guanhengai

Langit sore yang tadinya cerah mulai terlihat mendung. Seorang dewasa tampan dengan kaos hitam dan topi yang sebelumnya berencana untuk memberi kejutan pada sang istri pun mengurungkan niatnya setelah membaca beberapa percakapan terakhir di ponselnya.

Wajahnya bersemu merah, langkah tegasnya membawa lelaki itu sampai ke lantai dua hanya dengan hitungan detik. Hela napas yang masih putus-putus dibiarkannya karena kini Angel lebih penting.

Sebelum Jerry menyentuh gagang pintu, suara putranya terdengar dari ruang bermain. “Papa!” Makhluk mini itu langsung mendekat dengan lari kecil. Bahkan, dinosaurus karetnya masih berada dalam genggaman.

“Hai, Jagoan! How’s it going?” tanya Jerry setelah berjongkok untuk menyamakan tinggi dengan Ajen.

“Micu! No bayd cos... Masya di cini,” tutur anak kecil itu dengan volume memelan di akhir kalimatnya. (Translate: I miss you! But, not bad cause... Marsya di sini)

image

Jerry yang menangkap sosok kecil di ruang bermain Ajen pun tersenyum dan mengangguk. Telapak si dewasa menyisir rambut putra sulungnya yang tumbuh begitu cepat. “Nanti kita cerita-cerita, ya. Sekarang, boleh Papa ngobrol sama Mama dulu?” tanya Jerry meminta izin.

Ajen mundur beberapa langkah dan mengangguk lucu. “Ote! Papai!” jawabnya sembari menjauh dan melambaikan tangan, kembali menemui teman bermainnya di ruang sebelah. (Translate: Okay! Bye bye!)

Setelah memastikan anaknya tenang di ruang bermain, Jerry pun masuk ke dalam kamar mereka. Zonk. Netranya sama sekali tidak menangkap sosok di dalam sana. “Sayang?” panggil Jerry sembari menghidupkan saklar lampu yang biasanya tak pernah dimatikan.

Tungkainya membawa raga kekar itu menyusuri kamar mandi dan walking closet. Masih sama, kosong.

Satu tempat yang belum ia datangi adalah kamar Ajen. Tanpa pikir panjang, lelaki itu berjalan menuju pintu di ujung kamar. Ia sempat menghela napas kasar sebelum meraih gagangnya dan mendorong pembatas antara kamar mereka dan kamar Ajen.

Benar dugaan Jerry, Angel sedang duduk di kasur anaknya. Dengan bersadar pada beberapa tumpukan bantal, gadis itu memejamkan matanya. Sang tuan tahu istrinya tidak tidur karena mulut Angel akan sedikit terbuka saat lelap. Senyum manis terlukis di paras rupawannya saat mendekat ke arah sang istri.

“Sayang,” panggilnya lagi setelah duduk di samping gadis itu. Tangannya membelai lembut rambut panjang istrinya dan bersiap mengecup kening. Namun, Angel segera menjauh dari tubuh Jerry dan membuat suaminya terkejut.

“Loh? Kenapa? Aku bau, ya?” tanya lelaki itu seraya menghirup ketiaknya.

Alih-alih menjawab, gadis itu justru semakin menjauh hingga posisi mereka berada di dua sisi ranjang yang saling berseberangan. Kaki Angel sudah menjuntai ke bawah, memunggungi sang suami yang diselimuti rasa penasaran.

“Hey, kamu kenapa say-”

“Kamu dari mana aja, Mas?”

Pertanyaan barusan rasanya lebih mematikan bagi Jerry dari pada segelas teh bercampur racun. Otaknya menyuarakan fakta bahwa perempuan bertanya bukan untuk mendapat jawaban, melainkan kejujuran. Namun, sama-sama mematikan jika Jerry jujur.

“Sayang, sini dulu do-”

“Kamu dari mana aja, Mas?”

Intonasinya tidak berubah sejak pertama. Desah kasar Jerry dan tiktok jam kecil di meja Ajen mendominasi ruang yang tak terlalu luas itu. Sesaat kemudian, ranjang sedikit bergerak karena Jerry menyandarkan tubuhnya pada kepala ranjang berwarna biru tersebut.

“Kamu udah tau aku ke mana, kan?” tebak Jerry yang langsung mengundang smirk di bibir istrinya.

“Aku bukan kamu yang minta tolong orang buat laporan ke aku soal kegiatanmu di kantor dan di luar kantor,” jawab Angel sedikit menyindir suaminya.

Tanpa gadis itu ketahui, rahang lelaki di belakangnya sudah menegang dan tatapnya seolah menembus tembok di depan ranjang.

“Nggak usah bahas masa lalu, bisa?” tanya Jerry terdengar berusaha meredam sesuatu.

“Why? Karena sekarang kamu juga ngelakuin hal yang sama kayak aku dulu?”

Pertanyaan barusan ternyata mengundang Jerry bangkit dari kasur dan berjalan ke depan Angel. Raut istrinya datar, benar-benar datar hingga lelaki itu tidak tahu apa yang sedang Angel rasakan.

“Apa?” tanya Angel seraya menengadah.

Yang ditanya merendahkan tubuhnya dan berusaha menatap ramah sang istri. “Aku nggak pernah ngelakuin apa yang kamu pikirin, Angel.”

“Emang aku mikir apa, Mas?”

“A-affair?”

“Hah? Hahaha! Aku tadi cuma bilang kamu ngelakuin apa yang dulu aku lakuin, Mas. I didn't even mention that word. You did!”

Kini intonasinya telah beranjak setingkat dari sebelumnya. Pun netra Angel menajam seiring rona merah mengalir di wajahnya. Jerry yang membebankan dengkulnya dilantai langsung menunduk dan mengacak-acak rambut.

“One thing, Mas. Aku nggak selingkuh. Aku selalu izin ke kamu kalo aku mau pergi. Aku nggak pernah bohong ke kam-”

“But you did, Angel!”

Mata gadis itu mengerjapkan berkali-kali karena her husband suddenly shouted in a not so loud tone. Bibir sebelahnya terangkat, senyum pias tergambar di wajah Angel. Tolong ingat, hari ini adalah kali pertama Jerry membentak dirinya.

“Sh-! Sorry. I'm so sorry. I'm sorry. I'm sorry, Sayang.” Telapak Jerry dihempas begitu saja saat berusaha menggenggam milik sang istri.

“I did, what? Selingkuh? NEVER! Aku selalu izin ke kamu kalo aku mau pergi, Mas! Even that time, pas ke Bandung! A-KU-I-ZIN!”

Tapi kamu izinnya bertiga sama Gavin, Angel, jawabnya dalam hati.

“Ya, ya, ya, I know. I'm sorry.” Mengingat sosok kecil di perut Angel, lelaki itu berusaha meredam amarah dan menghentikan perdebatan mereka.

Namun, sang gadis justru menggeleng. “Sampe detik ini kamu masih mikir kalo aku selingkuh, Mas? Hahaha! Emang serendah itu ya aku di mata kamu? Pantes kamu nggak pernah percaya sama aku. Pantes kamu nggak jujur sama aku. Terus kamu mau bales? Hm? Mau cari cewek lain yang nggak pernah jalan sama cowok?!”

Pandangan Jerry yang tadinya dipenuhi lantai kamar Ajen kini perlahan naik dan membalas tatap tajam istrinya. Suara mereka sama sekali tak terdengar, namun sirat dari netra masing-masing seakan berusaha saling menusuk jantung lawannya. Isi kepala Angel dan Jerry sama-sama tak keruan saat ini.

image

“Bisa-bisanya kamu mikir gitu?” tanya Jerry tak percaya.

“Why not?” balas Angel tak acuh yang justru memancing emosi suaminya.

“Why not? Why not kata kamu? Angel, kamu tau kalo aku sayang sama kamu, sayang banget malah. How can I look for another person when I'm so in love with you? Kamu pikir gampang buat aku sayang dan percaya sama orang? Sekarang siapa yang memandang rendah? Masih aku? Lihat ke diri kamu sendiri, Angel. Kamu hargain berapa rasa sayangku ke kamu selama ini? Aku emang nggak pernah cukup buat kamu, aku sadar itu kok.”

Jerry langsung beranjak setelah menyelesaikan kalimatnya. Ia tidak ingin marah di depan Angel dan berdampak pada anaknya. Namun, kali ini batinnya benar-benar tercabik oleh perkataan sang istri. Demi Tuhan, hal paling menyakitkan bagi seseorang yang mencinta begitu dalam adalah saat orang yang mereka cintai dengan tulus meragukan perasaannya.

Hanya Angel yang Jerry cintai, sungguh. Dan seharusnya Angel percaya itu.

Ceklek pintu pembatas kamar pun terdengar. Mereka mengakhiri obrolan sore ini tanpa penyelesaian. Keduanya berpisah dengan hancur masing-masing. Jerry hancur karena perkataan sang istri ditambah rasa bersalah yang masih tertanam. Sedangkan, gadis yang kini meringkuk hancur karena tidak mendapat kejujuran dan justru ditinggal sang suami.

Entah apa yang akan mereka lakukan untuk mencapai kata 'sepakat' karena ini adalah kali pertama Jerry hengkang dan meninggalkan Angel di tengah perdebatan mereka. Lelaki itu benar-benar meninggalkan istrinya menangis di kamar Ajen.


@guanhengai, 2022.

Jerry dengan kemeja hitam yang sudah acak-acakan berlari tanpa melepas sepatunya. Lelaki itu menangkap sosok Brandon sedang berdiri di depan pintu kamarnya dan Ajen dalam gendongan Bibi. Tanpa pikir panjang, kedua tungkai sang tuan mendekat ke arah mereka.

Belum sempat sapanya terlontar, rengek Ajen terdengar mendahuluinya. “Papa! Ndong!” Bocah itu mengulurkan kedua tangan yang langsung disambut oleh sang ayah.

“Kenapa istri saya bisa jatuh?” Jerry menagih penjelasan pada dua manusia dewasa di hadapannya. Yang ditanya justru saling tatap dan terlihat enggan menjawab.

Lelaki itu pun menghela napas kasar. “Kalian kembali ke bawah saja. Biar saya yang jaga Angel,” putusnya sebelum telapak berurat itu bergerak untuk membuka pintu kamar.

“Ehm, Pak!” panggil Brandon dengan suara yang jauh dari kata tegas.

“Kenapa lagi?”

“I-ini punya Ibu.” Tangannya terlihat bergetar kala menyerahkan barang milik Angel yang tadi ikut jatuh bersama sang gadis. Jerry pun meraih barang tersebut dan mendorong pintu kamar hingga terlihat dinding abu-abu di dalam sana.

image

Ia memperlambat geraknya dan memberi kode pada Ajen agar tidak bersuara karena takut membangunkan Angel. Gadis itu berbaring di kamar dengan infus di tangan kirinya. Jerry memang sempat memanggil dokter untuk saat ia masih dalam perjalanan tadi.

Lelaki itu menurunkan putranya sebelum menarik kursi dari meja rias ke samping ranjang. Ia berbisik pada Ajen untuk mengecup lembut kening mamanya setelah dirinya melakukan hal yang sama. “Adek tadi ikut bantuin Bibi sama Om Beler bangunin Mama?” tanya Jerry masih dengan suara yang hampir tak terdengar.

Si kecil dalam pangkuannya mengangguk. “Tapi Mama ndak mau banun,” jawab Ajen dengan aksennya yang belum terlalu fasih. (Translate: tapi Mama nggak mau bangun)

Jerry lantas membelai surai sang anak, lalu mengecup pipi gembulnya. “It's okay, Mama cuma kecapean, Sayang. Cairan ini yang bantu kasih energi ke tubuh Mama. Sebentar lagi, Mamanya Adek pasti bangun.”

Jemari kecil putranya memainkan kancing teratas di kemeja Jerry yang sudah terlepas. Rautnya tiba-tiba bergeser menjadi sendu. “Mama tapek kejal-kejal Adek ya, Papa? Nti Adek ndak lali lagi, dandii!” (Translate: Mama capek kejar-kejar Adek ya, Papa? Nanti Adek nggak lari lagi, janji!)

Lelaki yang jauh lebih dewasa itu pun tersenyum, kemudian menggenggam telapak mungil anaknya. “Adek masih boleh lari, tapi nggak ajak Mama dulu, nggak apa-apa kan? Nanti lari-larinya sama Papa aja,” jawab Jerry yang langsung mendapat anguk lucu Ajen.

Setelah lelaki itu menyelesaikan kalimatnya, rintih kecil dari gadis yang sedang terbaring di depan mereka pun terdengar. Baik Ajen maupun Jerry sama-sama bangkit dari tempat duduk dan menghampiri Angel.

Ajen kecil langsung berlari dan memanjat sisi kaki kasur agar dapat melihat mamanya dari jarak yang lebih dekat. Tangan kecilnya mengusap lengan Angel meski tak selembut usapan sang ayah.

“Mama,” panggil Ajen saat kelopak mamanya mulai terbuka.

Alis gadis itu berkerut seiring pandangannya kian terlihat jelas. Angel sempat kembali menutup matanya untuk menyesuaikan banyaknya berkas cahaya yang ditangkap korneanya. Hal pertama yang ia lihat adalah atap putih dan lampu kamar yang cukup terang. Juga suara Ajen yang terus-menerus memanggilnya mulai memenuhi gendang telinga.

