerja, Ajen rasa tidak ada salahnya ia mencoba.

Akan tetapi, lelaki tampan itu tidak langsung terjun ke perusahaan. Ia memilih untuk belajar perlahan dari Jerry, Aryo, dan Yogi dalam menjalankan perusahaan. Selama dirinya berproses, sang ayah akan membantunya untuk menjalankan perusahaan tersebut.

“Kalo akhirnya Ajen kuliah di swasta, nggak apa-apa?” tanya si sulung lagi.

Jerry sempat terdiam sebelum melontarkan sebuah pertanyaan. “Dari satu sampai seratu persen, seberapa pengen Abang masuk PTN?”

“Sixty, maybe.”

“Sisanya?”

“Ehm, I don't know. Ajen pikir di swasta juga oke. I mean, apa yang dipelajari juga sama, kan?”

image

Sang ayah mengangguk dan kembali membelai surai anaknya. “Pertanyaan tadi seharusnya ditanyain ke diri sendiri, Bang. Kalo Abang nggak keterima PTN, Abang nggak apa-apa? Kalo akhirnya Abang kuliah di swasta, Abang nggak apa-apa?”

Yang ditanya justru terdiam dan mulai berpikir. Hela napas kasarnya terdengar. Lagi-lagi, mereka dilingkupi oleh hening.

“Ajen nggak apa-apa,” tutur remaja itu setelah beberapa menit berpikir.

“Nah, ya udah,” respon sang ayah.

“Terus? Papa sama Mama gimana?”

“Gimana apanya?”

“Kalo Ajen kuliah di swasta.”

Jerry yang paham maksud pernyataan anaknya pun hanya tersenyum lembut. Ia paham, Ajen takut pilihan dan nasibnya akan membuat dirinya dan Angel kecewa.

“Abang, sekolah Abang itu pilihan Abang.” Jerry memulai lagi.

“Mau Abang kuliah di PTN, di swasta, atau di luar negeri sekalipun, Mama sama Papa bakal tetep dukung Abang. Masalah biaya, Abang jangan pikirin, itu kewajiban Papa. Abang cuma perlu konsisten sama pilihan Abang, gunakan kesempatan itu buat belajar dan koleksi pengalaman.”

Ini yang Ajen suka dari papanya. Ia tidak pernah takut untuk bercerita mengenai kegelisahannya karena tahu Jerry akan mendengar tanpa menghujat.

“Yang penting Abang berusaha sama berdoa. Kalo Abang cuma berusaha tanpa berdoa itu namanya sombong. Kalo Abang berdoa tanpa berusaha namanya mencobai Tuhan. Abang berdoa juga bukan biar diterima di kampus yang Abang mau, tapi biar hati Abang bisa menerima apa pun rencana yang nantinya Tuhan kasih. Okay?”

Ajen tersenyum sesaat sebelum dirinya memeluk lengan Jerry. “Alright, Captain!”

“Sayang Papa!” tambahnya lagi.

“Lebih sayang Papa atau cewek yang itu?” tanya Jerry menggoda anaknya.

Kepala yang tadinya bersandar manja kini sudah bangkit dan menatap bingung sang ayah. “Cewek apa?”

“Itu, yang pake jersey di lapangan basket,” jawab Jerry dengan senyum jahil.

image

Tatapan Ajen seketika berubah 180º seraya lengannya melepas pelukan. “PAPA NGINTIP CHAT AJEN SAMA MAMA?!”

Jerry justru tertawa lebar kala melihat wajah putranya merona. Suaranya menggema hingga burung-burung yang hampir memasuki alam mimpi terkejut dan terbang dari ranting pohon.

Sebenarnya, ia tidak sengaja melihat percakapan Ajen dan Angel di ponsel sang istri. Ketika Jerry meminjam ponsel tersebut untuk memesan makanan siap saji, notifikasi dari Ajen tiba-tiba muncul. Ibu jarinya yang jauh dari kata langsing pun tidak sengaja memencet notifikasi tersebut.

Matanya seketika membelalak saat foto seorang gadis tertera di layar. Meski tidak membaca lebih lanjut percakapan mereka, Jerry menangkap bahwa Ajen sedang bercerita mengenai seorang teman lawan jenis di sekolahnya.

Hahaha, ternyata anak sulungnya tumbuh begitu cepat.


@guanhengai, 2022.

“Sayang...”

Lengan Jerry mengungkung pinggang ramping istrinya dari belakang dan meletakkan dagunya di pundak kiri Angel. Ia ikut menatap tangan sang istri yang sedang sibuk bermain dengan panci dan spatula seraya hidungnya menghirup rakus aroma manis strawberry dari surai sang gadis.

image

Merasa tak nyaman, sosok dalam pelukan itu melengos kala bibir sang suami hampir menyentuh pipinya. Jerry yang menyadari respon aneh itu pun langsung mengerutkan dahi. “Kamu kenapa?” tanyanya serius.

“Nggak apa-apa. Kamu ngapain ke sini? Tunggu di kamar aja.”

Peluk hangat lelaki itu justru semakin erat seraya telapaknya membelai lembut lengan Angel. Kepalanya sedikit bergerak hingga pipi kirinya bertumpu pada bahu sang istri. Meski kini pemandangannya dipenuhi oleh leher jenjang sang gadis, ekor mata Jerry masih dapat menangkap raut kesal pada wajah cantik Angel.

“Kenapa, Sayang? Hm? Aku ada salah apa?” tanya lelaki itu masih dengan memeluk istrinya.

“Nggak ada,” respon Angel ketus.

