guanhengai

Kelihatannya siang ini pusat tata surya sedang malu-malu untuk menunjukkan hadirnya hingga Kota Depok terlihat lebih mendung dari hari biasa. Jalanan di depan panti asuhan dipenuhi kendaraan lalu lalang. Tidak hanya karyawan yang mencari santap siang, banyak juga penjual yang lewat dan singgah di halaman panti.

Berbeda dengan suasana riuh di luar sana, Angel dan bayi berusia satu setengah tahun sedang menikmati ketenangan di kamar belakang. Kasur di panti memang tidak setebal miliknya di rumah, namun tetap nyaman untuk gadis itu menyusui Jiji.

Bocah kecil itu sudah berpindah posisi sebanyak yang tak bisa Angel hitung selama lima belas menit menyusui. Dipangku, tidak mau. Diajak berbaring, menolak. Benar-benar bergerak sesuka hatinya. Belum saat Jiji gemas dan menggigit nipple Angel dengan giginya yang baru saja tumbuh. Ugh, mantap.

“Adek, mimiknya pake posisi normal aja bisa nggak?” tanya Angel yang sudah lelah mengikuti pose abstrak si Adek.

“Mamau!” jawab anak itu.

“Adek nggak mau mimik lewat botol aja, Sayang?” Kini giliran Jerry yang bertanya.

“Mamau!”

image

Hela napas terdengar dari sepasang suami istri itu. Dulu, saat Ajen masih sebesar Jiji, Angel selalu menyusui dengan posisi yang pernah diajarkan dokter dan perawat. Gadis itu benar-benar memperhatikan kenyamanan Ajen dan dirinya. Namun, hal tersebut tidak berlaku bagi si Adek. Angel sudah memasrahkan semua pada sang anak, yang penting dia nyaman.

Benar kata Ibu, setiap anak memang memiliki cerita masing-masing. Meski terlahir dari rahim yang sama, Angel dan jerry tidak bisa menyamaratakan pola asuh Ajen dan Jiji. Mereka membawa karakter masing-masing dan harus dididik dengan cara yang berbeda pula.

Si sulung lebih suka bertanya jika ada sesuatu yang mengganjal dalam benaknya, sedangkan Adek harus mencoba terlebih dahulu untuk membuktikan dugaannya. Tentu hal tersebut membuat Jerry dan Angel kewalahan.

Beberapa waktu silam, kening Adek dihiasi oleh benjolan sebesar telur puyuh karena terjatuh di tempat cuci baju. Jerry sudah memperingati agar anak bungsunya tidak berlari di sekitar tempat tersebut. Namun, Jiji adalah Jiji yang penasaran oleh segala hal.

Setelah kejadian jatuh dan meraung-raung, bocah itu baru berhati-hati saat melewati lantai licin. Mungkin, Jiji memang harus merasakan sakit terlebih dahulu untuk berpikir sebelum melangkah.

Jerry dan Angel hanya berharap Jiji tidak pernah coba-coba jika menyangkut orang lain.

“PAPAAAAAA!!!!” Suara Ajen dari luar kamar terdengar meski raganya belum terlihat.

Jerry yang tahu sebentar lagi bocah itu akan masuk ke dalam kamar pun mengambil selimut kecil Jiji untuk menutup dada sang istri.

Brakkkk

“Papaaa!” panggil Ajen lagi setelah mendobrak pintu.

Brakkk

Pintu kembali tertutup karena Ajen tidak menahannya.

“Abang, Papa tetep bisa denger kok kalo Abang panggil kayak biasa,” tutur Jerry saat si sulung sampai di samping tubuhnya.

“Sorry, Papa,” jawab anak itu sembari kakinya memanjat ranjang.

“Bang!” Kini suara Jiji menyapa sang kakak. Mulutnya langsung terlepas dari payudara Angel dan merangkak ke arah Ajen.

“Loh? Ini mimiknya udah?” tanya Angel yang tidak digubris oleh si bungsu.

Lelaki di samping gadis itu langsung menangkap anaknya yang sudah meronta. Ia mencekal paha gembul Jiji dan mengungkung bocah itu.

“Adek, kalo habis mimik bilang apa ke Mama?” tanya Jerry.

“Cici!” jawab si kecil imut. (Translate: terima kasih)

Angel yang semula kesal pun langsung tersenyum gemas. “Sama-sama, Sayang.”

“Nah, gitu dong. Masa Mamanya ditinggal gitu aja?” Jerry terkekeh seraya mencubit pelan pipi Jiji.

Setelah lepas dari pelukan ayahnya, bocah itu kembali merangkak ke arah Ajen. Sang kakak sudah tahu apa tujuan adiknya menghampiri dirinya.

“Adekk, stopppp!” pekik Ajen seraya telapaknya mendorong kepala Jiji.

“Eh, Abang, sakit loh kepalanya Adek digituin,” tegur Jerry pelan.

“Emang sakit, Dek?” tanya Ajen yang hanya direspon tatapan bingung.

“Tuh, nggak sakit, Pa. Abang pelan kok dorongnya,” bela Ajen.

“Dekdekdekdek!” Tangan mungil Jiji kini sudah berusaha meraih balon tiup dalam genggaman Ajen. Sang kakak pun segera menyembunyikan benda tersebut di belakang tubuhnya.

Alih-alih tenang, bayi itu justru menangis kencang. “Dekdekdek! Huaaaaaaa”

Angel yang baru selesai mengancing kemeja pun dibuat pusing oleh anaknya. Jiji sama seperti kebanyakan adik yang selalu penasaran oleh milik kakaknya. Pun Ajen seperti kebanyakan kakak yang terkadang pelit oleh apa yang ia miliki. Jika mereka berdua sedang dalam mode seperti itu, Angel dan jerry yang kewalahan menengahinya.

“Sini Adek sama Mama dulu,” ujar Angel, kemudian mengangkat tubuh kecil Jiji.

“Dekdekdekdek!!!”

“Itu punya Abang, Dek. Adek mainan yang lain dulu, ya?”

“Dekdekdekdek!!!”

Sepertinya benda apa pun tidak akan digubris oleh Jiji. Ia hanya ingin sesuatu yang kini digenggam erat oleh abangnya.

“Biarin dulu dia nangis,” ucap Jerry pada sang istri.

“Abang sini, duduk sama Papa.”

Anak berusia empat setengah tahun itu pun beranjak dan duduk di paha Jerry. Ia melihat bagaimana adiknya tantrum, sedangkan jemari kecilnya memainkan ujung kaos sang papa.

“Papa, Abang kasi balonnya ke Adek aja?” tanya Ajen sedikit berbisik.

“Nanti aja, Abang mainin dulu,” jawab lelaki itu.

“Abang udah nggak main kok.”

Bohong. Jerry tahu anaknya sedang berbohong. Lelaki itu tentu hapal perilaku si sulung. Ia akan berteriak dari luar kamar dan memanggilnya karena ada hal baru yang ingin ia pamerkan. Saat Jerry melihat balon tiup di tangan Ajen, ia sudah tahu bahwa anaknya akan memamerkan mainan barunya.

“Nggak apa-apa, Abang simpen dulu balonnya ya, Sayang.”

Ajen mengangguk dan kembali menyembunyikan benda tersebut. Sebagai gantinya, ia mengulurkan tangannya pada Jiji dan menggenggam jemari sang adik.

Butuh waktu lama untuk menunggu Jiji berhenti menangis. Meski wajahnya sudah memerah dan napasnya sesak, bocah kecil itu tak langsung mengakhiri isaknya.

“Adek udah selesai nangisnya?”

Tentu pertanyaan Jerry tidak dijawab oleh anak itu. Wajahnya bersembunyi di dada Angel meski ekor matanya terus melirik sang ayah.

“Sini, Adek sama Papa,” tutur Jerry sembari mengulurkan tangannya untuk mengambil Jiji.

Cengkraman di bahu Angel seketika mengerat. Si bungsu tidak ingin berpindah ke pangkuan ayahnya.

“Eh, nggak apa-apa, Sayang,” ucap gadis itu pada anaknya, kemudian perlahan melepas cengkaram Adek.

Beberapa detik kemudian, tubuh kecil itu terangkat dan berpindah di paha sebelah kiri Jerry, tepat di samping kakanya. Wajah Jiji masih sembab dan bekas air mata belum mengering di pipinya. Kedua sudut bibirnya juga masih melengkung ke bawah karena takut.

image

Jari lelaki itu menyisir surai Jiji yang tak kalah tebal dengan milik Ajen. “Cup cup cup, anak Papa. Kenapa Adek takut sama Papa? Papa nggak marah kok sama Adek.”

“Adek mau apa? Hm?” tanya Jerry lagi, masih dengan mengusap kepala putranya.

“Eung!” jawab Jiji seraya menunjuk benda di tangan Ajen.

“Adek mau pinjem mainannya Abang?”

Angguk kecil bocah itu menjawab pertanyaan sang ayah.

“Terus kenapa pinjemnya pake nangis? Emang Abang paham kalau Adek pinjemnya sambil nangis kayak tadi?”

Kini gelengan yang merespon Jerry.

“Terus? Kenapa Adek nangis?”

Netra bulat berhias air mata menatap lucu lelaki itu. Hidung merahnya sungguh ingin sekali dicubit oleh Jerry. Namun, kali ini ia harus tegas pada Jiji. Ini bukan kali pertama anak bungsunya merebut mainan Ajen. Jerry sangat paham rasanya terpaksa mengalah untuk menghindari pertengkaran dan ia tidak ingin Ajen memendam hal tersebut.

“Sayang, kalau Adek mau pinjem sesuatu, Adek harus izin sama yang punya. Ya, kan?” tanya Jerry yang langsung diangguki Jiji. Tangan kecilnya kemudian terulur untuk meraih balon tiup Ajen.

“Eh, sebentar, Papa belum selesai ngomong sama Adek.” Lelaki itu menahan lengan putranya.

“Adek emang udah izin ke Abang?”

“Eung,” jawab Jiji disertai gelengan.

“Oke, coba sekarang Adek izin ke Abang,” titah jerry.

“Abang ...”

“Bang ...” Bocah kecil itu mengikuti perkataan ayahnya.

“Abang masih pake mainannya atau enggak?”

“Inan?”

“Pelan-pelan, Mas,” tutur Angel menyela.

“Abang masih,” tutur Jerry lagi, kembali menitah Jiji.

“Bang cih,”

“Pake mainannya,”

“Ke inan,”

“Atau enggak?”

“Ndak?”

Netra lelaki itu kemudian berpindah pada putra sulunya. Kelopak Ajen hanya mengerjap lucu, terlihat bingung memilih jawaban yang akan ia lontarkan. Mungkin, benaknya sedang bergulat untuk memberi respon yang jujur atau yang menyenangkan hati Jiji.

“Masih,” jawab Ajen yang kemudian memilih respon jujur.

“Adek denger apa yang Abang bilang?” Kini Jerry kembali bertanya pada bayi itu.