Pandangannya kemudian bergeser ke samping kanan, bagian ranjang tempat anaknya duduk sembari memamerkan raut khawatir. “I'm okay, Boy,” tutur Angel dengan suara serak seraya mengulurkan tangannya.

Ajen pun masuk ke peluk sang ibu, lalu membebankan tubuhnya di dada Angel. Lengan kecilnya mengungkung leher gadis itu seakan tak rela melepas barang sedetik. Namun, tiba-tiba tubuhnya melayang dan kaitan di leher Angel terlepas begitu saja.

“Nggg! Papa! Adek macih peyuk Mama!” protes Ajen saat mengetahui kelakuan papanya. (Translate: Papa! Adek masih peluk Mama!)

“Gantian, Dek,” jawab Jerry setelah meletakkan anaknya di samping tubuh Angel. Lelaki itu kemudian berganti memeluk istrinya yang masih berbaring, lalu mengecup pipi Angel.

“I love you,” bisik Jerry seraya membelai lembut perut Angel.

“M-mas?” Lelaki itu merasakan suara Angel bergetar.

“Kamu mau Ajen tetep di sini?” tanya Jerry masih dengan berbisik. Angel pun menggeleng pelan, ia ingin menangis tanpa dilihat putranya.

Jerry kemudian bangkit lagi dan menatap bocah kecil yang duduk di samping Angel. Lengan kekarnya terulur dan disambut baik oleh Ajen. “Adek, kalau Adek sekarang main sama Bibi sama Om Beler dulu, mau nggak?” bisik Jerry, berusaha agar tidak terdengar mengusir.

“You wanna tell Mama a seclet, light?” Si kecil bertanya dengan wajah jahilnya. (Translate: you wanna tell Mama a secret, right?)

“Yah, ketauan deh,” jawab Jerry memasang wajah kecewa.

“Hahaha! Is ote, Papa. Adek maen cama Bibi cama Om Belel duyu. Nti mayem Adek bobok cama Mama!” (Translate: It's okay, Papa. Adek main sama Bibi sama On Beler dulu. Nanti malem Adek bobok sama Mama!)

Untuk kali ini, Jerry mengangguk dan mengizinkan anaknya tidur bersama mereka. Ia tahu Ajen juga khawatir dengan kondisi Angel yang tiba-tiba ngedrop. Lagi pula, momen kebersamaan nanti malam merupakan kesempatan bagi keduanya menjelaskan pada Ajen situasi yang sebenarnya terjadi.

Kaki kecil putra sulung mereka melangkah pasti menuju pintu kamar. Telapaknya berusaha meraih gagang pintu yang jauh berada di atas kepalanya. Beruntung Ajen sudah sering mondar-mandir kamar mereka, sehingga ia tidak terlalu kesulitan untuk membuka pintunya.

“Paipai!!!” tutur Ajen sembari melongok dari celah pintu yang sebentar lagi tertutup dan melambaikan tangannya. Sepasang suami istri di dalam kamar itu pun tersenyum dan membalas lambaian tangan Ajen.

Setelah bunyi ceklek pintu terdengar, Jerry mengitari ranjang dan mengisi tempat yang tadi Ajen gunakan. Kemeja, celana bahan, serta kaos kaki masih menempel di tubuh kekar sang tuan. Namun, tekstil-tekstil itu berhasil diabaikan karena kini isak Angel terdengar memenuhi dada bidangnya.

“It's okay, nangis aja. Adek udah di bawah kok,” kata Jerry seraya mengusap punggung Angel.

“A-aku takut banget, M-mass...” Tangis sang istri terdengar seperti anak kecil yang tak diberi ice cream oleh orang tuanya.

“Iya, iya... Ngak apa-apa, kamu pasti kaget banget, ya? Sampe pingsan gini.” jemarinya mulai menyingkirkan helai demi helai rambut yang menutupi wajah cantik Angel, lalu mengusap air mata gadisnya yang masih mengalir deras.

“Tapi dia u-udah di sini, Mas,” tutur Angel lagi. Peluknya semakin erat mengungkung tubuh sang tuan.

Jerry sedikit mengangkat kepala istrinya dan menyelipkan lengannya di bawah leher Angel, menjadi pengganti bantal yang sudah basah terkena air mata. Kini posisi keduanya jauh lebih menempel dari sebelumnya. Wajah Angel benar-benar tenggelam di dada Jerry, sedang dagu sang tuan bertumpu di puncak surai sang gadis.

“Janjiku masih sama kayak tiga tahun lalu, Angel. Aku nggak bisa janji semua bakal lancar tanpa kendala, but I promise I always be here, by your side. Kita jalanin ini bareng-bareng. Aku, kamu, Ajen, sama dedek bayi.”

image

Kepala Angel terangkat setelah suaminya menyelesaikan kalimat tersebut. Senyum manis Jerry adalah pemandangan pertama yang ia dapat. Sungguh, sepertinya ia benar-benar menikahi seorang malaikat. Rasanya Angel ingin mengunjungi penulis lirik 'terkadang malaikat tak rupawan'. Nyatanya, ia bertemu Jerry yang hanya satu milimeter di bawah titik kesempurnaan.

“Kok malah melamun?” tanya sang tuan.

Rona merah di wajah Angel langsung terlihat karena dirinya tertangkap basah sedang memperhatikan pahatan Tuhan paling indah di muka bumi ini. Kepalanya kembali mendusel dada Jerry demi meredam rasa malu.

“Hahaha! Dasar, kamu selalu gemesin gini deh kalo lagi hamil,” kata Jerry jujur.

“Diem, Mas!” bentak Angel yang sedikit teredam.

Tubuh suaminya pun bergetar karena tawanya semakin kencang. Gelayar panas masih mendominasi wajah Angel meski sudah bersembunyi di peluk Jerry. Namun, ia sama sekali tak merasa sesak karena aroma tubuh suaminya selalu memabukkan.

“By the way, dia ada di perut kamu sejak kapan ya, Sayang? Pas habis pernikahan Marcell? Atau seminggu setelah kita pulang? Atau minggu lalu? Kalo dia hasil cetakan pas pernikahan Marcell, kasihan banget dong selama ini aku main kas-”

Cerocos lelaki itu berhenti saat telapak Angel menabok mulutnya. Meski pelan, ia tetap mengaduh karena terkejut. “Jangan bahas itu, malu sama dedek bayi!” geram Angel.

“Hehehe, kan aku penasaran. Emang kamu tau dia udah berapa lama di sini?” tanya Jerry seraya tubuhnya menjauh agar telapaknya dapat mengusap perut Angel.

“Kayaknya sih udah hampir sebulan, Mas. Soalnya perutku udah agak nonjol, terus tadi garis di testpack udah jelas banget,” jawab Angel.

“Besok mau ke dokter?” tawar suaminya.

Angel menggeleng pelan, lalu memajukan tubuhnya untuk kembali bersembunyi di dada Jerry. “Aku masih belum siap,” tuturnya pelan, sangat pelan hingga Jerry hampir tak mendengarnya.

“Okay, nggak apa-apa. Aku tunggu kamu siap,” jawab lelaki itu tanpa ragu.

“Maaf ya, Mas...” gumam Angel yang langsung diangguki oleh Jerry.

Ia mengingat kejadian tiga tahun silam, saat Angel menemukan dua garis di testpack miliknya. Jerry juga tidak akan lupa bagaimana keduanya berbagi tangis di ruang tamu apartemen. Saat itu, mereka sama-sama hancur. Angel yang hancur karena rencana nikah kontrak berantakan, sedang Jerry hancur karena melihat istrinya menolak kehadiran buah hati mereka.

Di banding saat itu, kini Angel jauh lebih tenang. Jerry tahu gadisnya masih belum menerima sepenuhnya karena kehamilan kali ini sungguh di luar rencana mereka. Ia tidak akan memaksa, itu adalah hak Angel untuk merasa demikian. Kewajibannya adalah mendampingi istrinya dan mempertahankan anak kedua mereka.

“I always be here for you, Angel.”

Lengannya semakin mengungkung tubuh gadisnya. Di balik punggung Angel, Jerry tersenyum dan menatap testpack dengan garis dua yang tadi diberi oleh Brandon.


@guanhengai, 2022.

Perjalanan pulang dari kantor Jerry hanya membutuhkan waktu sekitar lima menit. Dekat memang, terlalu dekat untuk duduk di bangku penumpang dengan seatbelt menghiasi dada bidangnya. Namun, ia tetap bepergian dengan mobil agar Dave tidak memakan gaji buta.

“Dave, mobilnya bawa dulu aja. Besok pagi kita pergi sebelum subuh,” tutur Jerry pada asisten sekaligus drivernya sebelum si tampan itu menutup pintu.

Pria lain di dalam mobil pun membuka jendela dan melambai pada sang tuan. Setelah mobil Land Cruiser putih itu meninggalkan halaman rumahnya, Jerry pun masuk ke dalam dan mencari keberadaan Angel.

Beruntung ia tak perlu menyapa setiap sudut rumah lantai dua itu untuk menemukan dua manusia tersayangnya. Bocah tampan dengan kaos kutang dan celana dalam sedang asik makan buah naga di ruang keluarga, sedangkan sang ibu menjaganya sembari menyelesaikan kerajinan tangan.

“Sayang,” panggil Jerry setelah berjarak satu meter di samping Angel.

“Mas, tumben pulang cepet?”

Ia mendudukkan dirinya di samping sang istri dan memeluk pinggang gadis itu. “Hm, kerjaannya enggak terlalu banyak,” jawab Jerry disertai kecupan di pipi Angel.

“Itu yang kemarin kamu ceritain? Yang dibikin sama ibu-ibu?” tanya lelaki itu sembari melihat kristik di tangan istrinya.

“Iya, tapi baru setengah nih,” jawab Angel tanpa melepas jarum dari tangan kanannya.

“Anakmu disapa dulu, nanti dia ngambe-”

Perkataan Angel terputus kala pekik si tampan cilik menggelegar. “Papa!!!” Langkah sempoyongan membawa tubuh kecil Ajen menuju kaki Jerry.

“Hey, Jagoan! Jalannya pelan-pelan aja, Sayang. Nanti Ajen jatuh, terus kakinya luka lagi,” tutur sang ayah saat bocah itu sudah hinggap di peluknya.

“Kka?” mulut kecilnya meniru ucapan Jerry.

“Iya, luka, berdarah. Sakit, kan?”

“Tittt!” Telapak kecilnya mengusap lututnya, menunjukkan titik di mana ia pernah merasakan sakit karena terjungkal di taman beberapa waktu silam.

Angel tertawa kecil dan memberi cubitan pelan di pipi gembul Ajen saat rautnya berubah menjadi sendu. Ia ingat bagaimana anak kecil itu menangis karena lututnya terluka.

Bugh

Angel yang hanya memperhatikan Jerry dan anaknya dari pinggir taman pun langsung beranjak dan berlari ke arah Ajen. Namun, langkahnya terhenti saat sang suami memberi kode untuk tak berbicara dan hanya melihat Ajen saat terjatuh.

Anak kecil itu menatap kedua orang tuanya dengan mata yang sudah berair. Jerry perlahan menurunkan posisi tubuhnya agar berhadapan dengan Ajen yang masih terduduk di aspal. Netranya memindai setiap lekuk tubuh sang anak untuk memastikan tak ada luka sedikit pun. Ternyata, kejadian tadi meninggalkan sedikit goresan di lutut kecil putranya.

“Sayang, sini,” tuturnya sembari mengulurkan tangan pada Ajen.

Setelah Jerry berbicara, bocah itu berdiri dan langsung berlari ke pelukan sang ayah. Tangisnya pecah kala tubuh mungilnya mendarat sempurna di dada Jerry. Wajah tampannya memerah karena tangis yang begitu kencang.

“Sakit, ya? Nggak apa-apa, Ajen nangis dulu. Nanti, pas sampai rumah, kita obatin bareng-bareng.” Begitu kalimat Jerry dengan telapak yang masih setia mengusap punggung Ajen.

Angel sudah berlutut di belakang suaminya, ia tersenyum dan mendaratkan tangannya di puncak surai Ajen. “Iya, nanti kita usir sakitnya bareng-bareng,” ucap gadis itu.

“Mama!!” Bocah berusia delapan belas bulan itu mengulurkan telapak kecil berisi mobil-mobilan ke sang ibu. Lalu, Angel langsung meletakkan kerjaannya di samping dan menadahkan telapaknya di depan wajah Ajen.

“Mobilnya Adek mau dikasih ke Mama?” tanya Angel lembut.

“Ngggg!” Mobil kecil di genggamannya kini tersembunyi di balik punggung, menghindari telapak Angel yang terbuka.

“Ini mobilnya Adek, Mama. Adek cuma mau pamer,” Kata Jerry mencoba mengartikan ucapan Ajen.

Angel pun mengangguk dan mencium pipi anaknya. “Oh, mobilnya Adek. Bagus ya mobilnya? Siapa sih yang beliin?”

Telunjuk Ajen menunjuk wajah Jerry, “Papa!”

Lantas sang ayah memasukkan telunjuk mini itu ke dalam mulutnya. Si kecil yang kaget pun berteriak dan mencoba melepaskan diri dari perangkap. Saat jarinya sudah berhasil keluar, ia membuang mobil di telapak sebelahnya dan mengurung telunjuknya agar tidak dimakan lagi oleh Jerry.