Jakarta cukup dingin siang ini, mungkin karena sisa hujan yang turun tadi pagi setelah Abang dan Adek pergi. Namun, nada bicara Angel nyatanya jauh lebih dingin. Senyum yang tadi menemani Ajen dan Jiji pergi pun ikut berlalu.

Dua remaja itu memang lebih sering menghabiskan waktunya di luar rumah saat weekend tiba. Entah bepergian dengan kedua orang tuanya, bersama teman sekolah, teman gereja, anak-anak panti, atau dengan saudara mereka yang sedang berkunjung ke Jakarta seperti saat ini.

“Masa sih? Tapi kok dari kemarin kamu judes banget sama aku?” Jerry berhasil mencuri satu kecupan di pipi Angel sebelum tangannya bergerak untuk mematikan kompor.

“Mas?! Kok dimatiin? Itu sopnya kan bel-”

“Sttt, panasin sopnya bisa nanti lagi, aku belum laper.”

Pelukan lelaki itu terlepas, lalu tangannya membalik tubuh Angel agar berhadapan dengan dirinya. Jerry kemudian merampas spatula di tangan sang istri dan meletakkannya di dalan panci. Telapak kecil Angel diraih, lalu diajak menjauh dari panas kompor.

Setelah berjalan beberapa meter, Jerry membopong tubuh gadisnya agar teruduk di kitchen bar. Kini tatap mereka bertemu dan kedua lengan kekarnya bertumpu di masing-masing sisi pinggang Angel.

image

“Ada apa? Hm?”

Gelengan dan tatap malas Angel merupakan respon dari pertanyaan barusan.

“Sayang, kalo aku ada salah bilang aja, jangan kayak gini. Kenapa? Di mana salahku?”

Netra sang gadis tertutup sejenak. Ia menarik napas dalam-dalam dan mempersilakan aroma tubuh suaminya memenuhi indra penciumannya. Segala hal tentang Jerry memang mampu membuatnya luluh. Hangat, lembut, tenang, dan tegas.

Jerry jarang menaikkan intonasi suaranya ketika berbicara, pun jika anak-anak mereka melakukan kesalahan ia tetap menegur dengan penuh kasih. Namun, setelahnya lelaki itu akan memberi sedikit punishment atas kesalahan mereka. Menurut Angel, beberapa punishment Jerry pada Jiji terlalu berlebihan.

Putra bungsu mereka memang terkesan bebas dan tidak suka dengan aturan. Beberapa kali Angel harus datang ke sekolah Jiji karena anak berusia 13 tahun itu dianggap kurang disiplin dalam mengikuti kegiatan belajar mengajar. Hingga beberapa minggu yang lalu, Jerry turun tangan dan menghadap kepala sekolah.

Ia meminta agar pihak sekolah tetap memberi hukuman pada anaknya meski Jiji merupakan keponakan dari pemilik sekolah tersebut. Ya, Mas Aryo sudah mengakuisi yayasan tempat Ajen dan Jiji menimba ilmu.

“Kamu keterlaluan sama Jiji, Mas,” kata Angel.

“Hah? Maksudnya?”

“Kemarin kamu nggak kasih dia uang tambahan buat beli kaos kaki. Untung Ajen beliin Jiji makanan pas istirahat kedua. Coba kalo enggak? Kamu mau maagnya Jiji kambuh?”

Yang diomeli justru terkekeh pelan. Kepalanya menunduk hingga rambut tebalnya membelai wajah cantik sang istri.

“Sayang,” panggil Jerry setelah menegakkan tubuhnya. Kedua telapak lelaki itu kini berpindah ke bahu Angel

“Kalo Abang beliin Adek makanan pake uangnya, berarti jatah jajan Abang berkurang dong? Terus, pas Adek makan, Abang nggak makan dong?”

Pertanyaan tersebut lantas membuat Angel terbelalak. Bagaimana bisa ia melupakan hal tersebut? Angel benar-benar tidak berpikir sampai ke sana sebab kemarin hanya Jiji yang ada dalam pikirannya.

“T-terus? Abang nggak makan, Mas?”

Lelaki itu tersenyum dan menatap lembut istrinya. Jemari tangan Jerry menyisir surai Angel dan menyembunyikan beberapa helai di balik telinga si cantik.

image

“Sayang, kemarin aku kasih Ajen uang jajan tambahan. Bukan buat Ajen, tapi buat adeknya. Kenapa aku nggak kasih langsung ke Jiji? Biar dia nggak ngulangin kesalahannya yang kemarin. Kalo aku langsung kasih ke dia, pasti seterusnya dia bakal berpikir oh, Papa bakal kasih aku uang buat beli kaos kaki kok, jadi tenang aja kalo kaos kakinya ilang. Kamu nggak mau kan anakmu kayak gitu terus?”

Angel menggeleng pelan. Setelahnya, ia menarik tubuh Jerry dan memeluk sang suami. Gadis itu mendengar kekehan pelan yang disusul belai lembut di rambut dan punggungnya. Tidak masalah jika mereka bermesraan di dapur, toh tidak ada penghuni lain di rumah ini.

“Sorry,” gumam Angel dalam pelukan suaminya.

“You don't have to say sorry. Aku yang minta maaf karena lupa kasih tau kamu, jadi salah paham gini deh. Sorry ya, Sayang,” jawab Jerry yang lalu mengecup kening sang istri.

Gadis itu merasakan desir darahnya melampaui batas maksimal. Ia terus bersembunyi di dada Jerry karena yakin wajahnya kini diselimuti rona padam. Jemarinya mencengkram kaos Jerry sebelum berkata, “Kita jadi itu, Mas?”