“Cih!” jawab Jiji semangat.

“Nah, Adek udah tau kan kalau Abang masih pake mainannya?” Anggukkan Jiji merespon pertanyaan sang ayah.

“Kalau Abang masih pake, berarti Adek harus nunggu dulu. Setelah Abang selesai, Adek baru izin lagi buat pinjem. Kalau Abang udah izinin, Adek boleh pake mainannya. Paham, Dek?”

Kepala mungil itu mengangguk.

“Nice,” tutur Jerry. “Sekarang Adek minta maaf ke Abang karena udah berniat rebut mainan Abang tadi,” lanjutnya.

“Bang,” tutur Jiji sembari mengulurkan tangan kanannya.

Alih-alih membalas, Ajen justru memajukan tubuhnya dan memeluk Jiji. Bukan hanya bayi itu yang terkejut, Angel dan Jerry pun membelalak dan tersenyum penuh arti. Bahkan, sang ibu sampai menggigit bibirnya karena salah tingkah.

“It's okay, Adek. Kita bisa main balonnya sama-sama. Adek mau main sama Abang?” tanya Ajen yang pasti langsung diangguki sang adik.

image

Putra sulung itu kemudian menatap kedua orang tuanya bergantian. “Papa, Mama, boleh Abang ajak Adek main balon di luar?” izinnya.

“Boleh, Sayang. Tetep hati-hati, ya,” tutur Jerry sembari membelai lembut kepala Ajen.

Tubuh kecil itu langsung beranjak turun dari ranjang. Ia juga membantu adiknya dan menggandeng tangan kecil Jiji ke luar kamar. Dengan hati-hati, Ajen menuntun si bungsu menuju halaman belakang panti.

Kala dua tubuh mungil itu sudah hilang ditelan lorong panti, Jerry bersandar pada kepala ranjang. Sang istri yang baru memastikan anak mereka baik-baik saja pun ikut bergabung dengan lelaki itu.

“Ajen kok bisa sama persis kayak kamu, ya?” tanya Angel seraya terkekeh pelan.

“Kenapa? Bikin kamu salting terus?” goda sang suami.

“IDIH?!”

Tawa Jerry menggema hingga lorong depan kamar mereka. Lengan kekarnya memeluk pinggang Angel seraya bibirnya mengecup leher sang gadis.

“Satu hal yang Ajen nggak bakal bisa kayak aku,” ucap lelaki itu.

“Apa?”

“Bikin kamu teriak keenakan,” bisiknya hingga membuat darah Angel berdesir hebat.

“GILA!” hardik sang gadis yang kemudian mengundang tawa Jerry lebih hebat dari sebelumnya.


@guanhengai, 2022.

Sore itu Angel sedang menikmati angin sepoi-sepoi bersama Jiji. Sembari menunggu si sulung pulang, ia sesekali mengajak bayi berusia lima bulan itu mengobrol dan becanda.

“Adek, gemes banget sih kamuuuu,” tuturnya seraya mencubit pelan pipi gembul Jiji.

“Adek kangen sama Papa nggak?” tanya Angel yang hanya direspon ocehan ala bayi oleh anak bungsunya.

“Iya, kan? Kalo nggak ada Papa, nggak ada yang bisa Adek ompolin deh,” ucapnya seakan mengerti bahasa Jiji. Ia kemudian tertawa pelan saat mengingat suaminya terkena semburan belalai kecil Adek saat mengganti popok anaknya.

“Adek sebentar lagi pulang ke Kalimantan, seneng nggak, Dek?”

Tawa kecil putranya seakan menjawab pertanyaan gadis itu. Telapak gembul Jiji meraih helai rambut Angel dan menariknya tanpa aba-aba. “Eh, sakit, Adek. Ini, Adek mainan gajah aja, jangan main rambut Mama,” ucapnya seraya memberi mainan karet berbentuk gajah.

Setelah dirinya berhasil melepaskan rambut dari genggaman Jiji, suara cit-cit sandal Ajen terdengar. Dari tempat duduknya, Angel melihat bocah berusia tiga tahun itu berjalan memasuki halaman rumah. Namun, wajahnya tak secerah saat ia berangkat tadi.

Awas aja kalo sampe anak gue dibully lagi, gue tebas kepala mereka! batinnya.

“Abang bawa apa, Sayang?” tanya gadis itu saat si kecil sudah sampai di depan teras.

Sebelum menjawab pertanyaan barusan, Ajen melepas sandal kecilnya, mencium punggung tangan sang ibu, duduk di samping Angel, dan memberi telunjuknya untuk digenggam sang adik.

“Abang dikasih pemen,” kata Ajen seraya menunjukkan lolipop yang belum terbuka bungkusnya.

“Dikasih sama siapa, Bang?” tanya Angel penasaran.

“Sama Tante baik.” Gadis itu mengerutkan dahinya. Tante baik, siapa?

“Yang mana? Emang Abang kenal?” Gelengan Ajen membuat kening Angel semakin mengerut.

“Tadi Abang udah biyang ndak mau, Mama. Tapi Tante baik kasih ke olang-olang juga, ya udah Abang ambil aja. Abang udah say thank you kok,” ucap anak itu menjelaskan.

“Oh, gitu. Ya udah, nggak apa-apa. Kayaknya Tante baik emang lagi bagi-bagi permen. Terus, kenapa Abang nggak makan?”

“Kata Papa ndak boyeh maem yang dikasih olang ndak kenal,” jawabnya.

“Ya udah, terserah Abang aja. Sekarang Abang mau makan atau mandi dulu?”

Alih-alih menjawab pertanyaan sang ibu, Ajen justru diam dan menatap Angel. Jemarinya memainkan bungkus plastik yang melindungi permen pemberian Tante baik.

“Mama, Abang mau tanya,” tuturnya.

“Tanya apa, Bang?”

“Tadi Tante baik ke taman sama anaknya, tapi duduk di kulsi loda kayak Mama di lumah sakit. Anaknya Tante baik sakit ya, Mama?”

“Loh, Mama nggak tau. Kan Mama nggak ketemu sama Tante baik, Bang.”

Telunjuk kecil yang masih digenggam Jiji kemudian ditarik paksa, lalu berpindah ke pipinya sendiri. “Hm, iya ya,” ucap Ajen, wajahnya terlihat berpikir.

image

Bocah itu kemudian menunduk dan menggerakkan jemari kakinya. “Mama, tadi kakinya dia keciiiiiil banget, ndak kayak kakinya Ajen.”

Angel yang awalnya bersikap datar pun seketika terkejut. Bahkan, Jiji yang berada dalam pangkuannya sempat ikut terkejut karena respon mamanya. Lengan gadis itu kemudian bergerak agar si bungsu tidak menangis.

Kini, ia mengerti mengapa anak itu menggunakan kursi roda. Mungkin, Angel juga memiliki kemungkinan jawaban di balik permen yang berada di tangan Ajen.

“Terus, Abang ajak kenalan nggak?” tanya Angel yang langsung mendapat gelengan.

“Kenapa?”

“Abang takut,” cicitnya.

Angel tidak menyalahkan Ajen karena hal tersebut. Bagi anak sekecil dirinya, menerima hal-hal yang belum terbiasa dilihat adalah hal yang cukup sulit.

“Pas kemarin Mama pake kursi roda, Abang takut juga?” Geleng cepat Ajen mengundang senyum di wajah gadis itu.

“Terus kenapa tadi Abang takut?”

“Soalnya kakinya aneh, Mama.”

Lengan kanan gadis itu digunakan untuk menyangga seluruh tubuh Jiji, sedangkan lengan kirinya berpindah ke bahu Ajen.

“Otot manusia itu bekerja dengan cara yang berbeda-beda, Bang. Kursi roda adalah salah satu benda yang ngebantu orang buat jalan, jadi cara kerjanya sama kayak kaki manusia. Nah, anaknya tante baik perlu kursi roda buat dia jalan ke mana-mana.”

Jemarinya menyisir rambut tebal Ajen. “Abang nggak perlu takut. Mereka yang pakai kursi roda itu sama kayak kita, cuma cara bergeraknya sedikit berbeda. Anaknya Tante baik juga bisa main sama Abang loh, mungkin dia juga suka makan permen kayak Abang, atau suka makan ice cream?”

“Oh ya?” tanya Ajen semangat.

“Ya, mungkin. Kalo besok Abang ketemu lagi, coba ajak kenalan. Abang tanya apa yang dia suka. Siapa tau sama kayak Abang, kan? Terus, nanti Abang bisa beli bareng-bareng.”

Ajen yang diberi tahu hal tersebut pun tersenyum lebar. “MAU!!!”

Angel terkekeh pelan. “Bukan beli permen atau ice creamnya yang dihighlight, Abang. Next time, kalau Abang ketemu orang yang berbeda sama Abang, nggak perlu takut atau jauhin orangnya.”

“Kayak pas olang bilang mata Abang kecil?”

Angel sempat terdiam sejenak. Ia pikir Ajen sudah melupakan kejadian tersebut, namun nyatanya pengalaman itu cukup membekas bagi anaknya.

Gadis dewasa itu kemudian tersenyum dan membelai lembut pipi Ajen. “Iya, Sayang. Kita semua sama-sama manusia, kan? Walaupun kita punya perbedaan dan ciri masing-masing.”

Kepala Ajen mengangguk, pun mata kecilnya mengerjap. Sesaat kemudian, bocah itu menarik lengan Angel. “Besok Abang mau bawa pemen cokyat,” bisiknya.

“Buat apa, Bang?” tanya gadis itu bingung.

“Buat kasih ke anaknya Tante baik,” balasnya.

“Boleh. Tapi, kalau nggak suka jangan dipaksa.”

“SIAP, MAMA!” pekiknya yang membuat sang adik terkejut.

Beberapa saat kemudian, tangis kencang memenuhi teras berselimut sinar senja itu. Ajen yang menyadari kesalahannya pun langsung menggenggam lengan kecil Jiji dan mengucap maaf.

Alih-alih reda, isak adiknya justru semakin kencang. Kala gadis itu bersiap beranjak untuk menenangkan si kecil, suara yang ia rindukan menyapa gendang telinga.

“Asik banget ngobrolnya, sampe nggak sadar ada Papa di sini,” tutur Jerry sembari bersandar di tiang teras rumah Angel.

“PAPAAAA!!!!!” Bocah kecil yang berniat kabur dari mamanya kini justru berlari menubruk kaki jenjang sang ayah. Tubuhnya langsung terangkat dan pipinya berkali-kali dikecup Jerry.

“Papa, Adek cengeng,” adunya sembari menunjuk bayi di gendongan Angel.

“Namanya juga bayi, pasti suka nangis. Kamu juga dulu kayak gitu, Bang.” Lelaki itu mencubit hidung putra sulungnya.

“Kok kamu ke sini nggak kabarin aku, Mas?” Kini gantian Angel yang menghampiri suaminya.

