Pulang ke rumah saat matahari masih berada di atas kepala sebenarnya bukan bagian dari agenda Jerry hari ini. Otaknya yang masih mendidih akibat meeting tadi pagi ditambah penjelasan sang istri mengenai putra bungsu mereka membuat suhu tubuhnya kian meningkat. Rona di wajah dan pupil yang membesar menandakan lelaki itu sedang diselimuti kabut amarah.
Masih dengan setelan jas dan dasi, Jerry duduk di pinggir ranjang seorang diri. Tubuhnya menunduk dengan kedua siku dibebankan di paha. Berkali-kali ia mengusak wajah dan rambutnya yang sudah berantakan.
Si tampan berusia 44 tahun itu tak habis pikir dengan kelakuan anaknya di sekolah. Jerry dan Angel sudah mencoba banyak cara agar si bungsu berhenti membuat kekacauan. Namun, Jiji bukan tipe remaja yang cukup dengan nasihat, pun anak itu tetap tidak kapok saat diberi hukuman.
Decit pintu kamar mengundang tubuh kekar sang tuan menegak. Ia berbalik dan mendapati istri cantiknya berjalan setelah menutup pintu kamar mereka.
“Gimana? Dia udah mau ngomong sama aku?” tanya Jerry tanpa basa-basi. Namun, Angel merespon dengan geleng pelan.
Gadis itu bergabung dengan sang suami, lalu menepuk pundaknya dua kali. Telapaknya membelai lembut lengan kekar Jerry, kemudian menjelajahi pergelangannya hingga jemarinya bertaut dengan milik lelaki itu.
“Sabar, Mas. Biarin dia nangis sendiri dulu,” tutur Angel mencoba untuk meredam amarah sang tuan.
“Anakmu nggak perlu nangis kalo dia nggak salah, Angel.”
Ternyata, percuma saja ia menenangkan suaminya. Tujuh belas tahun tinggal di bawah atap yang sama membuat Angel hapal bahwa lelaki di sampingnya menjadi tidak tersentuh di saat seperti ini. Kini ia semakin percaya saat Beler berkata Jerry terlihat menakutkan jika sedang marah.
Sambil menghela napas kasar, Jerry meremas jemari sang istri. Setelahnya, benar-benar tak ada obrolan di antara mereka. Keduanya hanya berdiam diri sembari menonton aksi burung gereja di luar jendela. Dari pada Angel terkena imbasnya, lebih baik ia diam.
“Masih belum mau ketemu aku?” tanya Jerry setelah Angel keluar dari kamar Jiji.
Saat gadis itu menggeleng, punggung sang tuan menubruk dinding di belakangnya. Bohong jika ia tidak khawatir sekarang. Raut lelaki yang sudah mengganti pakaiannya menjadi kaos santai dan celana pendek itu terlihat begitu gusar di depan kamar anaknya.
Sudah hampir tiga jam Jiji tidak keluar kamar, bahkan untuk makan siang. Tidak seperti biasanya si bungsu seperti ini. Dalam kasus-kasus sebelumnya, anak itu selalu menjelaskan dengan tenang dan tanpa rasa bersalah pada Jerry. Meski Jiji tahu dirinya salah, ia tidak takut untuk melawan guru BK.
“Suruh dia makan dulu, nanti sakit. Aku yang di kamar,” ucap lelaki itu sebelum beranjak masuk ke kamar mereka.
Lagi-lagi Angel hanya mampu menatap pintu yang sudah tertutup. Ia menjadi linglung setiap keadaan berubah seperti ini. Gadis itu ingin mendukung Jerry tanpa menyudutkan Jiji. Namun, nyatanya ia dipaksa untuk memilih salah satu pihak.

Suaminya sedang berbaring miring seraya memejamkan mata kala Angel masuk ke kamar setelah selesai menemani Jiji makan siang. Gadis itu kemudian naik ke atas ranjang dan memeluk punggung Jerry. Ia menyalurkan kehangatan, berharap mampu menenangkan sang tuan.
“Kamu nggak mau ngobrol sama Jiji, Mas?” bisik Angel.