Tubuh sang suami menegang seketika. Nyatanya, bukan hanya wajah Angel yang memerah. Raut dan telinga Jerry kini jauh lebih padam.

“Nggak usah. Aku cuma mau berduaan sama kamu di rumah,” jawab Jerry berusaha terdengar santai.

Ada sedikit rasa lega di dada Angel saat mendengar pernyataan tersebut. Pasalnya, mereka kehabisan stock pengaman di laci dan terlalu malas untuk pergi ke luar rumah.

Sejak mereka 'kebablasan' yang akhirnya menghadirkan Jiji dan Jeje, gadis itu selalu memaksa suaminya untuk mengenakan pengaman saat berhubungan. Pernah beberapa kali mereka lupa dan malas, tentu di luar masa subur Angel. Namun, ini baru beberapa hari setelah tamu bulanannya datang. Resiko pembuahan berhasil masih sangat besar.


@guanhengai, 2022.

Ojon dan Atuy sedang menyusun makanan ringan kala Jerry sampai di panti. Decit pintu kayu pemisah dapur dan ruang tengah berhasil menyita perhatian keduanya. Salah satu lelaki bersurai gondrong di sana menggeser kursi, mempersilakan Jerry yang sedang menggendong Ajen untuk duduk di sana.

“Kenapa?” tanya Ojon tanpa suara sembari melirik bocah berusia lima tahun yang terlihat lesu.

“Bukannya hari ini kelulusan TK?” Atuy ikut menimpali.

Lelaki yang ditanya hanya mengangguk seraya telapaknya terus mengusap punggung Ajen.

Beberapa saat setelahnya, hentak kecil menyambut gendang telinga mereka. Jiji dengan sepatu mininya berlari ke arah meja makan, membuat Atuy berjongkok dan melebarkan tangannya. Naas, Jiji lebih memilih menubruk kaki jenjang Ojon dari pada mendarat di pelukan Atuy.

Lelaki gondrong itu pun menatap putra bungsu Jerry dengan tatapan sinis. “Masih kecil aja udah pilih kasih,” gumamnya yang langsung mendapat tabokan dari Ojon.

“Jiji mau makanan apa? Uncle punya banyak makanan nih,” tutur Ojon setelah mengangkat tubuh keponakannya.

“Au itu!” jawab Adek menunjuk salah satu kue cokelat di atas meja. Setelah diberi, mulut kecilnya terbuka lebar untuk memasukkan kue tersebut.

“Adek, minumnya Mama taruh di meja, ya?”

Angel datang sembari meletakkan botol minum bergambar Frozen di atas meja. Ia juga membawa koper kecil serta ransel yang mereka yakini berisi susu Ajen dan Jiji. Gadis itu sempat bersalaman pada Atuy dan Ojon sebelum pamit ke kamar yang memang tersedia untuk keluarga mereka.

“Jiji mau main sama Uncle Ojon nggak?” tawar Ojon pada Jiji yang masih sibuk memasukkan kue cokelat ke mulut kecilnya.

“Ain apah?”

“Main balon tiup?”

“Auu!!!!”

“Habisin dulu kuenya, Dek,” tutur Jerry.

“Iyah, Papa.”

“Gemes banget sih anak lo, Jerrrr!” Atuy mencubit pelan pipi Jiji dan membuat bocah itu merengek pelan.

Setelah telapak kecilnya kosong, dua lelaki dewasa itu mengajak si bungsu ke halaman panti untuk bermain di sana. Bukan hanya mereka bertiga, beberapa anak panti yang sudah pulang dari sekolah pun ikut bergabung. Jiji senang bukan main. Pasalnya, sedari tadi sang kakak tidak ingin diajak bermain olehnya.

image

Jerry yang masih duduk di kursi makan berusaha menawarkan beberapa jenis snack pada Ajen. Namun, anak itu menolak semuanya. “Abang belum mau ngomong sama Papa?” tanya lelaki itu seraya membelai puncak surai putranya.

“M-mau,” gumam Ajen dalam ceruk leher sang ayah.

Jerry kemudian mendorong sedikit bahu Ajen agar mereka berhadapan. “Abang mau cerita apa sama Papa? Hm?”

“Abang sad, Abang malu, Abang afraid,” jawab bocah itu menahan tangis.

“Kenapa Abang sad? Kenapa Abang malu? Kenapa Abang afraid?”

“Abang sad nggak dapet juara, Abang malu sama temen-temen, Abang takut Papa sama Mama marah sama Abang.”

Saat matanya berkedip, satu tetes air mata lolos dari kelopaknya. Jerry yang melihat hal tersebut pun mengusap pipi Ajen dan tersenyum. “It's okay kalau Abang ngerasa sad karena nggak dapet apa yang Abang mau. It's okay kalau Abang ngerasa malu sama temen-temen walaupun mereka nggak bakal ketawain Abang karena nggak dapet juara. Mereka juga fokus ke diri masing-masing, Bang.”

“Tapi, Abang nggak perlu takut. Mama sama Papa nggak bakal marah sama Abang. Abang dapet juara satu, dua, tiga, atau nggak dapet sama sekali, Mama sama Papa tetep bangga sama Abang. Mama sama Papa ngajarin Abang bukan biar Abang dapet juara, tapi biar Abang paham sama apa yang diajarin guru.”

Ajen kembali memeluk sang ayah, lalu menangis tersedu-sedu di bahu Jerry.

Hari ini merupakan hari kelulusan si sulung dari taman kanak-kanak. Sama seperti hari kelulusan pada umumnya, seluruh orang tua diundang ke sekolah dan beberapa anak mendapat piala atas prestasi mereka.