Tawa sepasang suami istri yang melihat tingkah anak mereka pun memenuhi ruang keluarga di sore yang hangat itu.


Malamnya, mereka sudah menyelesaikan kegiatan di meja makan. Lenting piring kosong berpadu sendok dan garpu kotor masih terdengar karena Angel sedang sibuk merapikan bekas alat makan mereka.

“Sayang, sini aku aja,” tawar Jerry pada sang istrinya yang sudah siap mengangkat piring dari meja.

“Nggak usah, Mas. Kamu ajak si Adek ke balkon aja, biar dia cepet ngantuk,” saran Angel yang kemudian diangguki sang suami.

“Ya udah, aku duluan sama Ajen, ya?” Kini lelaki itu mendekatkan diri pada Angel dan mengecup keningnya.

Tak perlu jawaban dari sang gadis, Jerry langsung melepas belt Ajen dan mengangkatnya dari baby chair. Anak kecil itu kemudian meronta minta diturunkan dari gendongan.

“Oh, Adek mau jalan sendiri?” tanya Jerry yang tak direspon Ajen.

Setelah tubuhnya lepas dari lengan kekar sang ayah, bayi itu langsung berlari ke arah tangga yang melingkar menuju lantai dua.

Ajen sudah tahu tujuan ayahnya karena Jerry sering mengajaknya ke balkon setelah makan malam. Di lantai satu hanya ada dapur, ruang tamu, ruang keluarga, dan beberapa kamar asisten rumah tangga. Sedangkan, kamar utama dan ruang kerja Jerry berada di lantai atas.

Lelaki itu setia menggenggam tangan putranya sembari menunggu kaki kecilnya melangkah satu demi satu anak tangga. Jika Jerry memiliki kesabaran terbatas, ia akan langsung menarik Ajen ke dalam gendongan dan membawa bocah itu menuju lantai atas. Namun, Jerry adalah lelaki dengan kesabaran cukup panjang. Ia dengan setia menemani dan menunggu anaknya melewati berpuluh anak tangga.

“Ngggg!” gumam si kecil sembari mengulurkan kedua tangannya.

“Adek capek? Mau Papa gendong atau istirahat dulu?” tanya Jerry setelah berhenti dan berjongkok di hadapan Ajen.

“Yong!” jawabnya seraya memeluk leher Jerry.

“Oke! Ayok Papa gendong.”

Lengan kekar lelaki itu pun mengangkat anaknya dan menahan bokong Ajen agar tidak merosot. Langkahnya kemudian bersambung untuk menghabiskan anak tangga setelahnya. Kala sampai di lantai atas, Jerry sempat berhenti dan menatap anak dalam gendongannya.

“Adek mau tetep Papa gendong atau jalan sendiri?” tanya lelaki itu.

Tangan kecil Ajen semakin mempererat pelukannya di leher sang ayah, pertanda ia tidak mau turun dari sana. Sepertinya, si Adek sudah lelah karena melewati begitu banyak anak tangga.

Dinding berisi foto-foto Ajen sejak bayi mengiringi langkah keduanya. Mereka baru saja melewati kamar Jerry-Angel yang terhubung dengan kamar Ajen. Lima langkah setelahnya, mereka disambut oleh pintu gelap dengan tirai berwarna cream. Siapa pun yang masuk ke dalam sana tak akan mendengar keributan di luar, begitu pula sebaliknya. Itu adalah ruang musik berisi drum, keyboard, gitar, dan beberapa mic.

Meski tak terlalu pandai, Angel dan Jerry sering menggunakan fasilitas tersebut. Biasanya, mereka akan menghabiskan waktu setelah Ajen tertidur di sana. Tak jarang keduanya menggunakan ruang musik untuk renungan malam, disusul melantunkan lagu rohani.

Beberapa meter di depan terlihat pintu kayu bertuliskan nama Jerry. Itu adalah ruang kerja sang tuan yang digunakan saat menerima dokumen penting di luar kantor. Dari semua ruang di rumah ini, ruang tersebut yang paling jarang tersentuh. Bahkan, gudang di ujung rumah mereka lebih sering dikunjungi dari pada ruang kerja Jerry.

“Kalau aku di rumah, waktuku sepenuhnya buat kamu sama Ajen. Aku bakal ke ruang kerja kalau bener-bener urgent dan nggak bisa ditunda,” tutur lelaki itu saat ditanya perihal ruang kerjanya.

Jerry dan travel sizenya akan segera sampai di tempat tujuan. Ruang keluarga dengan sofa, karpet berbulu, dan playmate Ajen adalah sudut terakhir yang akan mereka lewati. Jerry dan Angel memang sengaja tidak meletakkan televisi di ruang keluarga. Mereka ingin membiasakan Ajen untuk membaca buku atau mendengarkan lagu anak-anak di waktu senggang. Sesekali Angel menayangkan tontonan bayi, namun sepertinya Ajen tidak tertarik dengan acara tersebut.

Wushhh

Baru saja tangan Jerry menggeser satu pintu, udara dingin sudah terasa menusuk kulit. Ternyata, angin malam ini lebih kencang dari biasanya. Kain tebal yang terlipat di atas sofa segera diraihnya, kemudian digunakan untuk melilit tubuh Ajen tanpa membuatnya sesak.

“Adek pake ini ya, biar nanti nggak kedinginan. Kayak gini udah nyaman?” tanya Jerry yang hanya direspon tatap imut anaknya. Setelah itu, ia segera membawa Ajen ke balkon lantai dua.

Jika kerlap-kerlip lampu dan lalu lalang kendaraan yang kalian harapkan, maka jangan kecewa karena mereka hanya dapat melihat kolam berenang di halaman belakang dan perkebunan kelapa sawit di luar pagar rumah.

Tempat tinggal Jerry merupakan rumah paling ujung dan yang terbesar di komplek perusahaan ini. Sebenarnya, ukuran rumah ini tidak berbeda jauh dibandingkan beberapa bulan sebelumnya, kala ia masih menjabat sebagai Kepala Tata Usaha. Hanya ruang musik dan alat-alat gym yang membedakannya. Mas Aryo memang memberi fasilitas tambahan sebagai rasa terima kasih karena Jerry bersedia menjadi Kepala Kebun.

Ya, lelaki itu kini memegang kendali atas beberapa perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Tengah. Hal tersebut juga yang membuatnya lebih jarang di rumah dan menitipkan anak-istrinya ke Beler aka Brandon. Diskusi Jerry dan Angel cukup panjang sebelumnya, hingga mereka sempat perang dingin selama beberapa hari. Namun, keduanya sadar bukan hanya mereka yang berada di dalam rumah dan keluarga ini. Ada Ajen yang seharusnya menjadi fokus Jerry dan Angel saat ini.

“Adek liatin apa?” tanya lelaki itu saat mendapati anaknya melamun.

Si kecil yang diberi pertanyaan justru menjatuhkan kepalanya di dada sang ayah. Sama seperti Angel, Ajen pun memilih dada Jerry sebagai termpat favorit.

“Gelap ya, Nak?” tanya Jerry lagi.

Penerangan di balkon memang lebih minim dibandingkan spot lain yang berada dalam jarak pandang mereka. Hanya ada dua lampu warm white di tiang kanan dan kiri. Bahkan, lampu kolam yang sedang tidak digunakan saja mampu menyinari daun yang gugur dari pohon dan mengapung di atasnya.

“Ini malam, Sayang. Makanya gelap. Besok pagi, pas ada matahari, pasti terang lagi.” Lelaki itu menjelaskan seakan-akan Ajen mengerti kalimatnya.

“Hidup kita juga kayak siang dan malam, Nak. Gelap sama terang selalu berdampingan. Kalo hari ini Ajen sakit, besok sembuh. Kalo hari ini Ajen bahagia, bisa jadi besok ada sedih.” Ia tetap melanjutkan kalimatnya meski putranya tidak merespon.

“Kadang, pas Ajen lagi bahagia, bisa aja rasa cemas juga ikut mampir. Sama kayak mendung di siang hari. Begitu juga pas Ajen lagi sedih, bisa jadi ada sedikit tawa yang singgah. Sama kayak kilat di malam hari.”

“Tapi, Ajen harus inget kalo Ajen punya rumah. Entah itu malam, siang, lagi hujan, atau lagi terik, Ajen bebas buat mampir. Rumah Ajen itu Mama sama Papa. Nanti, kalau Ajen udah besar dan punya pasangan, rumah Ajen bertambah satu deh.”

Setelah Jerry menyelesaikan kalimatnya, terlihat sedikit cahaya dari langit. Sepertinya hujan akan segera turun. Lelaki itu pun mengusap kepala sang putra yang masih bersandar di dadanya. Ia melihat jemari Ajen yang lolos dari kain tebal sedang meremas kaos bagian lengannya.

“Adek udah kedinginan? Kita masuk sekarang, ya? Nanti Mama nyariin.”

Lelaki itu pun membawa bocah kecil dalam gendongannya kembali ke dalam rumah. Meski kini anaknya belum mengerti kalimat yang baru saja ia ucapkan, Jerry berharap perkataannya tetap terekam di otak Ajen.

Jerry ingin anaknya tahu bahwa ia dan Angel selalu ada untuk Ajen. Meski nanti hujan dan kilat menghampiri, Ajen tetap punya peluk untuk kembali.


@guanhengai, 2022.

Suasana dapur rumah Angel sungguh tak terkendali. Bercak kuning dari kuah opor sudah berceceran di atas lantai, pun asap kompor membatasi jarak pandang mereka. Meski gadis itu selalu bermusuhan dengan alat-alat penggorengan, kali ini ia ingin ikut serta dalam mempersiapkan hidangan untuk ulang tahun anaknya.

“Waduh, lo mau masak apa mau praktikun kimia, Ngel?” tanya Atuy sembari mengisi gelas kosongnya dengan air dingin.

Pletak!

“Awh, sakit bangsat!” Pekik lelaki itu saat sentilan Jerry mendarat sempurna di dahinya.

“Saaaaa saaaa saaaa mbluurr.”

Bocah tampan dalam gendongan Jerry mengikuti perkataan Atuy barusan. Tangannya melambai-lambai seakan berusaha meraih sang ibu yang berjarak beberapa meter. Lantas netra Angel dan Jerry membelalak sempurna. Atuy kembali mengaduh karena lengannya digeplak oleh Jerry.

“Jangan swearing di depan anak gue, Bego!” hardik lelaki berlesung pipit itu.

“Gogogogogo, papapapa gogogogo.”

Lagi-lagi suara mungil Ajen terdengar. Namun, setelahnya pekik Angel memenuhi dapur yang cukup luas tersebut. “Kamu sama aja, Mas! Yang bener kalo ngomong di depan Ajen!”

Tawa Mba Laras dan beberapa asisten rumah tangga di sana pun menggelegar. Sang tuan yang menjadi sasaran tatap hanya meringis, kemudian berlari kecil ke arah ruang tamu.

“JANGAN BAWA AJEN LARI-LARI, MAS!” Teriakan Angel kian teredam tembok karena lelaki yang membawa kabur anaknya sudah tertelan lorong rumah.

image


“Papa, Yogi boleh main sama dedek Ajen?” bocah tampan berusia delapan tahun yang sangat mirip dengan Mas Aryo memamerkan raut memohon sembari tangannya memainkan jemari kecil Ajen.

“Coba tanya ke Uncle Jerry, boleh nggak dedeknya diajak main?” jawab Mas Aryo.

Kemudian, Yogi langsung mengalihkan tatapnya pada Jerry. Kedua telapaknya menyatu di depan wajah seakan memohon restu. Sepersekon kemudian, senyum lebar langsung menghiasi wajah tampannya karena sang paman memberi anggukkan setuju.

“Mainnya di sekitar sini aja ya,” titah Jerry sembari mengoper anaknya ke lengan Yogi.

Setelah itu, dua anak kecil yang tadinya bergabung dengan pria dewasa berpindah ke karpet depan TV.

“Belajar ngurus adek tuh, Mas,” ucap Jerry ke Mas Aryo yang hanya ditanggapi kekehan kecil oleh sang lawan bicara.

Makanan ringan dan kopi di masing-masing gelas mereka perlahan berpindah ke lambung masing-masing. Kicau burung dari teras depan masih mendominasi sebelum salah satu dari mereka angkat suara.

“Lo beda banget sekarang, Jer!” Hargi memulai obrolan pagi mereka.

“Hm, auranya kayak lebih mantep gitu!” timpal Gavin.

“Masa sih? Kayaknya sama aja deh,” jawab si tampan seraya menyisir rambutnya demi menutup rasa malu.

“Heleh, heleh, heleh, kupingnya sampe merah gitu, Jer!” ejek Atuy.

Ojon, Marcell, dan Mas Aryo hanya meramaikan dengan tawa. Acara ejek-mengejek sang pemeran utama pun berlangsung hingga Bibi menyajikan kue yang baru saja dikeluarkan dari oven.

Aroma pandan bercampur cokelat terkuar begitu sepiring bolu mendarat di meja ruang tamu. Setelah Bibi kembali ke dapur, tangan Atuy dan Hargi berebut mengambil bagian paling besar.

“Ck, gue duluan!” protes Hargi ketika Atuy mengambil potongan yang ia incar.

“Dih? Buktinya, ini ada di tangan gue!” balas Atuy yang langsung melahap bolu tersebut.