“Biar kamu kaget,” jawab Jerry, kemudian mencium kening dan pipi gadis itu.

Setelahnya, sasaran bibir ranum lelaki itu adalah pipi gembul Jiji yang dipenuhi air mata. Ajaibnya, tangis bayi mungil itu perlahan mereda setelah dikecup oleh sang ayah.

“Nggak kaget tuh,” decih Angel.

“Ya udah, aku pergi lagi deh.”

Telapak Angel langsung menggenggam lengan kekar suaminya. Senyum jahil di wajah Jerry pun terlihat. “Kangen, kan?” tanya lelaki itu yang membuat wajah gadisnya merona padam.

Kekeh kecil Jerry membawa keluarga kecilnya masuk ke dalam rumah. Ransel di punggungnya tak menghambat lelaki itu untuk menggendong Ajen dan merangkul bahu Angel.

“You're the best mom,” bisik Jerry setelah Angel menutup pintu rumah.

image


@guanhengai, 2022.

Tidak ada yang sempurna di dunia ini merupakan pernyataan yang benar adanya. Bukan hanya berlaku bagi manusia, tetapi juga tempat tinggal.

Meski sudah lama tinggal di lingkungannya saat ini, rasa kurang nyaman masih sering menyelimuti seorang Angel. Terlebih, Jerry tidak setiap saat berada di sampingnya.

Ingat alasan dirinya bertemu dengan Jerry? Ya, menikah kontrak. Hal bodoh itu ia lakukan karena perkataan orang-orang disekitarnya yang selalu mengejek karena dirinya belum memiliki pasangan.

Tidak perlu didengar, fokus saja pada dirimu.

Kalimat itu tidak berlaku bagi Angel yang overthinking dan selalu memikirkan kata-kata orang mengenai dirinya. Ia ingin terlihat baik di mata sekelilingnya, ia butuh validasi.

Kejadian yang pernah gadis itu alami ternyata kembali terjadi. Kali ini tetangganya yang memang berusia sepantaran Ibu berkomentar mengenai cara Angel menggendong Jiji.

Saat gadis itu sedang menjemur Adek, seorang Ibu berkata bahwa anak bayi tidak bagus jika digendong dengan cara M-shape. Katanya, hal itu dapat menyebabkan kaki bayi bengkok.

Ia hanya tersenyum dan mengangguk. Lagi pula, Angel sudah mendengar dari dokter anak yang dulu menangani Ajen. Tidak ada yang salah dari cara menggendongnya, justru cara seperti itu membuat bayi semakin nyaman.

Ya, begitu lah. Kini ia rindu rumahnya di Kalimantan. Meski tak sepadat di sini, setidaknya tidak ada tetangga julid yang selalu ikut campur urusannya dalam mengurus anak.

Berkali-kali mereka berkomentar tentangnya, gadis itu masih terima. Namun, tadi sore anak sulungnya pulang bermain dengan keadaan menyedihkan. Air mata membasahi wajah mungil yang telah memerah.

Ternyata, Ajen juga mengalami hal serupa dengan mamanya.

Perawakannya yang berbeda dari anak-anak di sekeliling rumah Angel menjadi bahan perbincangan anak sebayanya. Ajen yang memiliki mata kecil dan kulit cerah kerap menjadi bahan canda teman-teman mainnya.

“Temen-temen biyang kayo Abang tawa ndak bica liat, Mama. Abang bica!” begitu adunya pada Angel kala pulang ke rumah dengan tangis. (Translate: Temen-temen bilang kalau Abang ketawa nggak bisa lihat, Mama. Abang bisa!)

“Katanya Abang ndak boyeh maen lama, nanti item, dimalahin Mama. Mama ndak mayah kan alo Abang maen?” lanjutnya dengan masih menangis. (Translate: katanya Abang nggak boleh main kelamaan, nanti item, dimarahin Mama. Mama nggak marah kan kalo Abang main?)

Yang menjadi tempat mengadu pun langsung memutar otak untuk menjelaskan pada sang anak. Ia tidak ingin Ajen menjadi insecure hanya karena berbeda dengan sekitarnya.

Lengannya melingkari di bahu Ajen, memberi usapan kecil pada punggung anaknya. Biarkan bocah itu menyadari perasaan sakit dan tidak percaya diri yang baru saja singgah, ia berhak merasakannya. Setelah Ajen selesai mengeluarkan unek-uneknya, barulah Angel mengambil alih.

“Sayang, apa yang ada di tubuh Abang itu pemberian dari Tuhan. Mata, hidung, mulut, telinga, rambut, tangan, kaki, jari, semua dari Tuhan.”

Jari Angel kemudian bergulir di atas ponselnya, menjelajahi internet demi menunjukkan tipe mata, bibir, hidung, bentuk wajah, dan warna kulit manusia pada Ajen.

“Bentuk tubuh manusia itu beda-beda, Sayang. Abang nggak perlu malu kalau Abang beda sama orang lain. Nggak ada manusia di dunia yang bisa sama peris, meskipun mereka kembar. Abang, Adek, Mama, Papa, Eyang, Uncle, Aunty, Mas Yogi, Yola, semua punya ciri masing-masing,” ujar gadis itu pada anaknya.

Telapaknya kemudian menangkup pipi Ajen. Ibu jarinya menghapus sisa air mata putranya. “Abang nggak perlu malu atau takut karena beda sama orang lain.”

“Abang itu hebat, Abang keren.” Lengan kecil Ajen lantas memeluk leher mamanya. Meski kaki Angel sudah kram karena berlutut di lantai, gadis itu tetap membalas peluk putra sulungnya. Ia belum sanggup jika harus menggendong tubuh Ajen karena rasa nyeri di bekas jahitannya terkadang masih terasa.

Angel yang belum melepas pelukan anaknya terkejut karena tangis Ajen kembali terdengar. Ia pun langsung mendorong pelan bahu bocah berusia 35 bulan itu dan mencari tahu alasannya kembali terisak.

Telunjuk kecil Ajen terarah pada box bayi di mana Jiji menatapnya sembari tertawa ala bayi. Sarung tangannya sudah terlepas sebelah serta selimut bergambar awan tak lagi menutupi paha gembulnya. “Adek tawain Abang, huaaaaa!!”

Jika itu alasannya, Angel angkat tangan. Bayi itu memang terkadang jahil pada Ajen. Jika abangnya sedang menangis, Jiji akan tertawa riang seakan hal tersebut merupaka hiburan baginya.


@guanhengai, 2022.

Seperti yang sudah-sudah, ketiga anggota keluarga kecil yang hangat itu saling berbagi cerita sebelum menyambut malam. Ditemani Ponco si anjing kecil, Ajen duduk beralas karpet di ruang keluarga. Papa dan mamanya bersandar di sofa dengan semangkuk popcorn yang diletakkan di atas perut buncit Angel.

“Eh!” pekik sang gadis kala tendangan dari si kembar membuat mangkuk popcorn tersebut hampir jatuh.

“Hahaha! Kan udah aku bilang, mereka tuh marah kalo kamu jadiin meja gitu, Sayang.”

Jerry mengambil alih dan meletakkan wadah berbahan beling itu di meja. Ia sedikit mendorongnya ke bagian tengah agar tidak tersenggol putra sulungnya.

“Udah ah makannya,” ucap Angel seraya membersihkan jemarinya dengan tissue basah.

“Abang masih mau nggak popcornnya?” tanya Jerry pada bocah kecil yang sedang meremas buntut kecil Ponco.

“Ndak! Abang dah enyang,” jawabnya tanpa menatap sang ayah. (Translate: Nggak! Abang udah kenyang,)

“Abang, nanti Ponco marah loh kalo buntutnya digituin.” Angel kasihan melihat anjing kecil itu selalu dijahili oleh anaknya.

“Ponco ceneng, Mama.”

Percuma saja gadis itu menegur Ajen. Ia akan terus melakukannya karena Ponco tidak pernah protes. Pernah sekali bocah malang itu terkena kuku tajam anjingnya, namun Ajen hanya marah kecil dan kembali memeluk Ponco.

“Shhhh,” desis Angel saat kedua anaknya bergelut di dalam sana.

“Kakak sama Adek kalo main kok malem-malem sih, Sayang? Mama kan mau bobok,” tutur Jerry yang baru saja kembali dari dapur.

Segelas susu hangat ditangannya langsung berpindah ke tangan Angel. Ia sudah memastikan bahwa suhunya aman jika mengenai lidah sang istri.

“Ahhh, enak.”

“Mama! Abang mau!” Ajen bangkit dan langsung menubruk kaki Angel.

“Abang, hati-hati!” tegur Jerry.

“Maap, Mama,” decit bocah itu.

“It's okay, Sayang. Nih, Abang tiup dulu susunya.” Susu cokelat yang tersisa setengah kini berada di tangan Ajen. Ia memang sering meminta susu hamil Angel, meski berkali-kali protes karena rasanya tidak senikmat susu formulanya.

“Ngeh! Enakan cucunya Abang!” Tuh, kan.

“Nih susunya Abang.” Jerry memberi botol susu Ajen kepada pemiliknya. Tentu senyum lebar langsung menghiasi wajah si tampan kecil itu.

Tubuhnya segera diangkat dan bersandar pada dada sang ayah. Setelahnya, hanya suara teguk Ajen yang mengisi ruang tamu lantai satu itu. Jam dinding yang berada jauh dari mereka pun tak terdengar hilalnya. Udara malam di luar rumah juga tidak sampai membuat bulu kuduk mereka berdiri karena semua pintu dan jendela sudah tertutup rapat.

“Abang, nanti kalau Kakak sama Adek udah lahir, mereka tidur di kamar Mama sama Papa dulu beberapa bulan,” ujar Jerry memecah keheningan.

“Hm,” respon Ajen yang masih menikmati susunya. Kaki kecil itu menjuntai dan sesekali menendang pelan betis sang ayah.

“Abang mau kasih nama buat adek-adek nggak?” Kini giliran Angel yang bertanya.

“Ama?” tanya Ajen tanpa melepas dotnya.

“Selesein minumnya dulu, Bang,” ucap Jerry.

Bocah itu pun menyedot susu yang tersisa. Setelahnya, ia meletakkan botolnya di atas meja dan duduk tegak di atas paha Jerry.

“Nama Kakak cama Adek, Mama?” tanya Ajen pada sang ibu.

“Iya, Abang mau nama mereka siapa?”

Dahi mungilnya mengerut seraya netranya menyipit. Wajah kecil nan tampan itu kini penuh dengan ekspresi bingung. Mungkin, Ajen berpikir bahwa nama mereka berasal dari Tuhan dan tertulis di dahi bayi yang baru lahir?

“Coba Papa tanya, nama panjang Ajen siapa?”

“Ajeeeeeeeeeeeeeen!”

Kedua orang tuanya lantas tertawa dan mencubit pipi gembul Ajen.

“Bukan, Bang!” Angel masih terbahak karena jawaban anaknya.