Sehari sebelumnya, Ajen bercerita bahwa ia ingin membawa pulang piala kejuaraan dan memajangnya bersama dengan penghargaan Jerry di lemari ruang tamu. Ia juga berjanji akan membelikan ice cream untuk Jiji jika berhasil membawa pulang piala tersebut. Lantas janji itu mendapat respon positif dari adiknya.

Jerry mengusap serta menepuknya punggung Ajen yang masih bergetar. “Abang, nggak semua orang hebat dapet piala loh. Abang melakukan kebaikan nggak bakal ada pialanya. Abang selalu berkata dan bersikap jujur nggak bakal ada pialanya. Abang beriman pada Tuhan juga nggak bakal ada pialanya. Abang boleh belajar giat biar dapet piala, tapi bukan itu yang utama.”

“Abang nggak perlu jadi yang terbaik di sekolah, cukup berikan dan lakukan yang terbaik yang Abang bisa. Papa sama Mama bangga sama Abang bukan karena juara atau piala, tapi karena Abang mau berusaha dan melakukan yang terbaik. Jadi, Abang nggak perlu takut, ya? Mama sama Papa nggak akan marah sama Abang.”

Bocah kecil yang masih menangis di pelukannya pun mengangguk. Dibiarkannya bocah itu melepaskan semua beban yang mengganjal dalam dadanya. Di usia seperti Ajen —bahkan di usia berapa pun, wajar jika anak merasa insecure atas prestasinya di sekolah.

Seharusnya, tugas orang tua adalah membantu mereka menarik kembali kepercayaan dirinya. Namun, di luar sana lebih banyak orang tua yang justru menambah rasa insecure anak mereka.

Waktu lima belas menit mereka lalui tanpa ada kata terucap dari mulut masing-masing. Setelah merasa lebih baik, Ajen pamit untuk bergabung dengan Ojon dan Atuy di halaman panti. Tentu Jerry mengizinkan, Ajen butuh hiburan setelah merasakan kesedihan.

Lelaki itu menggandeng putranya melewati lorong panti. Akan tetapi, langkah kecil Ajen terhenti saat melihat sosok yang asing baginya. Sosok itu duduk membelakangi mereka dan menatap lurus ke arah halaman belakang.

“Papa, who is that?” tanya Ajen pada sang ayah sembari menunjuk seseorang yang ia lihat.

Jerry pun mempersempit pandangannya dan mencoba fokus pada sosok tersebut. Sepersekon kemudian, netranya membelalak kala menyadari siapa yang sedang duduk di teras belakang itu.

“Papa? Siapa?” tanya si kecil lagi.

Ia berjongkok dan menatap anaknya. “Sayang, itu yang namanya Uncle Adil. Papa pernah kan cerita ke Abang tentang Uncle Adil?”

Ajen mengangguk dan menatap excited sang ayah. “Abang boleh samperin Uncle Adil?”

Pertanyaan Ajen kali ini tidak langsung dijawab oleh Jerry. Otaknya berpikir keras untuk merespon pertanyaan sang anak. Katakan Jerry jahat, tetapi ia tahu Mas Adil bukan seseorang yang mudah didekati, terutama oleh anak kecil.

“Papa? Boleh, ya?”

Jika putranya sudah memamerkan tatap memohon, lelaki itu tidak memiliki pilihan lagi. “Ya udah, boleh.”

“YES!”

Setelahnya, ia melihat punggung si sulung perlahan menjauh. Setiap langkah Ajen disertai doa dari Jerry. Lelaki itu hanya berharap Mas Adil tidak melakukan hal buruk pada anaknya.


“Uncle Adil?”

Sosok kecil bermata sipit itu mengintip manusia yang ia ajak berbicara. Meski wajahnya teduh, aura gelap tetap mengelilingi tubuh Adil. Tak dapat dipungkiri, dada Ajen pun berdebar kala menunggu respon manusia dewasa itu.

“Siapa lo? Anak baru?”

Kini jantung Ajen terasa berhenti. Respon Adil sama sekali tidak terduga olehnya.

“Ajen,” jawab bocah itu seraya mengulurkan tangan.

Perlu dicatat. Jika Ajen memperkenalkan diri sebagai Ajen alih-alih menggunakan nama Djennar, berarti ia ingin mengenal orang itu lebih dekat.

“Gue nggak nanya nama lo. Sana main aja sama temen-temen lo di depan, gue nggak suka anak kecil.”

Wajah si kecil kini sudah memerah. Bukan karena takut atau sedih, tetapi karena malu ditolak mentah-mentah. Namun, bukan Ajen jika tidak keras kepala.

“Di depan panas, Ajen mau duduk di sini aja.”

Kursi kosong di samping Adil pun terisi oleh tubuh mungilnya. Tangan Ajen bertumpu pada kedua sisi kursi seperti apa yang Adil lakukan. Pria di sampingnya pun melirik anak berkulit cerah itu dan berdecak kesal.

“Uncle Adil kok ngg-”

“Diem! Gue bilang gue nggak suka anak kecil.”

“Okay, Ajen diem.”

Ia sungguh-sungguh dengan perkataannya. Kaki kecil yang menjuntai karena tak sampai lantai itu bergoyang bebas, matanya menikmati pemandangan yang jarang ia lihat di Jakarta, pun rambut tebalnya berkali-kali tertiup angin sore nan dingin.

Beberapa lagu anak-anak sudah terlantun dari mulutnya dengan volume sangat pelan. Namun, Adil masih belum mengajaknya berbicara.

Ajen tidak terlalu suka keramaian, namun ia juga benci situasi seperti ini. Sungguh, banyak sekali pertanyaan dalam kepalanya yang ingin ia lontarkan pada sosok di sampingnya.