Lelaki yang sekarang sudah membuka matanya hanya bergumam pelan. Ia kemudian berbalik dan menatap istrinya. Senyum teduh Angel memancing kedua sudut bibir Jerry terangkat. “Emang dia udah mau ketemu aku?” tanyanya yang langsung mendapat senyum anggun dari Angel.
“Coba dulu, Mas. Kalo kalian sama-sama nunggu nggak bakal ada ujungnya.”
Jerry mengangguk. “Aku boleh minta tolong nggak?”
“Apa?”
“Tolong suruh Adek temuin aku di samping kolam, ya.” Jerry sempat mengecup kening Angel selama beberapa detik sebelum ia beranjak.
Seharusnya Angel sudah tahu permintaan tersebut. Lelaki itu memang lebih sering berbicara dengan anak-anaknya di sana. Katanya, agar Abang dan Adek dapat menggunakan kamar mereka sebagai comfort zone yang tak tersentuh orang lain.

Sudah lebih dari sepuluh menit Jerry duduk bersandar bantalan empuk di pinggir kolam berenang. Tangan kanannya menjadi sandaran kepala sementara tangan kiri memainkan benda yang tadi ia titip pada Dave.
“Pa,” panggil Jiji dengan suara yang nyaris tak terdengar.
Yang dipanggil kemudian memasukkan benda di tangan kirinya,lalu merespon si bungsu tanpa menoleh sedikit pun. “Duduk, Ji.”
Samar-samar ia menangkap sosok itu mendekat dan duduk di sampingnya. Jemari tangan Jiji bertaut seraya kepalanya terus menunduk. Dilihat dari gerak-geriknya, putranya terlihat sedang ketakutan.
Jerry pun menghela napas panjang sebelum memulai perbincangan mereka.
“How's your day?” tanya Jerry masih dengan menatap lurus bayangan pohon yang tercetak di atas permukaan air kolam.
“B-better than nothing,” jawab Jiji.
“I'm sorry for what happened to you.”
Netra si remaja langsung menatap bingung papanya. “Hm?”
“Disuruh belajar di rumah seminggu, kan?” tanya Jerry memastikan.
“I'm sorry.” Anaknya kembali menundukkan kepala.
“Boleh nggak kalo Papa minta Jiji buat ceritain semua yang Jiji kerjain di sekolah hari ini?”
Si bungsu mengangguk, kemudian mulai membuka mulutnya untuk bercerita.
“Tadi Adek cuma mau jajan di kantin, terus malah diajak sam-”
“Ji? Papa kan minta Jiji cerita semua, berarti dari awal setelah Papa turunin Jiji di lobby sekolah dong,” tutur Jerry memotong kalimat Jiji sebelumnya.
“Oh? Sorry, Pa.”
“Hm, coba ulang ceritanya dari awal,” pinta lelaki itu.
Sejujurnya, Jiji juga tidak tahu mengapa Jerry meminta dirinya untuk bercerita seluruh kegiatannya. Namun, itu bukan hal sulit karena ia hanya menghabiskan waktu selama empat jam di sekolah.
Ceritanya bermula saat tungkai jenjang Jiji dan Ajen turun dari mobil sang ayah. Ia berjalan masuk ke dalam gedung sekolahnya, sementara abangnya tetap berdiri di tempat hingga punggung Jiji tak terlihat. Gedung sekolah Ajen ada di sebelah barat gedung SMP, jadi ia harus berjalan sebentar untuk sampai di sana.
Setelah menyapa guru piket, Jiji bergegas ke arah lift untuk mengantre. Sialnya, jajaran siswa dan guru yang terlampau panjang membuat niat remaja itu menciut. Terpaksa ia berbalik dan memilih menggunakan fasilitas lain, yaitu anak tangga.
Semua kegiatan berjalan seperti biasa. Bel berbunyi pukul 6.30 WIB, disusul renungan pagi dan menyanyikan lagu Indonesia Raya, guru masuk kelas, Jiji belajar, pusing, bel pergantian pelajaran, Jiji belajar lagi, pusing lagi, kemudian mengantuk, hingga kesadarannya kembali saat bel istirahat berbunyi.
Waktu istirahat pun ia gunakan sebaik-baiknya untuk menyantap masakan Bibi yang sudah Angel siapkan di lunch box. Kali ini semur daging dan bakwan jagung yang memenuhi perut lapar Jiji. Setelahnya, ia dan teman-teman membeli ice cream di kantin.