Keningnya mengerut lagi, sebelum telunjuk kecil Ajen terangkat dan memberi jawaban yang lain. “Oh! Jenal!” (Translate: Oh! Djennar!)

Telapak lebar Jerry mengusap puncak surai putranya. Mereka memang memperkenalkan Ajen dengan nama Djennar di luar rumah. Menurut Jerry, panggilan itu akan membuat anaknya terlihat lebih macho.

“Nama panjang Abang itu Radjennar Noah Juanda Suharjo.” Jerry menjelaskan.

“Ah? Cucah, Pa! Kanti aja boyeh ndak?” (Translate: Hah? Susah, Pa! Ganti aja boleh nggak?)

“Mana bisa diganti, Bang.” Angel kembali menjawil pipi Ajen.

“Nanti Abang pasti bisa sebutin kok,” ucap Jerry.

“Sekarang, Abang mau kasih ide buat nama dedek kembar nggak?” Sang ayah kembali menawarkan kesempatan.

“Kakak?” tanya si kecil.

“Ya terserah, buat nama Kakak boleh, buat nama Adek boleh.”

Mereka memutuskan untuk memanggil si cowok dengan sebutan 'Kakak' dan si cewek dengan sebutan 'Adek'. Entah siapa yang nanti lahir terlebih dahulu, panggilan itu akan tetap sama.

“Jiji ama Jeje,” jawab Ajen cepat.

Jerry dan Angel saling menatap. Lucu juga, pikir mereka.

“Jannuar Zion,” celetuk Jerry.

“Jannesa Zelda,” timpal sang istri.

“Juanda Suharjo,” ucap mereka bersama.

“Ajen tau nggak kalo nama Ajen itu gabungan dari inisial Mama sama Papa?”

Pertanyaan Jerry menyita perhatian bocah kecil di pangkuannya yang sedari tadi hanya menatap kedua orang tuanya penuh tanya. Bola matanya bagai kristal tertubruk sinar, bercahaya.

“Apa?” tanya anak itu.

Akhirnya, mereka pun membahas asal mula nama Ajen, dilanjutkan dua nama yang tadi mereka sebut masing-masing. Masih sama seperti nama si sulung, konsep nama anak kembar mereka pun merupakan gabungan dari inisial keduanya, ditambah inisial Ajen.

Angel dan Jerry sepakat untuk menamai anak mereka dengan inisial R dan J, sama seperti inisial mereka. Untuk anak pertama, mereka memakai insial R. Maka, untuk si kembar, mereka memilih J.

Radjennar = ( R ) (A)nak (D)ari (J)erryan (E)do (N)ajuanda (N') (A)ngel Jannuar = (J) (A)diknya (N)oah (N)o. d(UA) ( R ) Jannesa = (J)erry (A)ngel (N') (N)oah (E)di(s)i du(A)


@guanhengai, 2022.

Terik matahari masih menembus tirai rumah sakit, meski semburat oranye sudah terlihat menutupi langit. Ramai klakson serta kepadatan di luar sana tak mengganggu keheningan sepasang suami istri yang kini saling tatap.

Beberapa detik lalu, Jerry baru saja merampas ponsel Angel dari sang pemilik. Rautnya benar-benar murka meski tidak ada kata terlontar dari mulutnya. Rahang tajam nan tegas yang biasa dihiasi senyum manis kini tegang setengah mati.

Rasanya Angel ingin meminta pada Tuhan untuk memberinya kekuatan menghilang. Sekarang ia percaya oleh perkataan karyawan kantor, Jerry benar-benar menyeramkan jika sedang dalam mode galak.

“Apa liat-liat?” tanya lelaki itu seraya menaikkan satu alisnya.

Sang gadis lantas menekuk kedua ujung bibirnya. Sejujurnya, ia tidak begitu takut karena masih ada ketampanan di wajah suaminya. Namun, sejak pertengkaran mereka beberapa bulan lalu, Angel sedikit lebih segan pada sang suami.

Krrrkkk

Kolaborasi antara tiktok jam dinding dan tetesan infus di atas gadis itu nyatanya tak mampu meredam suara perut Angel. “Dedek kembarnya laper,” ucap Angel masih dengan mata berbinar.

Di samping ranjangnya, Jerry terlihat mengangkat pergelangan dan menengok jam produksi Rolex yang melingkar di sana. Hampir pukul lima sore. Berarti, mereka sudah berada di tempat ini selama satu jam.

Lelaki itu sedikit menggeser kursi saat tubuhnya beranjak. Nampan berisi mangkuk sup dan sepiring nasi di atas meja merupakan tujuannya. Seorang perawat telah meletakkan santap sore Angel di sana sejak lima belas menit lalu, saat Jerry menemui Mas Aryo di luar.

Brakkk

Sebuah suara menginterupsi langkah sang tuan. Tubuhnya refleks berbalik dan menemukan tangan Angel menggenggam erat tiang infus. Kepala gadis itu masih menengadah seraya mulutnya terbuka lebar.

Belum sempat debar jantungnya kembali normal, langkah tegas nan cepat menghampiri gadis itu. “Lepas, biar aku yang benerin.” Ya, itu Jerry, suaminya yang tadi masih berada di ujung ruang untuk mengambil makanan.

“Nggak sengaja kesenggol,” jelas Angel tanpa diminta.

Abai dengan penjelasan istrinya, Jerry hanya menatap tiang besi yang menyangga infus gadis itu. Kakinya menginjak dudukan di bawah sana agar tiang berdiri tegak. Perlahan, tubuhnya mundur dan memastikan benda tersebut sudah kembali kokoh.

“M-mas,” panggil Angel sebelum lelaki itu melangkah.

Jerry berbalik dan menatap istrinya. “Apa? Katanya laper?”

“Jangan gini dong.” Suara Angel terdengar bergetar. Jujur, ia ingin menangis sejak mereka masih di rumah, saat Jerry pulang dan membawanya ke tempat ini.

“Nggak enak kan dicuekin gini? Itu yang aku rasain pas kamu nggak dengerin peringatan aku, Angel.”

Runtuh sudah pertahan gadis itu. Ia benar-benar merasa bersalah dan bimbang di satu waktu yang sama. Angel merasa bersalah karena mengusik ketenangan si kembar, dan bimbang karena tidak tahu cara menolak permintaan anak sulungnya.

Merasakan pelukan Jerry, ia justru semakin kuat terisak. Angel hanya ingin menangis dalam dekapan suaminya, tidak ada yang lain. Bahkan, rasa laparnya sudah terlupakan.

“M-maaf,” decitnya pelan.

Jerry menghela napasnya, tak tahu harus berkata apa pada istrinya yang sangat keras kepala.

“Maafnya kenapa?”

“Maaf udah bikin dedek kembar sakit,” jawab Angel masih disertai tangis kecil.

Suaminya kini menatap lekat gadis itu, memperhatikan wajah cantik berbalut air mata. Andai saja Angel tidak keluar rumah dan menggendong Ajen, mereka tidak akan ada di sini dan menunggu dua botol infus habis.

“Kalo udah sadar salahnya di mana, jangan diulangin lagi. Ya?” tanya Jerry yang langsung mendapat angguk setuju dari istrinya.

Punggung tangan berhias jarum infus kini menjadi sasaran tatap lelaki itu. Kulit putih Angel sudah dinodai lebam keunguan akibat tusukan tersebut. Ada sedikit pilu di dada Jerry kala melihatnya.

“Ini infus terakhir sampe dedek kembar lahir. Janji?” tanyanya lagi.

“Janji.”

“Jangan sakit lagi, Sayang,” ucapnya seraya memeluk tubuh Angel, lalu tangannya mengusap perut buncit istrinya.

Kalimat barusan adalah permintaan tulus Jerry pada sang gadis dan kedua anak mereka.


@guanhengai, 20222.

Bising trolley makanan rumah sakit dan percakapan oma-oma berbalut syal hangat tak mampu menyaingi pikiran Ajen. Dunianya seakan senyap, jiwanya terkurung dalam ruang tanpa udara. Tatap si kecil tampan itu hanya terfokus pada sang ibu yang sibuk mengusap perut buncitnya.

Sudah hampir satu setengah jam mereka berada di rumah sakit. Beberapa menit lalu, Jerry meminta bocah itu untuk duduk di dekat kasir seraya dirinya menebus obat Angel. Tidak banyak, hanya vitamin penguat kandungan dan beberapa butir penurun tekanan darah.

Kondisi gadis itu memang terlihat melemah akhir-akhir ini. Mulai dari pusing berkepanjangan, mual yang terlalu sering, serta ngilu di bagian pinggang hingga membuatnya menangis. Beruntung ia memiliki suami siaga seperti Jerry.

“Abang, kok melamun?”

Suara yang sangat Ajen kenal menggedor gendang telinga. Lelaki berkaos putih dengan jaket jeansnya baru saja berpisah dari jajaran manusia yang mengantre di depan lorong kasir. Sekantung vitamin milik sang istri sudah digenggam erat, serta dompet lipat di telapak satunya.

Jerry berlutut, menyamakan tinggi dengan putranya yang masih duduk di kursi rumah sakit. Kaki kecilnya menjuntai bebas, pun punggungnya tak sampai bersandar pada bantalan kursi. Seringai anak itu tergambar saat wajah Jerry tepat di hadapannya.

“Papa dah bi obat buat dedek kembal?” (Translate: Papa udah beli obat buat dedek kembar?)

Plastik putih berlogo rumah sakit diangkat, membuat si penanya mengangguk lucu. Ibu jari kanannya mengacung pada sang ayah.

“Mama di mana, Sayang?” tanya Jerry lagi.

Senyum di rupa mungilnya berangsur hilang. Kepalanya tiba-tiba menunduk, namun tangan kanannya mengarah pada satu sudut rumah sakit. Di sana Jerry dapat melihat Angel sedang duduk sembari menutup mata, tangannya tak henti memberi usapan pada perut buncitnya. Mungkin ia sedang menikmati interaksi si kembar yang kini sudah memasuki tujuh bulan.

“Terus? Kenapa Abang nggak samperin Mama?”

Alih-alih merespon, anaknya justru kian menunduk hingga keningnya hampir bersentuhan dengan dengkul. “Mama udah ndak main sama Abang, Papa.”

Seperti ada beban yang tiba-tiba menimpa dada Jerry kala mendengar kalimat Ajen. Ia merasa gagal menjadi orang tua karena membuat Ajen merasa kesepian.

Apakah mereka sudah tak menyayangiku? Apakah mereka akan melupakanku? Apakah aku sudah tak lagi berarti? Apakah aku akan terganti? Apakah aku masih menjadi anak kalian?

Mungkin, itu yang akan Ajen tanyakan jika saja usianya sudah lebih besar dari saat ini. Namun, mulut kecilnya kini hanya mampu bertanya apakah Mama sudah tak lagi bermain denganku?