“Ngapain lo liat-liat gue?”

“Ajen nggak pernah liat Uncle Adil di pant-”

“Dari mana lo tau nama gue?”

“Dari Papa.”

Entah apa yang lucu, tetapi Adil menertawakan jawaban tersebut.

“Papa? Mimpi, lo? Ini panti asuhan. PAN-TI A-SU-HAN. Di sini nggak ada yang punya orang tua.”

“Papa Jerry.”

Bocah itu dapat melihat tubuh Adil yang tiba-tiba menegang. Detik selanjutnya, kepala si dewasa menoleh perlahan dan menatap lekat dirinya. Jantung yang semula sudah berdetak normal pun kembali berdebar kencang.

“Lo anaknya Jerry?” tanya Adil dengan senyum yang tak mampu Ajen artikan.

Anak itu hanya mengangguk pelan. Sungguh, tatapan Adil membuat nyalinya menciut.

“Oh, pantes SKSD.”

Ajen mengerutkan keningnya. Jika SNSD, ia tahu. Mamanya sering memutar lagu mereka saat sang ayah berada di kantor. Namun, jika SKSD, ia belum pernah mendengarnya.

“Ehm, SKSD itu ap-”

“Diem. Gue udah nggak ngajak lo ngomong!”

Akhirnya Ajen hanya menghela napas. Ada sedikit rasa kesal dan kecewa karena ia memutuskan untuk menghampiri Adil. Ajen pikir uncle satu ini butuh teman karena terlihat kesepian. Namun, ternyata ada manusia di dunia ini yang lebih memilih menikmati kesepian itu dan menolak kehadiran orang lain.

“Abang! Acaranya udah mau dimulai!” Bukan hanya Ajen yang mendengar, Adil pun dapat menangkap suara Angel dengan jelas.

“Tuh, dipanggil nyokap lo.”

Bokongnya bergeser maju untuk membantu kakinya menyentuh lantai. Saat dirinya berhasil berdiri, Ajen berjalan ke arah Adil. Tangannya meraih paksa jari kelingking pria itu dan menautkan pada kelingkingnya.

“Kalo Uncle nggak suka ngobrol sama anak kecil, Uncle harus tunggu Ajen gede. Nanti kita ngobrol lagi di sini. Janji? Oke, Uncle udah janji. Bye, Unclenya Ajen!”

Lambaian tangan kecil itu terus ditatap oleh Adil hingga sosoknya menjauh dan pergi menemui ibunya.

Tujuan Adil berkunjung ke panti adalah untuk mengambil semua barang miliknya dan pergi sejauh-jauhnya dari kota ini. Ia merasa malu dan bersalah karena pernah berbuat tidak baik pada seisi panti ini.

Namun, Ajen justru datang dan menyapa dirinya di saat semua anak takut padanya. Bocah kecil itu membuatnya terikat. Meski bukan orang baik, Adil tidak ingin melanggar janji.

Kedua sudut bibirnya terangkat saat Ajen menengok ke arahnya. “Gue tunggu sampe lo gede, Jen.”

image


@guanhengai, 2022.

Selimut putih tebal merupakan benda pertama yang Angel notice saat dirinya terbangun. Detik setelahnya, gadis itu baru merasakan pergerakan di sampingnya.

“Morning, Cantik,” sapa sang suami dengan senyum manis dan muka bantal.

“Morning, Mas,” jawab Angel.

Kecup hangat di pelipis gadis itu mengundang kedua sudut bibirnya terangkat. Telapak hangat Jerry kemudian mendarat di pinggang rampingnya. “Gimana tidurnya? Nyenyak?” tanya lelaki itu sembari menyisir rambut tebal sang istri.

“Nyenyak. Kamu?”

“Kalo dipeluk kamu selalu nyenyak.” Sepertinya, ini masih terlalu pagi untuk melontarkan gombalan.

“Gimana kepalanya? Masih pusing?” tanya Jerry lagi disertai raut khawatir.

Sejak satu minggu yang lalu, Angel terpaksa berdiam diri di kamar karena demam dan flu berat. Mungkin gadis itu kelelahan karena harus mengurus banyak hal perhilan kepindahan mereka dari Kalimantan. Ia sempat diminta untuk bermalam di rumah sakit, namun Angel menolak karena tidak ingin berpisah dengan anak-anaknya.

Jika anak sakit, orang tua merasa sedih. Jika suami sakit, istri merasa sedih. Jika istri sakit, seluruh rumah terasa hampa. Mereka kehilangan sosok yang setiap pagi membangunkan Abang dan Adek, menyiapkan baju kerja Jerry, mengantar mereka sampai depan sebelum berangkat kerja dan sekolah, serta menyambut mereka pulang.

Memang benar, semua boleh sakit, kecuali Ibu.

“Udah nggak sepusing kemarin,” jawabnya sedikit bindeng.

“Perutnya gimana? Masih kram?” tanya Jerry lagi. Pasalnya, dua hari yang lalu sang istri kedatangan tamu bulanan di tengah-tengah sakit. Jujur, lelaki itu tidak tega melihat Angel tidur dengan dahi mengerut. Rasanya ia ingin berbagi sakit yang diderita gadis itu.

“Udah enggak kok.”

Suaminya lantas mengangguk seraya memeluk erat sang istri. Lengan kekarnya menjadi bantalan bagi kepala Angel dan telapak sebelahnya menepuk-nepuk bokong gadis itu.

“Aku kayak lagi boboin Adek deh,” celetuk Jerry yang mendapat kekehan pelan dari sang istri.