Setelahnya, tawa Marcell terdengar karena Atuy terus-menerus meronta kepanasan. Mata rabun saja tahu jika bolu tadi masih panas, tetapi ia tetap memasukkannya ke mulut tanpa ditiup terlebih dahulu. Dasar Atuy!

“So, gimana Borneo? Asik, Jer?” tanya Ojon memulai obrolan yang lebih serius.

“Ya, not bad lah. Di sana nggak sepanas yang gue pikir, kok. Angel sama Ajen juga keliatannya enjoy-enjoy aja,” jawab jerry sembari memasukkan kacang bawang ke mulutnya.

“Makanan di sana gimana, Jer?” Kini Marcell pun ikut penasaran.

“Enak kok, enak banget malah! Gue paling suka nasi kuning Banjar. For real, beda banget sama nasi kuning di Jawa. Sambelnya tuh, ah nggak bisa dijelasin deh. Ikan di sana juga gede-gede banget, favorit gue sih Ikan Lais. Lo pada harus coba!”

Ketika seseorang bercerita banyak tanpa diminta, berarti hal tersebut benar-benar membekas untuknya. Begitu juga dengan Jerry. Belum ada setengah tahun dirinya tinggal di Kalimantan, namun sudah banyak makanan yang membuatnya jatuh cinta.

“Ah, ya! Ikan Lais emang enak banget sih, gue juga jarang nemuin di daerah lain.” Mas Aryo setuju dengan pendapat adik iparnya.

“Yang kemaren lo kasih gue juga delisioso mantapo, Jer!” Kini giliran Atuy yang bergabung dalam pembicaraan.

“Amplang?” tanya Gavin memastikan.

“Hooh,” jawab Atuy lagi sembari menikmati sisa bolu di atas piring.

“Terus, belum ada rencana tambah momongan, Jer?” Itu adalah pertanyaan Hargi. Sepertinya ia benar-benar kangen bermain dengan anak bayi.

“Hahaha, kok jadi ke momongan, sih? Tapi, nanti dulu deh. Punya anak bukan cuma bikin, ngelahirin, sama ngerayain ulang tahun. Liat tuh Mas Aryo, si Yogi aja baru dikasih adek pas umur delapan tahun.”

Pria yang merasa namanya disebut pun angkat kepala dan menggaruk tengkuknya. “Ya, gimana ya jelasinnya? Kalo jaraknya terlalu deket takut perhatiannya kebagi,” jawabnya.

Jerry langsung mengangguki perkataan Mas Aryo. “Anak di bawah umur lima tahun tuh masih lengket-lengketnya sama orang tua. Nanti, kalo mereka udah mulai bersosialisasi sama temen-temennya di luar keluarga, baru deh dikasih adek.”

Netra Gavin dan Hargi sudah berkaca-kaca mendengar perkataan Jerry yang lebih pantas menjadi pembuka seminar mengasuh anak.

“Ya, tapi di usia berapa pun, jangan sampe mereka ngerasa dibedain sih.” Ojon menepuk bahu Jerry dua kali.

image

“Hm, pasti,” jawab lelaki itu disertai senyuman manis.

“Hahaha, kita udah kayak bapak-bapak siaga banget, ya? Kalo kalian gimana? Belum mau join ke perusahaan gue?” tanya Mas Aryo pada kelima teman Jerry.

Yang ditanya justru saling melempar tatap dan melirik Marcell untuk mewakili jawaban mereka. “Pengen sih, Mas. Tapi tunggu tugas di kantor selesai deh.”

Mas Aryo hanya mengangguk-angguk, lalu berpindah menatap Gavin. “Kalo lo gimana, Vin? Masih betah ngurus perusa-”

Pertanyaan Mas Aryo terpotong karena ada tangan kecil yang hinggap di betisnya. Kala lelaki itu menunduk, ia mendapati Ajen sedang menatapnya lucu.

image

“Ajen mau apa? Hm?” tanya Mas Aryo pada bocah tampan yang hari ini berusia satu tahun. Tangannya terulur untuk mengangkat bocah tersebut, namun ditolak mentah-mentah oleh Ajen.

“Papapapa!” jawabnya tanpa melepas pelukan di betis Mas Aryo.

“Loh? Itu papanya Ajen,” pria berambut hitam legam itu menunjuk Jerry yang sedang mengerutkan dahinya.

“Hahaha! Anjir, masa sama papanya sendiri lupa?!” Tawa Atuy, Hargi, dan Gavin memenuhi sebagian besar ruang tamu.

“Uncle Jerry, Ajen pupup!” Yogi berjalan santai di belakang Ajen sembari menjepit hidungnya dengan ibu jari dan telunjuk.

“Hmm, udah gue duga. Kalo panggil-panggil gue pasti dia pup.”

Lelaki itu langsung beranjak dan mengambil Ajen. Wajahnya didekatkan pada celana Ajen dan rautnya berubah seketika.

“Ternyata anak Papa pupup, ya? Ayok ganti dulu, nanti main lagi sama Mas Yogi, ya?” tanya Jerry yang kemudian pamit pada teman-temannya dan membawa Ajen ke dalam kamar.


Dekorasi bernuansa putih-emas memenuhi ruang tamu rumah Angel. Ibu dan Mba Laras menempati tempat duduk di samping kue ulang tahun Ajen, sedangkan Anne dan Juan yang baru saja sampai dari Jakarta masih bersiap di kamar.

Saat semua sudah berkumpul, Hargi dan Atuy yang menawarkan diri sebagai MC pun memulai acara. Untung saja mereka masih mampu menempatkan diri, sehingga wibawa yang selama ini tertutup sedikit terlihat.

image

Detik berganti menjadi menit, pun menit bergulir menjadi jam. Seluruh rangkaian acara mulai dari doa pembuka, sambutan dari Jerry, dan ibadah pemberkatan ulang tahun sudah dilakukan. Kini saat yang paling ditunggu-tunggu oleh Hargi dan Atuy, acara tiup lilin dan potong kue.

Netra bulat Ajen menatap bingung orang-orang yang sedang bernyanyi dan bertepuk tangan. Bocah itu tidak terlihat takut karena sudah biasa berada di keramaian. Setiap hari Jumat, Jerry selalu membawa Ajen ke kantor untuk melihat karyawan senam pagi. Mungkin si kecil menganggap acara hari ini sama dengan kegiatan papanya di kantor itu.

Saat lagu berhenti, Jerry mengarahkan wajah anaknya ke depan kue ulang tahun. Alih-alih meniup, justru tangan kecilnya hinggap di atas kue dan meninggalkan jejak di sana. Untung lilin yang masih menyala tidak mengenai telapak kecil itu.

“Eh, bukan gitu, Sayang. Nih, gini nih.” Angel mencontohkan cara meniup lilin pada Ajen.

Anak pintar itu langsung mengikuti instruksi Angel. Namun, api di atas lilin sama sekali tidak berberak karena yang Ajen keluarkan bukan udara, melainkan air liur.

Tawa gemas dari sanak saudara yang hadir pun terdengar seketika. Akhirnya, Jerry dan Angel yang meniup lilin pertama Ajen. Manusia mini dalam gendongan sang ayah itu ikut bertepuk tangan saat semua orang melakukannya.

“Eh, eh, eh... Punya Adek bukan yang ini, Sayang. Ada di belakang ya, nanti minta tolong Mama ambilin,” tutur Jerry saat tangan putranya hampir menyentuh kue yang sedang Angel potong.

“Sabar ya, Dek. Nanti Mama ambilin punya Adek,” timpal Angel seraya mencium kening anaknya. image


@guanhengai, 2022.

Perjalanan Sampit-Pangkalan Bun rasanya hampir membuat nyawa Dave melayang. Jerry yang biasa hanya duduk di bangku penumpang dengan iPadnya kali ini mengambil alih kemudi. Satu hal yang selalu Jerry syukuri setelah menjadi karyawan Mas Aryo, privilege.

Lelaki itu tidak mungkin sampai di gedung yang penuh aroma karbol ini jika bukan karena privilegenya sebagai Kepala TU. Perusahaan Mas Aryo merupakan salah satu perusahaan terbesar yang mendominasi lahan kelapa sawit di Kalimantan Tengah. Maka dari itu, mereka memiliki koneksi dengan pejabat dan polisi sekitar.

Perjalanan yang biasa ditempuh selama empat jam hampir terpotong setengah karena Jerry diizinkan membawa mobil dengan kecepatan di atas rata-rata. Beruntung ia dan asistennya sampai dengan selamat mengingat pening masih menguasai lelaki itu.

Kecepatan langkah kaki sang tuan tak berbeda jauh dengan gas kendaraannya tadi. Kepalanya yang masih teras berat seakan dilupakan begitu saja. Yang Jerry inginkan adalah dirinya cepat-cepat menemukan ruang di mana jagoannya di rawat.

Dunianya seakan berhenti kala mendapat pesan dari Brandon yang menyatakan bahwa anaknya dilarikan ke rumah sakit. Ada sedikit rasa marah dan kesal pada istrinya karena tidak memberi tahu tentang keadaan Ajen.

Salah satu ujung sepatunya menahan pintu lift yang hampir tertutup, lalu menekan tombol bertuliskan angka enam di dalam sana. Matanya tak henti memperhatikan angka di atas lift yang semakin membawanya ke lantai atas. Kala suara ting terdengar, telunjuknya dengan gusar menekan tombol open.

Kini bukan hanya berjalan cepat, tetapi Jerry berlari menuju ruang di ujung lorong. Dekorasi khas anak-anak mengiringi lelaki itu sampai di depan ruang rawat Ajen. Celah kecil yang tidak terlalu clear menampakkan seorang wanita sedang duduk di pinggir ranjang kecil berisi bocah tampan.

Perhalan Jerry membuka pintunya, takut Ajen sudah terlelap dan berujung membangunkan putranya.

Benar saja. Pemandangan pertama yang lelaki itu dapatkan adalah seorang anak berusia delapan bulan sedang terlelap dengan selang di tangan kirinya. Perban yang melilit telapak hingga sebatas siku anaknya membuat dada Jerry sesak.

Raut terkejut Angel sudah tidak lagi menarik untuk sang tuan. Kakinya hanya melangkah untuk mendekat ke arah petiduran Ajen yang berhias awan palsu di atas kepalanya. Ranjang yang Angel pilih untuk anaknya cukup luas, sehingga ada space bagi Jerry duduk di samping kepala Ajen.

“Sayang, jagoannya Papa,” ucapnya terdengar sangat pilu. Telapaknya terlihat sangat besar kala bersanding dengan kepala Ajen.

“Ajen kenapa, Sayang? Yang mana yang sakit? Hm?” lanjutnya seraya mengangkat telapak kecil yang terbebas dari selang infus, lalu mengecup punggung tangannya berkali-kali.

Suhu tubuh Jerry tak berbeda jauh dengan Ajen, sehingga ia tidak merasakan telapak anaknya hangat atau panas. “Maafin Papa ya, Jagoan. Papa udah pulang nih, Adek sembuh yok?”

Saat Jerry menegakkan kepala, ia mendapati sang istri sedang menatapnya dengan tatapan tak terdefinisi. Raut bersalah, kesal, lega, haru, sedih, semua bercampur menjadi satu di sinar netra Angel.

Lelaki itu lantas menepuk pahanya dua kali, lalu mengulurkan tangan kanannya pada Angel. Sang gadis sempat terdiam sebelum ia menuruti perkataan suaminya. Saat tubuhnya berjarak satu meter di depan Jerry, lelaki itu langsung menariknya ke dalam pangkuan.

“M-mas? Kok kamu di sini?” tanya Angel sedikit takut.

“Anakku sakit apa?” tanya Jerry yang kemudian menenggelamkan kepalanya di perpotongan leher Angel.

“Kata dokter flu berat, makanya sampe demam gitu. Kamu belum jawab aku, kenapa kamu bisa di sini?” gadis itu memaksa penjelasan

“Shhh, pusing, mau tidur dulu,” jawab Jerry dengan suara yang kian melemah.

“Badanmu masih panas,” kata sang istri.

“Hmmm,” gumam Jerry dengan netra yang sudah tertutup sempurna.

Tak lama setelahnya, dengkuran halus terdengar. Angel masih setia mengusap punggung Jerry yang sudah basah karena keringat. Perlahan ia tarik tubuhnya untuk mengambil salah satu kaos di ransel. Untung saja Angel selalu mengenakan kaos Jerry, sehingga kali ini ia tidak kebingungan mencari pakaian ganti untuk suaminya.

Setelahnya, ia memperbaiki posisi sepasang anak dan ayah di hadapannya agar dapat tidur dengan nyenyak di ranjang yang sama.

Saat Ajen demam pasca vaksin, bocah tampan itu akan membaik setelah tidur di samping papanya. Angel berharap sakit Ajen dan Jerry pun segera pergi setelah mereka berdua tidur di ranjang yang sama.


@guanhengai, 2022.

They didn't have to wait long for their airplane landed safely. Ajen dengan mainan karetnya masih duduk tenang di pangkuan Angel, sedangkan jerry sibuk menutup matanya seraya jemari si tampan meremat lengan sang istri.

Suddenly, the plane's wheel crashed its runaway. Ajen bounced in Angel's thigh, making his mom laugh at him. Suara seperti radio terdengar, lalu ding dari speaker cabin mengikuti.

Dear our beloved passengers, in a few moments we will land at the Tjilik Riwut Airport of Palangka Raya. We remind you to get back to your seat, put your headrest on the neutral position, close and lock the table in front of you, and fasten your seat belt.