Didahului napas panjang, Jerry ikut duduk dan memangku Ajen. Anaknya ternyata mewarisi sifat Angel. Air mata Ajen menetes hanya dengan belai lembut di punggungnya. “Nggak apa-apa, Abang nangis dulu sama Papa di sini,” tutur sang tuan yang memancing isak anaknya semakin terdengar.

Sesaat kemudian, lelaki itu membuka dompet yang masih ada di telapaknya, lalu mengeluarkan sebuah foto yang selalu ia simpan di sana. Ajen kecil yang penasaran pun langsung mengangkat kepalanya dan menengok potret di tangan ayahnya.

Distraksi sekitar mulai mengerubungi kepala Ajen. Bising yang tadi lenyap kini kembali tertangkap saraf pendengarannya. Meski pipinya masih berlapis air mata, senyum kembali terbit di bibir mungilnya.

“Ajen,” ucapnya saat melihat foto bayi di dalam sana. Telunjuknya menyentuh gambaran kecil dirinya yang sedang terlelap di antara Jerry dan dan Angel. Ayahnya mengangguk seraya kembali mengungkung si kecil dalam dekapan

Setelah puas memperhatikan foto tersebut, Jerry kembali mengambil lembaran berikutnya. Kini tidak ada sosok Ajen di sana, hanya ada sang ayah yang memakai kaos putih dan Angel dengan dress bunga-bunga. Jerry terlihat berbeda di foto itu, tubuhnya jauh lebih kurus.

“Papa, Mama,” tutur Ajen lagi, sembari tangannya menunjuk satu per satu wajah di dalam foto.

Saat telunjuknya bergerak ke arah perut Angel, kepalanya kembali tertunduk lemas. “Dedek kembal,” gumam Ajen dengan suara bergetar.

Namun, sebelum air mata kembali menetes, Jerry segera menggeleng dan mengungkung telapak kecil anaknya. “Itu bukan dedek kembar, Sayang. Itu Ajen.”

Netra yang sudah berlinang pun menatap ayahnya dengan sirat penasaran. “Ajen? Mana, Papa?”

Jery kembali melirik potret dirinya dan Angel yang diambil sesaat setelah pesta pernikahan Anne. “Ini, di dalem perut Mama.”

Anaknya masih belum berkutik, mungkin si kecil tidak mengerti apa maksud Jerry. Sebelum melanjutkan perkataannya, lelaki itu meletakkan semua barang yang ia genggam ke atas kursi rumah sakit.

“Dulu Ajen juga ada di perut Mama, sama kayak dedek kembar.”

“Abang pernah lihat Mama muntah-muntah pas pagi?” tanya lelaki itu yang diangguki anaknya.

“Abang pernah liat Mama pijet-pijet pinggang pas habis nemenin Abang main?” Lagi-lagi Ajen mengangguk.

“Abang, kalau perempuan lagi bawa dedek bayi, badannya pasti cepet capek. Nah, sama kayak Mama sekarang. Abang liat Mama deh...”

Kepala Ajen bergerak, tatapnya mengungkung Angel yang sedang bersandar pada tembok seraya menutup matanya. Raut gadis itu datar, namun sirat lelah dan rintih pedih menghiasi wajah cantiknya.

“Mama bobok?” tanya Ajen.

“Mama nggak bobok, Sayang. Dedek bayinya habis ngajak main di dalem perut Mama.”

“Mama capek, Papa?”

Jerry mengangguk pelan. Selama ini, ia dan istrinya selalu terlihat kuat dan mengikuti apa mau Ajen. Namun, sepertinya cara itu sedikit keliru. Anaknya harus tahu bahwa mengandung bukanlah hal mudah. Dengan begitu, kelak ia akan menghargai Angel dan wanita lain di luar sana.

“Tubuh Mama memang diciptakan buat bawa dedek bayi, sama kayak pas Abang masih kecil dulu. Nah, Mama juga bisa ngerasa capek karena bawa dedek bayi ke mana-mana. Kayak kalau Abang habis main bola sama Papa, capek kan?”

“Apek, aus!” jawab bocah kecil itu. (Translate: Capek, haus!)”

“Tapi, Mama sama Papa bahagia karena Ajen sama dedek kembar sehat-sehat di perut Mama. Sama kayak Abang. Walaupun capek main bola, Abang tetep seneng kan kalo Papa ajak main bola lagi?” Ajen mengangguk cepat setelah Jerry bertanya demikian.

“Nah, sekarang Mama lagi capek, Bang. Kalo Abang lagi capek, Abang ngapain?”

“Abang bobok ciang ama Mama. Alo Abang maen teyus, Abang atit, anash.” (Translate: Abang bobok siang sama Mama. Kalau Abang main terus, Abang sakit, panas.)

“Mama juga gitu, Bang. Sekarang Mama harus banyak istirahat. Mama juga nggak boleh terlalu banyak main. Kalau Mama kecapean, nanti Mama bisa sakit. So, Abang main sama Papa dulu, ya. Nggak apa-apa, kan?”

Ajen tersenyum dan mengangguk. “Abang ndak mau Mama cakit.”

Jerry pun ikut tersenyum dan mengusap lengan kecil putranya. “Abang, Mama sama Papa selalu sayang sama Abang. Dedek kembar juga sayang sama Abang. Mama libur main sama Abang bukan berarti sayangnya Mama ikut libur. Kalo Papa pergi ke luar kota buat kerja juga bukan berarti sayangnya Papa ikut pergi.”

Setelahnya, Jerry kembali mengambil foto dari dompetnya. Ia membuka telapak kecil Ajen, kemudian meletakkan potret tersebut di sana. “Ini buat Abang, disimpen aja, biar Abang inget kalau Mama sama Papa selalu sayang Abang,” tuturnya.

Ajen mengangguk sepakat sembari menatap foto Jerry dan Angel dengan perut buncitnya beberapa tahun silam. “Abang cayang Papa!”

“Papa juga sayang banget sama Abang.”

“Abang cayang Mama.”

“Kalau itu ngomongnya jangan ke Papa dong, bilang langsung ke Mama, yok?” ajak Jerry.

“Ayok!!”

Sebelum telapaknya menerima uluran tangan mungil Ajen, lelaki itu menghadiahkan kecupan di kening putranya. Wajah lembut Jerry yang kini ditatap anaknya akan selalu terpatri dalam benak Ajen. Ia adalah Papa yang selalu menatap bangga dirinya.

“Papa bangga banget sama Ajen.”


@guanhengai, 2022.

Siang ini, suasana rumah mereka damai seperti hari-hari sebelumnya. Jerry yang sedang menikmati jam istirahat duduk di ruang keluarga, menghidupkan alat pemutar musik, dan mengambil salah satu album kesukaannya. Bibi dan Angel sedang mencuci bekas alat makan mereka di dapur, sedangkan Ajen mengobrak-abrik keranjang mainan untuk menemukan mobil-mobilan yang akan dimainkan bersama papanya.

“Mas, Abang ke mana?” tanya Angel yang baru saja datang dari dapur.

“Masih di ruang main,” jawab lelaki itu sembari menepuk sofa di sampingnya.

“Sebentar, aku mau pup,” izin Angel, lalu memberi gerakan melingkar di perut buncitnya.

Jerry pun terkekeh kecil dan mengangguk.

Tak lama setelahnya, bunyi sandal Ajen terdengar. Langkah kecil itu mendekat ke arah sofa ruang tamu di mana papanya bersandar santai sembari mendengarkan lagu milik Frank Ocean.

“Papa! Obing Abang ndak etemu, ita men bayon ajah,” tuturnya setelah sampai di depan Jerry. (Translate: Papa! Mobil Abang nggak ketemu, kita main balon aja.)

Jerry yang sempat menutup matanya pun kembali tersadar. Ia mengerutkan dahi dan menatap netra polos anaknya. “Emang Abang punya balon? Dibeliin siapa?”

“Nemu di kamal Mama,” ucapnya seraya mengangkat sebuah benda transparan yang langsung membuat Jerry membelalak. (Translate: Nemu di kamar Mama,)

Debar jantung dan deru napas lelaki itu seakan berhenti kala Ajen menunjukkan barang pribadi miliknya. Namun, rautnya segera kembali normal agar si sulung tidak curiga. Tangannya menarik tubuh kecil itu mendekat, lalu memangku putranya di paha sebelah kiri.

“Abang, ini Abang ambil di mana, Sayang?” tanya Jerry lembut.

“Di kamal Mama!” jawabnya excited. (Translate: Di kamar Mama!)

Jerry sempat menghela napas panjang. “Abang tau nggak ini punya siapa?” tanyanya yang direspon gelengan oleh Ajen.

“Terus kenapa Abang ambil kalau Abang nggak tau ini punya siapa?”

“Abang mau men bayon cama Papa,” cicitnya seraya menautkan jemari kecilnya di depan dada. (Translate: Abang mau main balon sama Papa,)

Jerry tahu kini anaknya sedang merasa takut. Ia mengambil barang di tangan Ajen dan meletakkannya di samping.

“Papa nggak akan larang Abang kalau mau main balon sama Papa, tapi masa pake punya orang lain? Kalau orangnya nyariin, terus barangnya nggak ada di tempat, gimana? Nanti orangnya kebingungan. Ya, kan?”

Anggukkan kecil putranya terlihat. Tatap sendunya kini mengarah pada gelang rantai di pergelangan sang ayah. Ajen tidak berani membalas tatapan Jerry.

“Sayang, hey, coba liat Papa,” tutur lelaki itu sembari menangkup pipi anaknya.

“Kalau Abang mau pake barang yang bukan milik Abang, Abang harus izin dulu sama orangnya. Kalau orangnya udah izinin, baru Abang boleh pakai. Tapi, kalau orangnya nggak izinin, ya Abang jangan paksa. Got it?” tanya Jerry memastikan.

Ajen mengangguk, “Got it, Papa.”

“Nah, kalau Abang nggak tau itu punya siapa, lebih baik Abang nggak usah ambil. Gimana kalau barang itu ternyata bahaya? Ada orang yang sengaja taruh di sana biar Abang ambil, terus nanti ngelukain Abang. Abang nggak mau kayak gitu, kan?”

“No, atut.” (Translate: No, takut.)

“Tapi, di luar sana juga banyak barang-barang yang memang disediakan untuk umum. Contohnya pas Abang sama Papa ke toilet umum, pasti kita ambil tissue, kan?” Ajen mengangguk cepat. “Nah, kalau itu memang disediakan untuk para pengunjung, jadi Abang nggak perlu izin ke siapa pun. Tapi, Abang ambil secukupnya aja karena tissue itu bukan cuma buat Abang. Ya, Sayang?”

“Iya, Papa.”

Kini tangan Jerry kembali meraih barang yang tadi Ajen bawa dari kamarnya. “Sekarang Papa tanya lagi, Abang tau nggak ini punya siapa?” tanya lelaki itu yang langsung direspon gelengan.