“Aku lucunya sebelas dua belas sama Adek kok,” respon Angel.

“HAHAHA! Iya, bawelnya juga.”

“Enak aja! Kamu yang bawel, Mas!”

Tawa Jerry memenuhi kamar yang masih dilingkupi remang lampu tidur. Langit di luar masih gelap, belum ada berkas cahaya yang menembus tirai mereka. Pun suara sapu dan pel Bibi belum terdengar. Saat Angel melihat ke arah jam dinding, ternyata masih pukul lima pagi.

image

Brruuuttt

“IH MAS JERRY! JOROK!” pekik Angel yang langsung mendorong tubuh suaminya.

“Kenapa sih? Kentut manusiawi kali,” jawab Jerry tak mau disalahkan.

“Tapi bauuuu!” Sang gadis langsung menjepit hidungnya rapat-rapat, menutup akses bagi udara yang terkontaminasi gas dari tubuh lelaki di depannya.

“Emang kecium?” tanya si pelaku tanpa rasa bersalah.

“Kecium lah!”

“Oh, berarti kamu udah nggak pilek lagi.”

“Anj-”

“Hey, jangan swearing ah,” ucap Jerry sembari menarik kembali sang istri ke dalam pelukan.

Meski sudah menolak, tenaga Angel tentu tak ada apa-apanya dibandingkan tenaga suaminya. Tubuh mungilnya berhasil didekap Jerry di balik selimut putih.

“Jangan sakit lagi, aku sedih,” tutur lelaki itu setelah dagunya bertumpu di kepala Angel.

“Maaf ya, kamu jadi kerepotan ngurus Abang sama Adek sendirian.”

“Nggak usah minta maaf, itu kan kewajibanku juga. Udah ah, mau bobok lagi nggak?”

Ia menggeleng. Sepertinya, Angel sudah terlalu bosan di kamar selama satu minggu. Pagi ini kepalanya tidak seberat hari-hari sebelumnya, ia juga berencana untuk kembali beraktivitas di luar kamar. Jika Jerry mengizinkan.

“Nanti aku mau nganter Abang ke sekolah,” gumam Angel di dalam pelukan sang suami.

“Emangnya udah kuat, Sayang?” tanya lelaki itu memastikan. Tanpa perlu berpikir, istrinya langsung mengangguk.

“Ya udah, tapi kamu nggak usah turun dari mobil. Nanti aku juga ikut anter Abang ke sekolah.” Dari pada tidak sama sekali, lebih baik Angel setuju.

Satu jam setelahnya diisi oleh obrolan ringan mereka. Mengenai pertumbuhan Adek, rencana sekolah Abang setelah lulus dari TK, rencana vaksin Ponco, hasil kerja Bibi baru, gaji Beler dan Bibi, serta cara mereka menjelaskan pada Ajen mengenai perusahaan pemberian Alle —yang sampai saat ini belum dilakukan.

image

Embun yang menempel di jendela kamar mereka perlahan sirna kala mentari mulai menampakkan sinarnya. Sedikit demi sedikit bercak cahaya mencipta bayangan di lantai kamar Jerry dan Angel. Namun, sinar tersebut tak mampu mengalahkan hangat tubuh mereka.

Tok tok tok

“Papa! Mama!” Suara Ajen terdengar dari balik pintu kamar mereka.

“Eungh, emang udah jam berapa sih?” tanya sang gadis seraya menggeliat manja.

“Jam enam,” jawab Jerry sebelum beranjak duduk.

“Doa dulu, Sayang,” tutur lelaki itu sembari menarik pelan lengan Angel.

Dengan wajah bantal dan tubuh yang masih lemas, gadis itu bersandar di kepala kasur. Kedua telapaknya dikungkung sang suami selama doa terlontar dari mulutnya. Beberapa menit setelahnya, mata mereka sama-sama terbuka dan kecup di masing-masing pipi sang gadis merupakan pertanda aktivitas hari ini akan segera dimulai.

Tok tok tok

“PAPA!!! MAMA!!!” pekik Ajen naik satu oktaf karena tak mendapat jawaban dari orang tuanya.

“Iya, Abang! Masuk aja, nggak dikunci!” jawab Jerry dari tempatnya.

Sepersekon kemudian, dua makhluk kecil muncul dari balik pintu. Ternyata bukan Abang yang menggedor pintu mereka, melainkan adik kecilnya. Ajen dan Jiji segera berlari ke arah kasur di mana Angel terduduk.

“Mama!” panggil Jiji di sela-sela larinya.

“Adek, hati-hati!” tegur Angel pelan.

Tubuh kecil itu langsung memanjat ke atas kasur dan menubruk Angel. Beberapa hari yang lalu, Jiji menangis di kamar mereka karena melihat Angel berbaring tak berdaya. Bocah berusia dua tahun itu juga sempat memaksa agar ia diizinkan tidur dengan sang ibu. Namun, Jerry langsung melarang karena takut Jiji tertular.

“Mama dah cembuh? Adek mo maen obingg!” (Translate: Mama udah sembuh? Adek mau main mobil!)

“Iya, nanti kita main bareng-bareng ya, Dek?”

“Cama Babang!”

“Iya, ajak Abang juga.”

Setelahnya, Angel merasakan beban tambahan melingkar di lehernya. Lengan kecil Ajen sudah mengikat tengkuk gadis itu sembari jemarinya menjawil pipi Jiji yang sedang bersandar di dada Angel.

“Mama, boleh nggak Abang skip sekolah hari ini?” tanya Ajen sedikit berbisik, takut papanya dengar.