Captain Kun and all the crew of Neo Air would like to thank you for flying with us. See you on the next time and have a nice day.

Setelahnya, lampu peringatan di atas kepala perlahan dimatikan. Penerangan di sepanjang lorong pesawat membuat beberapa penumpang yang terlelap kembali membuka mata.

“Mas, udah berhenti pesawatnya,” tutur Angel sembari merapikan tas susu Ajen.

Jerry yang masih meremas lengan istrinya pun perlahan membuka kedua matanya. Hal pertama yang ia lihat adalah ekspresi Ajen yang seperti mengejek papanya karena tidak berani membuka mata sepanjang penerbangan.

image

“Dih? Ngapain ketawa-ketawa?” tanya lelaki itu sembari mencubit pipi Ajen.

Bocah kecil yang merasa dijahili pun menarik telunjuk sang ayah dan mengigitnya. Dua gigi kecil di gusi bawah Ajen berhasil meninggalkan bekas di telunjuk papanya.

“Aduh! Kamu tuh udah punya gigi, Bocil! Sakit dong kalo digigit gitu!” tegur Jerry pelan.

“Makanya kamu jangan gangguin dia, Mas!” balas Angel.

Sang tuan langsung berdecak dan memutar bola matanya. Ia kembali menatap Ajen yang sedang tertawa. “Dasar, Bocil!” ucapnya seperti bersiap mengibar bendera perang.

Setelahnya, mereka bersiap untuk turun dari pesawat dan menunggu bagasi.

image


Putaran koper dan kardus di bagasi belum selesai sejak lima menit lalu. Masih banyak penumpang yang berdiri mengitari ban berjalan. Beberapa dari mereka fokus memperhatikan nomor yang tertera di label koper. Setelah menemukan nomor yang sesuai, mereka akan menarik tas tersebut dan membawanya pulang.

“Sayang, tadi kita masukin berapa tas ke bagasi?” tanya Jerry seraya tangannya menarik tas hitam bawaannya.

“Empat, Mas. Dua koper kita, satu koper Ajen, satu tas yang isinya perlengkapan Ajen.”

Lelaki itu menangguk dan kembali bergabung dengan orang-orang di tempat pengambilan koper. Hampir lima belas menit mereka berdiri hingga berhasil mengumpulkan semua bawaan mereka. Untuk keluarga kecil yang pindah ke luar pulau, barang mereka termasuk sedikit.

Angel memperbaiki posisi gendongan Ajen karena kedua bahunya sudah mulai kram. “Pegel ya, Sayang? Mau gantian gendong?” tanya sang suami yang langsung mendapat gelengan.

“Kamu bawa koper aja, Mas. Kita dijemput, kan?”

Jerry mengangguk sembari mengeluarkan ponsel dari tas kecilnya. Mereka berhenti sejenak karena petugas bandara datang untuk memeriksa nomor yang tertera di koper dan tiket mereka. Setelahnya, Angel dan Jerry melipir ke samping kedai roti untuk menyalakan ponsel masing-masing.

Notifikasi di layar keduanya dipenuhi oleh nama Mas Aryo.

image

Setelah membaca pesan dari Mas Aryo, Jerry langsung menatap istrinya. Ia melangkah sedikit ke depan hingga berjarak beberapa centi dari tubuh Angel. Tangannya kemudian melepas kaitan di punggung istrinya agar gendongan Ajen terbuka.

“Eh, kok dilepas, Mas?” tanya Angel bingung.

“Aku bisa kok gendong Ajen sambil bawa koper,” jawab Jerry. Lengan kekarnya membawa Ajen dalam gendongan dan telapaknya menarik koper mereka.

“Oh iya, kata Mas Aryo supirnya udah di sini,” lanjutnya.

Angel mengangguk, kemudian bertanya lagi. “Terus? Kantornya jauh dari sini?”

Jerry mengangguk lemas. “Sekitar delapan jam,” jawab lelaki itu.

Netra Angel langsung membelalak dan mulutnya sempat terbuka. Sejujurnya, lelaki itu juga sudah merasa lelah karena mempersiapkan segala sesuatu dari pagi. Namun, apa boleh buat?

Kota tempat mereka berpijak sekarang merupakan ibu kota Kalimantan Tengah. Sedangkan, kantor cabang Mas Aryo berjarak sekitar 420 km dari kota Palangka Raya. Tepatnya di Kecamatan Pangkalan Lada, Kabupaten Kotawaringin Barat. Seperti kata Jerry, perjalanan darat dapat ditempuh sekitar delapan jam.

Jangan bayangkan jalanan di Kalimantan sama dengan Jakarta-Jogja. Tidak perlu jalan tol untuk menghindari kepadatan lalu lintas di sini. Kemacetan hanya terjadi saat kita melewati beberapa titik yang melewati pasar tradisional.

Hari yang sudah gelap pun akan membuat pemandangan kanan kiri hanya dipenuhi oleh pohon karet dan sawit. Jarak antara satu dengan yang lain di sepanjang jalan lintas kabupaten bisa mencapai satu kilometer. Angel hanya berharap Ajen cepat terlelap agar tidak rewel selama perjalanan.

“Mana supirnya, Mas?” Angel yang ikut mencari pun belum berhasil menemukan supir tersebut.

“Aku juga nggak tau mukanya, Sayang.”

Akhirnya Jerry mengajak Angel untuk berjalan ke arah lobby bandara, berharap menemukan sosok yang mereka cari di sana. Netra Jerry menyapu seluruh tempat yang berada dalam jarak pandang, mencoba menemukan seseorang yang bertampang seperti anak buah Mas Aryo.

Di tengah kebingungan yang melanda kedua orang tuanya, Ajen justru asik bermain dengan mainan karet berbentuk gajah di tangannya. Mainan itu sudah dilengkapi tali pengikat yang terhubung langsung dengan gendongan untuk mencegah benda tersebut hilang.


@guanhengai, 2022.

Suasana panti tidak seramai tadi karena anak-anak sudah terlelap di kamar masing-masing, hanya tersisa obrolan orang dewasa yang memutuskan untuk bermalam di sana. Sendu masih mendominasi panti lantai dua tersebut, diiringi derikan jangkrik di luar sana.

Sudah lewat dua bulan sejak berita kepergian Alle. Mas Aryo baru berhasil membawa Gavin kembali dari Korea, setelah berpuluh-puluh kali dibujuk. Lalu, mereka langsung merencanakan untuk berkumpul sejenak. Acara hari ini bukan hanya memperingati kepergian Alle, tetapi juga melepas Jerry dan Angel menuju tempat baru mereka, Kalimantan.

Angel baru saja selesai memberi ASI pada Ajen. Bocah kecil berbalut setelan hitam itu sudah terlelap dalam dekapan sang ibu. Sama seperti kebanyakan ibu di luar sana, kali ini Angel berusaha meraih ponselnya tanpa membangunkan Ajen.

Baru saja kaki gadis itu menyentuh bagian atas ponsel, ketukan di pintu kamar membuatnya berhenti. Lelaki tampan dengan kemeja garis-garis melempar senyum manis pada sang istri. Kemudian, tangannya menutup kembali pintu kamar mereka.

image

“Si Adek udah bobok?” He asked with inaudible voice.

“Udah. Aku mau minta tolong jagain Ajen dulu, Mas.” Angel pun ikut berbisik.

“Sini, biar aku yang gendong. Kamu temuin temen-temen di luar aja.” Telapak Jerry sempat mendarat di kepala istrinya sebelum dibebankan oleh tubuh gembul Ajen.

Angel pun berganti pakaian dan bersiap untuk berbagi sedih di luar sana. Gadis itu berkali-kali mengela napas dan menatap dirinya di cermin. Rambut panjangnya dibiarkan terurai, hanya dihiasi jepit kecil untuk mengikat poninya.

“Sayang, kalo mau nangis nggak apa-apa,” tutur Jerry dari atas kasur.

Angel hanya menatap suaminya dari cermin, terlihat jelas senyum tulus di wajah Jerry,

“Aku udah nggak sedih karena Alle, Mas. Aku cuma sedih kalo liat temen-temen sedih, apa lagi Hargi.”

Jerry mengangguk. Benar kata Angel, rasanya begitu sesak saat melihat seseorang yang selalu dipenuhi tawa tiba-tiba diam dan bergeming. Terlebih, Jerry ikut mendampingi Hargi saat Mas Aryo memutar rekaman pemakaman Alle tadi.

Meski tidak banyak memori yang mereka miliki, hadirnya tentu meninggalkan kesan tersendiri. Hargi yang sempat menjalin pertemanan dengan lelaki itu di masa putih abu-abunya terlihat sangat terpukul atas kepergian Alle. Walaupun sempat melarang Angel bertemu dengan Alle, di sudut hatinya yang paling dalam masih menyimpan rasa sayang untuk lelaki itu.

Alle yang pernah membantunya belajar sehingga meraih nilai memuaskan di ujian nasional. Alle juga pernah menjadi penengah kala Hargi dan Angel bersitegang. Tak jarang mereka meluangkan waktu untuk sekadar lari sore dan berbagi cerita mengenai peliharaan masing-masing.

Alle orang baik dan mereka semua setuju dengan hal tersebut.

“Ya udah, aku keluar dulu ya,” pamit Angel yang kemudian mencium pipi Jerry.

Sang tuan yang tak siap dengan hal tersebut hanya diam sembari mengedipkan matanya. Rona merah sudah menjalar hingga telinga. Jerry benar-benar payah dalam menyembunyikan malunya.

Lelaki itu melihat punggung istrinya kian menjauh. Sebelum Angel membuka pintu kamar, gadis itu berbalik. “Mas, kalo nanti aku mau peluk Hargi sama Marcel, boleh?” tanyanya.

Kedua sudut bibir Jerry melengkung ke atas. “Boleh,” jawab lelaki itu tanpa pikir panjang.

Pertanyaan Angel barusan adalah bukti bahwa gadis itu benar-benar menghargai dirinya sebagai suami. Angel bisa saja melakukan hal tersebut tanpa meminta izin karena Marcell dan Hargi adalah sahabatnya. Bahkan, Angel mengenal mereka jauh sebelum Jerry hadir ke dalam hidupnya.

Setelah mendapat izin dari sang suami, gadis itu benar-benar keluar dari kamar dan menemui teman-temannya yang masih dilanda sendu. Air mata Hargi bahkan masih tercetak jelas di pipinya yang sedikit gembul.

Mereka benar-benar kehilangan sosok teman.


Besok paginya

Jerry sedang menggendong Ajen, mencari Angel di luar kamar karena sebelumnya sang istri pamit untuk menyiapkan sarapan Ajen. Ya, bayi gembul itu sudah mulai MPASI sejak beberapa hari lalu.

Beruntung dia tidak menunjukkan penolakan terhadap makanan yang Jerry beri. Bahkan, Ajen berkali-kali merengek karena ingin menemani papanya menyiapkan makanan. Tak jarang Angel kewalahan saat menenangkan anaknya akibat tubuh Ajen yang kian membesar.

“Eh, iya, iya... Sebentar ya, Jagoan. Ayok kita cari Mama.”

Tangan dan kaki Ajen terus meronta di gendongan Jerry. Dengan susah payah lelaki itu meraih gagang pintu dan membukanya. Ruang tengah terlihat kosong, hanya ada beberapa barang yang Jerry yakini sebagai sembako.

Beberapa donatur panti memang lebih memilih untuk menyumbang bahan masakan untuk anak-anak. Beberapa lainnya akan mengirim pakaian dan perlengkapan sekolah setiap bulan.

Saat tungkai lelaki itu sampai di perbatasan antara ruang tengah dan dapur, ia mendengar suara dari arah belakang panti. Melihat Ajen yang belum terlalu rewel, Jerry pun mengikuti sumber suara tersebut. Entah mengapa kali ini dirinya dirundung rasa penasaran yang begitu besar.

”... jadi nggak mungkin cuma kecelakaan, Mas.” Jerry tahu betul suara yang baru saja terdengar. Itu Marcell.

“Ya emang kecelakaan, Cell.” Dan suara Mas Aryo.

“Pure kecelakaan? Yang bikin Alle meninggal?”

Oh, ternyata mereka sedang membicarakan penyebab kepergian Alle. Ketika Jerry bersiap untuk kembali menjauh, perkataan Mas Aryo setelah itu membuat langkahnya terhenti.

“Iya, pure kecelakaan. But, dia juga punya cancer. Lung cancer.”

Netra Jerry membelalak seiring telinganya menajam. Kemarin Mas Aryo hanya menceritakan bagaimana Alle ditemukan di kolam rumah sakit dengan tubuh mengapung. Lelaki itu memang tidak bisa berenang dan Mas Aryo memperkirakan kejadian naas itu terjadi tengah malam, saat penghuni rumah sakit sudah terlelap. Semua yang mendengari cerita Mas Aryo pun tidak curiga karena Alle memang sering menunjungi pamannya di rumah sakit.

Dari CCTV rumah sakit, Mas Aryo menemukan Alle yang saat itu sedang berjalan-jalan santai di taman belakang. Kolam berenang memang ditutup untuk umum maupun pengunjung rumah sakit, hanya beberapa pasien yang dapat memakainya untuk terapi.