“Ini punya Papa, Sayang. Papa nggak marah kalo Ajen mau pinjem barang Papa. Tapi, Ajen harus izin dulu biar kalau Papa mau pake nggak bingung carinya.”

image

“I'm colly, Papa,” jawab anak itu sembari menundukkan kepalanya. (Translate: I'm sorry, Papa.)

“Iya, Sayang. Papa maafin Abang. Tapi, next time Abang harus izin dulu, ya?”

“I will!” jawab Ajen semangat.

“Pinter banget Jagoan Papa,” Kecupan di kening mungil Ajen menyertai perkataannya.

“Ehm, Papa...” gumam bocah itu sembari telunjuk kecilnya memainkan kaos sang ayah. Kepalanya masih tertunduk, mungkin Ajen merasa bersalah karena mengambil barang tersebut tanpa izin. Namun, di sisi lain ia ingin sekali bermain balon.

“Hm?”

“So? Boyeh Abang pinjem bayonnya buat men ama Papa?” tanyanya dengan volume sangat pelan. (Translate: So? Boleh Abang pinjem balonnya buat main sama Papa?)

Kini gantian Jerry yang meneguk salivanya. Ia terdiam hingga anaknya menengadah dan menatap netra lelaki itu. “Ndak boyeh, ya?” tanya Ajen memastikan.

“Ehm, anu... Itu... Ini...”

“Apa, Papa?” Sepertinya bocah cilik itu sudah geregetan karena Papanya tiba-tiba gagu.

“Ini bukan balon buat mainan, Sayang. Ini Balon buat diisi anak kodok.”

Bibir Jerry langsung terkatup sempurnya setelah menyelesaikan kalimatnya. Ia berharap otak kecil Ajen benar-benar percaya akan pernyataannya barusan. Lagi pula, pikiran anak kecil masih abstrak. Tidak ada salahnya jika ia memberi penjelasan abstrak pada Ajen sekali-kali .

“Haeh? Anak odok?”

Tubuh kecil Ajen langsung loncat dari paha Jerry.

“MAMA!!! ADA ODOKKK!!!!!!” pekiknya dan langsung berlari ke arah Angel yang baru saja keluar dari kamar mandi.

“Eh? Eh? Kodok apa? Mana ada kodok di dalem rumah, Bang?” tanya gadis itu seraya membelai surai Ajen.

“Ada! Di bayonnya Papa!”

“Balon?” Dahi si cantik kini mengerut dalam, kemudian netranya beralih pada sang suami.

Jerry mengangkat kondom di tangannya dan menatap garang sang istri seakan ia siap untuk menerkam gadis itu. Sesaat kemudian, cengiran tanpa rasa bersalah tergambar di wajah Angel. Rasa malasnya membuat ia lupa membuang barang itu ke tempat sampah di luar rumah.


@guanhengai, 2022.

Mentari mulai bergulir ke sisi Barat, pun awan tebal berkumpul mengitarinya. Embusan angin menyapa helai rambut Angel yang baru saja membuka pintu teras samping. Beberapa hari lalu, Jerry sempat membuatkan bantalan empuk di atas sofa kayu agar anak dan istrinya lebih nyaman menyore di sana.

Dengan gerak perlahan, gadis itu membawa tubuhnya duduk di sofa. Perut buncit berisi dua krucil yang hampir berusia tiga bulan kian menghambat aktivitas Angel. Namun, ia sama sekali tak merasa terbebani.

Kala bokongnya baru saja mendarat, suara langkah kaki dari balik tubuh Angel terdengar. Entah geraknya yang terlalu lambat atau suaminya yang terlalu cepat membersihkan diri karena seingat Angel, lelaki itu memasuki kamar mandi saat dirinya keluar kamar.

“Kok kamu cepet banget mandinya, Mas?” tanya gadis itu saat sang suami melewatinya.

“Aku nggak mandi, Sayang. Cuma bersih-bersih dikit.”

Pantas saja. Padahal, biasanya lelaki itu langsung mandi dan membasahi rambutnya setelah dinas di luar kota. Mungkin Jerry tertular rasa malam Angel.

“Si Abang belum pulang?” tanya sang suami usai mengambil satu pisang goreng yang dibalut tissue.

“Belum, kayaknya masih asik main,” jawab Angel seraya bergeser untuk menyisakan tempat bagi lelaki itu.

“Dia tuh berani banget, ya? Aku liat temen-temennya udah TK semua, cuma dia sama Marsya yang masih pake popok ke mana-mana.” Lelaki tampan berkaos putih polos memulai obrolan ringan mereka sore itu.

“Hahaha! Iya, anakmu kan emang berani banget. Kemarin aja dia marahin orang gara-gara nabrak aku di mini market.”

Raut wajah Jerry langsung dipenuhi kejut dan khawatir usai mendengar kalimat Angel. Masih dengan setengah pisang goreng panas di tangannya, ia menengok ke arah samping.

“Hah? Nabrak kamu? Nabrak gimana? Terus kamu nggak apa-apa, kan? Krucils nggak apa-apa, kan? Kok kamu nggak bilang aku, sih?!”

Yang dihujam beribu pertanyaan pun hanya bisa diam sembari netranya mengerjap. Tangan Angel meraih segelas teh hangat yang sudah ia siapkan dan mengulurkannya pada sang suami. “Habisin dulu pisang gorengnya, Mas. Terus minum,” tutur gadis itu takut suaminya tersedak.

“Hehehe, makasih. TAPI KAMU NGGAK APA-APA, KAN?”

Tatap Angel berubah datar. Suaminya memang seperti ini, selalu berlebihan.

“Nggak apa-apa, cuma kesenggol dikit. Namanya juga tempat rame.”

“Next time lebih hati-hati lagi ya, Sayang,” ujar Jerry, lalu merangkul bahu gadis itu.

“Ajen tuh sayang banget sama kamu. Sampe-sampe aku mau cium kamu aja dikira mau makan.”

Angel tertawa kala mengingat kejadian tersebut. Saat itu mereka sedang bersantai di balkon atas, menikmati langit malam yang terlihat lebih cerah dari biasanya. Jerry memang sering mencium rakus pipi Angel karena merasa gemas pada istrinya. Namun, putra mereka yang baru saja sampai di balkon menganggap Jerry akan memakan pipi mamanya. Lantas bocah kecil itu menubruk Jerry dan kakinya yang masih berlapis sandal rumah menginjak kaki papanya. Jadilah kaki kiri lelaki itu bengkak selama dua hari dan harus memakai sandal jepit ke kantor.

“Malah diketawain,” cicit Jerry sesudah memasukkan potongan pisang goreng terakhir ke mulutnya.

“Ulululuh, kasian banget sih suamiku,” cibir Angel gemas.

Sang gadis memindahkan lengan kekar Jerry, kemudian menarik tubuh lelaki itu agar kepalanya bersandar di bahunya.

“Nah, kalo gini kan enak, nggak ada yang ganggu,” tutur Jerry.

Angel hanya menggeleng pelan saat suaminya memeluk pinggang dan mencium rahangnya. Biarkan Jerry menikmati saat-saat manja tanpa diganggu anak sulung mereka.

“Kamu kok nggak bilang sih kalo Atuy, Hargi, sama Marcell ke sini?” Angel bertanya sembari jemarinya menyisir surai tebal Jerry. Kini ia menyadari rambut Ajen sama persis dengan milik papanya.

“Aku juga nggak tau, mereka tiba-tiba telfon terus nanya aku di mana,” jawab lelaki itu seraya menutup matanya. Peluk Angel sungguh memberi kehangatan di tengah sejuknya sore.

“Terus? Habis ketemu kamu, mereka langsung balik?”

“Enggak, mereka keliling Banjarmasin dulu.”

“Mereka nggak mampir ke sini,” lirih sang gadis yang membuat suaminya kembali membuka mata dan menengadah.

“Mereka cuma tiga hari di Kalimantan, Sayang. Nanti balik ke Jakartanya juga lewat Banjarmasin, kasihan dong kalo harus ke sini dulu? Lagian, nanti kita bisa ketemu mereka kok. Jangan sedih, ya?” bujuk Jerry sembari membelai lengan Angel. Sepersekon kemudian, anggukkan sang istri membuat senyum manis di wajahnya kembali terurai.

Obrolan berlanjut mengenai perjalanan darat Jerry selama hampir tiga belas jam, tentang Ponco si anjing kecil penghuni baru rumah mereka, tentang kondisi si kembar di rahim Angel, dan diakhiri dengan rencana sekolah Ajen. Gesekan daun kelapa dan bayangnya yang terlihat lebih panjang menemani alur cerita yang terlontar dari mulut dua insan tersebut. Sesekali pukulan di lengan Jerry dan tawa receh lelaki itu menggema di teras.

“Sebentar lagi, kalo Abang belum pulang, kita masuk aj-”

Cit cit cit cit

Suara decit dari sandal putra mereka menjeda kalimat Jerry.

“Baru mau ditinggal, anaknya dateng,” tutur lelaki itu saat sosok kecil berbalut setelan rumah berjalan cepat ke arah mereka. Bibi mengikuti Ajen dari belakang, membawa mangkuk dan botol minum yang tadi terisi penuh.

“Sayang, jalannya pelan-pelan aja!” tegur Jerry pada putranya yang berlari di atas jalan berbatu.

“Papa! Papa! Papa!!!” Tangan mungilnya sudah terulur meski jarak mereka masih terlampau jauh.

“Dari kemarin dia nanyain kapan kamu pulang, Mas,” tutur Angel yang masih membiarkan kepala Jerry bertumpu di bahunya.

Saat si kecil sudah sampai di depan mereka, Jerry pun bangkit dan membalas uluran tangan Ajen. Alih-alih berpelukan, anak kecil itu justru melengos dan naik ke sofa. Ia menempati space kosong yang tadi Jerry berikan secara tidak sengaja.

“Abang mau peyuk Mama!” pekiknya sembari memeluk leher Angel karena tubuh kecilnya sama tinggi dengan sang ibu saat gadis itu terduduk di sofa. Lidah kecilnya menjulur ke arah Jerry karena merasa berhasil mengelabuhi lelaki dewasa itu. (Translate: Abang mau peluk Mama!)

“Dasar bocil! Bisa-bisanya bohongin papanya sendiri!” gerutu Jerry.

Angel pun terkekeh melihat aksi jahil anaknya. Gadis itu membalas peluk Ajen sebelum menyadari sandal kecil berlapis tanah ikut naik ke atas sofa.

“Abang, kok sendalnya belum dilepas?” tanya Angel seraya menabok pelan pantat Ajen.

“Hehe, yupa Mama. Cekalang Abang copot!” (Translate: Hehe, lupa Mama. Sekarang Abang copot!)

Bocah berusia dua setengah tahun itu turun dari sofa dan berusaha melepas sandal cit-citnya sendiri, tentu dengan membelakangi Angel.