Kenormalan itu berlangsung sampai salah seorang teman Jiji mengajak dirinya dan beberapa siswa lain ke taman belakang sekolah. Jiji yang melihat bel masuk masih berdering sekitar tujuh menit lagi pun mengiyakan ajakan tersebut. Lagi pula, terlambat masuk kelas setelah bel istiharat selesai bukanlah sebuah dosa.
Saat sampai di taman belakang, seorang dari mereka mengeluarkan benda yang Jiji tahu itu sangat terlarang di sekolahnya. Bungkus kotak berbentuk persegi panjang dengan gambar leher berlubang membuat netra remaja itu membelalak.
“Adek juga kaget pas Leo keluarin rokoknya, Pa!” pekik Jiji disertai kerutan di dahinya.
Jerry yang mendengar hal tersebut pun tersenyum penuh arti. Ternyata Leo yang bawa rokok ke sekolah, batinnya.
“Terus? Siapa aja yang ngerokok?” tanya lelaki itu.

Alih-alih langsung menjawab, Jiji justru menatap ragu sang ayah. “J-Jiji enggak,” lirih remaja itu.
Lelaki di sampingnya melingkarkan lengan ke bahu Jiji, memberi usapan lembut di punggung anaknya. Jerry sama sekali tidak mengintimidasi, namun auranya terasa sangat menakutkan.
“Kenapa?”
Jakun kecilnya bergerak naik turun, pertanda baru saja ada saliva yang mengalir di sana. Kepalanya lagi-lagi menunduk seraya tautan jari di atas lututnya mengerat. Jerry yang melihat hal tersebut pun menangkup tangan Jiji dan memindahkannya ke samping pahanya.
“Papa nggak marah kalo Jiji jujur sama Papa,” tutur Jerry.
“Jiji penasaran atau enggak sama rasa rokok?” Yang ditanya hanya menatap dirinya dengan mata berkaca-kaca.
“Ji?” panggil lelaki itu lagi.
“S-sedikit,” respon si bungsu.
“Alright, makasih udah jujur sama Papa.”
Telapak sebelah Jerry diangkat dan merogoh saku celananya. Ia mengeluarkan sebungkus rokok yang tadi dibeli oleh Dave di warung dekat rumah mereka. Sang tuan kemudian mengangkat benda itu dan menunjukkannya pada Jiji. Perlahan ia buka bungkus rokok tersebut, lalu mengeluarkan dua batang dari dalamnya.
“Tolong pegang dulu, Ji,” titah Jerry.
Dengan ragu remaja itu mengambil alih rokok dari jemari ayahnya. Sesaat kemudian, lelaki itu beranjak dan masuk ke dalam rumah, meninggalkan Jiji dengan tanda tanya besar. Tak lama setelahnya, Jerry kembali dengan segelas air mineral dan pematik kecil milik Mas Aryo yang ketinggalan di rumah.
“Normalnya, orang ngerokok tuh kayak gini, Ji.” Jerry mengapit satu batang rokok di antara telunjuk dan jari tengahnya, seperti perokok pada umumnya.
“Kalo kayak gini, biasanya orang yang selo banget, kayak Uncle Atuy sama Uncle Ojon,” lanjutnya sembari menjepit batang rokok itu dengan telunjuk dan ibu jari, lalu membiarkan ketiga jari lainnya terbuka.
“Hahaha, iya, Paman Atuy kalo ngerokok kayak gitu!” ungkap Jiji disertai tawa kecil.
Sang ayah pun tersenyum singkat. “Nah, sekarang coba Jiji nyalain rokoknya.”
“Hah? Dinyalain, Pa?”
“Iya. Katanya Jiji penasaran?” Putranya kikuk seketika, netranya mengerjap berkali-kali.
“Beneran dinyalain, Pa?” tanya Jiji ragu.
“Ya beneran lah, Sayang. Coba nyalain, Papa mau liat,” desak lelaki itu sembari menyodorkan korek yang ia bawa.