Malam itu, entah mengapa Alle terlihat memasuki kawasan kolam berenang. Setelah diteliti lebih lanjut, ternyata ada seekor anjing yang terlihat membutuhkan bantuan di tengah kolam. Alle sempat terlihat menilik sekitar dan mencoba menemukan orang yang dapat membantu anjing tersebut. Namun, sayangnya tidak ada orang lain selain dirinya.

Setelah itu, Alle masuk ke dalam kolam. Bukan berenang, melainkan berjalan perlahan mendekati anjing yang berusaha berenang. Lelaki itu mendorong anjing tersebut untuk mendekati pinggir kolam, hingga hewan itu berenang sendiri menuju daratan.

Saat Alle berusaha kembali ke pinggir, ia terlihat meremas pakaian bagian depannya. Alle memukul dadanya berkali-kali. Hal tersebut membuat Alle kehilangan keseimbangan dan tubuhnya tenggelam di tengah kolam berenang.

Begitulah lelaki itu meninggalkan dunia. Jika ada satu orang yang melewati kawan tersebut, pasti Alle masih ada di sana.

“Fuck! Gue belum sempet minta maaf sama dia, Mas.” Suara Marcell terdengar bergetar meski dari kejauhan. Jerry yakin perasaan lelaki itu tidak berbeda jauh dengan Hargi.

“Dia nggak pernah benci sama lo,” jawab Mas Aryo menenangkan.

“Gue ngerasa bersalah banget sama dia, Mas.”

“Kenapa? Karena sekongkol sama Gavin buat mata-matain Angel? Atau karena nyimpen perasaan sama pacarnya bertahun-tahun?”

Jantung Jerry seakan berdebar lebih cepat dari biasanya. Desir darahnya pun terasa hingga ujung kepalanya kala mendengar pertanyaan Mas Aryo.

Marcell pernah suka sama Angel? batin lelaki itu.

“Udah cukup, Cell. Udah saatnya lo cari bahagia lo sendiri. Gue makasih banget karena lo udah jagain adek gue selama ini. Sekarang, dia udah punya penjaganya sendiri. Cukup dukung dia sebagai sahabat. Gue tau ini bukan hal mudah, maaf karena gue gak bisa bikin lo selalu ada di samping Angel.”

Jerry benar-benar tidak sanggup mendengar percakapan mereka lebih jauh. Ia takut apa yang didengar akan mempengaruhi pandangannya terhadap Mas Aryo dan Marcell.

Ajen seperti mendukung papanya. Anak kecil itu mulai menendang udara dan berusaha meraih angin yang lewat di depannya. Rengekan dari mulut mungil itu keluar seiring Jerry menjauh dari Mas Aryo dan Marcell.

“Iya, iya... Ayo cari Mama,” tuturnya pada Ajen.

Setelah menjelajahi beberapa lorong panti, akhirnya sosok yang mereka cari muncul. Angel dengan daster pemberian Ojon-Atuy dan rambut yang digulung ke atas selalu membuat Jerry tersenyum.

“Tuh Mama tuh, ketemu kan?” tunjuk Jerry pada gadis yang sedang memandangi lemari berisi foto anak-anak panti.

Angel yang mendengar tangis Ajen pun sedikit tersentak, lalu mengalihkan tatapnya pada dua lelaki berbeda generasi yang sedang menuju tempatnya berdiri. Ajen terlihat lebih tenang dari sebelumnya saat mata kecil itu menangkap sosok sang ibu.

“Sayangnya Mama kok nangis? Adek udah laper, ya?” tanya Angel sembari meraih Ajen dari gendongan papanya. Mangkuk kecil yang ia bawa pun berpindah ke tangan Jerry.

“Kamu lagi liatin apa, Sayang?” tanya Jerry seraya menyuap sesendok bubur pada anaknya.

“Ini, foto-foto kecil kamu.” Alis gadis itu terangkat ke arah lemari di sampingnya.

“Emang kamu tau aku yang mana?”

“Tau lah. Muka kamu dari dulu nggak berubah, Mas.”

Jerry pun terkekeh mendengar pernyataan Angel. Jika dilihat lagi, wajahnya memang tidak berbeda jauh dengan potret dua puluh tahun silam. Namun, tetap saja lebih tampan yang sekarang.

“Oh ya, Mas. Kamu dulu sekolah di SMAN 127?” tanya Angel lagi dengan raut penasaran.

Jerry menggeleng cepat. Sembari tangannya membersihkan sisa bubur di sekitar mulut Ajen, ia bertanya, “Emangnya kenapa, Sayang?”

Angel bergumam sebentar. “Tadi aku liat ada foto team basket SMAN 127 sama team basket sekolahku.”

“Oh, Neo Culture, ya? Mas Adil yang sekolah di SMAN 127. Dulu Mas Adil kapten basket, kebetulan sering tanding sama sekolahmu. Kamu nggak pernah nonton, ya?”

Angel membatu di tempat. “M-mas Adil? Kapten basket?”

Jerry mengangguk. “Walaupun keliatannya jahat, Mas Adil hidup sesuai nama yang dikasih Ibu. Dia selalu adil.”

Lelaki itu tersenyum sejenak dan meladeni ocehan Ajen di dekapan Angel. Tangannya sempat mengulurkan minum pada sang anak sebelum melanjutkan ceritanya.

“Dulu, pas Mas Adil SMA, dia nggak naik kelas dua kali. Bukan karena bodoh, tapi karena mau memperjuangkan keadilan. Team basket 127 pernah dicurangin sama team basket sekol-”

Jerry menutup rapat mulutnya, sadar jika kalimatnya barusan bisa saja menyinggung Angel. Ia kemudian menunduk dan mengaduk-aduk bubur di mangkuk kecil yang sudah ditunggu oleh penikmatnya.

“Aku tau. Team sekolahku emang pernah curang pas sparing sama team 127.”

Kepala Jerry kembali terangkat dan menatap Angel penuh rasa bersalah.

“Pas itu kaptennya Alle, Mas.”

Kini mulut Jerry terbuka hingga membentuk huruf O. Tangannya berhenti di udara, menyisakan jeda beberapa saat. Hingga suara Ajen memecah keheningan antara kedua orang tuanya, barulah Jerry melanjutkan suapan ke mulut kecil anaknya.

“Hah? Alle kapten basket? Pas team Mas Adil dicurangin?”

Angel mengangguk pelan. Kedua matanya berputar dan menatap langit-langit panti. Beberapa detik kemudian, kelopaknya terbuka lebar dan jemarinya meremat pergelangan Jerry.

“MAS!”

Bocah kecil di gendongannya tersentak karena suara Angel cukup keras. Rengekan Ajen kemudian terdengar, namun berhasil diredam oleh bubur.

“Sayang, si Adek sampe kaget tuh!” tegur Jerry pelan yang hanya dibalas ringisan oleh sang istri.

“Berarti, yang pas itu ngobrol sama Alle... Kamu?” tanya Angel menggebu-gebu.

“Hah? Ngobrol apa? Aku ngobrol sama Alle cuma sekali, pas kamu di rumah sakit.”

Angel langsung menggeleng cepat. “No, no, no! Alle pernah bilang kal-”

Kini gantian sang gadis yang menutup mulutnya rapat-rapat. “Maaf, aku jadi bahas Alle.”

Jerry tersenyum dan membelai lengan Angel. “Nggak apa-apa, kan ngomongin Mas Adil juga. Ayo lanjutin, Alle pernah bilang apa?”

“Alle bilang dia sempet ngobrol sama adeknya Mas Adil. Di lapangan basket, habis Mas Adil berantem sama kapten basket sekolahku!”

Kening Jerry berkerut lebih dalam dari sebelumnya. Netranya memicing dan menatap Angel penuh kebingungan. Istrinya yakin kini otak suaminya sibuk mencari potongan-potongan memori yang hilang. Sesaat setelahnya, mata Jerry membelalak.

“Sayang! Aku inget! Cowok yang tinggi kurus, bukan?”

Anggukkan Angel semakin membuat jantung Jerry berdebar kencang. “Wow, aku merinding,” tutur lelaki itu.

“Eh, tapi, seingetku namanya bukan Alle deh,” lanjutnya lagi.

“Sandro?” tanya Angel.

“Nah! Itu!”

“Iya, dulu dia dipanggil Sandro di sekolah.”

Lagi-lagi Jerry menggeleng tak percaya. Ia juga tidak ingat wajah Alle saat bertemu dengannya dulu. Alle sangat berbeda jauh.

“Papapapapa!”

Mereka tidak sadar masih ada makhluk lain di antara keduanya. Jerry dan Angel sama-sama menatap ke arah Ajen yang sedang mencoba meraih mangkuk di tangan Jerry.

“Hah? Tadi Adek ngomong apa?” tanya Jerry lagi sembari menundukkan kepalanya.

“Papapapapa!!” jemari mungil Ajen bolak-balik terbuka dan tertutup, masih berusaha merampas makanannya.

“Sayang...” Kini tatap Jerry beralih ke Angel.

“Aku juga denger, Mas.” Ada nada kesal di dalam kalimat Angel barusan.

“Dia panggil aku Papa!!!” seru Jerry yang langsung meletakkan mangkuk Ajen di meja dan merampas anaknya dari gendongan Angel.

image

Wajah, leher, dan perut Ajen berkali-kali menjadi sasaran kecup papanya. Tawa mungilnya menggelegar, memenuhi ruang tengah di pukul sembilan pagi.

Angel yang melihat interaksi keduanya pun tersenyum bangga. Hari ini Ajen memanggil Jerry dengan sebutan Papa, meski belum benar sepenuhnya.

Entah ini terlalu cepat atau justru terlambat, Angel tidak pernah membandingkan anaknya dengan bayi lain di luar sana. Selama Ajen tidak terlalu jauh melenceng dari milestone, Angel tidak akan memaksanya.


@guanhengai, 2022.

Telapak Angel menggenggam paha mungil Ajen agar bocah berusia empat bulan itu tidak memakan kaos kakinya. Entah karena udara siang ini terlalu panas atau memang produksi keringatnya sedang berlebih sehingga kaos bagian dada Angel basah. Tapi, yang pasti ia sudah lega karena berhasil mengantar tiga puluh box bento ke kantor lamanya, Neo Corp.

Hari ini tepat dua bulan Jerry mengirim lunch box setiap hari kerja. Bukan perjalanan mulus tanpa hambatan, tetap ada lika-liku di setiap prosesnya. Di minggu pertama usaha, Jerry pernah kesiangan dan membuatnya terbu-buru. Alhasil, ia hampir menabrak penjual ketoprak. Beruntung mobilnya belum sempat menyentuh gerobak ketoprak itu. Namun, semua pesanan yang sudah ia siapkan roboh dan tidak bisa diselamatkan.

Sebenarnya, Angel tidak biasa ikut suaminya mengantar pesanan. Namun, bocah kecil di pangkuannya terus merengek dan tidak mau lepas dari gendongan sang ayah. Akhirnya, gadis itu mengalah dan menemani Jerry mengantar catering.

“Adek, ini kan udah ada buat digigit, jangan makan kaos kaki ah.” Angel mengulurkan mainan karet milik Ajen.

Si tampan cilik itu langsung merebut mainannya dari tangan sang ibu. Kemudian, memasukkannya ke dalam mulut. Jangan heran jika kain kecil yang melingkar di lehernya sudah dipenuhi air liur.

Pintu mobil terbuka, lalu tertutup setelah si pengemudi duduk di tempatnya. Lelaki berkaos hitam itu langsung membuka maskernya dan tersenyum ke arah sang istri.

image

“Yeay, gajian!” tuturnya, kemuan mengambil Ajen dari pangkuan Angel.

Perut buncit anaknya menjadi sasaran cium Jerry hingga tawa kecil memenuhi mobil mereka. “Adek abis ini mau beli mainan baru? Iya?” tanya Jerry lagi, yang hanya direspon gumam lucu.

Mainan yang tadi dipegang erat oleh bocah itu sudah terlempar ke bawah. “Adek, masa mainannya dilempar? Kotor deh.” Meski diiringi omelan singkat, Angel tetap menunduk untuk mengambil mainan karet tersebut.

“Maafin Adek ya, Mama.” Jerry menggoyangkan lengan Ajen dan bersuara seperti anak kecil.

Istrinya langsung tersenyum, kemudian berkali-kali mengecup pipi gembul anaknya. “It's okay, Sayangnya Mama.”

“Papanya nggak dicium, nih?”

Lantas pertanyaan Jerry mengundang geplakan sang istri. “Nggak! Udah ah, si adek siniin, kamu nyetir aja.”

Saat tangannya terulur, Ajen langsung berbalik dan memeluk erat leher Jerry. Tangan kecil yang berbentuk seperti roti sobek itu seakan mengikat sang ayah dan tidak rela untuk dilepas.

“Eh, astaga! Adek, masa Papa dicekek gini?!” protes Jerry pada si kecil.

Kepala Ajen menggeleng cepat, lalu wajahnya sembunyi di perpotongan leher sang ayah. Sepertinya, dia sedang dalam mode manja. Jika sudah seperti ini, semua hal di dunia tidak mempan untuk menyudahinya. Ajen akan tetap menempel pada Jerry sampai dia puas.

“Ya udah, biarin aja adek di sini,” tutur Jerry sembari menyimpan ponselnya di dekat tuas.

“Hah? Serius kamu, Mas? Emang bisa nyetir sambil bawa Ajen? Bahaya ah!”