Kesempatan brilian itu digunakan Jerry untuk bergeser dan kembali mengungkung istrinya. Angel sudah memberi kode pada sang tuan agar tidak melakukan hal tersebut. Namun, Jerry tidak bergerak barang seinci karena itulah tujuannya. Memancing omelan lucu anaknya.

Setelah menunggu beberapa menit, Ajen bangkit dan berbalik. Jangan tanyakan ekspresi bocah kecil itu. Wajahnya sudah memerah, alisnya menukik tajam, pun mata sipitnya semakin menghilang karena menatap kesal pada sang ayah. Yang ditatap justru menjulurkan lidah, sama seperti apa yang tadi Ajen lakukan.

Kedua lengan Jerry semakin memeluk erat perut Angel dan membuat si sulung dilanda rasa iri. Bocah itu kemudian mencoba melepas pelukan papanya dengan sekuat tenaga. Tentu Jerry sama sekali tak bergerak karena tenaga Ajen tidak ada apa-apanya dibanding dirinya.

Sadar tidak ada kemungkinan menang, anak itu berhenti berusaha dan menatap papanya. Angel sudah tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.

Benar saja, Ajen menangis dan terduduk di lantai. Kakinya menendang udara, melampiaskan rasa kesal. Entah kesal pada Jerry karena mengambil posisinya atau kesal karena lelaki itu terlalu lama meninggalkannya untuk dinas di luar kota.

“Ck, nangis kan!” decak Angel yang kemudian berusaha melepaskan diri dari Jerry.

“Biar aku aja. Dia tuh sebenernya kangen sama aku, tapi gengsinya tinggi banget,” jawab sang suami yang langsung bangkit dari posisinya.

“Anak Papa kok nangis?” tanya Jerry setelah bergabung dengan Ajen, duduk di lantai teras.

Bukannya semakin reda, isaknya justru kian menggelegar. Wajahnya sudah semerah tomat dan bulir mata semakin deras membasahi pipi gembulnya. Lelaki itu hanya melihat anaknya menangis dan sesekali tersenyum.

Ajen yang merasa diabaikan pun sempat membuka matanya sebentar, lalu menatap Jerry yang tidak berusaha menghiburnya. “Kenapa Abang nangis?” tanya lelaki itu yang mengundang tangis anaknya semakin memilukan.

“Mas, cepetan gendong!” Angel yang tidak tega pun memaksa Jerry.

“Uluh uluh, jagoan Papa.”

“Abang kenapa, hm?” tanya Jerry lagi usai berhasil duduk di samping Angel sembari memangku anaknya. Ibu tarinya mengusap tetesan air mata yang masih mengalir dari netra Ajen.

“Sini sini, anak Papa yang paling hebat. Abang nggak kangen sama Papa?” tanya lelaki itu setelah memeluk tubuh mungil Ajen dan mencium pipinya.

Ia merasakan ada lengan kecil yang melingkari lehernya, kemudian sesuatu membasahi kaosnya. “Anen Papa,” ucap Ajen di tengah isaknya. Kepala kecil itu bersandar nyaman di bahu Jerry dan jemari mungilnya bermain di balik punggung sang ayah.

“Kalo Abang kangen harusnya peluk dong, kenapa tadi malah ngejekin Papa?” tanya Jerry yang tidak dijawab oleh putranya.

“Kayak Mama aja, kalo kangen cari perkara.”

PLAK!!

Ajen ikut terkejut kala pukulan Angel hinggap di lengan Jerry.

“Mama ndak boyeh naalin Papa Abang!” pekik Ajen refleks. (Translate: Mama nggak boleh nakalin Papa Abang!)

“Papaaa!!!” Ia kembali menangis sambil memeluk erat papanya.

“Shh shh shh, enggak kok. Tadi Mama cuma becanda, Sayang. Tangannya Papa nggak sakit kok,” tutur Jerry berusaha menenangkan anaknya meski gelayar panas mengalir di lengannya.

Angel yang mendapat tatapan tajam dari putra sulungnya hanya mengacungkan jari telunjung dan tengah membentuk pose 'peace'.


@guanhengai, 2022.

Sudah kesekian kalinya Jerry memperhatikan wajah teduh sang istri yang terlelap di atas lengan kekarnya. Meski kebas tak keruan ia rasakan, lelaki berlesung pipit itu sama sekali tidak protes. Jemarinya menyisir surai lembut Angel sebelum memberi kecupan selamat pagi di keningnya. Jerry benar-benar merindukan pagi indah seperti ini.

Sekali lagi ia menatap Angel seraya tangan sebelahnya menyapa buah hati di dalam perut sang istri. Setelahnya, Jerry mengangkat pelan kepala gadis itu dan menarik bantal untuk mengganti lengannya. Tubuhnya sedikit menggigil kala selimut tebal yang menutup tubuhnya segera disingkirkan. Udara dingin masih tersisa akibat hujan tadi malam.

Lelaki itu melipat tangan, menutup mata, menunduk, kemudian menyapa Sang Pencipta lewat doanya. Ia berkali-kali menyebut nama Angel, Ajen, dan calon adik si sulung. Setelah netranya terbuka, Jerry berjalan menuju kamar mandi untuk menuntaskan panggilan alam dan membersihkan wajah tampannya.

Derap langkah kaki terdengar dari arah kamar mandi. Lampu tidur yang semalam Angel nyalakan sudah mati, digantikan oleh beribu partikel cahaya yang masuk melalui jendela kamar.

Jerry masih berdiri di pintu kamar kamdi, menatap istrinya yang sudah terduduk dengan selimut menutupi kakinya. Lalu, ia tersenyum dan mendekati gadis cantik itu.

“Morning, Sayang. Gimana tidurnya? Nyenyak?” Tanya Jerry setelah bergabung dengan Angel di atas kasur.

Alih-alih menjawab, yang ditanya justru memeluk erat suaminya. Gadis itu menghirup aroma tubuh Jerry yang sangat ia rindukan beberapa hari terakhir.

“Untung udah sering dapet serangan mendadak,” celetuk Jerry sembari mengusap rambut Angel.

“Aku pikir kamu masih marah sama aku,” gumam Angel dalam pelukan suaminya.

“Loh? Aku kira kamu yang marah sama aku. Kemarin nggak makan sop buatanku, terus selalu menghindar pas aku deketin kamu di ruang main Ajen,” jawab sang tuan.

“Ih enggak! Kemarin tuh si Adek lagi nggak mau sop, jadi pas mau makan mual deh. Terus aku nggak menghindar, tapi pegel kalo duduk kelamaan di ruang main Ajen.”

Jerry mengecup kening Angel cukup lama. “Salah paham ternyata,” tuturnya.

“Sorry, Mas.” Lelaki itu membiarkan napas hangat sang istri hangat menggelitik dadanya. Pun kepala gadis itu sudah bersandar sepenuhnya di tubuh sang suami.

“Maafin aku juga, ya.”

Without much room to talk, mereka saling menyapa rindu melalui peluk dan senyum masing-masing. Hanya kicau burung di balik jendela kamar yang menjadi satu-satunya distraksi.

“Mau aku ceritain sesuatu?” tanya Jerry memecah keheningan.

“Hm,” respon Angel singkat.

Beberapa hari yang lalu, Mas Aryo mengirim sesuatu ke melalui email Jerry. Lelaki itu pun langsung membuka dan membaca isinya. Baru saja ia melihat kop surat yang Mas Aryo kirim, matanya sudah membelalak sempurna. Bagaimana tidak, surat itu merupakan terusan dari pengadilan setempat.

Debar jantungnya terasa semakin cepat kala membaca isi surat tersebut. Namanya dan Mas Aryo tertulis jelas dengan font yang lebih tebal. Telunjuknya terus menggulir badan surat hingga akhir meski gelisah mendominasi.

Di daerah perkebunan memang sering terjadi masalah seperti yang kini ia hadapi, sengketa dengan warga sekitar. Perusahaan Mas Aryo sempat membangun jalan untuk lalu lintas truk pengangkut kelapa sawit, tepat di samping perumahan warga.

Ternyata, masih banyak penduduk yang tidak terima oleh pembangunan tersebut. Mereka mengaku terganggu oleh truk-truk pengangkut sawit dan debu yang terus bertebaran. Maka dari itu, pengadilan setempat mengundang Jerry sebagai Kepala Kebun dan Mas Aryo sebagai pimpinan tinggi perusahaan.

“Mas, ini kita beneran dipanggil pengadilan?” tanya Jerry saat ia bertemu dengan kakak iparnya.

“Iya, Jer. Hal-hal kayak gini bakal sering lo hadapi. Gue sama anak-anak juga pernah dipenjara sebulan gara-gara masalah ginian,” jawab Mas Aryo santai sembari menepuk pundak Jerry.

“Hah? Dipenjara beneran? Gara-gara didemo warga?”

“Iya lah, beneran. Tenang, sebenernya ini cuma formalitas. Biar warga puas aja karena kita udah 'dihukum'.” Telunjuk dan jari tengah Mas Aryo memberi kode kutip pada kata terakhir.

Mulut Jerry masih terbuka karena tidak menyangka ia akan melalui hal seperti ini. Meski bukan karena tindak kriminal, tetap saja ia akan tidur beberapa hari di penjara. Beruntung ada Mas Aryo yang menemaninya.

“Terus? Gue kasih tau Angel gimana?”

“Aduh, kalo itu terserah lo deh. Kalo gue, dulu langsung jujur ke Laras. Ya gue bilang aja harus nginep beberapa hari karena mau diperiksa Polisi.”

Secara tidak langsung, Mas Aryo menyarankan adik iparnya untuk jujur pada sang istri. Wajar, lelaki itu belum tahu kalau adiknya dalam keadaan mengandung. Akan tetapi, Jerry yang tahu kondisi Angel memilih untuk berbohong sedikit agar istrinya tidak khawatir.

Tanpa Jerry ketahui, kebohongannya justru menimbulkan masalah hingga mereka bertengkar dan perang dingin selama beberapa hari terakhir.

“JADI?! KEMARIN KAMU DIPENJARA, MAS?” Lelaki di sampingnya terkejut kala wajah Angel tiba-tiba berubah serius dan memerah.

Jerry meletakkan telapaknya di depan wajah gadis itu dan memberi kode agar istrinya tenang. “Iya, Sayang. Tapi nggak apa-apa kok, kan sekarang aku udah balik lagi.”

“Nggak apa-apa gimana? Kamu dipenjara, Mas! PEN-JA-RA.”

“Hey, hey, hey. Sayang, penjaranya nggak kayak yang di film-film kok. Ada kasur, ada kamar mandi, makanannya juga enak. Aku juga kan sama Mas Aryo di sana.”

“Ck, lagian apaan sih warga! Jalan itu juga mereka yang pake kok, protes mulu kayak mahasiswa!” gerutu Angel kesal.

“Jangan gitu, Sayang. Kalo dipikir-pikir lagi, aku juga kesel sih kalo jadi mereka. Kamu tau kan, debu jalanan itu setebel apa? Ya, pasti rumah mereka jadi kotor walaupun udah di sapu tiap menit. Belum lagi kalo mereka punya anak kecil, kasian kan bisa batuk-batuk?.”