“Kenapa mau skip, Jen?” tanya Jerry yang ternyata tetap mendengarnya.

Angel yang merasakan tubuh si sulung menegang pun membelai lembut lengan Ajen. “Emang kenapa, Bang?” tanyanya lembut.

“I don't know, Abang lagi capek aja.”

“Nggak ada yang salah di sekolah, kan?” Jerry kembali bergabung dengan istri dan anak-anaknya di atas kasur.

Sebelum menjawab, Ajen melepas tautannya di leher Angel dan duduk di samping gadis itu. “Nope. Pengen sama Mama aja,” jawabnya pelan seraya memeluk lengan Angel.

“Ya udah, hari ini boleh skip. Tapi Abang di rumah aja, main sama Adek sama Mama,” jawab Jerry yang langsung diserbu peluk dan cium dari si sulung.

“Thank you, Papa!” pekik Ajen.

“Sama-sama, Sayang. Besok masuk lagi, ya?”

“SIAP!”

image

Setelah mendapat persetujuan dari kedua orang tuanya, wajah Ajen yang semula mendung pun kembali cerah. Pipi gembul Jiji dikecup berkali-kali hingga bocah itu merengek kesal.

“Babang! Hush, hush, hush!” Tangan mungilnya melambai seakan mengusir sang kakak.

Alih-alih menghindar, Ajen justru semakin erat memeluk adiknya hingga tubuh kecil itu oleng dan terbaring di kasur. Hal tersebut pun digunakan oleh Ajen untuk mengungkung dan menguasai adiknya.

“BABANGGG!!! HUAAAAA!!!”

Angel dan Jerry hanya menghela napas kala tangis si bungsu pecah. Ini merupakan hal biasa yang mereka alami sehari-hari. Bukan hanya Ajen, bahkan Jerry pun tak jarang menggoda Jiji hingga bocah itu menangis.

Ajen dan Jerry memang kembar berbeda generasi.


@guanhengai, 2022.

Obrolan para jangkrik menemani lamunan gadis di bawah lampu yang mulai redup. Kakinya bergoyang mengikuti alunan lagu They Don't Know About Us milik One Direction. Angel sudah selesai membersihkan rumah sejak satu jam yang lalu, namun belum ada tanda-tanda kehadiran Jerry dan kedua anaknya di sana.

“Baby they don't know about, they don't know about us~”

Mulutnya ikut bernyanyi hingga detik terakhir. Mendengarkan lagu boyband kesayangannya di bawah langit berbintang menyeret Angel pada memori belasan tahun silam.

Hingga detik ini, gadis itu masih belum paham mengenai konsep hati manusia dalam mencintai. Apa sebenarnya yang orang-orang sebut cinta? Lalu, apa yang terjadi jika seseorang yang kalian cintai pergi begitu saja? Cause people can’t really unlove someone, they just can love them less.

Meski banyak kisah cinta yang akhirnya mencipta luka, nyatanya tidak semudah itu pergi dan meninggalkan sumber sakit tersebut. They said love lasts forever. But, forever wasn’t about the love, it was the memories. Memory continues even their chapter ended. Memori itulah yang membuat manusia sulit melupakan.

“Hati lo terbuat dari apa sih, Le?” gumam Angel, bertanya pada angin yang mungkin akan menyampaikan pesannya pada seseorang yang pernah mengisi hari-harinya.

“Thank you buat kadonya. Sorry, gue lupa ngabarin pas Ajen lahir,” tuturnya lagi entah pada siapa.

Lamunan berlanjut pada berbagai hal random yang merasuki benaknya. Perihal sekolah Ajen, perkembangan Jiji, putri kecilnya yang telah tiada, pekerjaan suaminya di kantor, perpisahannya dengan ibu-ibu komplek, serta rencana hidup keluarga mereka di ibu kota.

image

Angel terlalu larut dalam lamunan dan alunan lagu boyband yang kabarnya hanya hiatus selama 18 bulan itu, hingga ia dirinya tidak menyadari bahwa suara suami dan kedua anaknya sudah memenuhi lantai bawah.

Ia segera menutup aplikasi pemutar lagu, beranjak dari tempatnya, dan menutup pintu balkon.

Wajah jahil Jiji langsung tertangkap oleh netra Angel sesaat gadis itu menengok ke bawah. Satu meter di depan si bungsu, Jerry berusaha menyembunyikan sesuatu dari sang anak. Ajen yang terlihat tak ingin ikut campur urusan ayah dan adiknya hanya fokus memindahkan kantung belanja dari teras ke dapur.

“MAMA!!!!”

Gadis itu tersenyum pada Jiji yang masih melambaikan tangan. Tungkainya menaklukkan satu per satu anak tangga hingga raganya sampai di lantai bawah. Tubuh kecil yang semula berusaha merebut es kopi susu dari tangan Jerry pun langsung berpindah haluan untuk menubruk mamanya.

“Eh, jalan biasa aja ya, Dek. Mama nggak bakal ke mana-mana,” ucap Angel memperingati anaknya agar tidak berlari.

“Mama, dek yiyi inan ayuuu!” (Translate: Mama, Adek beli mainan baru!)

Tanpa diberi tahu, Angel sebenarnya sudah melihat mobil kecil di tangan anaknya. Gadis itu lalu duduk di lantai dan menyambut si bungsu dengan uluran tangan. “Adek beli mainan apa?” tanyanya.

Bocah cilik itu kemudian mendaratkan bokongnya di paha Angel setelah memeluk sang ibu. Jiji menjelaskan dengan bahasa bayi mengenai apa yang baru saja ia ambil dari rak mainan. Meski tidak sepenuhnya paham, setidaknya Angel tahu bahwa yang ada di dalam genggaman anaknya merupakan semuah mobil remot kontrol.