Jiji pun mengambil benda tersebut dari tangan ayahnya. Sebelum ibu jarinya menekan pematik itu, ia sempat menatap Jerry sekali lagi. Angguk sang tuan yang akhirnya meyakinkan Jiji untuk menyalakan rokok di tangannya.
“Oke, sekarang Papa pinjem koreknya buat nyalain rokok Papa,” pinta Jerry setelah melihat ujung rokok di tangan Jiji mulai terbakar.
Kini kedua lintingan di jari mereka sudah sama-sama menyala.
“Nah, sekarang Jiji jepit rokoknya pake bibir kayak gini,” ucap lelaki itu memperagakan pada sang anak yang langsung diikuti meski geraknya terlihat sangat kaku.
“Oke, terus Jiji hisap pelan-pelan rokoknya sampe mulut Jiji penuh.” Ia lagi-lagi memberi contoh pada remaja itu, sekalian mengenang masa-masa di mana dirinya masih merokok.
“Uhuk uhuk!”
Persis seperti dugaan Jerry, anaknya pasti terbatuk saat mencoba rokok untuk pertama kalinya. Ia lalu menepuk-nepuk punggung Jiji seraya terkekeh pelan. “Mau minum?” tawarnya yang langsung diiyakan oleh sang anak.
Jiji terlihat rakus menelan seisi gelas yang Jerry bawa tadi. Netranya masih tertutup, mungkin ingin menghilangkan sensasi aneh dari tenggorokannya.
“Gimana? Enak?”
“NO!” jawab remaja itu dengan wajah kesal.
“Hahaha! Nggak semua hal yang bikin penasaran itu memuaskan, Ji.”
Jiji menatap Jerry dari ujung gelas yang masih menempel di bibirnya.
“Papa nggak marah kalo Jiji penasaran sama banyak hal, itu wajar. Papa cuma minta Jiji harus lihat dampak ke depannya kalo Jiji mau coba hal baru. Kalo Jiji rasa oke-oke aja, Jiji boleh coba. Tapi, kalo itu bisa merugikan Jiji atau orang-orang disekitar Jiji, ya jangan dilanjutin.”
“Papa nggak pernah larang Jiji sama Abang buat ngerokok kok, sekali-kali boleh. Dulu Papa juga ngerokok,”
“Really? Bohong ah,” respon Jiji.
“Serius! Tapi Papa berhenti sejak ketemu sama Mama.”
“Why?” tanya si bungsu.
“Papa tau rokok emang nggak bagus buat kesehatan. Tapi, apa gunanya? Toh Papa yang bakal nanggung resiko sama penyakitnya. Pas Papa ketemu Mama, Papa jadi takut. Gimana kalo nanti Papa sakit? Pasti Mama kesusahan ngurusin Papa. Gimana kalo Papa meninggal duluan? Siapa yang bakal jagain Mama? Akhirnya, Papa nggak pernah beli rokok lagi. Sesekali masih ngerokok, pas ngumpul sama Uncle Ojon, Uncle Atuy, sama Uncle Aryo.”
Lengan kekarnya langsung dipeluk erat oleh si bungsu. Jerry merasakan ada sesuatu yang membasahi kaosnya.
“Maafin Jiji, Pa. Jiji janji nggak bakal ulangin,” tutur Adek di tengah isaknya.
“Papa pegang janji Jiji,” jawab lelaki itu sembari membelai surai anaknya.
“Tadi kenapa nangis, Dek? Kan Adek nggak salah?” tanya Jerry penasaran.
“S-soalnya guru-guru di sekolah nggak ada yang p-percaya sama Jiji.”
“Papa percaya sama Adek. Next time, Adek boleh cerita ke Papa walaupun orang lain nggak percaya sama Adek. Ya?”
“Eung,” jawab Jiji disertai anggukkan.
Jerry mengecup puncak surai anaknya setelah menghela napas lega. Untung saja ia tidak keburu emosi dan membiarkan amarah mendominasi pikirannya. Jika saja tadi Jerry langsung menyudutkan dan menghakimi putra bungsunya, ia pasti akan menyesal seumur hidup.
Seorang ayah memang dituntut untuk memiliki pundak kokoh guna bersandar anak-anaknya, pun hati kuat dan pikiran yang sabar dalam menghadapi mereka.

@guanhengai, 2022.