“Hm, iya sih. Suara truk juga kadang berisik. Truk sampah yang lewat aja bikin Ajen nggak bisa tidur siang.”

“Tuh, kan. Kemarin aku juga kesel pas tau aku sama Mas Aryo bakal nginep di penjara. Tapi, setelah denger yang hakim bilang, ya aku setuju juga. Jalanan itu memang mengganggu warga.”

Angel tersenyum dan menatap kagum suaminya. Kini ia merasa sangat bersalah karena menuduh Jerry melakukan sesuatu yang menjijikan. Jika kemarin Jerry memberi tahu kondisi yang sesungguhnya, Angel mungkin akan melakukan sesuatu yang dapat melukai dirinya dan anak di dalam kandungannya. Dasar Angel bodoh, berkali-kali batinnya berucap demikian.

“Kamu emang manusia hebat, Mas,” tutur Angel pelan, kemudian memeluk suaminya lagi.

Seconds turned into minutes and minutes lapsed into hour as the two listened to each other's heartbeat. Hingga jam kayu di lantai bawah berdengung, mereka tetap pada posisi awal.

“Eh! Udah jam delapan, Mas.”

“I don't care. Hari ini aku mau bolos kerja, mau seharian sama istriku yang gemesin,” jawab Jerry sembari mempererat pelukannya dan mengecup pipi Angel berkali-kali.

“Mhhh! Inget, ada anakmu, Mas!”

“Astaga! Ya ampun, maaf maaf maaf.”

Lelaki itu kemudian bergeser sedikit, lalu merubuhkan dirinya di samping Angel. Kepalanya kini berhadapan langsung dengan perut sang istri.

Tanpa izin dan permisi, tangannya langsung menyingkap piyama Angel. Istrinya pun refleks menabok lengan Jerry, namun hanya dibalas cengir dan kekehan sang tuan.

“Hai Adek, anaknya Papa yang paling imut karena masih keciill.” Lelaki itu memulai obrolannya dengan makhluk di dalam sana.

Hari ini sudah hampir dua minggu sejak mereka mengetahui keberadaan dedek bayi. Namun, perut Angel sudah terlihat seperti mengandung bayi dua bulan. “Kamu cewek atau cowok, Dek? Tapi kayaknya cowok deh, soalnya perut Mama udah keliatan gede banget,” lanjutnya seakan ada jawaban dari sang buah hati.

“Kalo kamu cowok...”

Jerry menjeda kalimatnya hingga membuat gadis yang memperhatikan kegiatannya sedari tadi ikut penasaran.

“Jangan ikut-ikutan abang kamu, ngerebut Mama dari Papa,” bisiknya di depan perut buncit Angel.

Plak!

“Kamu nih! Kalo ngomong sama anak tuh yang bener-bener aja dong, Mas. Mana ada anak yang ngerebut orang tuanya sendiri?” tanya Angel dibumbui nada kesal.

“Ada. Anakmu yang gede tuh.”

“Mana pernah?”

“Sering. Dia selalu ngusir aku kalo lagi sama kamu.”

“Itu karena kamu jahil, Mas. Coba kamu diem, pasti Ajen bolehin kamu duduk di sampingku.”

“Halah, itu cuma akal-akalannya aj-”

Kegiatan protes Jerry pun terhenti oleh pekik imut dari arah pintu kamar mereka. Keduanya lantas menengok dan melihat sosok kecil yang menjadi tersangka pengganggu pagi romantis tersebut.

“Tuh kan, baru dibilangin,” gerutu Jerry seraya memeluk pinggang Angel.

Ajen yang melihat papanya menempel pada tubuh sang Mama pun langsung berlari dan menubruk punggung Jerry.

“Papa! Wash! Wash!” (Translate: Papa! Awas! Awas!)

“Ih, apaan sih? Kan Papa duluan yang di sini,” jawab Jerry tak mau kalah.

“Kalang antian Abang peyuk Mama!” (Translate: Sekarang gantian Abang yang peluk Mama!)

“Tuh! Gantian, Mas.” Kini Angel ikut membela anaknya dan membuat sang suami merajuk.

“Ck, malah dibelain. Semoga si Adek cewek, biar Papa juga punya temen!”

Jerry pun bergeser dan membiarkan Ajen menempati tempatnya. Masih dengan tatap kesal, ia memberhatikan bagaimana si sulung berinteraksi dengan perut buncit Angel. Namun, kalimat Ajen setelahnya membuat lelaki itu melotot sempurna.

“Adek janan temen Papa ya, Papa gayak yohhh!” (Translate: Adek jangan temenin Papa ya, Papa galak loh!)

Yang diejek langsung menarik tubuh kecil itu dan mengangkat tinggi. Alih-alih menangis, Ajen justru tertawa lepas karena perutnya dikelitik oleh hidung sang ayah. Kata 'ampun' berkali-kali berlontar dari mulut mungilnya.

“Bilang Papa galak lagi coba,” tutur Jerry masih dengan mengangkat Ajen.

“No, no, no! Ampun, Papa!” pekik Ajen.

“Mas, udah ah. Kasian tuh, mukanya si Abang udah merah banget,” ujar Angel menghentikan suaminya.

“Dasar bocil!” sembur Jerry setelah menurunkan tubuh Ajen di samping mamanya.

Gadis yang masih duduk bersandar kepala kasur itu pun tersenyum melihat interaksi kedua manusia tampan di depannya.

Sungguh hubungan yang aneh menurut Angel. Mereka akan bercerita layaknya sahabat di sore hari, lalu Jerry akan menasehati Ajen layaknya seorang ayah saat malam menjelang, dan bertengkar seperti adik-kakak sepanjang waktu.

Namun, Angel bersyukur atas itu. Setidaknya, Ajen memiliki ayah yang luar biasa seperti suaminya.


@guanhengai, 2022.

It was cloudy and the walk to his house was long. But, he didn't mind cause his son yang berusia dua setengah tahun menemani dirinya menyusuri jalan dari kantor menuju rumah. Telapak lebar lelaki itu menggandeng tangan mungil putranya menuju rumah.

Hari ini adalah Jumat, Jerry memutuskan tidak membawa mobil karena ingin menikmati waktunya bersama Ajen. Bocah kecil berbalut kaos lengan panjang itu memang selalu ikut ke kantor sang ayah setiap akhir pekan. Entah hanya bermain di ruangan Jerry, atau berkeliling menyapa karyawan di sana.

“Abang, ini kaosnya digulung dulu, biar nggak kena ice cream.” Jerry berjongkok di depan bocah itu, kemudian melipat ujung kaos bagian tangan Ajen sebatas siku.

“Maacih, Papa.” Jerry tersenyum dan mengangguk.

Setelah memastikan kaos putranya aman dari tetesan ice cream, ia kembali bangkit dan meneruskan perjalanan mereka.

“Papa!” panggil Ajen seraya menengadah.

“Iya, Sayang?”

“Why Papa bobok cama Abang teyus? Papa agi angly-angly cama Mama?” tutur Ajen sembari terus menjilat ice cream di tangannya. (Translate: Why Papa bobok sama Abang terus? Papa lagi angry-angry sama Mama?)

Jerry tidak langsung menjawab pertanyaan putranya. Lelaki itu membawa Ajen untuk duduk di bangku yang tersedia di tepi jalan. Ia mengambil selembar tissue kering di tas kerjanya dan membersihkan jemari mungil Ajen dari tetesan ice cream.

Sempat ada jeda setelah keduanya mendaratkan bokong di bangku panjang tersebut. Deru angin dan gelapnya langit mendukung suasana sendu yang mendominasi dada lelaki berbalut kemeja putih.

image

Perlahan tangannya menggenggam jemari kecil Ajen dan memusatkan tatapnya pada si sulung. “Kenapa Abang tanya gitu?” tanya Jerry yang langsung mendapat tatapan imut dari lawan bicaranya.

Kedua bahu kecilnya terangkat meski lidahnya terus menyapu lelehan ice cream di cone. “Mama cama Papa ndak bobok baleng, ndak maen baleng, ndak tawa-tawa. Kaya Abang cama Masya alo agi angly.” (Translate: Mama sama Papa nggak bobok bareng, nggak main bareng, nggak ketawa-ketawa. Kayak Abang sama Marsya kalau lagi angry.)

Tolong ingatkan Jerry bahwa anaknya terlahir cerdas. Ajen mampu memahami situasi sekitar tanpa harus diceritakan oleh orang dewasa. Lelaki itu benar-benar dibuat kikuk oleh anaknya sendiri.

Akhirnya, ia mengangguk sembari tersenyum kecil. Telinganya memerah karena merasa malu.

“Capa yang naal?” tanya Ajen meniru nada Jerry saat bertanya padanya. (Translate: Siapa yang nakal?)

“Papa yang ngelakuin kesalahan, Sayang.”

“Teyus? Papa didn't say solli to Mama?” tanya bocah itu lagi. Kini sebelah tangannya sudah berpindah ke pinggang, benar-benar meniru kala Jerry menegurnya. (Translate: Terus? Papa didn't say sorry to Mama?)

Gelengan sang ayah pun mengundang ceramah dari mulut mungil Ajen. “Papa caid alo calah halus minta maap. Napa Papa ndak minta maap?” (Translate: Papa said, kalau salah harus minta maaf. Kenapa Papa nggak minta maaf?)

Memang seperti itu seharusnya. Jika manusia melakukan kesalahan, harus segera menyadari, lalu meminta maaf. Namun, berbeda dengan orang dewasa yang sudah mengenal gengsi. Rasanya kata maaf sangat sulit terucap. Bahkan, banyak dari mereka memilih untuk melupakan begitu saja kesalahannya dan perlahan menjauh dari orang yang bersitegang dengan mereka.

Sama seperti apa yang Jerry dan Angel lakukan saat ini.

“Nanti Papa say sorry ke Mama,” jawab Jerry.

“Tuhan ndak cuka kayo kita belantem, Papa.” Telunjuk kecil Ajen bergoyang di depan wajah Jerry. (Translate: Tuhan nggak suka kalau kita berantem, Papa.)

Lelaki itu mengambil alih ice cream Ajen yang sudah tak berbentuk dan membawa putranya ke dalam pelukan. Ia membelai lembut punggung kecil anaknya.

“Abang ugha ndak cuka Papa cama Mama belantem,” tutur Ajen di ceruk leher sang ayah. (Translate: Abang juga nggak suka Papa sama Mama berantem,)

Debar jantung Jerry semakin tak beraturan setelah mendengar kalimat Ajen. Lelaki itu tidak mengira bahwa putra kecilnya menyadari perang dingin mereka. Jerry lupa bahwa apa yang Angel dan dirinya lakukan akan selalu berdampak pada anak mereka.

“Maafin Papa ya, Sayang.”


@guanhengai, 2022.