Saat Jiji sudah selesai memamerkan mainan barunya, Angel menggeser tubuh kecil itu. “Adek, ini jaketnya di lepas dulu, boleh? Emang Adek nggak kepanasan?”

“Nashh nashh,” jawab Jiji sembari melambaikan tangannya di dekat leher.

“Ya udah, sini Mama bantu lepas,” tutur Angel yang langsung direspon anggukkan lucu.

Beberapa saat kemudian, Jerry ikut bergabung dengan Angel dan Jiji di lantai ruang keluarga. “Abang mana, Mas?” tanya Angel yang tiba-tiba kehilangan jejak Ajen.

“Itu, masih bantuin Beler sama Bibi buat pindahin belanjaan.”

Gadis yang bertanya hanya menggumam dan mengangguk kecil. Setelah jaket putih terlepas dari tubuh gembul Jiji, anak itu langsung menjauh dari sang ibu dan bermain dengan mobil-mobilannya.

“Tadi Abang kenapa di sekolah?”

Sebelum menjawab pertanyaan itu, suaminya menubruk dan memeluk sang istri dari depan, kemudian membebankan kepalanya di bahu Angel. Sempat ada jeda beberapa detik untuk Jerry menutup matanya sejenak.

“Berantem.”

Ajen adalah anak cerdas. Kepala sekolahnya sempat memberi saran pada Angel dan Jerry untuk langsung memasukkan anak sulung mereka ke sekolah dasar. Namun, hal tersebut sulit dilakukan karena usia Ajen yang belum menginjak lima tahun. Akhirnya, kedua manusia itu setuju agar anaknya bergabung dengan kakak kelasnya di TK besar, which is berusia satu tahun lebih tua dari Ajen.

Ini sudah kedua kali Jerry dipanggil oleh kepala sekolah karena Ajen bertengkar. Saat lelaki itu mengetahui anaknya terlibat pertengkaran untuk kali pertama, ia marah pada Ajen. Namun, kemudian dirinya merasa bersalah karena tidak mendengar penjelasan si sulung terlebih dahulu.

Singkat cerita, Ajen mendorong salah satu anak yang usianya lebih tua darinya —sebut saja Ujang— karena merebut mainan Marsya. Ajen sudah berkali-kali meminta Ujang untuk mengembalikan mainan Marsya, namun sang perampas justru mengejek gadis kecil itu dengan sebutan 'cengeng'.

Akhirnya, Ajen dengan segala ilmu bela diri yang diajarkan Jerry mendorong Ujang dan membuat anak itu memiliki luka di siku dan telapaknya.

“Anaknya masih sama kayak yang kemarin?” tanya Angel memastikan, sembari jarinya menyisir surai Jerry.

“Iya, tapi tadi dia bawa temen-temen.”

“Terus? Ajen sendirian ngelawan mereka?”

“Iya lah, mau ajak siapa? Marsya?” respon Jerry disertai kekehan pelan.

“Gila! Anakku keren banget,” tutur Angel yang langsung mendapat tabokan pelan dari suaminya.

“Anak berantem kok dibilang keren?”

“Kalo berantemnya karena bela kebenaran, kenapa enggak?”

“Ya kan membela kebenaran bisa nggak pake berantem, Sayang.” Jerry membalas usapan lembut di puncak surai Angel.

“Dih? Kalo aku mah yang penting orang itu kalah. Mau pake berantem kek, kekerasan kek, maki-makian kek, bodo amat.”

Lelaki itu ternganga seketika. Istrinya memang luar biasa sadis. Kini ia tahu mengapa Mas Aryo lebih sering mengalah pada Angel. Kekuatan gadis itu mungkin mampu meruntuhkan lima orang setara Mas Aryo dengan tangan kosong.

“By the way, tadi aku sekalian pamit ke kepala sekolahnya Abang.”

“Hm,” respon sang istri singkat.

“Papa!”

Suara yang tak begitu keras terdengar dari balik punggung Jerry. Lelaki itu lantas melepas pelukannya dan berbalik. Tanpa melihat sang pemanggil, ia sudah tahu bahwa itu adalah suara Ajen.

“Ada apa, Bang?” tanya Jerry dengan tatap bingung.

“I'm sorry,” jawab Ajen seraya menunjukkan sebungkus plastik bening dengan beberapa butir telur di dalamnya.

Jerry dan Angel dapat melihat cairan kuning di dalam plastik tersebut. Berarti, ada telur yang pecah.

“Tadi Abang nggak careful pas angkat plastiknya, jadi pecah deh telurnya,” lanjut Ajen.

Alih-alih marah, Jerry justru memanggil anaknya supaya mendekat.

“Thank you udah jujur sama Papa, Bang. It's okay, telurnya masih banyak yang bagus kok. Sekarang Abang bawa aja ke dapur, nanti biar Bibi yang bersihin,” tutur Jerry membuat senyum si sulung mengembang.

Tubuh Ajen langsung berbalik perlahan seraya tangannya melindungi telur yang tersisa. Kakinya melangkah dengan kecepatan yang tak pantas disebut berjalan.

“Jalan biasa aja nggak apa-apa, Bang. Asal telurnya dipegang yang bener, pasti nggak bakal pecah lagi.” Kalimat lelaki itu memancing Ajen berjalan seperti biasa.

“Gemes banget sih,” gumam Angel kala melihat punggung Ajen menjauh.

“Kayak papanya, kan?’

Lirikan maut gadis itu kemudian mengundang tawa sang suami.

image


@guanhengai, 2022.