Tangan kanannya tetap menahan bokong Ajen, sedang telapak kirinya hinggap di puncak surai Angel. “Nggak apa-apa. Biasanya keliling komplek juga si adek duduk di sini, kan?”

Gadis itu menggeleng. “Ini beda, Mas. Ini jalan raya.” Kemudian, tangannya mengambil paksa Ajen dari dekapan Jerry. Tentu tangis bocah itu pecah seketika. Wajahnya langsung merah padam dan kakinya berkali-kali menendang perut Angel.

Raut Jerry berubah seketika. Tangis Ajen terdengar sangat pilu dan Jerry tidak tega melihatnya. Namun, perkataan istrinya benar. Terlalu berbahaya jika Jerry menyetir sambil menggendong anaknya.

“Biarin aja, nanti kalo capek juga diem sendiri,” ucap Angel, tangannya masih mencoba menenangkan Ajen yang semakin meronta.

“Sayang, cup cup cup. Papa nyetir dulu ya, Jagoan?” tanya Jerry sembari mengusap pipi Ajen.

Mereka tidak perlu radio siang ini. Melodi dari mulut Ajen sudah cukup mengisi telinga keduanya. Beberapa puluh menit setelah itu, Ajen terlelap di dekapan Angel.

image

Jemari lentik sang gadis mengusap rambut Ajen yang basah karena keringat terus mengalir saat si kecil menangis. “Ckckck, kalo udah manja sama papanya sampe lupa sama Mama. Dek, Dek... Nanti kalo kamu udah gede gimana, ya?”

Terdengar kekehan kecil dari balik kemudi. “Kalo udah gede kayaknya dia malah berantem sama aku deh. Adek manja sama aku tuh bisa dihitung jari, sisanya nempelin kamu terus.”

Angel mengangguk setelah Jerry menyelesaikan kalimatnya. Semakin ke sini, Ajen justru tidak mau lepas dari kedua orang tuanya. Bahkan, beberapa hari ini si kecil tidur di antara Angel dan Jerry yang tentu membuat papanya rewel.

Di sisi lain, Jerry juga bersyukur karena ia dapat menghemat biaya listrik. Bukannya perhitungan dengan kebutuhan Ajen, manusia dengan kondisi seperti Jerry memang harus menghitung rinci biaya hidupnya.


Hampir satu jam kaki Jerry bermain dengan gas dan rem mobil. Lengan Angel juga sudah mulai kebas karena bobot tubuh Ajen yang semakin bertambah. Anak ini memang kuat minum ASI, terbukti dari baju yang dia pakai sekarang. Setelan itu seharusnya untuk bayi usia enam bulan, tetapi sudah pas di tubuhnya. Ajen si gembul.

“Mas, kok kita ke sini?” tanya Angel saat mobil mereka memasuki kawasan yang belum pernah ia kunjungi.

Perkampungan kecil yang jalannya hanya muat untuk satu mobil itu terlihat ramai dan kurang tertata. Coretan di dinding dan sampah yang berserakan di samping selokan memenuhi pemandangan sepanjang jalan. Hingga terlihat sebuah pos ronda berwarna hijau, barulah Jerry menepikan mobilnya.

Ia melepas cardigan merah muda yang menempel di tubuhnya, lalu meletakkannya di pangkuan. Lengan kekarnya kemudian mengambil alih Ajen yang masih tertidur di pangkuan sang ibu. Bayi itu sempat menggeliat, lalu kembali terlelap saat menemukan posisi nyaman di dada Jerry. Cardigan yang tadi ia letakkan begitu saja diambil lagi dan digunakan untuk menutup dada Angel.

“Sebentar ya, Sayang. Kamu di mobil aja.” Begitu ucap Jerry sebelum tubuhnya sedikit bergeser ke belakang dan mengambil beberapa box makanan yang masih tersisa.

Angel hanya memperhatikan pergerakan suaminya hingga lelaki itu keluar mobil dan menilik ke dalam pos ronda. Detik selanjutnya, Angel melihat dua pria keluar dari dalam gubuk itu dan berbicara dengan suaminya. Satu bertubuh besar dengan tatto di sekujur tubuh, sedangkan yang satu bertubuh kecil.

Jerry sempat menunjuk ke arah mobilnya, kemudian mereka tertawa bersama. Entah apa yang mereka bicarakan, Angel sama sekali tidak memiliki petunjuk. Pun Ajen yang berada di dekapan Jerry tetap terlihat pulas dan tidak terganggu oleh obrolan papanya.

Angel merasa gugup kala Jerry beserta pria misterius itu berjalan menuju mobil. Ia menarik cardigan Jerry yang menutupi dada karena kaosnya masih basah.

Tok tok tok

Gadis itu menekan tombol di samping sikunya saat ketukan Jerry di jendela mobil terdengar. Perlahan kacanya turun dan wajah kedua pria asing tadi mulai tampak jelas.

“Sayang, ini temen-temen aku pas dulu ngojek,” ucap Jerry tanpa basa-basi.

“Ucup, Ujang, ini istri gue.”

Kedua pria itu kemudian mengulurkan tangannya dan langsung disambut oleh Angel. Ternyata mereka baik, tidak seperti dugaan Angel di awal.

“Pantes aja Jerry nutup akses buat cewek laen, bininya aja cantik begini!” kata pria kecil bernama Ucup.

“Yoi! Dulu pas ngojek si Jerry cuma mau nganter mas-mas sama bapak-bapak lho, Mbak. Padahal, cewek-cewek ngantre mau dibonceng Jerry,” timpal Ujang yang tubuhnya jauh lebih besar dari Ucup.

Angel tidak tahu harus memberi respon seperti apa. Akhirnya, gadis itu hanya menatap suaminya dan terkekeh pelan.

Mereka sempat bercerita tentang beberapa kejadian selama Jerry ngojek dulu. Salah satu yang akan selalu Angel ingat adalah saat Jerry hanya duduk di pos ronda karena Angel menghabiskan waktu di kantor dengan Alle. Suaminya itu menolak semua penumpang karena takut tidak fokus saat menyetir.

Jerry mencinta begitu hebat dan Angel adalah gadis beruntung yang berkesempatan merasakan bentuk cinta terbesar di dunia.

“Ya udah, lanjut lah, Jer! Gua seneng sekarang lo lebih sukses. Ini anak lo juga ganteng banget dah, calon artis nih!”

Lelaki yang dipuji hanya tertawa pelan, kemudian membelai lembut kepala anaknya yang masih terlelap.

“Ya udah, gua sama Ujang balik ngojek lagi dah! Baek-baek ya kalian di sono. Kalo balik ke sini mampir lagi!” Begitu Ucup mengakhiri pertemuan mereka. Angel mengangguk. Tujuan Jerry mampir ke tempat ini adalah untuk berpamitan pada rekan lamanya.

Saat ketiganya kembali ke pos ronda, Angel baru menyadari dua lunch box di tangan Jerry sudah berpindah. Ternyata, itu alasan suaminya melebihkan porsi catering hari ini.


@guanhengai, 2022.

Malam sebelumnya tak pernah sedingin ini karena peluk Jerry selalu menemani tidur sang istri. Angel yang sudah terbiasa bangun di tengah pergantian hari pun berusaha membuka matanya yang masih terlalu berat.

Tangan kirinya meraba space di samping. Seperti biasa, ia akan membangunkan Jerry dan meminta tolong untuk membawa anaknya ke kamar mereka untuk diberi ASI.

Ajen memang sudah dibiasakan tidur terpisah dari orang tuanya sejak bayi. Angel dan Jerry hanya memasang monitor di samping kasur bocah mungil itu.

Saat tangannya tak menemukan apa pun di sana, mata Angel langsung terbelalak. Tubuhnya terduduk meski jiwa gadis itu belum terkumpul sepenuhnya. Ia kembali memejamkan kelopaknya erat-erat agar dapat lebih fokus melihat jarum jam dinding.

Pukul satu dini hari. Ia sudah terlelap sejak pukul sepuluh, berarti tiga jam yang lalu. Angel ingat dirinya memutuskan untuk tidur sebentar sembari menunggu suaminya pulang. Namun, seperti biasa, gadis itu berkamuflase menjadi beruang yang tidak akan terganggu apa pun jika sudah memasuki tidur REM.

Angel menatap selimut yang menutupi tubuhnya. Ia yakin itu adalah kerjaan Jerry. Pasalnya, selimut itu masih terlipat rapi sebelum dirinya memutuskan untuk tidur. Segera tangannya menyingkap selimut abu-abu itu dan menjulurkan kakinya ke lantai.

Dinginnya ubin kamar langsung menyergap tubuh Angel hingga kepala. Sandal rumah yang tadinya tergeletak asal pun sudah tertata rapi di samping ranjang. Pun sebuah kantung plastik berlogo mini market tergeletak di nakas. Angel yakin itu popok Ajen yang ia titip tadi.

“Loh? Kok Mas Jerry beli yang satuan?” tanyanya pada udara. Namun, ia kembali menyimpan bungkusan itu dan memakai sandal rumahnya.

“Pasti Mas Jerry begadang lagi,” monolognya.

Akhir-akhir ini Jerry memang disibukkan dengan urusan pekerjaan. Ehm, calon pekerjaan lebih tepatnya. Mas Aryo banyak mengirim materi yang harus dipelajari oleh lelaki itu sebelum terjun ke perusahaannya.

Tak jarang Angel menemani suaminya ketika membaca tumpukan HVS di ruang makan. Meski, pada akhirnya ia akan ketiduran dan Jerry menggendongnya ke kamar.

Nggak apa-apa, kamu nemenin aku aja udah bikin aku semangat. Begitu kata Jerry.

Gadis bersurai panjang itu berjalan menuju ruang makan. Kedua tangannya sibuk menggulung rambut agar nanti tidak mengganggu kegiatan menyusui. Kala langkahnya semakin mendekati tujuan, Angel menangkap suara asing dari balik pintu kamar Ajen.

Dadanya tiba-tiba bergemuruh, pikiran negatif kini memenuhi otaknya. Angel sudah tidak peduli dengan suaminya, ia hanya ingin memastikan bahwa anaknya baik-baik saja.

Anjing! Di kamar anak gue nggak ada apa-apa, kan? batinnya takut.

Dengan sisa keberaniannya, gadis itu mendekat ke arah pintu kamar Ajen. Kemoceng yang tergantung di dinding sudah berpindah ke tangannya sebagai alat perang jika di dalam sana benar-benar ada monster.

Beruntung daun pintu tak sepenuhnya tertutup. Angel melepas sandal rumah yang ia gunakan dan berjalan jinjit ke arah kamar sang anak. Ketika tubuhnya berjarak kurang dari satu meter, Angel terdiam di tempat.

Gadis itu menelan salivanya dan melipir ke tembok samping kamar Ajen. Kemoceng dan sandal rumah kini sudah berada dalam pelukannya. Telinganya menajam seiring suara dari kamar Ajen terdengar.

“Nggak apa-apa kan, Sayang? Sekarang mimik susunya dari botol dulu, ya. Mama biar istirahat dulu.”

Kedua sudut bibir gadis itu terangkat kala suara Jerry terdengar dari dalam sana. Gadis itu melihat suaminya duduk di samping box Ajen dengan botol kecil di tangannya. Ia sudah siap menghampiri anak dan suaminya. Namun, kalimat Jerry selanjutnya menghentikan niat Angel.

“Maaf ya, Sayang. Maaf karena Ajen harus ngerasain hidup susah. Maaf karena Papa nggak punya apa-apa pas Ajen lahir. Maafin Papa ya, Jagoan.”

image

Angel melihat suaminya mengecup kening anak mereka. Lengan kekar Jerry bertumpu pada pinggiran box bayi Ajen yang beberapa minggu lalu diberi oleh Mas Aryo. Jika dilihat keseluruhan isi kamar Ajen, hanya ada beberapa barang yang mereka beli dengan uang sendiri. Sisanya? Kado dari teman-teman Angel dan keluarganya.

“Mas Jerry,” gumam gadis itu sembari menatap suaminya dari balik pintu.

Terakhir kali Angel melihat suaminya menangis seperti ini adalah malam setelah Ibu panti meninggal. Entah Jerry yang tidak pernah menangis atau ia terlalu malu menunjukkan sisi lemahnya pada Angel.

“Ajen nggak malu kan punya orang tua kayak Papa? Tapi wajar kok kalo Ajen malu, asal Ajen harus bangga punya orang tua kayak Mama. Ajen harus tau kalo Mama itu hebat. Ajen harus sayang Mama, harus jagain Mama, harus selalu bikin Mama senyum.”

Tidak ada istri yang tidak akan menangis jika mendengar suaminya berkata demikian, apalagi Angel. Bibir bawahnya sudah menjadi sasaran gigit gadis itu untuk meredam tangisnya.

Di balik dinding itu, Jerry juga menangis di depan anaknya. Air matanya penuh oleh rasa bersalah yang selama ini selalu menghantui dirinya. Rasa bersalah karena tidak dapat memenuhi kebutuhan Ajen. Rasa bersalah karena sering mengeluh mengenai biaya anaknya.

“Maafin Papa, Sayang. Maafin Papa.” Suaranya sudah bergetar dan teredam bantal kecil milik Ajen.

Angel yang mendengarnya pun segera menghapus air mata di pipinya dan kembali memakai sandal rumah. Kemoceng di tangannya juga sudah dibiarkan tergeletak di atas ubin.

Gadis itu memasuki kamar Ajen. Tentu Jerry tidak menyadari hadirnya karena lelaki itu masih sibuk dengan isaknya.

Tubuh Jerry menegang kala sang istri memeluknya dari belakang. Usapan di lengan kekarnya justru membuat isak Jerry terdengar semakin pilu.

Lelaki itu berbalik dan menyembunyikan wajahnya di perut sang istri. Angel dapat merasakan jemari Jerry yang meremat dater bagian belakangnya.

Gadis itu meniru apa yang biasa Jerry lakukan pada dirinya ketika ia menangis. Angel membiarkan suaminya menangis di pelukannya. Tangannya menyisir surai Jerry tanpa berkata apa pun.

Kedua sudut bibir Angel terangkat kala mendapati bayi mungil di dalam box sedang menatap punggung Jerry. Tatapan Ajen seakan mengisyaratkan 'Papa, you're the greatest dad!'.

“Maaf, Sayang,” kata Jerry terbata-bata.

“Nggak perlu minta maaf, Mas. Kamu selalu ngasih yang terbaik. We're so proud of you. Kamu itu papa dan suami terbaik buat aku sama Ajen.”

Pelukan Jerry semakin erat. Lalu, ia mengajak istrinya untuk duduk di pangkuannya. Kini wajah Jerry berada di ceruk leher Angel.

Lelaki itu sempat menyesap aroma vanilla dari leher Angel, kemudian berjanji, “I'll do my best, Angel.”

“You did, Mas,” jawab Angel.

Gadis itu tersenyum dalam pelukan Jerry. Tangannya menggenggam dan menggoyang-goyangkan lengan mungil Ajen agar si kecil tidak memakan jarinya. Bocah tampan itu pun tertawa kecil, mengira sang ibu sedang mengajaknya bermain.

image

“Eh, Ajen bangun lagi?” tanya Jerry saat mendengar tawa imut anaknya.

“Dari tadi dia liatin kamu nangis, Mas.”

Wajah lelaki itu langsung merah padam saat menyadari ada makhluk kecil yang menatapnya. Ah, rasanya malu sekali.


@guanhengai, 2022.

Gerimis yang muncul tiba-tiba memaksa Jerry dan Angel berteduh. Tadinya, mereka berencana untuk ke Dufan dan bermain beberapa wahana di sana. Namun, harga tiketnya melonjak karena ini merupakan akhir pekan. Akhirnya, Jerry membawa Angel ke salah satu taman dengan beribu penjual jajanan di sekitarnya.

Jerry tahu istrinya sangat menyukai jajanan pinggir jalan. Hari ini ia bebaskan Angel untuk membeli makanan apa pun.

Sang tuan menatap langit kelabu sedari tadi mengejarnya. Sedangkan, Angel sibuk dengan ice cream Cornetto Oreo yang mulai mencair di genggam kanannya.

Beruntung mereka berdua cepat melipir ke tenda kosong saat air tiba-tiba jatuh dari langit. Kanopi di atasnya hanya muat untuk berteduh dua orang karena sebagian tenda sudah hancur. Sebenarnya ada satu warung kosong di ujung taman, namun terlalu jauh untuk ke sana. Beberapa pengunjung juga terpaksa ikut berteduh di gerobak para penjual.

Lelaki itu memang sengaja memilih membelakangi hujan dan mengungkung tubuh Angel agar istrinya tidak terkena percikan air.

“Kenapa tiba-tiba gerimis, sih? Gue kan belum selesai makannya!” gerutu gadis itu kala melihat tetesan ice cream di jemarinya.

Lelaki di depannya hanya terkekeh pelan. Tidak peduli angin kencang yang terus menerpa, Jerry tetap melepas jaket kulitnya dan memindahkan ke pundak sang istri.

“Ck, pake aja, Mas. Aku udah pake jaket. Nanti kamu demam.”

Angel kembali berdecak karena Jerry tidak mempedulikan perkataannya dan tetap memasang resleting jaket di tubuhnya. Tangan lelaki itu kemudian mengambil alih tas selempang di bahu Angel, lalu membuka dan mengeluarkan beberapa lembar tissue.

“Selalu deh, kalo makan ice cream pasti berantakan,” tuturnya seraya mengusap jejak ice cream yang mulai mengering di jari Angel.

“De javu,” gumam gadisnya.

“Hm, keinget tahun lalu, ya? Habis belanja buat ngisi apartemen.” Kekehan Jerry mengikuti kalimatnya.

“Hari di mana aku tau Ajen ada di perut aku,” kata Angel kian memelan.

Suaminya lalu tiba-tiba mengentikan kerja tangannya. Ia menatap Angel yang masih mengamati ice creamnya. Semakin tak berbentuk, sama seperti perasaan mereka.

Mengingat hal itu membuat dada Angel terasa sesak. Hari yang sama saat ia melihat Jerry menangis untuk pertama kali. Yang lebih menyesakkan adalah dirinyalah alasan suaminya menangis.

Jerry yang menangkap raut sendu istrinya pun langsung merampas ice cream di tangan sang gadis dan memakan sisanya. Ia tidak tega jika makanan itu harus berakhir di tempat sampah lagi, seperti beberapa waktu silam.

“Ice cream seenak ini kok dianggurin,” sindir Jerry memamerkan lesung pipitnya.

Angel yang semula larut dalam hening pun kembali menatap suaminya. Cone di tangan Jerry sudah tersisa setengah, too late untuk merebut kembali karena cokelat di dasarnya sudah masuk ke mulut lelaki itu.

“Pencuri! Aku kan nggak izinin kamu buat makan ice creamku!” sungut gadis itu.

“Hehehe, dari pada kamu buang lagi? Mending aku makan,” jawab Jerry santai.

image

“Huft,” Angel sighs. “Kira-kira hujannya bakal lama nggak, ya?” tanya gadis itu pada suaminya yang baru saja melipat pembungkus ice cream dan menyelipkannya di kantung jeans.

“Maybe. Awannya masih gelap,” jawab Jerry seraya melirik kelabu di langit. He smiled and open up his arms for Angel to lean in and his finger found themselves fiddling with Angel's hair.

“Kasihan Ajen, pasti buat mainan si badut Ancol,” gumam Angel, nudging her nose into her husband's chest.

“Hu'uh,” jawab Jerry sembari melingkarkan lengannya ke pinggang Angel.

Ada jeda beberapa detik sebelum Angel bertanya, “Mas, why your heart beating so fast?”

“Cause you're here, the reason my heart beats is here.”

Senjata makan tuan. Angel yang semula ingin menggoda Jerry justru merasa wajahnya memanas sekarang. Suaminya yang menyadari diamnya sang gadis pun menunduk dan mendapati Angel tersenyum sembari menyembunyikan wajahnya.

“Sayang,” Jerry whispered.

Sadar istrinya tidak akan menjawab, he lowered his head. Tepat beberapa inci di depan wajah Angel, ia kembali berbisik, “Sayang.”

“Shhh, banyak orang, Mas!” Gadis itu mendorong dada suaminya dan mengedarkan pandangnya untuk memastikan tidak ada yang melihat kejadian barusan.

“Mana ada yang liat, mereka jauh, kamu ketutupan aku.” Ah, Jerry selalu saja memiliki alasan untuk menjawabnya.

Setelah momen salah tingkah itu selesai, Jerry bertanya, “Sayang, gimana hari ini? Happy?”

Angel mengangguk lucu. Beberapa helai rambut yang sudah Jerry simpan di balik telinganya kembali terurai. “So happy! Akhirnya, setelah sekian lama, kita jalan-jalan naik motor lagi.”

Ya, hari ini mereka meminjam motor Ojon untuk mengelilingi ibu kota. Atuy sempat bersorak riang karena helm kuning miliknya dipakai oleh Angel.

Kalimat gadis itu sempat terjeda kala seorang penjual mengambil jas hujan di samping tubuh Angel. “Jajanan di sini juga banyak yang enak! Aku harus ajak Ajen ke sini pas udah gede.”

Jerry tersenyum dan sesekali mengangguk. Angel seperti merangkum semua kegiatan mereka hari ini dibumbui perasaan yang ia rasakan di setiap momennya. Matanya pun menghilang ditelan pipi tembam kala Angel bercerita tentang konyolnya Jerry saat melakukan negosiasi dengan tukang balon.

“Hahaha! Tadi harusnya kamu beli yang spiderman, Mas. Terus dikasih ke Atuy deh. Kan he's addicted to kancut, tuh!” Tawa anggunnya kembali terdengar setelah gadis itu menyuarakan pikirannya.

Akan tetapi, raut Jerry hanya datar dan menatap sang istri. “Kamu lagi jalan sama aku, kok yang diinget malah Atuy?”

Angel menghentikan tawanya. Ia menatap Jerry tak kalah datar. “Kan Atuy nggak ada di sini, Mas. Jadi aku pikirin deh.” Kekehan kecil mengikuti kalimatnya.

“Oh, gitu. Aku nggak jealous sih, soalnya Atuy cuma bisa masuk ke otakmu, kalo aku udah tinggal di hatimu.” Meski terdengar menggelikan, Angel tidak bisa menepis perkataan suaminya.

Kedua lengan Jerry langsung membawa sang istri masuk dalam dekapan, tidak peduli orang-orang di sana menatap iri mereka. Seperti biasa, Angel selalu nyaman di dada sang suami.

“Mas, do you love me?” tanya Angel tiba-tiba, setelah beberapa saat diam dalam pelukan Jerry.

Lelaki itu mulai melonggarkan pelukannya, menjatuhkan tatapnya pada tubrukan air hujan di atas dedaunan.

“You exactly know the answer, Angel. Yes, I do. I always do.” Kalau sudah memanggil nama, berarti tidak ada unsur becanda sedikit pun pada kalimatnya.

“How far do you think we will go?”

Alih-alih langsung menjawab, Jerry justru membenamkan wajahnya di perpotongan leher sang istri. Telapak lelaki itu tetap mengerjakan tugasnya, mengusap puncak surai Angel.

The atmosphere was calm and people started to leave when the rain stopped. Hingga napas hangat istrinya terasa menembus sweater tipis miliknya, barulah Jerry memberi jawaban.

“Love is a very long process, Angel. We just passed a few steps of it.”

Angel menengadah dan mendapati suaminya menatap lurus tanaman di samping mereka. Pelukan Jerry semakin erat seiring hujan kembali deras. Gadis itu merasakan dada Jerry kian berdebar sebelum ia melanjutkan kalimatnya.

“Let's walk like a little clock. Jangan terlalu mikirin sepuluh tahun ke depan, dua puluh tahun ke depan, atau seratus tahun ke depan. Kita aja nggak tau apa yang terjadi besok, kan? Bisa jadi besok kita habis baterai, atau tiba-tiba jatuh kesenggol orang. Tapi, selama kita bisa berdetak, berdetaklah.”

“Kalau rusak, ayo kita perbaiki. Kalau ada yang nyangkut, ayo kita cari hal itu sama-sama. Suatu hari, kita bakal ngeliat ke belakang and surprised cause we go through what we initially thought was impossible.”

“Dulu juga kita sama-sama ragu, kita nggak pernah expect bakal jalan sejauh ini, kan? Tapi, coba liat sekarang. Jam kecil yang awalnya nggak percaya diri ternyata udah bertahan dan berdetak sebanyak tiga juta lima ratus kali, loh.”

365 hari menurut jam yang terus berputar adalah tiga juta lima ratus detik. Benda yang hanya terpajang di dinding atau penghias meja belajar ternyata lebih produktif dibanding manusia. Ia tidak pernah berhenti meski pemiliknya tertidur di malam hari.

Kedua netra Angel yang dilapisi kontak lensa sudah mulai basah akan air mata. Tatapnya masih belum beralih dari garis wajah suaminya. Setiap kata yang terlontar dari mulut Jerry seakan menggelitik diafragma Angel.

Umumnya, suara manusia hanya menyapa gendang telinga. Maka akan sangat bahaya jika suara itu mampu menembus organ lainnya dan menggetarkan tubuh sang lawan bicara.

“Hey, Cantik, look at me.”

Ah, sejak kapan Jerry memanggilnya dengan sebutan itu? Entahlah, yang pasti itu membuat Angel semakin salah tingkah.

“Kita ada di satu jam yang sama, berputar ke arah yang sama. It's okay kalau sometimes kamu bertentangan sama aku. Walaupun kecepatannya beda, kita akan bertemu di titik yang sama. Aku, kamu, akhirnya bakal ketemu lagi dan kembali menjadi kita.”

Kita. Terkadang, menjadi kita sudah lebih dari cukup.

Angel mempererat pelukannya. Kedua lengan yang biasanya tidak cukup melingkari tubuh suaminya kini ia paksa hingga Jerry berkali-kali mengaduh. Mulutnya terus menggumam terima kasih seiring hatinya mengucap syukur pada Tuhan.

Ibu benar, Angel sangat beruntung menemukan Jerry di hidupnya.

Ia sempat menilik air yang dengan mudah membasahi jemarinya di belakang tubuh Jerry. Sesaat kemudian, gadis itu baru menyadari bahwa sweater bagian punggung suaminya sudah basah terkena hujan.

Jerry mengusap lembut punggung istrinya. “Happy anniversary, Angel.”

Sang gadis lalu menarik tubuh Jerry agar tak lagi terkena tetesan dari langit. “Happy anniversary, Mas Jerry,” jawab Angel di tengah hujan deras.


@guanhengai, 2022.